Sabtu, 1 Juni 2013. Pengumuman
kelulusan siswaku tercinta, siswa SMP Darussalam Medan. Malam, aku sudah susah
tidur karena belum ada hasil konkrit, tersiksa. Pagi, empat kali aku ke kamar mandi
karena mendadak diserang mulas yang melilit, melintir usus dengan kejam!
Agaknya, sinyal-sinyal resah di dada dan kepala memengaruhi usus dan anggota
perut lainnya, resah yang komplit! (sedikit lebay). Pukul 11 siang, hasil di tangan.
Alhamdulillaaaahh…siswaku lulus 100% horeeee…..terimakasih ya, Allah…terimakasih
ya Allah…aku bersujud syukur.
Pukul dua, orangtua siswa dikumpulkan di kelas,
ibu Kasek memberi pengarahan. Wajah-wajah orangtua Nampak mengkerut,
berlipat-lipat stress. Hasil, tentu tak boleh dibocorkan dahulu, pengumuman
dimasukkan dalam amplop tertutup. Di luar, siswa/i mengintip tak kalah kalut, kasihan. Wali
kelas segera mengambil posisi masing-masing, siap melepas peluru. Selepas
pengarahan dan menyapa orangtua dan siswa, aku pun kembali masuk kantor. Bersiap
jika ada orangtua yang ingin berkonsultasi dan lain-lain (seringnya curhat,
nyeritain anaknya yang begini-begitu, maklum…remaja, masalahnya macam-macam).
Belum lagi ngotot masuk ke sekolah yang belum tentu sesuai kocek orangtua,
kadang anak suka maksa…
Baiklah, orangtua pertama masuk.
Wajahnya sangat resah, air mukanya keruh. Ibu yang cantik ini menanyakan nilai
akhir anaknya, aku memberi bocoran. Nilai yang baik, tapi tidak terlalu tinggi,
ia berulangkali mengusap wajah dan mulai bercerita.
“Ibu,
anak saya mau masuk SMAN…. (SMAN favorit di kota Medan). Tapi, nilai segitu,
mana lulus jalur regular? Dia ngotot mau masuk dengan tes, tapi ibu tau kan?
Kalo tes itu hasilnya enggak objektif dan “pake tanda kutip”. Gimana dong?” (si
ibu pake bahasa Jakarta). Aku masih menjadi pendengar yang baik, dia
melanjutkan.
“Saya
udah bilang, kita enggak boleh nyogok, itu dosa! Masa mau masuk SMA aja nyogok?
Wadduh! Gimana, nih? Saya pusing karena dia ngotot” si ibu semakin resah parah.
Baiklah, aku
tahu, ibu ini bukan resah masalah uang. Toh, ayah si siswa yang ngotot ini punya jabatan di sebuah bank
swasta nasional, pasti dia punya duit. Tapi, benar, resahnya karena masuk SMAN
favorit itu melalui jalur yang “tanda kutib”. Pakaiannya sudah menunjukkan, si
ibu seorang muslimah sejati, bukan muslimah tanggung. Aku coba memberi gambaran
singkat untuk si ibu, dia manggut-manggut dan segera menyela “Ibu aja yang
ngomong sama anak saya ya?” aku
mengangguk, baiklah. Nah, akhirnya, siswaku
yang ganteng duduk di hadapanku. Tubuhnya tinggi, wajahnya halus budi,
hidung mancung dihiasi bibir mungil bebas rokok (tentu saja). Aku menatap matanya, focus.
“Audy,
mau lihat hasil UN?” aku
memulai, mensugesti, support atau apalah namanya. Dia mengangguk, aku tahu dia berdebar. Kubuka daftar nilai dengan perlahan, membahas nilainya.
Dia manggut-manggut, wajahnya mulai
kusut.
“Ngotot
masuk SMAN….?”
“Iya,
Bu. Nilai saya memang enggak cukup, tapi katanya ada jalur tes, kok. Kemaren sepupu saya lulus jalur
itu,” upss…langsung aku
sambar kata-katanya.
“Gratis?
Free? Enggak pake duit?” naaahh..kan!
wajah itu kembali mengkerut, dahinya berlipat.
“Enggak,
sih. Katanya pake duit,” wadduh!
“Audy,
kita usaha, ya? Nanti kamu daftar aja di SMAN favorit kamu. Tapi ingat! Enggak usah
pake duit. Kamu tau? Menyogok dengan yang disogok itu sama dosanya. Buat apa
mencari ilmu dengan cara yang enggak halal? SMA aja udah gitu, gimana dunia
kerja? Muncullah nanti koruptor.” Saya berhenti sebentar, memerhatikan wajahnya
yang galau.
“Kamu
mau cari style di sana? Ah..sekolah
swasta bergengsi juga banyak. Kamu belajar yang baik, cari bimbel yang oke,
terus asah otakmu. Nanti, targetmu adalah perguruan tinggi nasional yang keren.
Targetkan Unpad, ITB, IPB.” Woooww….wajah itu mulai bersinar. Dia mulai mengangguk-angguk.
“Cita-cita
kamu nanti mau jadi apa?”
“Arsitek,”
“Keren.
Nanti kamu tempel gambar Universitas favorit targetmu di kamar besar-besar,
tulis rencana dan tujuanmu.” Ah! Mata itu kembali bersinar, manggut-manggut.
Agaknya mata si ibu mulai
berkaca-kaca. Aku
menggunakan tekanan suara
yang dahsyat, walau tak sedahsyat Mario Teguh atau Wahyudi (tentu saja,
hehehe). Akhirnya, siswaku
dan ibunya pulang dengan kepala tegak. Semoga yang kusampaikan bermanfaat. Meninggalkan
kesan yang dalam untuk Audy. Semoga Allah memberikan semua yang terbaik
untuknya. Kini, sampailah pada cerita kedua, cekitdot.
Seorang ibu masuk kantor. Dia belum lagi berbicara, tapi
matanya sudah basah, dia menangis. Dia ingin memelukku, tapi meja kerja
membatasi kami. Dia menyalamiku dengan erat, sesenggukan, aku semakin bingung
melihat anaknya- siswaku- ikut menghapus sudut matanya yang juga basah. Dia
mulai bercerita, dengan sangat emosional.
“Saya ingin berterimakasih pada Ibu,” ehmm...aku
tersenyum mengangguk, itu biasa saja. Biasakan? Orangtua berterimakasih kepada
guru anaknya. Tapi, ceritanya kemudian membuat aku tercekat ikut menitikkan air
mata.
“Sewaktu Ibu memberi kata sambutan wisuda kemarin* ada
satu kata-kata ibu yang menyadarkan saya dan merubah hidup saya,” air matanya
jatuh dengan deras.
“Saya ingat kata-kata Ibu, Ibu waktu itu bilang “anak
saya adalah teman dan sahabat saya” saya tersentuh sekali,” dia kembali
menghapus air matanya.
“Tapi, saya selama ini tak pernah memperlakukan dia
seperti sahabat. Saya marah terus, merintah dia seenaknya, jadinya...saya
tertekan, dia tertekan. Kami enggak pernah nyambung, hiks.” Ibu ini memegang tangan anaknya, mereka sama
menangis, aku juga.
“Sekarang, saya memperlakukannya seperti yang ibu bilang,
anak saya adalah sahabat saya. Dia enggak pernah membantah saya lagi karena
enggak saya perintah-perintah dengan kasar. Kami udah nyambung, sekarang rumah
jadi sejuk, semua rileks,” ibu itu makin kuat menggenggam tangan anaknya.
Cahaya mata penuh cinta antara ibu dan anak ada di depan mataku kini. Tak
banyak kata yang kuucapkan, aku tersenyum dan berucap syukur. Ternyata, sedikit
saja kata positif mampu melahirkan makna yang cukup dalam. Semua di luar
dugaan, mampu mserubah kehidupan antara ibu dan anak, dialah Zulian Agustina,
siswaku di kelas 9.4.
Selamat jalan anakku, siswaku. Berjuanglah karena jalan
kalian masih panjang. Ingat pesan ibu, ya? Jadilah anak yang cerdas, cerdas
intelektualmu, cerdas emosimu, cerdas agamamu. InsyaAllah, sukses akan kalian
raih....amiin.
*Pada waktu itu, saya menerima Miftahussalam award
sebagai guru berprestasi. Dalam kata sambutan, saya mengucapkan terimakasih
kepada keluarga, suami dan anak-anak saya, cahaya mata saya. “Terimakasih untuk
anak-anak saya, Liza yang menjadi sahabat saya, tempat saya berdiskusi tentang
isi tulisan saya. Syifa yang selalu sedia membuatkan saya teh meskipun tengah
malam. Bila yang selalu siap memijat jika saya lelah. Wafi yang selalu
mesupport saya agar tulisan saya cepat selesai.” Yaaaa...kira-kira begitulah
bunyinya.
NB. Selamat, ya? Untuk yang mendapat nilai UN tertinggi.
Farah, Iqlima, Ayu, Nancy, Nisa....semoga bisa masuk SMA favorit. Untuk Ulfa,
selamat udah lulus di Matauli, do the best every where...love u all :*