Senin, 21 November 2011

Cerpen

EMAK
Rahimah Ib

Langit begitu pekat diiringi gerimis halus ketika aku keluar rumah. Disampingku, Ibu merapatkan jaketnya sambil mendekapkan tangannya di dada, memandang langit yang gelap.
“ hujan lagi…”, desisnya halus terdengar kecewa.
“ enggak usah jualan ya Mak?... dingin kali”, kujawab desisan Emak, Ibuku.
“ enggak apa-apa, kau piker Emak tak biasa dengan udara dingin?”, Ibu menjawab sambil menatapku tajam dalam remang, aku diam.
Kami menembus gerimis yang mulai merapat, kudekap Emak yang ringkih sepenuh jiwaku, manusia yang paling kucintai dalam hidupku.
Usiaku masih tujuh tahun ketika Ayah harus kembali menghadapNya. Ibuku adalah wanita Melayu yang biasa tinggal di rumah. Sebagai wanita yang tidak punya pendidikan dan keterampilan, Ibu limbung menghadapi ekonomi keluarga walaupun Ibu hanya perlu menghidupi aku, anak tunggalnya. Aku masih ingat ketika Ibu harus berjuang berjualan rokok di lampu merah, menjajakan Koran dan akhirnya Ibu berjualan sayur di Pasar, setiap pagi bercumbu dengan dingin dan embun. Setiap pagi pula aku menemani Ibu keluar rumah jam tiga pagi, memilih sayuran yang akan dijual pada pembawa sayur dari gunung dan duduk jualan pada lapak terbuka hingga jam tujuh. Untuk selanjutnya aku punya aktifitas lain, kuliah, diskusi dan nongkrong di perpustakaan untuk mencari literature tulisan, istirahat pada pukul sembilan malam. Jika banyak tulisan yang harus kugarap, aku hanya istirahat tiga jam. Mahasiswa kaya dan malas adalah ladang rezeki bagiku, karena mereka akan mencari aku untuk membuatkan skripsi atau sekedar makalah dan proposal.
Pernah kukatakan pada Emak agar dia tidak usah lagi berjualan, tapi Emak merepet-repet panjang sampai terbatuk-batuk, kasihan. Emak mengatakan dia akan berhenti jualan jika aku sudah sarjana, kekantor pakai dasi, punya keluarga dan ia akan menjaga anakku, cucunya. Setelah itu aku tak berani lagi menyinggung masalah keinginanku agar dia tak lagi berjualan, aku sadar sepenuhnya bahwa tiap butir nasi yang kumakan adalah keringat Emak, bahkan darah yang mengalir dalam tubuhku adalah keringat Emak. Pernah kutanyakan pada Emak mengapa ia tak mau menikah lagi, dia cuma berkata
“ tak ada yang Emak harapkan lagi dalam hidup ini selain kau, Zul. Kau belahan jiwa emak, harapan masa depan Emak, Cuma kau yang berharga dalam hidup Emak nak… jangan kau tanyakan itu lagi ya?...”, Emak mengelus kepalaku dengan mata yang berkaca-kaca, kupeluk Emak dengan mata panas menahan tangis. Ah…Emak, ma’afkan aku jika menyinggung perasaanmu.
Kata-kata Emak yang mengatakan aku adalah harapannya dapat kurasakan sampai sekarang. Setiap pagi di pasar Emak memesan susu dan nasi gurih komplit di warung untuk menu sarapanku, padahal Emak tak pernah minum susu. Sore hari dia memasakkan aku makanan apa saja yang dianggapnya aku suka, Emak memberiku makanan cukup gizi dan aku tumbuh menjadi laki-laki yang sehat dan proporsional. Dari aku SD, Emak sering memberiku buku cerita, walaupun itu cuma buku bekas yang sayang jika dijadikan kertas pembungkus. Aku pernah protes mengapa sampai sekarang aku harus minum susu, Emak berkata
“ biar kau sehat Zul, kau kurang tidur, emak tak mau kau sakit nak…”
“ tapi Emak enggak pernah minum susu, Emak sehat….”, jawabku sekenanya. Emak tertawa, menepuk bahuku dengan sayang
“ Emak tak perlu perpikir untuk belajar lagi nak…, Emak tak mau jadi sarjana, Emak tak kuliah. Kau tau? Kurang tidur itu membuat orang menjadi bodoh, kalau kau tak cukup gizi dan kurang tidur jadi tambah bodohlah kau, ngerti?..”, Emak bangkit sambil terkekeh-kekeh menunjukkan giginya yang masih rapi, sesungguhnya Emak adalah wanita yang sangat cantik. Aku masih terpaku diam, benarkah kata Emak?. Terkadang Emak yang tak sekolah jauh lebih pintar daripada aku, kurang tidur dan kurang gizi membuat orang menjadi bodoh adalah ilmu baru bagiku. Betapa hebatnya Emak mempersiapkan aku, menjadi pemuda sehat dan meraih beasiswa sepanjang pendidikannya. Semakin aku kagum pada perempuan paruh baya yang bak pendekar ini, Emakku.
Pagi ini, susu itu muncul lagi dihadapanku, aku mau muntah. Emak menyodorkannya penuh sayang, ah.. aku tak ingin mengecewakannya. Kuambil gelas yang disodorkan Emak
“ aku minum di tempat Minun ya Mak?..”, Minun adalah penjaga warung langganan emak beli sarapan pagi, emak mengangguk dan aku segera melesat seperti peluru lepas. Di warung, Minun sudah tersenyum menunjukkan gigi taringnya yang agak mencuat.
“ tambah kopi kan?”, dia sudah tau apa yang kumau, aku cuma mengangguk. Setelah itu, dia habis menggodaku dan mengumpamakan bahwa aku adalah pemuda yang masih disusui Emakku, kurang ajar betul.
“ kok lama Zul?..”, tegur Emak ketika aku kembali dari curi-curi minum susu dicampur kopi di warung Minun.
“ iya Mak.. diajak ngobrol sama Minun…”, aku mengambil tempat disisi Emak.
“ pasti susunya dicampur kopi, iyakan?..”, Emak menudingku dengan wajah menggoda, aku terhenyak sadar bahwa seminggu ini aku sudah membohonginya.
“ dasar anak muda…”, Emak mendesis, tapi tak marah.
“ aku muak Mak dua puluh tahun minum susu terus… enggak apa-apa ya? “, aku memelas, Emak mengangguk tersenyum ikhlas. Duhai.. kupeluk Emak, kucium Emak, Emak tercintaku.
“ Wak… kawinkan saja si Zul itu!! Sudah tua masih lagi melendot sama Emaknya..!!”. Siahaan yang menjual sayur disebelah Emak berteriak membuat orang-orang dipasar melihat kami. Mendengar itu si Johar yang menjual ayam potong menimpali
“ iya Wak.. kasi bini sama dia Wak…”, pasar tambah riuh
“ tenang kelen… udah ada calonnya, biar dia sarjana dulu, bekerja, baru dikasinya aku menantu..”, jawaban Emak membuatku terhenyak, kutatap Emak penuh tanya.
“ itu… si Zahwa..”, Emak berbisik ditelingaku, aku melotot kaget.
Sahabat, Zahwa adalah wanita lain selain Emak. Wanita yang juga sangat menghormati Emak, wanita yang kusayangi dalam sisi yang berbeda.
Sahabat, nanti aku akan menceritakan padamu tentang perempuan itu, Zahwa namanya.


Medan, Maret 2011
(terbit di Waspada Mei 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar