Jingga
dibelahan barat mulai merona, bohlam raksasa perlahan memudar. Beberapa
kendaraan sudah menghidupkan lampu, menyinari jalan yang perlahan mulai pekat.
Yudha menatap jalanan penuh konsentrasi, Vera sesekali menarik nafas panjang.
“Aku
gugup, Yud…” desisnya perlahan, nyaris berbisik. Yudha tak mendengar,
pandangannya lurus.
“Yudha…
aku gugup” ulang Vera, sedikit lebih keras.
“Lho?
Gugup kenapa?” Yudha tersenyum, melirik Vera yang menarik-narik ujung rambutnya
yang baru selesai diblow satu jam
tadi. Vera tak perlu menjawab, toh Yudha sebenarnya sudah tau dia gugup kenapa.
“Enggak
perlu gugup.. kamu sudah tampil sempurna kok,” Yudha mengerdipkan sebelah
matanya, Vera berusaha menanggapinya dengan senyum.
Mobil masuk ke sebuah komplek perumahan
mewah, dada Vera semakin kencang berdebar. Ada perasaan yang sulit dijelaskan,
entah apa. Yudha berhenti di sebuah rumah bercat coklat pastel berpagar tanaman
rindang, rumah minimalis yang tampak berkelas. Lampu-lampu taman tampak
menyinari perdu-perdu palem dan anggrek. Sebuah mobil mewah parkir di carport.
“Ayo!
Turun.. nyantai ajalah.. its oke,”
Yudha membuka pintu mobil dan menjulurkan tangannya, mengajak Vera turun dari
mobil. Vera mengikuti Yudha menuju pintu rumah, pintu angkuh yang besar dan
tampak sangat kuat. Seorang wanita setengah baya membuka pintu, sepertinya ia
sudah menunggu. Wajah cantiknya bersinar, bibirnya yang merah muda alami
membingkai senyum.
“Assalamu’alaikum..
malam tante”
“Wa’alaikumsalam…
ayo mari masuk,” pintu dibuka lebar. Vera serasa masuk ke lobbi hotel,
lampu-lampu Kristal menyinari ruangan yang sejuk dan wangi.
“Kalian
belum makan kan?”
“Belum
dong Ma, kan mama mau menjamu Vera makan malam,” jawab Yudha.
“Yok..
kita makan sambil ngobrol. Mbak Jum udah masak special,” Wanita yang dipanggil
mama oleh Yudha menggiring mereka masuk, menuju sebuah meja makan yang cukup
besar, makanan yang cukup banyak jika mereka hanya makan bertiga. Meja makan
itulah yang tidak bisa dilupakan Vera seumur hidup. Meja makan yang lebih mirip
meja persidangan. Vera tidak merasakan kenyamanan. Pertanyaan demi pertanyaan
terus memborbardir dirinya. Siapa orangtuanya, apa pendidikannya, dimana
rumahnya, anak keberapa dan berapa adiknya. Akhirnya.. Vera langsung mendengar
ucapan dari mulut mama Yudha “YUDHA.. KAMU DAN VERA TIDAK SATU KASTA”
Saat itulah rasanya langit runtuh, bumi
menelan tubuhnya bulat-bulat. Tak ada pertolongan sama sekali dari Yudha! Tak
ada! Vera adalah tokoh utama dalam sinetron ini, tokoh yang malang, pulang
dengan hati hancur dan harga diri yang kupak-kapik. Kasta? Hari gini? Ah…
persetan semua!! Malam yang malang. Perkenalan dengan ibu kekasih hati yang
diharapkan manis dan indah gagal total karena katanya mereka beda kasta.
“Kamu
cantik, dan tante rasa kamu baik. Tapi tante kurang nyaman dengan status
keluarga kalian. Bagaimana tante ngomong ke kolega? Tante nggak sanggup deh..”
Mata Vera berkunang-kunang dan panas.
Yudha mengantar pulang dalam diam, tak ada pembelaan dan komentar. Vera sadar..
semua sudah selesai.
******
Hampir
lima tahun berlalu. Vera hijrah. Hijrah tempat dan hijrah mental. Melupakan
semua kenangan bersama Yudha. Kenangan berjalan bersama, menghabiskan waktu.
Kenangan belanja, makan di restoran dan perawatan ke salon. Kenangan cita-cita
menghabiskan hidup bersama sampai tua. Kenangan tentang KASTA. Vera
meninggalkan ayah, ibu dan tiga adiknya. Meninggalkan rumah sempit mereka,
kamar yang hanya berukuran tiga kali tiga meter. Meninggalkan makan malam
bersama keluarga tercinta, makan malam dengan sebutir telur didadar tipis
dibagi lima. Meninggalkan kenangan menyiapkan teh panas untuk ayah setiap kali
ia pulang kerja. Ayah yang pulang dengan bau keringat bercampur debu material
bangunan. Vera harus bangkit, Vera harus bisa menaikkan harkat dan martabat
keluarga, Vera harus menaikkan KASTA!
“Saya
orang miskin, Van. Saya bukan siapa-siapa. Kita tidak satu KASTA,” ucapan Vera
terdengar sangat ketus. Vandi tertawa-tawa sampai berair matanya.
“Kok
kamu ketawa? Apa yang lucu?” Vera melotot, wajahnya dibuat semarah mungkin.
“Kamu
aneh.. KASTA itu apa? Beda status? Kamu pikir ini zaman apa? Pake kasta pula,”
Vandi mengusap sudut matanya yang berair.
“Mungkin
kamu nggak masalah, tapi orangtuamu gimana? Aku nggak mau menghabiskan waktu
buat pacaran,”
“Yang
mau macari kamu siapa?” Suara Vandi bergetar, Vera tercekat.
“Aku
mau kamu jadi istriku, bukan pacar, jelas?” Vera mematung.
“Kamu
belum tau bagaimana keluargaku, jangan ambil kesimpulan sendiri. Besok makan
malam kita ditunggu. Mama dan keluarga besar ingin ketemu sebelum aku
melamarmu, itu saja,” Vandi bangkit, menuju mobilnya.
“Besok
aku jemput pulang kantor ya!” teriaknya sebelum masuk ke mobil. Vera masih
mematung. Sepertinya ada kepedihan yang menyayat. Kenapa harus jam makan malam
lagi? Mengapa harus di rumah seorang pria lagi? Bertemu dengan ibunya? Vera
menarik nafas panjang dan ingin menelepon ibunya, mohon doa dan kekuatan. Dia
sudah jujur pada Vandi tentang keluarganya. Tentang status dan KASTA itu. Tapi
kenapa anak seorang pengusaha kaya itu tak peduli? Masih saja mendekatinya,
memperhatikannya.
Sampai
pada malam yang tak terlupakan. Mobil membelah jalan kota Banda Aceh yang
ramai. Vera lebih banyak diam.. ia berzikir dalam hati, berharap kejadian kelam
tak terulang kembali. Dia dihadang sebuah rumah besar bergaya spanyol.. persis
istana, Vera menelan ludah takut, tangannya dingin, kakinya kaku. Vera berusaha
menguasai diri, merapikan gamis dan hijabnya. Vandi tersenyum memberi isyarat
agar turun. Tak ada pintu mobil yang dibuka dan tangan yang diulur bak putri
raja seperti lima tahun lalu. Pintu besar angkuh sudah terbuka, isi rumah sudah
tampak dari luar. Beberapa anak kecil berhamburan ke pintu, melompat ke arah Vandi
minta digendong. Vandi tertawa-tawa melayani… tak peduli pada kemejanya yang
berlepotan es krim dari tangan-tangan kecil itu. Suasana terasa hangat dan
rusuh, ketika wanita-wanita cantik mengikuti anak-anaknya, mengambil alih.
“Aduh…
cicik jangan diganggu ya, tuh kan.. malu sama tante,” kakak-kakak Vandi tersenyum,
melirik ke arah Vera yang memerah pipi putihnya. Vera tersenyum ke arah
kurcaci-kurcaci kecil yang cantik. Dia tidak asing dengan anak-anak, toh dia
anak sulung dengan tiga adik perempuan. Sementara Vandi pernah bercerita bahwa
dia anak bungsu satu-satunya lelaki dengan tiga kakak perempuan yang semua
sudah menikah dan memiliki enam keponakan.
Vera
bisa merasakan kehangatan dalam keluarga ini, keluarga yang sangat bersahaja.
Makan malam disajikan secukupnya dan tidak berlebihan, mama papa yang tidak “menyidangnya”.
Tema pembicaraan tak menyudutkannya, apalagi bicara KASTA. Malam yang sempurna.
Sebulan
kemudian keluarga Vandi mengunjungi keluarga Vera. Tak pernah ada sedikitpun
tampak wajah mereka mengeluh masuk ke rumah Vera yang sempit di gang. Tak mengeluh
pada lokasi parkir mobil yang jauh. Tak mengeluh dan malu pada status keluarga
Vera pada kolega. Setiap malam dalam sujudnya Vera menangis. Menangis kepada
Allah yang begitu menyintainya. Menangis mengadu pada Allah bahwa ia diberikan
lelaki yang menerima dirinya dan keluarganya apa adanya. Menangis pada akhirnya
Vandi menikahinya dan membawanya umrah ke Baitullah. Memang… KASTA ITU PECUNDANG
*
*
Sore, nutup jam kantor 17-10-17