Senin, 21 November 2011

Cerpen

EMAK
Rahimah Ib

Langit begitu pekat diiringi gerimis halus ketika aku keluar rumah. Disampingku, Ibu merapatkan jaketnya sambil mendekapkan tangannya di dada, memandang langit yang gelap.
“ hujan lagi…”, desisnya halus terdengar kecewa.
“ enggak usah jualan ya Mak?... dingin kali”, kujawab desisan Emak, Ibuku.
“ enggak apa-apa, kau piker Emak tak biasa dengan udara dingin?”, Ibu menjawab sambil menatapku tajam dalam remang, aku diam.
Kami menembus gerimis yang mulai merapat, kudekap Emak yang ringkih sepenuh jiwaku, manusia yang paling kucintai dalam hidupku.
Usiaku masih tujuh tahun ketika Ayah harus kembali menghadapNya. Ibuku adalah wanita Melayu yang biasa tinggal di rumah. Sebagai wanita yang tidak punya pendidikan dan keterampilan, Ibu limbung menghadapi ekonomi keluarga walaupun Ibu hanya perlu menghidupi aku, anak tunggalnya. Aku masih ingat ketika Ibu harus berjuang berjualan rokok di lampu merah, menjajakan Koran dan akhirnya Ibu berjualan sayur di Pasar, setiap pagi bercumbu dengan dingin dan embun. Setiap pagi pula aku menemani Ibu keluar rumah jam tiga pagi, memilih sayuran yang akan dijual pada pembawa sayur dari gunung dan duduk jualan pada lapak terbuka hingga jam tujuh. Untuk selanjutnya aku punya aktifitas lain, kuliah, diskusi dan nongkrong di perpustakaan untuk mencari literature tulisan, istirahat pada pukul sembilan malam. Jika banyak tulisan yang harus kugarap, aku hanya istirahat tiga jam. Mahasiswa kaya dan malas adalah ladang rezeki bagiku, karena mereka akan mencari aku untuk membuatkan skripsi atau sekedar makalah dan proposal.
Pernah kukatakan pada Emak agar dia tidak usah lagi berjualan, tapi Emak merepet-repet panjang sampai terbatuk-batuk, kasihan. Emak mengatakan dia akan berhenti jualan jika aku sudah sarjana, kekantor pakai dasi, punya keluarga dan ia akan menjaga anakku, cucunya. Setelah itu aku tak berani lagi menyinggung masalah keinginanku agar dia tak lagi berjualan, aku sadar sepenuhnya bahwa tiap butir nasi yang kumakan adalah keringat Emak, bahkan darah yang mengalir dalam tubuhku adalah keringat Emak. Pernah kutanyakan pada Emak mengapa ia tak mau menikah lagi, dia cuma berkata
“ tak ada yang Emak harapkan lagi dalam hidup ini selain kau, Zul. Kau belahan jiwa emak, harapan masa depan Emak, Cuma kau yang berharga dalam hidup Emak nak… jangan kau tanyakan itu lagi ya?...”, Emak mengelus kepalaku dengan mata yang berkaca-kaca, kupeluk Emak dengan mata panas menahan tangis. Ah…Emak, ma’afkan aku jika menyinggung perasaanmu.
Kata-kata Emak yang mengatakan aku adalah harapannya dapat kurasakan sampai sekarang. Setiap pagi di pasar Emak memesan susu dan nasi gurih komplit di warung untuk menu sarapanku, padahal Emak tak pernah minum susu. Sore hari dia memasakkan aku makanan apa saja yang dianggapnya aku suka, Emak memberiku makanan cukup gizi dan aku tumbuh menjadi laki-laki yang sehat dan proporsional. Dari aku SD, Emak sering memberiku buku cerita, walaupun itu cuma buku bekas yang sayang jika dijadikan kertas pembungkus. Aku pernah protes mengapa sampai sekarang aku harus minum susu, Emak berkata
“ biar kau sehat Zul, kau kurang tidur, emak tak mau kau sakit nak…”
“ tapi Emak enggak pernah minum susu, Emak sehat….”, jawabku sekenanya. Emak tertawa, menepuk bahuku dengan sayang
“ Emak tak perlu perpikir untuk belajar lagi nak…, Emak tak mau jadi sarjana, Emak tak kuliah. Kau tau? Kurang tidur itu membuat orang menjadi bodoh, kalau kau tak cukup gizi dan kurang tidur jadi tambah bodohlah kau, ngerti?..”, Emak bangkit sambil terkekeh-kekeh menunjukkan giginya yang masih rapi, sesungguhnya Emak adalah wanita yang sangat cantik. Aku masih terpaku diam, benarkah kata Emak?. Terkadang Emak yang tak sekolah jauh lebih pintar daripada aku, kurang tidur dan kurang gizi membuat orang menjadi bodoh adalah ilmu baru bagiku. Betapa hebatnya Emak mempersiapkan aku, menjadi pemuda sehat dan meraih beasiswa sepanjang pendidikannya. Semakin aku kagum pada perempuan paruh baya yang bak pendekar ini, Emakku.
Pagi ini, susu itu muncul lagi dihadapanku, aku mau muntah. Emak menyodorkannya penuh sayang, ah.. aku tak ingin mengecewakannya. Kuambil gelas yang disodorkan Emak
“ aku minum di tempat Minun ya Mak?..”, Minun adalah penjaga warung langganan emak beli sarapan pagi, emak mengangguk dan aku segera melesat seperti peluru lepas. Di warung, Minun sudah tersenyum menunjukkan gigi taringnya yang agak mencuat.
“ tambah kopi kan?”, dia sudah tau apa yang kumau, aku cuma mengangguk. Setelah itu, dia habis menggodaku dan mengumpamakan bahwa aku adalah pemuda yang masih disusui Emakku, kurang ajar betul.
“ kok lama Zul?..”, tegur Emak ketika aku kembali dari curi-curi minum susu dicampur kopi di warung Minun.
“ iya Mak.. diajak ngobrol sama Minun…”, aku mengambil tempat disisi Emak.
“ pasti susunya dicampur kopi, iyakan?..”, Emak menudingku dengan wajah menggoda, aku terhenyak sadar bahwa seminggu ini aku sudah membohonginya.
“ dasar anak muda…”, Emak mendesis, tapi tak marah.
“ aku muak Mak dua puluh tahun minum susu terus… enggak apa-apa ya? “, aku memelas, Emak mengangguk tersenyum ikhlas. Duhai.. kupeluk Emak, kucium Emak, Emak tercintaku.
“ Wak… kawinkan saja si Zul itu!! Sudah tua masih lagi melendot sama Emaknya..!!”. Siahaan yang menjual sayur disebelah Emak berteriak membuat orang-orang dipasar melihat kami. Mendengar itu si Johar yang menjual ayam potong menimpali
“ iya Wak.. kasi bini sama dia Wak…”, pasar tambah riuh
“ tenang kelen… udah ada calonnya, biar dia sarjana dulu, bekerja, baru dikasinya aku menantu..”, jawaban Emak membuatku terhenyak, kutatap Emak penuh tanya.
“ itu… si Zahwa..”, Emak berbisik ditelingaku, aku melotot kaget.
Sahabat, Zahwa adalah wanita lain selain Emak. Wanita yang juga sangat menghormati Emak, wanita yang kusayangi dalam sisi yang berbeda.
Sahabat, nanti aku akan menceritakan padamu tentang perempuan itu, Zahwa namanya.


Medan, Maret 2011
(terbit di Waspada Mei 2011)

Selasa, 15 November 2011

CERPEN

PEREMPUAN KEDUA
By. Rahimah Ib

Trotoar kampus masih basah ketika aku melangkahkan kaki menembus gerimis tipis. Jalanan hitam penuh pasrah menerima tumpahan bunga kuning akasia yang gugur, pemandangan jalanan yang indah, paduan warna yang harmonis. Kutarik nafas panjang, aroma khas bunga akasia menyergab hidung, aku suka dan menikmatinya. Hujan, entah mengapa aku suka menikmatinya walau terkadang tidak menguntungkan. Udara sejuk, air yang jatuh dari langit, daun yang basah adalah lukisan ajaib bagiku.
“ teeeetttt...”, hups...! aku terhenyak dari lamunan, kuperhatikan mobil yang berhenti tepat disisi kananku.
“ bareng yok Zul!, hujan nih....”, sebingkai wajah muncul dari kaca jendela mobil, wajah yang cantik dan sangat kukenal.
“ serius nih...”, jawabku basa basi
“ iyalah... ayok!..”, wajah cantik itu tersenyum lucu, dia pasti tahu jika aku berbasa-basi, aku tak lagi berkomentar dan masuk kedalam mobil, agaknya gerimis tambah merapat.
“ langsung pulang?”, perempuan cantik yang duduk di belakang stir itu memulai percakapan.
“ iya.. aku turun di perempatan aja”
“ enggak usah... langsung kuantar aja, kita kan satu arah “, tawarannya begitu serius
“ enggak usah, aku jadi enggak enak nih..”, aku juga serius, tanpa basa basi. Kikuk juga rasanya berlama-lama dekat perempuan ini, mobilnya sejuk dan wangi. Pipinya putih bak pualam, matanya cerah benderang, fisiknya sudah menjelaskan kalau dia seorang yang hidup dalam kesenangan tanpa beban. Sementara aku?, aku adalah laki-laki yang bergelimang perjuangan. Kasih sayang, pendidikan dan motivasi Ibu lah yang membuat aku menjadi kuat, tanpa itu? Jiwaku telah lama mati.
Perempuan cantik itu tak menjawab, pandangannya serius memandang jalan yang dipadati kendaraan lain. Hujan membuat pengendara sepeda motor panik dan ingin cepat sampai, ini kondisi yang berbahaya untuk pengendara mobil jika tidak hati-hati. Aku diam, mendekap tangan di dada, memandang kedepan dengan hujan yang semakin merapat. Kami tenggelam dalam diam.
Mobil berbelok memasuki gang menuju rumahku, sebagai lelaki aku merasa tak enak hati diantar seorang perempuan. Tapi aku juga tak mampu menolak niat baik perempuan ini, tulus sekali, ketulusan yang terpancar dari dalam jiwa yang bisa kubaca dari sorot matanya.
“ singgah yok….”, tawaranku ketika mobil berhenti di depan rumah. Perempuan itu mengangguk tersenyum, alamaaak… aku Cuma basa basi, tapi dia tanggapi, wah..
Emak menyongsong didepan pintu rumah, tersenyum seperti anak yang dibawakan oleh-oleh permen, aku Cuma cengar cengir kuda melihat mata emak yang mendadak genit.
“ Wa… emak ada buat ubi rebus, mau?...”, aha.. Emakku terlalu pede fren…
“ wah…Awa suka tuh mak.., mama juga sekali-sekali masih buat ubi rebus, dikasi gula merah sama kelapa”.
“ suka ubi rebus wa?...”, kupastikan jawaban perempuan itu, Zahwa.
“ ya iyalah… itu makanan sehat Zul, di keluarga kami kalo bikin kudapan tuh ya.. ubi goreng, pisang goreng, bakwan, buat cake juga jarang..”, aku tertegun antara percaya dan tidak, apakah Zahwa hanya ingin menjaga perasaanku sebagai seorang lelaki miskin?.
Aku tak ingin membahasnya, aku sibuk dengan kegiatanku yang baru, memperhatikan Zahwa yang makan ubi rebus dengan asap yang masih mengepul ditemani Emak sambil tertawa-tawa. Sesekali kulongok mobil yang diparkir Zahwa didepan rumah, takut ada kendaraan lain yang tak bisa lewat karena gang rumahku yang sangat sempit. Zahwa pamit setelah duapuluh menit duduk menikmati ubi rebus sambil bercerita dengan Emak. Heran.. aku tak dilibatkan mereka dalam pembicaraan, hanya Emak sesekali mengerling kearahku, dasar perempuan…
Sahabat… sulit kujelaskan dengan kata-kata tentang perempuan itu, Zahwa namanya. Dia seorang perempuan yang hidup makmur, gemah ripah lohjinawi. Aku yakin sekali jika perempuan itu tak pernah dihinggapi penderitaan. Ayahnya seorang Profesor dan ibunya seorang dokter spesialis ortopedi. Aku juga heran mengapa bisa dekat dengan perempuan yang beda fakultas ini, dia di kedokteran sementara aku di hukum. Yang menyatukan kami hanya Organisasi kampus di kelompok Jurnalis Kampus, itu saja. Aneh, selalu ada kesempatan bertemu dan dia selalu punya tawaran baik mengantarku pulang, bicara dengan Emak dengan sangat akrab seakan seorang anak yang bicara dan curhat dengan Ibunya. Dan.. Emak yang terlalu pede seakan-akan Zahwa adalah calon menantunya. Walah..aku tak pernah mimpi bisa memiliki perempuan ini, tak pernah!!. Siapa yang terlalu bodoh memilih aku sebagai pacar atau bahkan pasangan hidup?. Aku Zulkarnaen.. pemuda yang dari kecil sudah yatim, berjuang hidup bersama Emak tercintanya, yang miskin tak punya harta, kendaraan jelek pun tak punya. Semangat hidup, lampu dalam gelap itu hanyalah Emak, dan..sang pencipta tentunya.
“ heh.. melamun..”, Emak muncul disampingku,menepuk lembut bahuku.
“ mikirin si Zahwa ya??”, Emak menatapku menggoda.
“ Mak.. si Zahwa itu anak orang kaya, anak dokter. Kita orang miskin mak, mana mau dia sama Zul, dia Cuma kasian lihat Zul kemana-mana naik angkot, makanya dia mau antar, itu aja. Udah ah.. Emak terlalu pede, nanti aku cari aja perempuan lain untuk jadi menantu Emak, yang selevel…”.Aku bangkit, Emak menarik tanganku.
“ duduk Zul..”, Emak menatapku tajam, aku tak berani membalasnya, aku kembali duduk.
“ Emak tidak pernah mimpi nak…, status bukanlah segalanya. Emak suka Zahwa bukan karena dia seperti yang kau bilang anak orang kaya, dia perempuan yang membuat Emak senang serasa menemukan anak perempuan. Dia bukan perempuan biasa Zul. Besok kalau kau jumpa dia, kau perhatikan betul cahaya matanya, tak bisa dibohongi kalau dia suka sama kau nak, cinta dia sama kau..”. Aku tertegun, benarkah Emak terlalu pede?.
“ Oke , kalau aku pacaran sama dia, pake apa aku pergi ngapel?, naik sepeda?.. ah Mak.. udahlah.. jauh kali cita-cita Emak, nanti Emak sakit hati”. Aha… bukannya aku yang sakit hati?, aku bangkit lagi ingin melakukan sesuatu yang tadi tertunda.
“ la.. mau kemana? Emak belum selesai cakap Zul…”
“ mau mandi Emakku sayang… trus sholat Emakku tercinta.. habis itu aku mau menghabiskan ubi rebus Emak yang enak, oke?”, kutepuk-tepuk bahu Emak yang tersenyum-senyum lucu, diapun mengangguk takzim.
Aku mandi, bayangan Zahwa menari-nari didalam ember. Di kamar, bayangan Zahwa menari-nari di cermin. Aku sholat bayangan Zahwa menari-nari di atas sajadah, walah….kenapa jadi gini? Emaaaaaakkkkkkk………..Zahwa menari dimana-mana, seperti udara dan angin, menguap keatas, menggumpal menjadi awan dan turun menjadi hujan. Ku lahap ubi rebus cepat-cepat, Emak perempuan pertama dalam hidupku melihatku dengan pandangan aneh. Zahwa perempuan kedua dalam hatiku tersenyum dalam bayangan, menari-nari dalam pikiran.
Fren… kisahku masih panjang tentang perempuan kedua ini, nanti aku akan menceritakannya untukmu, ketika hujan sudah reda tentunya. (Telah terbit di Harian Waspada Minggu 16 Okt 2011)

Minggu, 13 November 2011

LANGITKU ( Sebuah Cerpen )

LANGITKU
Rahimah Ib



Langit masih merah ketika aku menepi di pinggir sawah, turun dari Bus yang telah membawaku dari perjalanan panjang yang memuakkan. Kuhela napas panjang, semua masih sama ketika ku tinggalkan kampungku,sawah, langit, surau disudut sawah yang masih remang-remang karena listrik yang kurang arus, dan udara yang dingin jika malam menjelang, panas ketika siang meradang. Kutarik napas sepenuh dada, kunikmati sebentar dan kuhempaskan seperti membuang luka yang tengah kubawa. Kulangkahkan kaki, kubayangkan Nyak… orangtua itu pasti akan terperanjat melihatku, duhai… indahnya melihat mata ibuku yang berbinar bahagia, menyambut aneuk agam semata wayangnya pulang dari perantauan nun jauh disana.
Tak sabar aku untuk segera melihat ibuku, perempuan paling cantik yang pernah kukenal sebelum aku mengenal Andini. Langkah kaki yang panjang mengantarku ke depan Nyak, Ibuku..
“ Nyak… “, kusapa perempuan yang masih dalam balutan mukena duduk bersimpuh memegang tasbih. Dia berpaling kearahku dan ya Allah… aku melihat wanita yang masih cantik itu berbinar… terbelalak.. dan sangat bahagia. Tangannya terbentang menyambutku, memelukku dengan kuat dan hangat, menyiumku dari segala arah, ah Nyak… aku sudah dewasa. Desisku dalam hati sambil menikmati momen itu.
“ Ka lheuh semayang Zar?..”, tegur Nyak yang mengingatkanku bahwa Magrib akan segera beranjak dari langit. Aku menggeleng mengisaratkan pada Nyak bahwa aku belum melaksanakan kewajibanku.
“ Jak tueng ie semayang ajuleh…bek ka tinggai semayang dak kajak ue nangroe gob..”, itulah nasehat Nyak yang tak pernah kulupa kemanapun aku pergi, jangan meninggalkan sholat kemanapun aku pergi . Duhai Ibu… pancaran cantikmu benar-benar dari dalam, indahnya..
Aku, adalah bungsu dari empat orang anak Ibu dan Ayahku. Tiga kakakku adalah perempuan, sudah berkeluarga, punya anak dan tinggal tersebar dikota negri ini. Ayah, yang biasa kami panggil Abu telah enam tahun wafat sementara Ibu yang biasa kami panggil Nyak tinggal bersama Rukiah, seorang wanita berusia empat puluh tahun yang kehilangan seluruh anggota keluarganya saat tsunami meluluh lantakkan semua yang dimilikinya. Ketika aku meninggalkan kampungku, Nyak adalah wanita paling hebat dan kuat melepasku, walau aku tahu gemuruh pedih berkecamuk didadanya. Dulu, aku selalu diwanti-wanti Abu untuk meneruskan usaha di kampong, mencari istri shalehah, mengurus Nyak sampai ajal menjemputnya. Tapi.. apa yang bisa dilakukan usaha yang hampir tidak lagi dibutuhkan orang?, kilang padi bukanlah menjadi kebutuhan petani di kampong kami lagi. Sekarang, pengusaha lebih inofatif, ada penggiling yang bisa mampir dipekarangan rumah penduduk, menggiling padi sesuai kebutuhan, menjadi tontonan yang mengasyikkan plus tak perlu repot-repot memanggul goni ke kilang, nikmat bukan?.
Kini, kilang padi di samping rumah kami yang besar hanyalah seonggok gudang, menyimpan aneka besi berkarat. Aku ingin bangkit, tapi Nyak dan ketiga kakakku lebih menyetujui jika aku pergi keluar kampong, menuntut ilmu, yang kata mereka lebih berharga daripada harta, ilmu yang dapat mengangkat harkat dan martabat, ilmu yang membuat kita punya derajat dimata Tuhan. Betapa bersyukurnya aku, hidup dalam keluarga yang menjunjung pendidikan, dua kakakku sudah menjadi dokter dan yang satu guru. Mereka adalah contoh luar biasa untukku, punya suami saleh dan berkecukupan, punya anak sehat dan menggemaskan, ah…. Betapa rindunya hati ini pada ponakan.
“ Zar… , kapan sampe kampong?”, terkejut aku mendengar sapaan seseorang ditelingaku, sangat dekat sehingga aku dapat merasakan desis nafasnya, aku menoleh dan sangat terkejut. Sahabat kecilku Badrudin cengar-cengir , menunjukkan giginya yang khas dan bahasa Indonesianya yang totok Aceh. Ku tonjok bahunya, balas tersenyum.
“ Kemarin…”, jawabku ringan sambil menggeser pantat, memberinya tempat untuk duduk.
“ libur kuliah??..”
“ enggak….”
“ tak ada libur, napa pulang…”, badrudin menatapku penuh selidik, mimiknya sangat lucu tapi aku tak ingin tertawa. Haruskah aku menceritakan semua pada sahabatku yang sudah berkarat di kampong ini?, tak pernah keluar dan tak punya pendidikan?. Bayangan Andini menari-nari dipelupuk mataku, dia mencibirku… pedih sekali.
“ aku sakit hati Din…”, kata-kata itu keluar dari mulutku, meluncur begitu saja.
“ sama siapa?... dosenmu? “
“ perempuan Din… namanya Andini “, kujawab dengan pedih, suaraku bergetar. Badrudin terbahak-bahak sampai air matanya keluar, dia tertungging-tungging menertawakan aku, melihat mukanya aku mau muntah.
“ apanya yang lucu dodol!! “, intonasi suaraku naik beberapa oktaf, panggilan olok-olok Badrudin adalah dodol, dia tak pernah marah, aku tak pernah melihatnya marah. Benar, tawanya tambah keras.. aku tambah meradang, aku benar-benar muntah.
“ bodoh kali kau, gara-gara inong kau pulang, libur kemaren kau tak pulang. Zar.. Zar, ngapain kau jauh-jauh kuliah kalau masih bodoh ha?? Piker pakai otak…”, Badrudin menuding-nuding aku, matanya melotot, giginya tambah tampak keluar seakan-akan dialah orang yang paling pintar.
“ ma’af Zar….maksudku… kenapa sakit hati?”, syukurlah.badrudin menyadari itu.
“ dia putuskan aku, dia gak mau jadi pacar aku lagi..”, aku tertunduk lesu, tubuh sahabatku terasa berguncang, aku sadar betul dia sedang menahan tawa, dasar lajang karat tak pernah kenal perempuan, desisku.
“ kau cinta sama dia?..”, suara sahabatku terasa sangat halus,serius dan penuh selidik.
“ iya… cinta mati ‘, tak ada yang perlu kusembuyikan.
“ cinta karena apanya?...”, berondong Badrudin, sahabatku itu. Aku terdiam… bingung untuk menjawab, ya.. apanya?. Melihatku diam, Badrudin bangkit dan merasa menang.
“ pikirkan dulu kau cinta dia karena apa, aku mau pulang sholat maghrib, besok pagi kita jumpa di la’ot, kau boleh cerita apa saja oke…!! “, Badrudin menepuk-nepuk bahuku yang dianggapnya pesakitan, la’ot yang dimaksudnya adalah laut. Badrudin suka mencampur bahasa Indonesia dan bahasa daerah, tapi siapa peduli. Langit memerah, hatiku merah, mataku merah, darahku tambah merah. Aku bangkit meninggalkan sawah yang dihiasi padi berwarna keemasan kemilau ditimpa matahari menjelang gelap. Keindahan yang tak pernah kusadari sebelum aku kuliah di Kota Medan.


Perempuan itu Andini , putih, tinggi semampai, rambut panjang dan punya senyum menawan. Andini adalah tipikal perempuan kota yang sangat menjaga penampilan, rajin perawatan ke salon dan sangat mengikuti fashion. Aku paham betul akan kebiasaannya selalu menyikat gigi setelah makan karena takut senyumnya cacat karena ada sesuatu yang menempel di gigi bagusnya. Singkat kata, Andini layaknya seorang model. Sebenarnya, aku sering jengah pergi bersama Andini karena penampilannya yang fashionable itu. Jika aku protes, dia Cuma tertawa-tawa memperlihatkan giginya yang cantik, mencubit pipiku dan menggandeng tanganku pergi, ah.. Andini. Aku pernah bertanya, mengapa dia memilih aku menjadi pacarnya dari sekian banyak lelaki?. Dia menjawab ringan karena aku adalah lelaki Aceh yang ganteng, gagah, punya kulit coklat laksana tembaga, hidung tinggi menjulang dan mata tajam bagai elang dan katanya lagi.. lelaki Aceh tangguh dan pantang menyerah, hehe.. cuping hidungku kembang kempis senang.
Belakangan, Andini sering bertanya mengapa aku tidak memilih kuliah di kedokteran saja seperti dua kakakku. Andini heran mengapa aku justru memilih kuliah di Pendidikan dan bercita-cita menjadi guru. Hampir setiap hari aku diteror Andini, setiap hari sudah kujelaskan bahwa aku suka menjadi guru, setiap hari Andini tak pernah mengerti. Andini semakin menjauh, senyumnya tak lagi indah, tawanya tak lagi renyah, matanya tak lagi teduh . Akhirnya Andini menjumpaiku dan hanya berkata
“ Zar… kita putus ya!!!,” aku terdiam bodoh diantara teman-teman yang lagi makan siang di kantin kampus. Andini menyalamiku sambil tersenyum datar, mengangkat tangan bye…melenggok pergi. Utoyo temanku yang lagi makan bangkit dengan marah sambil teriak
“ Kuntilanaaaakkkkkk….”, dibantingnya sedotan yang ada di gelasnya, syukur bukan gelas. Utoyo merepet-repet seperti ibu merepet pada anaknya yang nakal, tulangku terasa copot dari sendinya. Tuhan… aku baru ini mengenal perempuan, itu adalah Andini. Mengapa jadi gini?... mataku terasa panas, mengapa aku jadi cengeng dan berada pada posisi yang kalah? Aku kan lelaki, seharusnya aku yang menang, bukan dia!!!
“ tenang fren…nanti kita buat pembalasan sama kuntilanak itu…”, betapa marahnya Utoyo.
“ enggak usah.. biar aja “, kujawab tenang mencoba untuk kuat
“ dia enggak cocok sama kau Zar… kesing aja yang bagus, isinya rongsokan semua!!”, timpal Manalu dengan kasar.
“ bersyukur Zar.. kau diputusin sama dia, kalau diterusin bangkrut kau belanjain dia. Mati bediri Mamakmu di kampong “, balas Rendi. Aku merinding.. kalau teman-teman benar, betapa bodohnya aku. Seburuk itukah Andini dimata mereka? Atau butakah aku selama ini?. Itu adalah hari terburukku setelah kematian Abu, ayahku. Malam setelah itu aku tak bisa tidur, paginya aku langsung pulang kampong, hape ku non aktifkan. Aku tak dapat membayangkan betapa cemasnya sahabat-sahabat baikku. Biarlah… aku perlu waktu untuk menenangkan diri. Betul kata orang, cinta dapat membuat orang buta dan gila, aku adalah satu korbannya, peuhhhhhh.







“ Zar… eunteuk ka peungeon Nyak jak khauri beh? “, Nyak mengelus kepalaku dari belakang ketika aku masih duduk sarapan. Nyak minta aku untuk menemaninya menghadiri hajatan, aku mengangguk.
“ pat Nyak? “, aku bertanya dimana. Jawaban Nyak membuat aku terpaku..
“ I rumoh Zahra, khauri kak jieh. Ka meureumpok ngen Zahra?”, pertanyaan Nyak membuatku terkesima, mengapa aku mengabaikan cerita Badrudin tentang Zahra ?. Pagi di pinggir laut seperti yang kami rencanakan, Badrudin berubah menjadi motivator ulung, memompa semangatku dengan dahsyat!, malah dia mengumpakan beberapa perempuan diantaranya Zahra.. hei.. bagaimana rupanya sekarang?, aku tersenyum membayangkan gadis kecil yang bermain di sawah. Zahra yang pernah kugendong pulang karena kakinya berdarah terkena beling ketika kami main di ladang bambu. Ingin segera bertemu Zahra, betapa waktu telah memisahkan kami.
“ bek tuwoe, sigalom leuho beh?”, Nyak mengingatkanku kami berangkat sebelum Zuhur. Entah mengapa, sejenak aku melupakan Andini. Kini yang ada dikepalaku adalah Zahra, weuhhh.. seperti apa dia sekarang?, mengapa Badrudin mengumpakan perempuan yang baik itu seperti Zahra teman kami dulu main di sawah.
Di kampong kami, pesta perkawinan tidak diselenggarakan seharian seperti di kota . Tamu melimpah ruah pada jam makan siang, setelah itu tenda langsung dibuka dan semua peralatan pesta di bersihkan. Kalau terlambat? Makan nasi putih pakai kuah doang. Kejadian hari ini buktinya, aku antri mengambil makan siang diantara bapak-bapak yang lapar. Perutku juga sudah melilit-lilit , Nyak tadi sengaja tidak masak, tabiat ibu rumah tangga yang baik. Situasi tak membuatku lupa ingin bertemu Zahra, kepalaku berputar kekiri kanan, kakiku menjinjit melongok kemana- mana karena bagian laki-laki di pisah dengan perempuan. Waduhhh banyaknya orang… bagaimana bisa lihat si Zahra?.
“ He…. Gadoh ka eu aneuk inong gob, jak aju u keu bagah..!!”, bapak yang kelaparan dibelakangku membentak, aku tersadar dan maju mengambil nasi. Sang Bapak tak sedap wajahnya memandang aku yang katanya asyik celingak-celinguk melihat anak gadis orang. Memang orang yang lapar cepat marah, sama seperti yang sering kulihat di TV dan kubaca di Koran. Aneka kasus muncul karena perut yang lapar. Maling karena lapar perut, koruptor karena lapar harta. Setelah lepas dari antrian dan memegang piring yang penuh seperti makan kuli, aku mencari tempat duduk. Dari jauh Badrudin melambai-lambaikan tangannya mengajakku duduk dibangku kosong disebelahnya, aha… tau aja nih anak, kata hatiku.
“ udah jumpa Zahra?...”, tanyanya dengan mulut penuh. Kuperhatikan piring yang dipegangnya, lebih penuh dari piringku.
“ belum.. rame kali, aku enggak bisa lihat, mungkin dia di dalam..”, jawabku sambil mulai menyuap.
“ tadi dia ada disitu… pakai baju biru..”, Badrudin tak peduli dengan mulutnya yang penuh megap sambil bicara, syukur giginya tertancap kuat, kalau tidak.. mungkin gigi itu sudah melompat.
“ udah… makan dulu, nanti kita cari dia. Aku juga pingin tau gimana dia sekarang ya??”, kataku penasaran, sahabatku itu senyum-senyum sambil mengangguk jenaka.
Aku dan Badrudin makan dengan cepat, disamping kami mau menjumpai Zahra, udara di bawah tenda juga sangat panas, bajuku basah oleh keringat, muka Badrudin yang hitam semakin berkilat. Badrudin menarik tanganku terburu-buru.
“ itu dia Zar…. bagah!”, bagah maksudnya cepat, benarkan? Dia suka menggunakan bahasa campur-campur. Mataku belum bisa membaca yang mana sahabat kecilku dulu, Zahra. Kami berhenti didepan sosok perempuan berbaju biru yang tampak terkejut melihatku, aku terpaku memijak bumi, Badrudin cengar-cengir kuda. Gadis itu tersenyum mengulurkan tangannya, aku masih terpaku.
“ apa kabar?...”, suaranya terdengar halus dan dewasa, berbeda dengan Zahra yang dulu, berbeda!
“ baik, alhamdulillah…”, kujabat tangannya, tangan kecil yang dulu selalu kupegang. Entah mengapa, aku tak banyak bicara. Badrudin yang mencairkan suasana, dia bercerita dengan kocak tentang aku atau sebaliknya tentang Zahra, tak sedikitpun temanku yang hebat ini menyinggung kepulanganku yang berhubungan dengan sakit hati pada perempuan yang bernama Andini. Aku masih tak habis pikir tentang perempuan muda didepanku yang kini berubah luar biasa. Tumbuh menjadi wanita yang cantik, berkulit putih, pakaian yang sopan dan rapat, senyum yang tulus, bahasa yang sopan dan halus, dan.. matanya masih seperti dulu, teduh bagai langit pagi berawan skeluptus. Badrudin benar, inilah perempuan yang sesungguhnya. Bisa menjaga diri dan martabatnya, bisa menjaga anak dan keluarganya. Duhai… itu kata Badrudin si motivator mendadak sahabatku.
“ katanya kamu kuliah di pendidikan ya Zar?”, suara Zahra menyentakku dari lamunan.
“ heeh….”
“ kok suka jadi guru? Enggak pingin seperti kak Mena?”, kak Mena adalah kakakku seorang Dokter di Banda Aceh, sama saja seperti pertanyaan Andini, basi!!. Bagaimana harus kujelaskan pada gadis cantik ini tentang hatiku? Tentang pandangan dan penglihatanku pada kak Syakri, kakakku yang seorang guru?. Aku sangat mengidolakan kakakku itu, seorang guru yang sangat perhatian pada muridnya. Menganggap murid adalah anaknya, dan murid yang juga sebaliknya. Kakakku yang halus bertutur kata, jago memotivasi, tak pernah mendikte, dan cerdas!. Kakakku yang sangat bersahaja!!.
“ ma’af ya Zar?, mungkin salah kata ya!”, Zahra seperti dapat membaca pikiranku, dulu juga selalu begitu.
“ maksud Ra, kan orang banyak enggak suka jadi guru. Tapi kalo Ra suka jadi guru, sekarang aja Ra ngajar sambil kuliah”, Ra… itu sebutan Zahra untuk dirinya sendiri. Hatiku bertteriak senang dan lega, darah mulai mengalir dalam tubuhku yang selama ini hampir beku.
“ ngajar dimana Ra?...”, suaraku mulai berirama
“ di TK dekat kos, anaknya lucu-lucu….”, mata Zahra berbinar. Dia mulai menceritakan tentang anak didiknya dengan tingkah masing-masing. Bukan main senangnya aku, seakan mendapat sebelah sepatuku yang telah lama hilang.
Aku tak sadar, Nyak telah ada disebelah kami, tersenyum. Zahra bangkit menyalaminya dengan hormat, Nyak memegang kepalanya persis seperti memegang kepalaku yang selalu dilakukannya. Nyak memberi isyarat mengajak pulang, aku bangkit.
“ Din, Ra… aku duluan ya?”, Zahra mengangguk, Badrudin main mata, paleeehhh.
Duhai… malamnya aku tak bisa tidur, bukan lagi karena bayangan Andini, tapi bayangan Zahra!. Aku sibuk menghabiskan malam dengan membanding-bandingkan Zahra kecil dengan Zahra yang kujumpai siang tadi. Zahra yang dulu hitam, rambut berminyak, cengeng dan ingusan kini berubah menjadi wanita cantik ber aura. Andini bukanlah tandingan Zahra, mereka adalah dua perempuan dari dunia yang berbeda. Dan aku… lebih menyukai dunia Zahra, dunia yang selama ini dekat dengan duniaku, lingkunganku, keluargaku dan langitku.
Paginya, kujumpai Badrudin dipinggir pantai. Menghirup kopi dan makan pulut panggang adalah kegemarannya sejak dulu. Kuceritakan apa yang kurasakan, pendapatku tentang perempuan, dan apa yang kuinginkan.
“ duhai Nazar sahabatku, aku tau akan dirimu. Andini bukanlah perempuan yang kau butuhkan dalam hidupmu karena dia bukan langitmu. Sekarang kau telah menemukan langitmu, pulanglah ke Medan, Zahra menjadi urusanku…”, aha… si dodol berubah menjadi pujangga, matanya jauh memandang laut seakan dia tahu segala isinya.
“ serius?... aku masih mau jumpa Zahra sebelum pulang ke Medan, mau minta foto…”, aku berkata sekenanya, Badrudin menarik rambutku.
“ tak patah hati lagi sama si gadis kota itu?..”,
“ tak lah…kan ada Zahra..”, ku jawab sambil mengedipkan mata
“ agam palehhh….”, Badrudin memakiku, paleh itu kata lain untuk kurang ajar.
Ya… biarlah, besok.. aku akan berani menegakkan kepala didepan Andini. Aku bukan orang yang kalah, aku adalah pemenang. Tak ada cerita kekalahan dan pesakitan dalam hidup untuk cinta pada seorang perempuan. Aku, adalah lelaki. Aku adalah aneuk Agam Nyak ku, yang ingin menjadi guru dan nanti.. punya istri juga seorang guru.
(Terbit di Harian Waspada Minggu, Juli 2011)

Jumat, 11 November 2011

INDAHNYA HIDUP BERSAMA SI DIA

Hidup adalah sementara, semua tau itu kecuali Fir'aun tentunya. Lalu, bagaimana cara kita menghabiskan hidup dengan segala keterbatasan waktu?. Kita melewati berbagai proses kehidupan, bersemayam di rahim Ibu, lahir sebagai bayi kecil yang lucu, tumbuh dalam kasih sayang orangtua. Walau orangtua kita bukanlah orang yang memiliki harta berlimpah tapi segala kebutuhan kita dipenuhi, kita merasakan kebahagiaan, bermain dengan teman dan seakan hidup tanpa beban. Memasuki usia remaja, kita mulai memiliki masalah yang terkadang kita ciptakan sendiri, mendapat hukuman di Sekolah karena tidak mengerjakan tugas, dimarahi orangtua karena keteledoran atau kemalasan, hubungan dengan teman yang tak selalu nyaman atau kita juga sudah dihinggapi perasaan senang dengan lawan jenis dan itupun terkadang tak selalu sesuai dengan harapan.
Memasuki usia dewasa, kita mulai mencari pasangan hidup. Banyak cara yang dilakukan untuk mendapatkan pasangan yang dianggap serasi dan dapat menjadi teman dikala susah maupun senang. Ada yang minta dicarikan jodoh oleh orangtua, pacaran, sekedar kenal, dijodohkan, dll,dll. Semua punya tujuan yang satu, membangun keluarga bahagia. Punya suami/istri, anak-anak yang lucu dan menggemaskan. Suami tempat berlindung ,mengayomi dan mengasihi. Istri tempat berkasih sayang, memanjakan dan melayani. Indahnya hidup yang sudah kita rencanakan sedemikian rupa.
Ketika kita sudah melewati masa perkenalan yang cukup lama, kita mulai membangun bahtera rumah tangga dengan orang yang kita cintai dan selalu terkenang siang dan malam. Orang yang selalu membuat kita berdebar-debar, yang setiap ucapannya terasa indah ditelinga, yang pandangan matanya penuh cinta. Itulah orang yang kita jadikan suami/istri kita.
Tapi.... ketika bahtera itu sudah dimulai, mengapa tidak seindah waktu pacaran?. Sahabat... ketika awal berumah tangga, kita harus menyesuaikan visi dan misi dulu. Kita bersabar menyatukan dua pribadi yang berbeda, menerima dengan lapang kebiasaan suami istri kita yang tidak menyenangkan. Kebiasaan tidur mendengkur, mengeluarkan air liur atau dia tidur dengan mulut ternganga, bukankah itu tidak anda ketahui waktu berpacaran?. Kita memulai hidup berumahtangga juga dengan segala kekurangan, memulai dari nol. Rumah ngontrak, kendaraan tak punya, pakaian dan perhiasan juga hanya pemberian orangtua. Tapi..kita bisa merasakan kebahagiaan, selalu bersama, tersenyum, penuh canda, selalu merindu....Beriring dengan waktu, kita mulai dingin satu sama lain, kita menemukan sosok lain dalam diri pasangan kita. Dia mulai suka marah, suami memerintah kita sesuka hati, egois, terkadang ketus dan tak lagi mesra. Istri juga demikian... ketus, malas melayani, cuek tak lagi mesra dan bermanja. Mengapa?.. padahal semua sudah dibangun bersama, anak2 sudah ada, rumah, mobil, investasi, perhiasan dan jabatan. Mengapa?????. I have simple answer!!...karena anda sudah menjadi pribadi yang berbeda!!, berbeda karena uang anda, jabatan anda. Rumah bukan kantor dimana anda memerintah anggota dengan cara anda. Atau istri yang punya jabatan tetaplah rendah hati dihadapan suami anda. Tetaplah bermanja dan tunjukkan betapa anda membutuhkannya.
Di rumah, aku dan suami adalah sosok yang sama ketika kami bertemu dan menikah delapan belas tahun lalu. Aku dan suami tak pernah saling membanggakan diri walau kami sudah memiliki jabatan masing-masing. Aku menjaga agar selalu rendah hati didepan suami begitu juga sebaliknya. Dia selalu mengucapkan kata-kata " Mama hebat ya!...." karena membanggakan aku. Akupun sebaliknya selalu berkata " Ayah hebat ya!..." untuk membanggakannya ketika dia sudah mencapai sesuatu sekecil apapun. Kami adalah tim yang saling support, diskusi dalam menyelesaikan sesuatu dan mendidik anak-anak. Kami selalu menghiasi hari dengan tawa dan canda. Suami tak pernah memerintah dengan BOSSY di rumah, bahasanya " Tolong ma....". Karena dia adalah pelindungku, pendampingku, bukan BOS ku. Aku juga sama, di kantor aku dilayani, tapi di rumah aku adalah pelayannya, memanjakannya, melayaninya sepenuh jiwa dan cinta. Ketika lelah dan jenuh, kami akan keluar berdua. Kami lebih memilih naik sepeda motor daripada mobil. Aku akan memeluknya kuat, menikmati angin malam, bercerita, duduk makan dipinggir jalan, membahas anak muda yang dimabuk cinta, indahnya....Itu adalah cara simpel menjaga kemesraan kami.
Aku juga selalu bermanja pada suamiku, merengek dan merayu jika aku ingin sesuatu walau aku bisa saja membelinya sendiri, aku selalu tunjukkan betapa aku membutuhkannya, betapa dia adalah tubuh dimana tulang rusuk bersarang!. Aku tau apa yang disukai suami dari aku, dan aku pertahankan itu. Aku tau suami juga sangat membutuhkan aku, menyiapkan pakaian kerjanya, memasak makanan kesukaannya, menemaninya menyelesaikan tugas kantor di rumah sambil berbicara dan memberi beberapa solusi.
Sahabat... waktu kita tak panjang, nikmatilah hidup dengan pasangan dan anak-anak kita, berbahagialah!. Temukan sosok kita yang dulu ketika dada itu berdebar indah, sayangi dan hadapi pasangan dengan penuh cinta. Tetaplah rendah hati dengan pasangan karena sesungguhnya dia sangat bangga pada kita. Nikmati bersama hasil yang sudah kita capai, jangan biarkan orang lain masuk karena dia bukan siapa-siapa dan tak tau apa-apa. Ah...betapa aku merindu padanya, tak sabar sore menjelang, bersama menghabiskan sisa malam......

Jumat, 04 November 2011

BANYAKLAH BERSYUKUR

Seorang perempuan diciptakan Allah sedemikian rupa. Dia mampu menjalani banyak hal sekaligus yang tak mampu dilakoni para lelaki. Mengurus rumahtangga sekaligus bekerja. Seperti aku... terkadang aku dilanda kelelahan yang luar biasa, aku harus mampu memotivasi diri setiap hari, setiap detik ketika jam berdetak. Ketika aku lelah menghadapi tugas kantor dan siswa yang memasuki masa puber, aku bersyukur punya waktu dan kesempatan bekerja menghasilkan uang sekaligus membantu mencerdaskan anak bangsa. Ketika aku lelah mengurus rumah, aku bersyukur karena Allah memberiku tempat berteduh yang hangat dan layak. Ketika aku lelah memasak, aku bersyukur karena ada yang aku suguhkan untuk keluarga. Ketika aku lelah mencuci pakaian, aku bersyukur karena aku dan keluarga punya banyak koleksi pakaian. Ketika aku lelah menghadapi tingkah empat putra-putriku, aku bersyukur karena punya keturunan. Ketika aku lelah menghadapi jalanan macet, aku bersyukur punya kendaraan yang melindungi aku dan putra-putriku dari panas dan hujan. Ketika lelah melanda luar biasa, tariklah nafas dalam dalam, nikmati oksigen yang telah diberiNya untuk kita. Lantas... nikmat mana yang kita ingkari?. Bersyukurlah dalam setiap desah nafas kita.

Kamis, 03 November 2011

Ceritaku hari ini

Hari ini cuaca mendung......yakinlah.. jemuran nggak kering. tapi tetap semangat karena masih ada hari esok.. bravo!!!