Minggu, 13 November 2011

LANGITKU ( Sebuah Cerpen )

LANGITKU
Rahimah Ib



Langit masih merah ketika aku menepi di pinggir sawah, turun dari Bus yang telah membawaku dari perjalanan panjang yang memuakkan. Kuhela napas panjang, semua masih sama ketika ku tinggalkan kampungku,sawah, langit, surau disudut sawah yang masih remang-remang karena listrik yang kurang arus, dan udara yang dingin jika malam menjelang, panas ketika siang meradang. Kutarik napas sepenuh dada, kunikmati sebentar dan kuhempaskan seperti membuang luka yang tengah kubawa. Kulangkahkan kaki, kubayangkan Nyak… orangtua itu pasti akan terperanjat melihatku, duhai… indahnya melihat mata ibuku yang berbinar bahagia, menyambut aneuk agam semata wayangnya pulang dari perantauan nun jauh disana.
Tak sabar aku untuk segera melihat ibuku, perempuan paling cantik yang pernah kukenal sebelum aku mengenal Andini. Langkah kaki yang panjang mengantarku ke depan Nyak, Ibuku..
“ Nyak… “, kusapa perempuan yang masih dalam balutan mukena duduk bersimpuh memegang tasbih. Dia berpaling kearahku dan ya Allah… aku melihat wanita yang masih cantik itu berbinar… terbelalak.. dan sangat bahagia. Tangannya terbentang menyambutku, memelukku dengan kuat dan hangat, menyiumku dari segala arah, ah Nyak… aku sudah dewasa. Desisku dalam hati sambil menikmati momen itu.
“ Ka lheuh semayang Zar?..”, tegur Nyak yang mengingatkanku bahwa Magrib akan segera beranjak dari langit. Aku menggeleng mengisaratkan pada Nyak bahwa aku belum melaksanakan kewajibanku.
“ Jak tueng ie semayang ajuleh…bek ka tinggai semayang dak kajak ue nangroe gob..”, itulah nasehat Nyak yang tak pernah kulupa kemanapun aku pergi, jangan meninggalkan sholat kemanapun aku pergi . Duhai Ibu… pancaran cantikmu benar-benar dari dalam, indahnya..
Aku, adalah bungsu dari empat orang anak Ibu dan Ayahku. Tiga kakakku adalah perempuan, sudah berkeluarga, punya anak dan tinggal tersebar dikota negri ini. Ayah, yang biasa kami panggil Abu telah enam tahun wafat sementara Ibu yang biasa kami panggil Nyak tinggal bersama Rukiah, seorang wanita berusia empat puluh tahun yang kehilangan seluruh anggota keluarganya saat tsunami meluluh lantakkan semua yang dimilikinya. Ketika aku meninggalkan kampungku, Nyak adalah wanita paling hebat dan kuat melepasku, walau aku tahu gemuruh pedih berkecamuk didadanya. Dulu, aku selalu diwanti-wanti Abu untuk meneruskan usaha di kampong, mencari istri shalehah, mengurus Nyak sampai ajal menjemputnya. Tapi.. apa yang bisa dilakukan usaha yang hampir tidak lagi dibutuhkan orang?, kilang padi bukanlah menjadi kebutuhan petani di kampong kami lagi. Sekarang, pengusaha lebih inofatif, ada penggiling yang bisa mampir dipekarangan rumah penduduk, menggiling padi sesuai kebutuhan, menjadi tontonan yang mengasyikkan plus tak perlu repot-repot memanggul goni ke kilang, nikmat bukan?.
Kini, kilang padi di samping rumah kami yang besar hanyalah seonggok gudang, menyimpan aneka besi berkarat. Aku ingin bangkit, tapi Nyak dan ketiga kakakku lebih menyetujui jika aku pergi keluar kampong, menuntut ilmu, yang kata mereka lebih berharga daripada harta, ilmu yang dapat mengangkat harkat dan martabat, ilmu yang membuat kita punya derajat dimata Tuhan. Betapa bersyukurnya aku, hidup dalam keluarga yang menjunjung pendidikan, dua kakakku sudah menjadi dokter dan yang satu guru. Mereka adalah contoh luar biasa untukku, punya suami saleh dan berkecukupan, punya anak sehat dan menggemaskan, ah…. Betapa rindunya hati ini pada ponakan.
“ Zar… , kapan sampe kampong?”, terkejut aku mendengar sapaan seseorang ditelingaku, sangat dekat sehingga aku dapat merasakan desis nafasnya, aku menoleh dan sangat terkejut. Sahabat kecilku Badrudin cengar-cengir , menunjukkan giginya yang khas dan bahasa Indonesianya yang totok Aceh. Ku tonjok bahunya, balas tersenyum.
“ Kemarin…”, jawabku ringan sambil menggeser pantat, memberinya tempat untuk duduk.
“ libur kuliah??..”
“ enggak….”
“ tak ada libur, napa pulang…”, badrudin menatapku penuh selidik, mimiknya sangat lucu tapi aku tak ingin tertawa. Haruskah aku menceritakan semua pada sahabatku yang sudah berkarat di kampong ini?, tak pernah keluar dan tak punya pendidikan?. Bayangan Andini menari-nari dipelupuk mataku, dia mencibirku… pedih sekali.
“ aku sakit hati Din…”, kata-kata itu keluar dari mulutku, meluncur begitu saja.
“ sama siapa?... dosenmu? “
“ perempuan Din… namanya Andini “, kujawab dengan pedih, suaraku bergetar. Badrudin terbahak-bahak sampai air matanya keluar, dia tertungging-tungging menertawakan aku, melihat mukanya aku mau muntah.
“ apanya yang lucu dodol!! “, intonasi suaraku naik beberapa oktaf, panggilan olok-olok Badrudin adalah dodol, dia tak pernah marah, aku tak pernah melihatnya marah. Benar, tawanya tambah keras.. aku tambah meradang, aku benar-benar muntah.
“ bodoh kali kau, gara-gara inong kau pulang, libur kemaren kau tak pulang. Zar.. Zar, ngapain kau jauh-jauh kuliah kalau masih bodoh ha?? Piker pakai otak…”, Badrudin menuding-nuding aku, matanya melotot, giginya tambah tampak keluar seakan-akan dialah orang yang paling pintar.
“ ma’af Zar….maksudku… kenapa sakit hati?”, syukurlah.badrudin menyadari itu.
“ dia putuskan aku, dia gak mau jadi pacar aku lagi..”, aku tertunduk lesu, tubuh sahabatku terasa berguncang, aku sadar betul dia sedang menahan tawa, dasar lajang karat tak pernah kenal perempuan, desisku.
“ kau cinta sama dia?..”, suara sahabatku terasa sangat halus,serius dan penuh selidik.
“ iya… cinta mati ‘, tak ada yang perlu kusembuyikan.
“ cinta karena apanya?...”, berondong Badrudin, sahabatku itu. Aku terdiam… bingung untuk menjawab, ya.. apanya?. Melihatku diam, Badrudin bangkit dan merasa menang.
“ pikirkan dulu kau cinta dia karena apa, aku mau pulang sholat maghrib, besok pagi kita jumpa di la’ot, kau boleh cerita apa saja oke…!! “, Badrudin menepuk-nepuk bahuku yang dianggapnya pesakitan, la’ot yang dimaksudnya adalah laut. Badrudin suka mencampur bahasa Indonesia dan bahasa daerah, tapi siapa peduli. Langit memerah, hatiku merah, mataku merah, darahku tambah merah. Aku bangkit meninggalkan sawah yang dihiasi padi berwarna keemasan kemilau ditimpa matahari menjelang gelap. Keindahan yang tak pernah kusadari sebelum aku kuliah di Kota Medan.


Perempuan itu Andini , putih, tinggi semampai, rambut panjang dan punya senyum menawan. Andini adalah tipikal perempuan kota yang sangat menjaga penampilan, rajin perawatan ke salon dan sangat mengikuti fashion. Aku paham betul akan kebiasaannya selalu menyikat gigi setelah makan karena takut senyumnya cacat karena ada sesuatu yang menempel di gigi bagusnya. Singkat kata, Andini layaknya seorang model. Sebenarnya, aku sering jengah pergi bersama Andini karena penampilannya yang fashionable itu. Jika aku protes, dia Cuma tertawa-tawa memperlihatkan giginya yang cantik, mencubit pipiku dan menggandeng tanganku pergi, ah.. Andini. Aku pernah bertanya, mengapa dia memilih aku menjadi pacarnya dari sekian banyak lelaki?. Dia menjawab ringan karena aku adalah lelaki Aceh yang ganteng, gagah, punya kulit coklat laksana tembaga, hidung tinggi menjulang dan mata tajam bagai elang dan katanya lagi.. lelaki Aceh tangguh dan pantang menyerah, hehe.. cuping hidungku kembang kempis senang.
Belakangan, Andini sering bertanya mengapa aku tidak memilih kuliah di kedokteran saja seperti dua kakakku. Andini heran mengapa aku justru memilih kuliah di Pendidikan dan bercita-cita menjadi guru. Hampir setiap hari aku diteror Andini, setiap hari sudah kujelaskan bahwa aku suka menjadi guru, setiap hari Andini tak pernah mengerti. Andini semakin menjauh, senyumnya tak lagi indah, tawanya tak lagi renyah, matanya tak lagi teduh . Akhirnya Andini menjumpaiku dan hanya berkata
“ Zar… kita putus ya!!!,” aku terdiam bodoh diantara teman-teman yang lagi makan siang di kantin kampus. Andini menyalamiku sambil tersenyum datar, mengangkat tangan bye…melenggok pergi. Utoyo temanku yang lagi makan bangkit dengan marah sambil teriak
“ Kuntilanaaaakkkkkk….”, dibantingnya sedotan yang ada di gelasnya, syukur bukan gelas. Utoyo merepet-repet seperti ibu merepet pada anaknya yang nakal, tulangku terasa copot dari sendinya. Tuhan… aku baru ini mengenal perempuan, itu adalah Andini. Mengapa jadi gini?... mataku terasa panas, mengapa aku jadi cengeng dan berada pada posisi yang kalah? Aku kan lelaki, seharusnya aku yang menang, bukan dia!!!
“ tenang fren…nanti kita buat pembalasan sama kuntilanak itu…”, betapa marahnya Utoyo.
“ enggak usah.. biar aja “, kujawab tenang mencoba untuk kuat
“ dia enggak cocok sama kau Zar… kesing aja yang bagus, isinya rongsokan semua!!”, timpal Manalu dengan kasar.
“ bersyukur Zar.. kau diputusin sama dia, kalau diterusin bangkrut kau belanjain dia. Mati bediri Mamakmu di kampong “, balas Rendi. Aku merinding.. kalau teman-teman benar, betapa bodohnya aku. Seburuk itukah Andini dimata mereka? Atau butakah aku selama ini?. Itu adalah hari terburukku setelah kematian Abu, ayahku. Malam setelah itu aku tak bisa tidur, paginya aku langsung pulang kampong, hape ku non aktifkan. Aku tak dapat membayangkan betapa cemasnya sahabat-sahabat baikku. Biarlah… aku perlu waktu untuk menenangkan diri. Betul kata orang, cinta dapat membuat orang buta dan gila, aku adalah satu korbannya, peuhhhhhh.







“ Zar… eunteuk ka peungeon Nyak jak khauri beh? “, Nyak mengelus kepalaku dari belakang ketika aku masih duduk sarapan. Nyak minta aku untuk menemaninya menghadiri hajatan, aku mengangguk.
“ pat Nyak? “, aku bertanya dimana. Jawaban Nyak membuat aku terpaku..
“ I rumoh Zahra, khauri kak jieh. Ka meureumpok ngen Zahra?”, pertanyaan Nyak membuatku terkesima, mengapa aku mengabaikan cerita Badrudin tentang Zahra ?. Pagi di pinggir laut seperti yang kami rencanakan, Badrudin berubah menjadi motivator ulung, memompa semangatku dengan dahsyat!, malah dia mengumpakan beberapa perempuan diantaranya Zahra.. hei.. bagaimana rupanya sekarang?, aku tersenyum membayangkan gadis kecil yang bermain di sawah. Zahra yang pernah kugendong pulang karena kakinya berdarah terkena beling ketika kami main di ladang bambu. Ingin segera bertemu Zahra, betapa waktu telah memisahkan kami.
“ bek tuwoe, sigalom leuho beh?”, Nyak mengingatkanku kami berangkat sebelum Zuhur. Entah mengapa, sejenak aku melupakan Andini. Kini yang ada dikepalaku adalah Zahra, weuhhh.. seperti apa dia sekarang?, mengapa Badrudin mengumpakan perempuan yang baik itu seperti Zahra teman kami dulu main di sawah.
Di kampong kami, pesta perkawinan tidak diselenggarakan seharian seperti di kota . Tamu melimpah ruah pada jam makan siang, setelah itu tenda langsung dibuka dan semua peralatan pesta di bersihkan. Kalau terlambat? Makan nasi putih pakai kuah doang. Kejadian hari ini buktinya, aku antri mengambil makan siang diantara bapak-bapak yang lapar. Perutku juga sudah melilit-lilit , Nyak tadi sengaja tidak masak, tabiat ibu rumah tangga yang baik. Situasi tak membuatku lupa ingin bertemu Zahra, kepalaku berputar kekiri kanan, kakiku menjinjit melongok kemana- mana karena bagian laki-laki di pisah dengan perempuan. Waduhhh banyaknya orang… bagaimana bisa lihat si Zahra?.
“ He…. Gadoh ka eu aneuk inong gob, jak aju u keu bagah..!!”, bapak yang kelaparan dibelakangku membentak, aku tersadar dan maju mengambil nasi. Sang Bapak tak sedap wajahnya memandang aku yang katanya asyik celingak-celinguk melihat anak gadis orang. Memang orang yang lapar cepat marah, sama seperti yang sering kulihat di TV dan kubaca di Koran. Aneka kasus muncul karena perut yang lapar. Maling karena lapar perut, koruptor karena lapar harta. Setelah lepas dari antrian dan memegang piring yang penuh seperti makan kuli, aku mencari tempat duduk. Dari jauh Badrudin melambai-lambaikan tangannya mengajakku duduk dibangku kosong disebelahnya, aha… tau aja nih anak, kata hatiku.
“ udah jumpa Zahra?...”, tanyanya dengan mulut penuh. Kuperhatikan piring yang dipegangnya, lebih penuh dari piringku.
“ belum.. rame kali, aku enggak bisa lihat, mungkin dia di dalam..”, jawabku sambil mulai menyuap.
“ tadi dia ada disitu… pakai baju biru..”, Badrudin tak peduli dengan mulutnya yang penuh megap sambil bicara, syukur giginya tertancap kuat, kalau tidak.. mungkin gigi itu sudah melompat.
“ udah… makan dulu, nanti kita cari dia. Aku juga pingin tau gimana dia sekarang ya??”, kataku penasaran, sahabatku itu senyum-senyum sambil mengangguk jenaka.
Aku dan Badrudin makan dengan cepat, disamping kami mau menjumpai Zahra, udara di bawah tenda juga sangat panas, bajuku basah oleh keringat, muka Badrudin yang hitam semakin berkilat. Badrudin menarik tanganku terburu-buru.
“ itu dia Zar…. bagah!”, bagah maksudnya cepat, benarkan? Dia suka menggunakan bahasa campur-campur. Mataku belum bisa membaca yang mana sahabat kecilku dulu, Zahra. Kami berhenti didepan sosok perempuan berbaju biru yang tampak terkejut melihatku, aku terpaku memijak bumi, Badrudin cengar-cengir kuda. Gadis itu tersenyum mengulurkan tangannya, aku masih terpaku.
“ apa kabar?...”, suaranya terdengar halus dan dewasa, berbeda dengan Zahra yang dulu, berbeda!
“ baik, alhamdulillah…”, kujabat tangannya, tangan kecil yang dulu selalu kupegang. Entah mengapa, aku tak banyak bicara. Badrudin yang mencairkan suasana, dia bercerita dengan kocak tentang aku atau sebaliknya tentang Zahra, tak sedikitpun temanku yang hebat ini menyinggung kepulanganku yang berhubungan dengan sakit hati pada perempuan yang bernama Andini. Aku masih tak habis pikir tentang perempuan muda didepanku yang kini berubah luar biasa. Tumbuh menjadi wanita yang cantik, berkulit putih, pakaian yang sopan dan rapat, senyum yang tulus, bahasa yang sopan dan halus, dan.. matanya masih seperti dulu, teduh bagai langit pagi berawan skeluptus. Badrudin benar, inilah perempuan yang sesungguhnya. Bisa menjaga diri dan martabatnya, bisa menjaga anak dan keluarganya. Duhai… itu kata Badrudin si motivator mendadak sahabatku.
“ katanya kamu kuliah di pendidikan ya Zar?”, suara Zahra menyentakku dari lamunan.
“ heeh….”
“ kok suka jadi guru? Enggak pingin seperti kak Mena?”, kak Mena adalah kakakku seorang Dokter di Banda Aceh, sama saja seperti pertanyaan Andini, basi!!. Bagaimana harus kujelaskan pada gadis cantik ini tentang hatiku? Tentang pandangan dan penglihatanku pada kak Syakri, kakakku yang seorang guru?. Aku sangat mengidolakan kakakku itu, seorang guru yang sangat perhatian pada muridnya. Menganggap murid adalah anaknya, dan murid yang juga sebaliknya. Kakakku yang halus bertutur kata, jago memotivasi, tak pernah mendikte, dan cerdas!. Kakakku yang sangat bersahaja!!.
“ ma’af ya Zar?, mungkin salah kata ya!”, Zahra seperti dapat membaca pikiranku, dulu juga selalu begitu.
“ maksud Ra, kan orang banyak enggak suka jadi guru. Tapi kalo Ra suka jadi guru, sekarang aja Ra ngajar sambil kuliah”, Ra… itu sebutan Zahra untuk dirinya sendiri. Hatiku bertteriak senang dan lega, darah mulai mengalir dalam tubuhku yang selama ini hampir beku.
“ ngajar dimana Ra?...”, suaraku mulai berirama
“ di TK dekat kos, anaknya lucu-lucu….”, mata Zahra berbinar. Dia mulai menceritakan tentang anak didiknya dengan tingkah masing-masing. Bukan main senangnya aku, seakan mendapat sebelah sepatuku yang telah lama hilang.
Aku tak sadar, Nyak telah ada disebelah kami, tersenyum. Zahra bangkit menyalaminya dengan hormat, Nyak memegang kepalanya persis seperti memegang kepalaku yang selalu dilakukannya. Nyak memberi isyarat mengajak pulang, aku bangkit.
“ Din, Ra… aku duluan ya?”, Zahra mengangguk, Badrudin main mata, paleeehhh.
Duhai… malamnya aku tak bisa tidur, bukan lagi karena bayangan Andini, tapi bayangan Zahra!. Aku sibuk menghabiskan malam dengan membanding-bandingkan Zahra kecil dengan Zahra yang kujumpai siang tadi. Zahra yang dulu hitam, rambut berminyak, cengeng dan ingusan kini berubah menjadi wanita cantik ber aura. Andini bukanlah tandingan Zahra, mereka adalah dua perempuan dari dunia yang berbeda. Dan aku… lebih menyukai dunia Zahra, dunia yang selama ini dekat dengan duniaku, lingkunganku, keluargaku dan langitku.
Paginya, kujumpai Badrudin dipinggir pantai. Menghirup kopi dan makan pulut panggang adalah kegemarannya sejak dulu. Kuceritakan apa yang kurasakan, pendapatku tentang perempuan, dan apa yang kuinginkan.
“ duhai Nazar sahabatku, aku tau akan dirimu. Andini bukanlah perempuan yang kau butuhkan dalam hidupmu karena dia bukan langitmu. Sekarang kau telah menemukan langitmu, pulanglah ke Medan, Zahra menjadi urusanku…”, aha… si dodol berubah menjadi pujangga, matanya jauh memandang laut seakan dia tahu segala isinya.
“ serius?... aku masih mau jumpa Zahra sebelum pulang ke Medan, mau minta foto…”, aku berkata sekenanya, Badrudin menarik rambutku.
“ tak patah hati lagi sama si gadis kota itu?..”,
“ tak lah…kan ada Zahra..”, ku jawab sambil mengedipkan mata
“ agam palehhh….”, Badrudin memakiku, paleh itu kata lain untuk kurang ajar.
Ya… biarlah, besok.. aku akan berani menegakkan kepala didepan Andini. Aku bukan orang yang kalah, aku adalah pemenang. Tak ada cerita kekalahan dan pesakitan dalam hidup untuk cinta pada seorang perempuan. Aku, adalah lelaki. Aku adalah aneuk Agam Nyak ku, yang ingin menjadi guru dan nanti.. punya istri juga seorang guru.
(Terbit di Harian Waspada Minggu, Juli 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar