Selasa, 17 Oktober 2017

KASTA PECUNDANG




           
            Jingga dibelahan barat mulai merona, bohlam raksasa perlahan memudar. Beberapa kendaraan sudah menghidupkan lampu, menyinari jalan yang perlahan mulai pekat. Yudha menatap jalanan penuh konsentrasi, Vera sesekali menarik nafas panjang.
            “Aku gugup, Yud…” desisnya perlahan, nyaris berbisik. Yudha tak mendengar, pandangannya lurus.
            “Yudha… aku gugup” ulang Vera, sedikit lebih keras.
            “Lho? Gugup kenapa?” Yudha tersenyum, melirik Vera yang menarik-narik ujung rambutnya yang baru selesai diblow satu jam tadi. Vera tak perlu menjawab, toh Yudha sebenarnya sudah tau dia gugup kenapa.
            “Enggak perlu gugup.. kamu sudah tampil sempurna kok,” Yudha mengerdipkan sebelah matanya, Vera berusaha menanggapinya dengan senyum.
Mobil masuk ke sebuah komplek perumahan mewah, dada Vera semakin kencang berdebar. Ada perasaan yang sulit dijelaskan, entah apa. Yudha berhenti di sebuah rumah bercat coklat pastel berpagar tanaman rindang, rumah minimalis yang tampak berkelas. Lampu-lampu taman tampak menyinari perdu-perdu palem dan anggrek. Sebuah mobil mewah parkir di carport.
            “Ayo! Turun.. nyantai ajalah.. its oke,” Yudha membuka pintu mobil dan menjulurkan tangannya, mengajak Vera turun dari mobil. Vera mengikuti Yudha menuju pintu rumah, pintu angkuh yang besar dan tampak sangat kuat. Seorang wanita setengah baya membuka pintu, sepertinya ia sudah menunggu. Wajah cantiknya bersinar, bibirnya yang merah muda alami membingkai senyum.
            “Assalamu’alaikum.. malam tante”
            “Wa’alaikumsalam… ayo mari masuk,” pintu dibuka lebar. Vera serasa masuk ke lobbi hotel, lampu-lampu Kristal menyinari ruangan yang sejuk dan wangi.
            “Kalian belum makan kan?”
            “Belum dong Ma, kan mama mau menjamu Vera makan malam,” jawab Yudha.
            “Yok.. kita makan sambil ngobrol. Mbak Jum udah masak special,” Wanita yang dipanggil mama oleh Yudha menggiring mereka masuk, menuju sebuah meja makan yang cukup besar, makanan yang cukup banyak jika mereka hanya makan bertiga. Meja makan itulah yang tidak bisa dilupakan Vera seumur hidup. Meja makan yang lebih mirip meja persidangan. Vera tidak merasakan kenyamanan. Pertanyaan demi pertanyaan terus memborbardir dirinya. Siapa orangtuanya, apa pendidikannya, dimana rumahnya, anak keberapa dan berapa adiknya. Akhirnya.. Vera langsung mendengar ucapan dari mulut mama Yudha “YUDHA.. KAMU DAN VERA TIDAK SATU KASTA”
Saat itulah rasanya langit runtuh, bumi menelan tubuhnya bulat-bulat. Tak ada pertolongan sama sekali dari Yudha! Tak ada! Vera adalah tokoh utama dalam sinetron ini, tokoh yang malang, pulang dengan hati hancur dan harga diri yang kupak-kapik. Kasta? Hari gini? Ah… persetan semua!! Malam yang malang. Perkenalan dengan ibu kekasih hati yang diharapkan manis dan indah gagal total karena katanya mereka beda kasta.
            “Kamu cantik, dan tante rasa kamu baik. Tapi tante kurang nyaman dengan status keluarga kalian. Bagaimana tante ngomong ke kolega? Tante nggak sanggup deh..”
Mata Vera berkunang-kunang dan panas. Yudha mengantar pulang dalam diam, tak ada pembelaan dan komentar. Vera sadar.. semua sudah selesai.

******
            Hampir lima tahun berlalu. Vera hijrah. Hijrah tempat dan hijrah mental. Melupakan semua kenangan bersama Yudha. Kenangan berjalan bersama, menghabiskan waktu. Kenangan belanja, makan di restoran dan perawatan ke salon. Kenangan cita-cita menghabiskan hidup bersama sampai tua. Kenangan tentang KASTA. Vera meninggalkan ayah, ibu dan tiga adiknya. Meninggalkan rumah sempit mereka, kamar yang hanya berukuran tiga kali tiga meter. Meninggalkan makan malam bersama keluarga tercinta, makan malam dengan sebutir telur didadar tipis dibagi lima. Meninggalkan kenangan menyiapkan teh panas untuk ayah setiap kali ia pulang kerja. Ayah yang pulang dengan bau keringat bercampur debu material bangunan. Vera harus bangkit, Vera harus bisa menaikkan harkat dan martabat keluarga, Vera harus menaikkan KASTA!
            “Saya orang miskin, Van. Saya bukan siapa-siapa. Kita tidak satu KASTA,” ucapan Vera terdengar sangat ketus. Vandi tertawa-tawa sampai berair matanya.
            “Kok kamu ketawa? Apa yang lucu?” Vera melotot, wajahnya dibuat semarah mungkin.
            “Kamu aneh.. KASTA itu apa? Beda status? Kamu pikir ini zaman apa? Pake kasta pula,” Vandi mengusap sudut matanya yang berair.
            “Mungkin kamu nggak masalah, tapi orangtuamu gimana? Aku nggak mau menghabiskan waktu buat pacaran,”
            “Yang mau macari kamu siapa?” Suara Vandi bergetar, Vera tercekat.
            “Aku mau kamu jadi istriku, bukan pacar, jelas?” Vera mematung.
            “Kamu belum tau bagaimana keluargaku, jangan ambil kesimpulan sendiri. Besok makan malam kita ditunggu. Mama dan keluarga besar ingin ketemu sebelum aku melamarmu, itu saja,” Vandi bangkit, menuju mobilnya.
            “Besok aku jemput pulang kantor ya!” teriaknya sebelum masuk ke mobil. Vera masih mematung. Sepertinya ada kepedihan yang menyayat. Kenapa harus jam makan malam lagi? Mengapa harus di rumah seorang pria lagi? Bertemu dengan ibunya? Vera menarik nafas panjang dan ingin menelepon ibunya, mohon doa dan kekuatan. Dia sudah jujur pada Vandi tentang keluarganya. Tentang status dan KASTA itu. Tapi kenapa anak seorang pengusaha kaya itu tak peduli? Masih saja mendekatinya, memperhatikannya.
            Sampai pada malam yang tak terlupakan. Mobil membelah jalan kota Banda Aceh yang ramai. Vera lebih banyak diam.. ia berzikir dalam hati, berharap kejadian kelam tak terulang kembali. Dia dihadang sebuah rumah besar bergaya spanyol.. persis istana, Vera menelan ludah takut, tangannya dingin, kakinya kaku. Vera berusaha menguasai diri, merapikan gamis dan hijabnya. Vandi tersenyum memberi isyarat agar turun. Tak ada pintu mobil yang dibuka dan tangan yang diulur bak putri raja seperti lima tahun lalu. Pintu besar angkuh sudah terbuka, isi rumah sudah tampak dari luar. Beberapa anak kecil berhamburan ke pintu, melompat ke arah Vandi minta digendong. Vandi tertawa-tawa melayani… tak peduli pada kemejanya yang berlepotan es krim dari tangan-tangan kecil itu. Suasana terasa hangat dan rusuh, ketika wanita-wanita cantik mengikuti anak-anaknya, mengambil alih.
            “Aduh… cicik jangan diganggu ya, tuh kan.. malu sama tante,” kakak-kakak Vandi tersenyum, melirik ke arah Vera yang memerah pipi putihnya. Vera tersenyum ke arah kurcaci-kurcaci kecil yang cantik. Dia tidak asing dengan anak-anak, toh dia anak sulung dengan tiga adik perempuan. Sementara Vandi pernah bercerita bahwa dia anak bungsu satu-satunya lelaki dengan tiga kakak perempuan yang semua sudah menikah dan memiliki enam keponakan.
            Vera bisa merasakan kehangatan dalam keluarga ini, keluarga yang sangat bersahaja. Makan malam disajikan secukupnya dan tidak berlebihan, mama papa yang tidak “menyidangnya”. Tema pembicaraan tak menyudutkannya, apalagi bicara KASTA. Malam yang sempurna.
            Sebulan kemudian keluarga Vandi mengunjungi keluarga Vera. Tak pernah ada sedikitpun tampak wajah mereka mengeluh masuk ke rumah Vera yang sempit di gang. Tak mengeluh pada lokasi parkir mobil yang jauh. Tak mengeluh dan malu pada status keluarga Vera pada kolega. Setiap malam dalam sujudnya Vera menangis. Menangis kepada Allah yang begitu menyintainya. Menangis mengadu pada Allah bahwa ia diberikan lelaki yang menerima dirinya dan keluarganya apa adanya. Menangis pada akhirnya Vandi menikahinya dan membawanya umrah ke Baitullah. Memang… KASTA ITU PECUNDANG
*
*
Sore, nutup jam kantor 17-10-17