Situasi Mami
mempertemukanku kembali dengannya. Dengan lelaki bertubuh kecil, mata cerah dan
kumis melintang tegas. Suaranya masih seperti dulu, hangat, ramah dan amat
sangat rendah hati. Melihatnya kini, siapa sangka dengan perjalanan hidup
lelaki yang tunggang langgang, lintang pukang dibelit masalah dan kemiskinan?
Siapa sangka mata hangat membara itu dulu pernah basah dan banjir dihempas
kesulitan yang membuatnya tercekik, nyaris mati? Dulu, aku adalah saksi, saksi
yang masih hidup tentang perjalanan hidupnya. Walau, aku memandang dari sudut
diriku, yang kala itu masih duduk di bangku SMP.
Baiklah, sebelum membicarakan topic utama. Aku akan
menceritakan terlebih dahulu tentang sakit Mami (aku dan adik-adik biasa
memanggil ibu dengan Mamak, tapi karena anak-anak kami memanggil neneknya Mami,
maka kami juga sudah latah memanggil begitu, Mami). Akhir Desember 2013, Mami
jatuh di depan kamar mandi ketika selesai berwudhuk. Jatuh yang mengesalkan
karena sebab kasut tipis yang tapaknya licin bila tersiram air. Jatuh yang
fatal, Mami terduduk dan terhempas, Mami menjerit di subuh buta, Paknek (bapak)
membatalkan sholatnya di raka’at kedua. Dua orangtua yang malang, karena kami
semua sudah tinggal dengan keluarga masing-masing, kecuali adik bungsu yang
belum berumah tangga, laki-laki.
Aku mendapat telepon tentang keadaan Mami menjelang
siang, tak terbayangkan kondisi orang yang amat kucintai itu. Hatiku berdebar
tak menentu, semoga saja tensi Mami tidak dalam keadaan tinggi, semoga stroke
tidak menghampiri, semoga…ah! Syukurlah, jarak rumahku dan rumah adik tidak
jauh, kami cepat berkumpul di rumah kami dulu, rumah mami dan paknek. Dan, pada
saat itu sedang libur semester ganjil. Adikku,
Fitriah Ramli yang juga seorang guru sedang bebas tugas alias ikut
libur. Sementara aku meski siswa libur tetap harus ngantor, tapi dengan waktu
yang longgar tentu saja.
Mami tergeletak di tempat tidur, tapi kondisinya cukup
sehat, syukurlah bukan karena tensi yang tinggi. Kami membawanya dengan ambulan untuk menjalani
ronsen, mami benar-benar tidak bisa bangun, menjerit-jerit ketika merasa
pinggangnya tersentuh. Benar saja, hasil ronsen menunjukkan tulang belakang
mami retak dan nyungsep. Kami cepat
mengambil keputusan memanggil ahli ke rumah, biaya? Bukan masalah, adikku Irwan
Ramli yang tinggal di Air Molek, Riau sudah mentransfer dana yang cukup. Untuk
orangtua, siapa yang berhitung? Berapa dana, tenaga, waktu yang mereka
korbankan untuk kami sehingga jadi orang?
Kami bergotong royong, selalu begitu, Alhamdulillah.
Dengan ahli yang tepat, mami banyak mengalami kemajuan.
Perlahan mami bisa balik tubuh sendiri, mulai belajar duduk. Sudah sebulan, aku
dan adikku merawat mami bergantian, mengganti diapersnya, melap tubuhnya,
menemaninya ngobrol. Setiap pulang kerja, kami langsung menuju rumah mami
(syukurlah, suami kami sangat pengertian), pulang ke rumah masing-masing pukul
sepuluh malam. Si bungsu Mukhlis bisa keluar sebentar melepas penat merawat
mami jika kami datang, si bungsu 29 tahun yang masih melajang.
Rutin ke rumah mami untuk merawatnya itulah yang
mempertemukan aku kembali dengan lelaki itu, lelaki yang biasa aku panggil Bang
Su. Ternyata, Bang Su sering bersilaturrahmi ke rumah mami jika dia pulang
kampung. Malam itu pula segala tentangnya berputar kembali seperti sebuah kaset
film. Betapa bahagia menyaksikan dia sekarang menjadi sukses, menjadi pejabat
daerah. Dia kini punya dua mobil bagus, punya rumah bagus yang berdiri diatas
tanah 1500 meter persegi. Punya empat anak yang sukses, berprestasi dan istri
yang tetap cantik dan berkarier bagus pula. Dulu, Bang Su menyelesaikan
kuliahnya dengan amat sangat prihatin. Kerja serabutan, dan menemani ibunya
mengemis! Karena ibunya buta dan ia seorang yatim. Ah, benar-benar dia sudah
menyimpan malu, membenamnya dalam-dalam demi sebuah cita-cita. Berjuang,
jumpalitan, makan ala kadar, pinjam buku sana-sini, baju itu-itu saja. Dan, ia
berhasil meraih gelas Insinyur.
Dulu,
ia juga ditolak keluarga kekasihnya karena malu, dianggap tidak pantas
mendampingi anak mereka yang bermartabat. Dan kini, harkat dan martabat
keluarganya telah terangkat. Harkat dan
martabat yang dulu sangat diagungkan orangtua kekasihnya. Tapi Allah telah
menggantinya dengan perempuan yang kini menjadi istrinya. Perempuan yang
menerima dirinya apa adanya, tak mempersoalkan harkat dan martabat. Karena
dalam pandangan perempuan itu ia adalah sosok lelaki pejuang yang saleh. Yang
mampu menaklukkan kemiskinan, merubah takdirnya sendiri. Dia memang telah
membuktikannya. Lantas apakah dia berubah? Sepertinya tidak. Malam itu aku
masih melihat Bang Su yang dulu. Sederhana, rendah hati, hangat dan…kocak. Aku
yakin, banyak lelaki di belahan lain sama kokohnya dengan Bang Su. Pejuang
kehidupan, pantang menyerah! Semangat!
*Ma’af ya? Tentang perjalanan hidup Bang Su tidak begitu saya ekspos. Sekadar dia adalah
pejuang hidup yang sukses. Makasiiiiih…