Rabu, 06 Juni 2018

MENJEMPUT IMPIAN DI KEUKENHOF (17)


RUANG KOSONG DALAM HATI (17)
            Langit bening Rotterdam. Aku duduk menikmati semilir angin dibelakang flat, disebuah kursi kayu berwarna pekat. Sama seperti di Indonesia, tali jemuran bergelayutan di tiang-tiang kayu, bahkan ada yang menempel di pohon eik seadanya. Kain sarung dan kancut Chandra masih tergantung, aku tak tertarik untuk mengangkatnya. Susah membuang tabiat orang kampung bagi kami, biar ada di belahan dunia manapun, adat kebiasaan susah diubah. Termasuklah itu kebiasaan menjemur pakaian di belakang rumah.
            Musim semi kedua aku di Belanda, aku bisa menikmati semuanya. Hanya terkadang aku melewati hari dengan kekosongan hati dan rasa rindu yang membuncah. Aku rindu Emak, masakannya, suaranya, senyumnya dan repetannya. Aku juga rindu pada istri orang, Zahwa. Apa kabar dia sekarang? Pasti Zahwa sudah menjadi istri yang sangat berbahagia, kalaupun dia hamil setelah menikah, pasti dia sekarang sedang punya bayi mungil yang lucu. Aku menarik nafas panjang, dadaku terasa perih, sakit sekali. Pantaskah aku merindukan perempuan yang sudah bersuami? Aku menggeleng-gelengkan kepala, malu kepada Tuhan dan Malaikat di kiri kananku.
            “Mas.. jangan melamun, ntar kesambet lho….” Tarjo muncul dan menepuk punggungku.
            “Kesambet apa Jo?”
            “Ya.. kesambet hantu Londo Mas.”
            “Emang hantu punya Negara?”
            “Ah.. Mas Petir bisa aja, mana ku tau…”
            “Ya… tadi kamu bilang hantu Londo..” Tarjo nyengir kambing, mati kutu, kemudian mengalihkan pembicaraan.
            “Mas… kamu mikirin apa to?”
            “Mikirin kampong Jo, rindu kali rasanya”
            “Semua orang kalo udah keluar dari negaranya, pasti rindu Mas. Aku juga gitu, wajar Mas. Atau Mas Petir punya cewek di Medan?” Ups! Pertanyaan Tarjo membuatku gelagapan.
            “Enggak Jo….”
            “Ah, Mas pasti bohong, masak sih? Laki-laki gagah kayak Mas mana mungkin enggak punya cewek”
            “Enggak Jo…”
            “Atau Mas patah hati?” ups!! Jantungku tertusuk jarum, mengena.
            “Apa nampaknya gitu?”
            “Ya!... cahaya mata Mas bilang begitu, suram” Tarjo menatapku tajam, anak muda ini Nampak sangat dewasa. Aku diam, menunduk, bayangan Zahwa menari dikepala. Apakah benar aku patah hati? Mengapa aku lemah sekali? Tak ada satupun perempuan yang kujumpai di Belanda ini mampu kembali menggetarkan hati. Termasuk Ayu, mahasiswa Indonesia yang selalu kutemui di Mesjid IRS dan sering ke restoran setiap weekend. Ayu terang-terangan menunjukkan ketertarikannya padaku, tapi aku tak pernah menanggapi. Zamzami bilang aku lelaki batu, Hafeed bilang aku boneka es, Lenny bilang aku kejam, Kurniawan bilang aku bodoh.
            “Mas….” Suara Tarjo membuatku mendongak.
            “Ya…”
            “Mau cerita?” Mata Tarjo penuh harap. Apakah Hafeed tidak pernah menceritakan kisah hidupku pada teman-teman yang lain? Betapa amanahnya sahabatku itu, tak membuka cerita lembaran hidupku pada orang lain. Apa yang harus kusembunyikan dari Tarjo? Bukankah dengan bercerita hati akan terasa lega? Maka meluncurlah dari mulutku segala yang mengganjal jiwa. Cerita hidupku didengar serius oleh pemuda Sembilan belas tahun ini, tapi aku percaya perjalanan hidup telah membuatnya cukup dewasa.
            “Seharusnya Mas terima aja tantangan Zahwa” jawaban Tarjo membuatku melonjak, kaget.
            “Mas sudah menyerah sebelum mencoba, harusnya Mas hadapi aja dulu orangtuanya. Belum tentu mereka memandang mas sebelah mata. Mas terlalu merendahkan diri sendiri” Tarjo mendongak menatap langit, kemudian melanjutkan.
            “Zahwa benar, tak semua manusia memandang manusia lain dari materi. Mas Petir pengecut, kalah perang sebelum bertempur. Sayang…. Perempuan nyaris sempurna lepas dari tangan” Tarjo menarik nafas panjang.
            “Andai aku jadi Mas, aku akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Aku akan menyerah jika nafasku habis!” Tarjo mengepalkan tangan, kesal. Aku tercekat mendengar tanggapan anak muda ini. Benar, aku adalah pengecut, pecundang, bodoh, pesimistis, tidak lelaki sejati, aku mulai menyumpah serapahi diriku sendiri. Mengapa Emak tak menyuruhku berjuang? Kenapa hatiku tak mendorongku untuk berjuang? Mengapa Tarjo membuka semangat perjuangan ketika Zahwa sudah menikah? Mengapa aku bertemu Tarjo sekarang? Kenapa aku bodoh? Kenapa pula aku jadi pengecut? aaahhhhh…..
            Malam semakin pekat, Tarjo sudah mengangkat kain sarung dan kancut Kurniawan yang tergantung di jemuran dan kemudian masuk. Dia masih memberi maklumat.
“Ayu jangan dilepas lagi Mas, jangan nyesal dua kali…” Aku diam seribu bahasa, merenungi segala macam kebodohan dan keteledoran. Ayu tak akan pernah sama dengan Zahwa, walau dia dikatakan perempuan nyaris sempurna, tak pernah sekalipun mampu membuatku bergetar. Tuhan, sesulit itukah mengulang getaran indah di dada ketika menjumpai seorang perempuan? Sebegitu pentingkah getaran indah nan hangat itu?. Jika tak ada mengapa pula?
Kawan, Ayu adalah seorang mahasiswi Indonesia yang mendapat beasiswa di Erasmus University. Dia seorang arsitek berprestasi, muslimah berjilbab. Wajahnya manis, berkulit kuning, berhidung mancung dan ramah. Gadis itu berasal dari Bandung, dia dijuluki Neng geulis oleh teman-temannya. Teman-teman juga bilang, dia tertarik padaku. Tapi aku hanya memandangnya sebagai teman. Hatiku lagi-lagi berkata, mana mungkin seorang perempuan cantik berprestasi menyukai seorang pelayan restoran? sarjana gagal yang akhirnya jadi TKI? Bukankah masih banyak mahasiswa Indonesia lain yang lebih baik? Lebih terjamin masa depannya? Tarjo benar, aku adalah manusia yang suka merendahkan diriku sendiri. Apakah itu sejenis penyakit jiwa? entahlah.
Malam semakin buram, sulit sekali memejamkan mata. Hafeed sudah tidur nyenyak di ranjangnya, mempersiapkan dirinya untuk bersujud malam. Pikiranku menjalar kemana-mana, liar tak beraturan. Ucapan Tarjo mampu membuatku berkeringat, keringat sesal tak berujung. Sesal tiada guna, waktu tak bisa diputar kebelakang, kesempatan tidak datang dua kali. Kuraih tasbih di bawah bantal, kulafalkan zikir lamat-lamat, meresap, khidmat, Allah adalah kekasih sejatiku, telah menyiapkan scenario terbaik dalam hidupku. Lamat-lamat tangan melemah, semuanya sayup dan gelap, aku lelap.
Malam buram….
Peluk aku dalam-dalam
Biarkan aku terbuai
Dalam mimpi tiada usai
Menemui perempuan
Yang tak lagi layak aku dambakan
Namun tak jua tergantikan