Selasa, 30 April 2013

HAPPY BIRTHDAY MY SWEETY (HADIAH UNTUK LIZA)



HADIAH TERINDAH (TO MY LOVE)



Usia dua puluh lima tahun, aku hamil anak pertama. Hmm...segala macam perasaan tumplek-plek jadi satu. Aduuuh..bagaimana bisa ada makhluk lain dalam tubuh ringkihku? Bagaimana pula nanti aku mampu mengeluarkannya? Hiks, aku takuuut. Hari-hari yang kulalui tidak lagi menyenangkan. Segala macam bayangan buruk mengisi rongga kepalaku yang selalu bertambah pusing. Entah mengapa pula aku menjadi cengeng, seakan aku akan segera mati dan dikubur. Sementara nanti suamiku: ayah di jabang bayi akan cepat-cepat kawin lagi, arrggghhh....! suami selalu menghiburku, mengatakan banyak hal yang indah-indah. Tapi tetap saja pikiranku bandel “ya, kamu enak aja ngomong, toh bukan kamu yang ngerasain, tau!” jerit hatiku geram. Tak ada yang menyenangkan pada masa kehamilan ini, semua serba membuatku menderita, ditambah lagi kuliah yang belum selesai. Aku masih sibuk-sibuknya sidang kompri, tapi malah mual-mual.
“Kamu harus ke kampus, sayang. Lihat pengumuman, siapa tahu kamu sudah harus mengikuti sidang,” kata suamiku suatu pagi. Tapi aku malah membalikkan badan dengan malas. Ke kampus? Mengangkat kepala saja aku susahnya minta ampun. Aku melengos malas saja, dan ia tak memaksa lagi. Seminggu setelah itu aku baru ke kampus, itupun karena ia terus memintaku; tepatnya memohon agar aku melihat informasi dan bertemu teman-teman.
“Kamu perlu keluar, biar lebih segar. Bisa ngobrol sama teman, kan jadi lebih enakan,”
“Iya, mentang-mentang aku loyo ya? Enggak segar? Jelek? Enggak pernah mandi? Gitu?, huuu...huu...” aku mulai menangis sedih, alamaaak...sensitif tingkat tinggi! Hiks.
“Enggak, kamu cantik, kok. Apalagi nanti kalo udah buncit, hehehe,” lelaki itu; suamiku terkekeh. Tuh kan? Aku nangis dia malah ketawa, enggak lucuuu tauuu! Aku merepet dalam hati. Tapi aku melunak juga, ketika ia mengelus perutku yang masih rata, aku tahu betapa ia mencintaiku.
Aku ke kampus naik angkutan umum; tidak diantar tentu saja karena suamiku mengajar (lagian, enggak punya kendaraan pribadi, giculooo). Jika ia tidak mengajar, tentu saja honor akan dipotong (nasib guru honorer). Pakaianku jangan ditanya bagaimana rupanya, persis bendera dari negeri antah barantah. Celana kulot hijau, baju oranye dan jilbab coklat muda. Olalaa... aku jadi pusat perhatian di kampus! Bukan karena prestasi; seperti biasanya. Tapi karena pakaianku yang aneeehhh (selama ini aku selalu tampil sederhana, tapi enggak tabrak-tabrak warna gitu).
“Mah! Kok kemarin enggak ikut kompri?” Ratna tiba-tiba muncul dari arah belakangku. Aku terlonjak kaget.
“Haah??? Masa sih?”
“Gilak kamu ya! Memang enggak mau nyelesaikan kuliah, ha?” matanya yang dilapisi kacamata minus  melotot.
“Ayooo!!” seenaknya Ratna menarik tanganku. Aduuhh..pelan-pelan dong! Ada jabang bayi dalam perutku, fren! Aku merutuk dalam hati. Ratna membawaku ke depan papan pengumuman. Benar saja, namaku yang singkat dan teramat sangat cantik (aku pernah protes dengan nama ini) RAHIMAH, sudah distabilo berwarna merah muda, adduh! Gawaaatt. Aku terduduk di bawah papan pengumuman, suamiku benar dan kini aku menyesalinya, hiks..ma’af Im.
“Trus..gimana, nih?” suaraku terdengar pesimis.
“Daftar ulang, yook!” kembali Ratna menarik tanganku, dia memang sahabat baik yang sangat peduli, walau teramat sangat pelit. Aku harus mendaftar ulang, untuk mengikuti sidang kompri minggu berikutnya.
“Kamu kenapa enggak pernah nongol ke kampus?” tanya Ratna penuh selidik.
“Aku lagi mabok berat,” jawabku sekenanya saja. Ratna terkekeh.
“Semenjak kapan kamu mabok, ha? Biasanya juga naik angkot, hihihi,”
“Ini maboknya beda! Jedot!”
“Maksudnya?”
“Aku hamil, dua bulan,” Ratna terpekik kecil, kemudian tertawa-tawa senang. Aku tambah mual, rasa-rasanya isi perutku mendesak keluar. Bukan karena tawanya, tapi entahlah, selalu begitu dan aku tak tahu sebabnya.
“Selamat, ya?” Ratna memelukku, tapi ya Allah...mendadak aku tak suka aroma parfumnya. Padahal selama ini aku cukup akrab dengan aroma itu, hiks.
Benar saja, dalam angkot perjalanan pulang. Aku benar-benar muntah! Untunglah aku duduk dekat pintu (sudah ku- antisipasi). Pandangan mata orang-orang ku abaikan saja. Ada penghuni angkot yang prihatin, ada juga yang jijik. Huuu...ya Allah! aku mau cepat sampai rumah dan tidur, hiks! Lagi-lagi hatiku menangis.
***
Mamak sangat paham situasiku. Suaranya yang sejuk mampu meredakan gemuruh di dadaku yang tidak stabil. Ia sering datang dan membawakan makanan kesukaanku; yang belum tentu aku sentuh dan makan karena perubahan selera yang teramat sangat aneh. Aku sering mengeluh takut, tapi beliau selalu memberiku motivasi agar aku berani dan kuat.
“Mami (nenek) dulu punya anak sebelas. Melahirkan di kampung lagi, enggak ada dokter. Motong tali pusat (maksudnya plasenta) Cuma pakai bambu. Tapi Mami sehat, anak-anaknya semua sehat,” kemudian beliau melanjutkan
“Mamak juga dulu melahirkan kalian juga Cuma pakai dukun beranak, enggak pernah sekolah seperti bidan sekarang,”
“Melahirkan, sakit ya, Mak?” tanyaku ragu.
“Ah! Sakit biasa, seperti kalo kita mau buang air besar. Atau sakit senggugut, sebentar juga hilang.” Mamakku tersenyum manis, menenangkan jiwa raga. Wah! Sakit perut seperti mau BAB atau senggugut? Idiiihh.... itu sih, keciiilll. Hohoho...aku tertawa senang; tentu saja dalam hati.
Urusan sidang kompri alhamdulillah berjalan lancar dan aku lulus. Proses berikutnya aku harus menyusun skripsi. Usia kehamilanku memasuki lima bulan, aku sudah dapat merasakan ada nyawa dalam rahimku. Anakku mulai bergerak-gerak, aku mulai menikmati kehamilanku yang pertama ini. Aku berjuang keras untuk memenuhi asupan gizi bayiku. Setiap apa yang aku makan keluar lagi, seakan lambungku tak mau menerima apapun yang masuk ke dalamnya. Tapi, aku melawan! Setiap kali muntah, aku makan lagi, begitu terus menerus.
Urusan skripsi, suami turun tangan. Dia jago menulis karya ilmiah, dialah yang menggarap skripsiku. Ketika malam aku terlelap, dia masih kletak-kletok dengan mesin tik. Dia ambil minum sendiri, ambil cemilan di dapur sendiri, aku ngorok sepanjang malam dengan perut yang buncit. Tak jarang, aku ngambek karena ia telat pulang (dia mengajar ngaji malam). Tapi ia tersenyum melihatku mayun-manyun dan merayuku. Aku merengek minta ini-itu, ia mencarinya walau malam sekalipun. Aku suka marah, merengek, ngambek tapi tetap tidur di bawah ketiaknya. Ah! Jika ingat itu, betapa berdosanya aku (ma’af ya, sayang? Maklum, perubahan hormon, hihihihi).
Efek hebat aku rasakan waktu sidang meja hijau. Skripsiku dibanting habis oleh dosen barongsai (semoga ia tenang di syurga)  yang tak punya perasaan. Skripsi yang belum dijilid berhamburan di lantai, teman-teman terpaku diam; tepatnya kasihan melihatku diserang si barongsai.
“Sampah apa ini, ha? Tidak bisa dipertanggung jawabkan!” katanya dengan wajah murka. Dosen di kiri-kanannya mulai bisik-bisik, menatapku iba. Seorang mahasiswi buncit yang menjadi bulan-bulanan si barongsai berbaju oranye.
“Memang itu namanya, Pak. Harus bagaimana lagi?” aku mencoba melawan. Bagaimana aku harus mengatakannya?. Memang nama organisasi yang aku teliti; tepatnya suamiku teliti adalah HP INTIM singkatan dari Himpunan Pengajian Indonesia Tionghoa Muslim. Si Barongsai tidak terima ada INTIM-nya. Katanya vulgar. Lho? Ha? Ngomong sana! Sama yang punya organisasi, kok malah aku yang siserapahi seperti itu? Preeeet!! Barongsai jelek! Bopeng! Hhwwuuaaa...aku ingin saja menjerit marah, tapi cepat-cepat beristighfar. Semoga anakku tak begini nantinya, dibenci mahasiswa sekampus. Tiap hari dikutuk! Hiiii... kuperhatikan Pak Kifrawi, dosen yang baik hati membisikkan sesuatu kepadanya, si barongsai nampak kaget. Entah mengapa pula ia memintaku menulis sepotong ayat di papan tulis dan perut buncit itu menyembul dari balik meja sidang. Perlahan ia melunak, menyuruhku duduk dan pergi meninggalkan ruang sidang dengan wajah garang yang tertekuk. Ya Allah, jabang bayi itu menolongku, anakku menjadi berkah bagiku. Sidang selesai, tangisku pecah serasa sembilu. Bukan tangis haru bahagia, tapi tangis sedih membahana. Sedih karena si barongsai membuang skripsi yang dikerjakan suamiku sepenuh cinta sepanjang malam. Sementara aku terbuai dibalik selimut yang nyaman, hiks.
Hai...mengapa tiba-tiba si barongsai melunak, ya? Menurut cerita dari informan yang bisa dipercaya. Ternyata pak Kifrawi membisikkan ke telinga si barongsai oranye itu “Mahasiswi ini lagi hamil tua, Pak. Jangan keras amat, kalo melahirkan di sini, gimana?”. Ternyata, si barongsai ciut juga nyalinya. Takut dia jika ada bayi merah nongol di depan hidungnya, hihihi. Apakah aku hamil tua? Belum, tapi perutku nampak besar sekali dibandingkan tubuhku yang kecil. Dan, agaknya bayiku tumbuh sehat karena pola makanku yang tak mau menyerah kalah dengan muntah, entahlah.
Menjelang usia kehamilan sembilan bulan, aku wisuda. Perut yang semakin membesar membuatku tak bisa mengenakan kebaya seperti teman-teman lain. Aku mengenakan daster hamil, dengan tangan dan kaki yang mulai membengkak. Tak ada make up dan jilbab modis, tak perlu. Tapi, aku adalah manusia yang paling bahagia diantara ratusan wisudawan. Aku mampu menjadi sarjana ditengah perjuangan aku dan suami melalui jalan yang panjang. Aku juga akan segera menerima kehadiran cahaya mataku. Teman-teman menggoda jika anakku perempuan akan diberi nama “Sarjani” dan jika laki-laki akan diberi nama “Sarjono”. Aku tersenyum bahagia, tenanglah...aku telah menyiapkan sebuah nama yang sangat cantik untuknya.
***
Selepas wisuda. Aku mengungsi ke rumah orang tua menunggu kelahiran bayi pertamaku. Aku mempersiapkan diri secara fisik dan mental. Satu hari dua kali aku mengepel lantai rumah dengan berjongkok. Bersujud selama sepuluh menit selepas solat subuh dan mengkhatamkan Alqur’an untuk anakku. Berharap kelak agar Allah melancarkan lidahnya melafalkan kalam ilahi. Setiap pagi pula aku berjalan sekitar rumah, ditemani suami. Aku ingin melahirkan secara normal. Selain aku ingin menjadi perempuan sempurna, keuangan juga tidak mendukung jika aku harus menjalani caesar.
1 Mei 1995, pagi selepas subuh ada flek muncul. Aku segera memberitahukan Mamak dan suami. Wajah mereka agaknya menegang, aku juga.
“Itu tanda-tanda, kamu segera melahirkan,”
“Kapan, Mak?” aku bertanya bodoh; tepatnya bingung linglung.
“Yaaa...belum tahu, itukan masih tanda,” Mamak tak mampu menyembunyikan kegelisahannya, bukankah ini cucu pertamanya?
“Yook..kita jalan-jalan ke pasar, beli buah,” usul suamiku dan aku menyetujuinya.
Sepulang dari pasar membeli pepaya, aku mulai merasa seperti ingin buang air besar. Tapi Mamak melarangku berlama-lama di kamar mandi, dia takut bayiku keluar begitu saja. Tapi sakit itu hilang-timbul begitu saja.
“Aku ngajar enggak, ya?’ suami mulai ragu
“Ngajar aja, Bang. Nanti kalo ada apa-apa di telepon,” saranku.
“Iya, pergi aja. Mungkin melahirkannya sore nanti,” sela Mamak percaya diri.
Dua jam sepeninggal suami berangkat bertugas, kontraksi semakin menjadi-jadi. Sesuai rencana semula, aku tidak ingin melahirkan di rumah sakit dengan alasan yang bodoh; aku tak mau anakku tertukar dan biaya yang mahal. Selain itu, ada bidan senior yang tinggal dekat rumah yang menjadi tempatku periksa selama kehamilan ini. Adikku menelepon suami agar segera kembali pulang. Mamak bergerak ke rumah bidan agar segera ke rumah. Tapi, apa nyana? Bidan sedang bertugas di puskesmas dan tidak boleh meninggalkan tugasnya- dokter minta aku melahirkan di puskesmas saja. Mamak mulai panik, mami (nenek) datang dan menyuruh adik sepupuku Riza mencari bidan yang lain. Bidan datang dan memeriksa dalam “masih jauh, kayaknya sore nanti”, katanya lagi-lagi percaya diri. Karena yakin, ia pun pulang dulu dengan alasan akan melayat kerabatnya yang meninggal terlebih dulu dan akan segera kembali.
Perutku semakin melilit sakit, ketika aku mengerang Mami mengelus perutku sambil berkata “Aduuuh...bentar ya? Siapa yang nolong, nih? Jangan duluu...jangan duluu...”
Suasana rumah jadi heboh menjelang zuhur itu, suami kaget ketika sampai di rumah. Wajahnya pias serasa tak berdarah.
            “Imah sudah mau melahirkan, Im. Tapi enggak ada bidan.” Suara Mami bergetar cemas.
            “Mamak mana?”
            “Lagi usahakan panggil Kak Yat, Riza juga udah panggil Bu Tampu,” ujarku sambil meringis menahan sakit, bayiku sudah mendesak-desak ingin keluar. Ternyata sakit itu tidak sesederhana sesak BAB atau senggugut, ya Allah...
Menjelang azan Zuhur, tiga orang bidan berkumpul di rumah. Mereka tertawa-tawa sambil berdiskusi, siapa yang akan menanganiku? Akhirnya diambil keputusan aku diserahkan kepada bidan yang paling senior, Bu Tampubolon bidan sepuh yang sabar dan banyak pengalaman.
“Waah...sudah mau lahir ini, tolong..air panas!” Mamak bergerak kucar-kacir, semua serba cepat.  Anehnya, dia juga meminta Mamak menyiapkan minyak makan! Aku tertegun-tegun heran. Benar saja, dia memberi minyak makan di jalan lahir bayiku dengan sabar. Sambil terus membangkitkan semangat dengan cara yang dahsyat. Mamak membacakan do’a di kepalaku, suami seperti penonton sepakbola “Ayo..Mah! ayoo..sayaaang...pasti bisa! Ayoo..semangat ya! Dikit lagi...ayooo...yaaa..! jangan nyerah, bisaaa..bla bla bla,” crrooottt...wwwoooaaaaa....wwwooaaa......
“Laki-laki!” terdengar suara suamiku sangat bersemangat.
“Bukan, Pak. Bayinya perempuan,”
“Lho? Itu?”
“Itu tali pusat Pak, bukan burungnya, hehehe...”
Anakku lahir! Dengan berat badan empat kilogram dan panjang lima puluh sentimeter dan tidak ada luka sobek! Suara tangisnya subhanallah...alhamdulillah...aku lemas bermandi keringat bahagia. Suami, Mamak, Mami dan Bu bidan menciumiku bergantian. Bayiku diqomatkan ayahnya. Aku memeluknya tak sabar, anakku seorang bayi perempuan putih yang cantik berambut lebat ikal hitam. Matanya terpejam dengan mulutnya yang harum komat-kamit, pipi dan kulit merahnya berbulu halus, hidungnya tinggi. Kucium dia sepenuh jiwa dan harapku, kubisikkan ke telinga kecilnya “Jadi anak salehah ya, sayang? Berguna bagi sesama”. Dalam hati aku berjanji, akan memberikan seluruh yang terbaik dalam hidupnya. Melimpahkannya kasih sayang dan cinta, mendekatkannya pada sang pencipta. Dan si cantik itu kami beri nama CHALIZA NAZRA NASUTION.




Rabu, 17 April 2013

AMBULAN, RUANG UJIAN NASIONAL TAMBAHAN

Hari masih pagi, matahari di timur belum sempurna membiaskan cahaya. Siswa-siswa berseragam putih abu-abu sudah memenuhi halaman sekolah. Ada apa gerangan? Oh..yaa!! hari ini, 15 april 2013 diselenggarakan Ujian Nasional alias UN untuk SMA/SMK. Walau pelaksanaan carut- marut, tapi cahaya wajah-wajah generasi harapan bangsa Nampak siap sedia menjalani carut-marut itu. Wajah-wajah penuh harapan, lulus dan segera menginjak kaki di perguruan tinggi. Meninggalkan seragam yang mulai kusam karena sudah dipakai selama tiga tahun. Apalagi jika punya seragam hanya dua pasang, cuci kering jadinya. Pagi yang hening tiba-tiba berubah riuh, suara mobil ambulan masuk ke halaman sekolah. Mata-mata mengarah tajam ke arah ambulan, ada apa gerangan? Petugas ambulan dengan gesit turun, ada empat orang, ditambah satu orang dokter cantik dan wanita setengah baya. Ketika pintu ambulan dibuka, terlihatlah sosok pemuda berseragam abu-abu tidur di tandu dengan wajah pucat dan kaki yang diperban. Siapa dia? Dia adalah siswa SMK TIK Darussalam yang baru mengalami kecelakaan hari sabtu sebelum pelaksanaan Ujian Nasional. Terjadi kecelakaan sepeda motor yang menyebabkan kaki kanannya patah, bukan main-main…patah tebu! Dia tidak dirawat di rumah sakit tetapi berobat ke ahli patah tulang. Pihak sekolah menyiapkan ambulan, lebih tepatnya membayar biaya sewa ambulan selama empat hari. Jadilah, Wanda mengikuti Ujian Nasional di ruangan khusus, VVIP. Tidak tanggung-tanggung, dia diawasi dua orang pengawas khusus, dokter, petugas ambulan, dan orangtua. Belum lagi ratusan pasang mata siswa SMP yang aktif belajar seperti biasanya. Anak-anak itu menatap pias, atau lebih tepatnya kasihan. Siswa SMP yang siap-siap Ujian Nasional juga diingatkan untuk bertindak hati-hati jika tidak ingin mengalami kejadian yang sama dengan abangnya, Wanda. Dan, setiap pagi selama pelaksanaan Ujian Nasional tepuk tangan sahabat-sahabatnya sesama putih abu-abu berkumandang ketika ambulan memasuki halaman sekolah. Wanda mendadak bak selebritis, dia mengerjakan soal sambil berbaring dan tandu special diatur setengah duduk. Ketika ujian bahasa inggris,-untuk listening, tape recorder juga masuk ke dalam ambulan. Wanda..ah! Wandaaaa…..ck..ck..ck..

Selasa, 16 April 2013

UJIAN NASIONAL? EH...GAGAL BOOOO...!!

Ujian Nasional, gaungnya seperti petir di langit siang. Membahana kemana-mana, menyusup ke bilik-bilik hati terutama pelajar yang akan segera mengakhiri masa belajarnya baik di SMP maupun SMA. Orangtua ikut sport jantung, dicarilah Bimbel-bimbel ternama untuk membantu anaknya belajar. Tak apalah bayar mahal untuk itu semua, toh masih ada cadangan keringat yang siap diperas. Anak-anak tak boleh lagi menonton TV apalagi bermain atau sekadar jalan-jalan. Orangtua minta anak agar selalu memelototi buku, setiap waktu. Di sekolah, guru-guru mengejar pembelajaran berdasarkan tuntutan kurikulum, semua harus tuntas..tas..tas! semua wajah menegang, senyum jarang, gigi terpendam. Ujian Nasional atau UN, seperti malaikat pencabut nyawa. Apalagi setiap tahun terjadi perubahan karena pihak yang berwenang berusaha menghindari kecurangan yang bisa saja terjadi pada pelaksanaannya. Maka, terjadilah bermacam ragam perubahan penyajian soal. Soal 2 paket, soal 5 paket dan kini soal 20 paket serta ditambah 10 paket cadangan, dilengkapi kode rahasia. Guru, hidup dalam dilema, sebelah kaki sudah masuk ke lubang parit busuk! Duhaaaiii…..segala cara dilakukan, segala strategi diatur sedemikian rupa, tujuannya satu, LULUS! Karena tak ada manusia yang rela, duduk dibangku sekolah selama tiga tahun tapi nasib hanya ditentukan selama empat hari. Tapi, apa yang terjadi pada pelaksanaan UN tahun 2013? Semua carut-marut! Pak Menteri mengumumkan UN ditunda pada 11 provinsi. Tapi pada kenyataannya, lebih dari itu. Contoh pasti yang saya ketahui terjadi di kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Di SMAN-1 Sunggal dan sub. Rayonnya, UN hanya dilaksanakan untuk jurusan IPA dengan alasan jurusan IPS tak ada soal. Belum lagi untuk SMA Katolik Diski, UN tak dapat diselenggarakan karena soal untuk jurusan IPS tidak ada, maka jurusan IPA pun ikut ditunda. UN untuk jurusan IPS akan dilaksanakan pada tanggal 22 April 2013, serentak dengan UN SMP. Walaah…apa pula ini? Artinya, UN akan diselenggarakan selama 2 minggu! Mohon ma’af para pemimpin, jika saya lancang. Ujian Nasional tahun 2013 adalah ujian yang gagal. Jangan membuat kebijaksanaan jika anda tak mampu mempertanggung jawabkannya. Betapa anak negeri sangat kecewa pada kinerja yang seperti ini. UN dengan 30 paket, berarti harus punya soal sejumlah 1500. Jika UN tidak dilaksanakan secara serentak, kecil kemungkinan pihak terkait membuat soal yang berbeda dalam tempo singkat. Ada kemungkinan, untuk UN susulan maka naskah yang sama pasti akan beredar. Wadduuuh…naahh…apa yang dimaksud dengan kualitas pendidikan di Indonesia? Bagaimana anda menjaganya dari kebocoran? Bagaimana anda mempertanggung jawabkannya? Berapa milyar uang negara yang habis untuk kerja anda yang gagal? Oke, ada gaung telah terjadi kesalahan dan kelambatan soal dari percetakan yang menang tender penggandaan naskah soal UN. Ah! Masa sih? Even nasional begini yang menang tender adalah CV ecek-ecek? Tidak professional sama sekali. Seperti kinerja yang tak terencana, tak punya peta kerja, tak punya deadline dan semacamnya. Atau, biaya penggandaan naskah yang dipangkas? ah! Semakin jauh saja, benar-benar benang kusut yang tak mampu saya mengurainya, menyerah! Baiklah, kami adalah penonton. Kami akan menonton episode berikutnya, bagaimana kelanjutan pertunjukan episode berikutnya? Mau tidak mau, rela tidak rela, cekidot…!!