Selasa, 09 April 2019

PERTEMUAN TAK TERDUGA (23)



            Hari beranjak siang. Pusat perbelanjaan semakin ramai pengunjung. Perutku mulai bernyanyi. Biasanya, aku lebih memilih makan di luar gedung pusat perbelanjaan. Bagiku, tiga bulan sekembalinya dari Canberra, belumlah cukup untuk memuaskan lidah terhadap masakan local. Di luar gedung, banyak bertebaran rumah makan dengan masakan Padang yang pedas menggoda, sementara di dalam gedung lebih banyak restoran cepat saji dan makanan berbau Eropa dan terasa kurang menggigit. Jika pun ada food court, tetap saja masakan warung terasa lebih nikmat.
            Kuperhatikan tiga orang karyawanku yang sibuk. Mereka semua adalah mahasiswa yang bergantian secara sift membantuku menjaga toko. Aku lebih memilih mereka sebagai karyawanku, karena mereka adalah anak-anak muda ulet yang butuh biaya kuliah karena keterbatasan ekonomi orangtua. Sama seperti ketika aku kuliah dulu, harus bekerja keras.
            “Kalian, sudah makan?”
            “Sisi bawa bekal, Pak. Tadi Reza yang keluar, beli makan siang,” Sisi menjelaskan, sambil tangannya sibuk mengutak-atik laptop.
            “Saya keluar dulu, ya?” Aku mulai ingin mengayun langkah menuju pintu kaca depan. Tapi Reza muncul dengan pakaian setengah basah dan mencegahku keluar.
            “Bapak mau kemana?”
            “Mau makan siang, Za. Kenapa?”
            “Di luar hujan deras, Pak. Sebaiknya Bapak makan di food court aja,” wajah Reza Nampak serius, dia sibuk menepis-nepis baju kemejanya yang basah. Aku teringat pada payung, tapi benda itu ada di mobil. Apa aku harus ke tempat parkir dulu? ah..repot sekali. Benar juga kata Reza, ada baiknya aku sekali-sekali makan di food court.
            “Oke, saya ke food court aja. Eh..makannya  bergantian ya?” kutepuk bahu Reza, anak muda itu tersenyum mengangguk. Bagiku, waktu makan mereka adalah special. Bagi mereka yang sedang makan, jangan sambil bekerja atau melayani pembeli. Maka dari itu aku minta mereka makan siang bergantian.
            Aku mulai menyisir lantai yang banyak menyajikan makanan cepat saji. Tapi, aku sama sekali tidak tertarik. Rindu makanan Indonesia belumlah usai. Di food court juga aku belum menemukan makanan yang menggugah selera. Aku berjalan pelan-pelan, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana, menikmati apa yang aku lihat, mencari tempat di mana aku akan menemukan sesuatu yang menggugah selera makan siangku.
            Tiba di depan sebuah restoran, aku memandang sebuah leaflet yang berdiri di depan pintu masuk. Ada menu yang aku rindukan, kari kambing. Agaknya nikmat sekali, dan aku teringat pada Zeyni yang sangat gemar menu ini. Dengan langkah pasti aku melangkah masuk, harum kuah kari terasa sudah sampai ke ubun-ubun. Air liur pun terasa sulit dibendung, aku menelan ludah. Tidak banyak pengunjung restoran ini, mungkin orang lebih memilih makanan cepat saji dari pada makanan tradisional.
            Aku mencari tempat di sudut ruangan, yang disediakan untuk dua orang. Ada sofa merah yang empuk, agaknya enak juga duduk sambil beristirahat, pikirku. Suara saxophone Kenny G meraung-raung syahdu. Lampu spotlight menari-nari romantic, seluruh ruangan restoran di tata rapi, dengan sudut-sudut yang hijau dihiasi tanaman sintetis yang bersih. Aku tersenyum teringat Indescheelatte Restaurant tempat aku bekerja di Rotterdam. Nuansanya hampir sama, hanya beda tata letak dan warna cat dinding. Indescheelatte Restaurant memilih dinding dengan wall paper berwarna maroon, sementara restaurant ini berhiaskan dinding dengan polesan cat berwarna hijau segar.
            Pelayan datang dan aku segera memesan makanan yang sangat aku inginkan, kari kambing, nasi putih dan jus belimbing. Tiba-tiba mataku tertumpu pada sosok perempuan di sudut ruangan sebelah timur. Duduk sendirian, wajah menunduk dan ia Nampak sedang menikmati makan siangnya. Dadaku berdebar cepat, aku menaikkan kacamata untuk meyakinkan pandanganku. Aku sangat mengenal perempuan berbaju ungu itu. Dia perempuan yang pernah hadir dalam hidupku, dalam hari-hariku di Rotterdam, dalam mimpi dan harapan. Aku ingin bangkit menghampirinya, tapi kaki ini terasa sangat kaku, sulit digerakkan. Sementara dadaku terus bergemuruh sulit diajak kompromi, aku sibuk menguasai diri.
            Hampir sepuluh menit aku layak orang bodoh, melongo hingga lupa jika pesananku sudah datang. Ku usap-usap wajahku, sekali lagi mencoba bangkit dan menghampiri perempuan itu.
            “Assalamu’alaikum, Zahwa?” suaraku pelan, menyapanya yang masih menekur. Alhamdulillah, aku berhasil menguasai diri. Kini, Zahwa yang terlongo, berhenti menyuap makanan. Matanya membulat, ekspresi wajahnya luar biasa terkejut.
            “Wa’alaikumsalam, Petir??” Zahwa meletakkan sendok yang urung  masuk mulutnya.
            “Ya Allah, apa kabar? Di mana selama ini?” Zahwa memberi isyarat mempersilahkan aku duduk di kursi yang ada di depannya.
            “Ceritanya panjang, kamu bagaimana?”
            “Sehat, Alhamdulillah,” jawab Zahwa pendek.
            “Kok sendirian? Suamimu mana?”
            “Biasa, makan siang masing-masing. Kebetulan aku tadi mencari keperluan Sasha, jadi sekalian makan siang,” aku mengangguk-angguk sok mengerti. Suasana tiba-tiba hening, hanya suara alunan saxophone Kenny G yang masih meraung-raung. Aku mendadak bisu, apa tema pembicaraan berikutnya, ya? Pikirku mereka-reka dalam kebingungan.
            “Kamu tidak makan?” suara Zahwa memecah kebisuan.
            “Oya, ya. Makananku di sana, sebentar aku ambil dulu,”
            “Enggak usah, kamu duduk aja. Biar waitress yang ambil,” Zahwa memanggil seorang pelayan perempuan dan meminta agar makananku dipindahkan ke meja yang sedang kami tempati.
            “Kelihatannya, kamu sangat sehat,” Zahwa tersenyum, tapi entah mengapa aku melihat mata itu begitu kosong.
            “Alhamdulillah..,”
            “Kamu juga Nampak lebih putih. Kata Zeyni, kamu bekerja di Canberra,” Zahwa mencecarku. Aku tercekat, berarti dia tahu banyak tentang aku selama ini melalui Zeyni. Artinya, masih ada kontak diantara mereka, benarkah?
            Tiba-tiba telepon seluler Zahwa berdering. Dia Nampak berbicara dengan serius, sepertinya ada sesuatu yang sangat penting.
            “Ma’af, Tir. Aku harus kembali ke Rumah Sakit, ada pasien emergency yang harus menjalani operasi sekarang juga. Sekali lagi ma’af…,” Zahwa berdiri, merapikan baju dan isi tasnya. Aku duduk dengan linglung, tak tahu harus berbuat apa-apa. Zahwa berjalan keluar restoran aku masih duduk bengong. Tiba-tiba terasa ada yang mendorongku untuk mengejarnya, Zahwa sudah menuju lift.
            “Waaa….tunggu!” aku berteriak tak terkendali. Beberapa orang pengunjung pusat perbelanjaan memandangku aneh, aku tak perduli, who care? Zahwa menoleh kebelakang, aku memberi isyarat sedang mengangkat telepon. Zahwa mengerti dan menghentikan langkahnya, membuka tas dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Aku mempercepat langkah, mengejarnya.
            “Ini, kartu namaku. Ma’af ya? Aku buru-buru, Assalamu’alaikum,” Zahwa menyodorkan sebuah kartu berwarna biru dan langsung  berbalik arah dan setengah berlari menuju pintu lift yang terbuka. Kujawab salam hanya berupa desisan halus, kecewa. Aku kembali ke restoran dengan langkah lunglai. Selera makan mendadak hilang entah kemana, kuah kari yang menguap panas terasa seperti rebusan tak bergaram. Aku masih duduk tercenung di sofa merah, menunduk meredakan sedih. Mengapa aku harus bertemu lagi dengan Zahwa? dengan cara seperti ini pula. Aku benar-benar tersiksa, aku juga kembali teringat Audia.
            “Bungkus, Mas. Makanannya saya bawa pulang aja,”  aku melongsorkan tubuh yang lunglai, pelayan hanya mengangguk. Suara saxophone Kenny G bukan lagi terasa merdu, tapi persis seperti suara harimau lapar menjerit-jerit tanpa irama.
            Siang ini, aku sama sekali tak menyentuh makanan apapun. Entah mengapa pula, perutku berhenti berteriak seakan maklum suasana hatiku. Makanan yang aku pesan di Restoran tadi aku serahkan pada Sisi yang tersenyum-senyum senang. Selebihnya, aku duduk tanpa daya di mejaku dan keluar lagi. Seperti remaja putus cinta, galau. Kuperhatikan kartu nama Zahwa. Dia sudah berhasil  meraih cita-citanya menjadi dokter specialis kandungan. Tinggal di sebuah kompleks perumahan elit di kota Medan. Zahwa secara fisik masih sama seperti Zahwa yang dulu, tidak banyak perubahan. Hanya saja Zahwa Nampak lebih dewasa, tenang dan matang. Mungkin karena ia juga adalah seorang istri pejabat penting di kota ini.
            Aku memilih melaksanakan Zuhur di mesjid pusat perbelanjaan. Duduk merenung, menekur wajah hingga 80 derajat, berzikir, menenangkan diri. Berharap Allah akan memberiku makna sebuah pertemuan yang tak terduga. Bertemu dengan Zahwa, perempuan yang sudah merubah jalan hidupku. Perempuan yang sudah aku lupakan dan aku sudah menemukan Audia. Tapi kini, Audia juga sudah pergi. Aku berharap, Allah memberi hikmah di balik semua ini, ada rahasia di balik rahasia.


           
           



PULANG (22)



            Pintu-pintu rumah tertutup rapat di musim dingin. Udara di luar mencapai minus sepuluh derajat celcius, salju tebal menutupi jalanan Canberra. Pohon-pohon dan atap rumah memutih. Siaran radio dan TV cabel sudah mengumumkan akan terjadi badai, diharapkan warga Caanberra tidak meninggalkan rumah. Kantor-kantor  pemerintahan tutup, sementara hanya beberapa kantor yang tetap beroperasional seperti biasa. Sekolah-sekolah sudah terlebih dahulu diliburkan. Aku, memilih tinggal di rumah. Tinggal di rumah jauh lebih hangat, karena mesin penghangat sangat membantu.
            Siang ini, aku memilih duduk di pinggir jendela kaca yang bingkainya sudah diselimuti es. Truk-truk pengeruk es bekerja keras mengeruk salju di jalan yang tebal. Sementara angin kencang bersuit-suit, pohon-pohon berselimut es bergeming. Aku memperhatikan terjadi kekacauan di jalan depan rumah. Antara pintu rumah dan jalan berjarak lima meter, setelah melewati halaman rumah yang jika musim semi atau musim panas berwarna hijau. Rumah-rumah di Canberra pada umumnya memiliki halaman dan tidak berpagar. Kini, halaman itu memutih oleh gundukan-gundukan salju yang beku.
            Aku memerhatikan petugas pengeruk es itu keluar dari mobil pengeruk dan terjatuh, mungkin karena bobot pakaiannya yang berat atau angin yang kencang. Seorang temannya keluar ingin menolongnya, memapah temannya dengan kesulitan karena angin yang kencang.
Mereka tampak kebingungan memperhatikan pintu-pintu rumah yang tertutup. Agaknya mereka butuh pertolongan. Tanpa pikir panjang aku membuka pintu rumah, berteriak ke arah mereka, lupa pada pakaianku yang hanya memakai sweater satu lapis. Suaraku melawan angin, dan aku langsung merasa membeku. Syukurlah, petugas pengeruk itu segera menghampiri rumah dengan langkah yang tertatih-tatih.
            Thankyou..I need toilet, please...,” itulah ucapan pertama yang kudengar dari petugas itu. Aku tersenyum dalam hati, ternyata ia perlu kamar mandi, mungkin mau pup ya? Pikirku lucu. Aku pikir ada sesuatu yang lebih serius dari itu, ah...temannya cengar-cengir. Bagiku, petugas-petugas ini seperti pinguin, yang hidup di es. Ekspresi wajahnya memang kedinginan tapi tidak menggigil sama sekali, sementara aku yang baru saja membuka pintu rumah sudah hampir beku seperti ikan di dalam freezer.
Aku menunjuk arah kamar mandi kepada petugas yang ramah itu. Wajahnya sangat bersahabat, apalagi setelah kami mengobrol sambil menikmati secangkir coklat panas.
            “Do you have some wine, maybe...’”
            “Oh, sorry. I am a muslim, I don’t have wine.” Jawabku pasti
            “Oooh...sorry, thankyou for a cup of chocholate,”  mereka dengan ramah menyalamiku, setelah lima belas menit menghangatkan diri. Petugas yang akhirnya aku tahu bernama Steven dan William itu asli penduduk Canberra, yang neneknya dari suku aborigin. Aku memperhatikan mereka kembali dari bingkai jendela yang memutih, baru lima belas menit mereka meninggalkan mobil mesin pengeruk, tapi salju sudah menutupi sebagian mobil dan jalan kembali menebal oleh gundukan putih itu. Aku menyeruput coklat panas sambil menarik nafas panjang, untuk pertama kali aku menikmati salju dan pemandangan ini, juga badai dan angin yang tak bersahabat di luar sana. Karena, ini adalah musim dingin terakhir aku berada di negeri asing, aku akan segera pulang ke Indonesia.             
****
            Menghabiskan waktu dua tahun setelah wafatnya Audia di Canberra bukanlah perkara mudah. Bayangan perempuan cantik dan baik itu terus menghantui, sementara rasa bersalahpun terus mendera. Sering ketika selepas sholat malam, aku seperti melihat Audia yang berdarah dan kejang seperti hendak melepas nyawa. Baru saja kami bercakap-cakap, Audia yanng ceria sambil menikmati keripik kentangnya, dengan jilbabnya yang berkibar. Namun tiba-tiba semua musnah begitu saja, Audia meninggal. Aku bisa merasakan betapa tipisnya batas antara hidup dan mati. Mr. Lamek dan tante Diana tidak pernah menyudutkanku, atau menganggapku sebagai sebab kematian putri tercintanya. Tapi tetap saja aku merasa bersalah, entah sampai kapan. Padahal aku adalah orang yang menyandarkan semua kepada takdir dan kuasa Allah, tapi untuk hal ini tetap saja terasa sulit.
            Alhamdulillah, kakiku tak pernah mengalami masalah serius. Tungkai sudah dapat dilipat dengan sempurna. Perasaan ngilu terkadang muncul pada waktu tertentu, tapi tidaklah serius. Buatan manusia tetap saja tidak pernah mampu menggantikan apa yang telah Allah ciptakan. Perusahaan Mr. Lamek semakin maju pesat dan aku semakin paham banyak hal tentang seluk beluk software dan pemasarannya. Dan tekad sudah bulat bahwa aku akan segera pulang ke Indonesia dan membangun kerajaanku sendiri di sana. Mr. Lamek sudah setuju, setelah aku banyak berkonsultasi kepada Bapak yang baik ini. Semua tugasku akan di alihkan ke Zamzami, yang setelah kematian Audia langsung pindah ke Canberra.
            Orang pertama yang paling bahagia mendengar aku akan pulang adalah Emak. Hampir setiap minggu Emak telepon, dengan alasan takut aku merubah pikiran. Wajar saja, karena selama dua tahun di Rotterdam dan lima tahun di Canberra aku tak pernah pulang. Melepas rindu hanya melalui surat dan telepon, merasakan pelukan emak hanya dari jauh. Atau mendengar emak yang mengeluh dan marah dari jauh, ah! Betapa aku merindukan emak, perempuan yang sudah menyediakan rahimnya sebagai tempat aku bersarang selama sembilan bulan.
            Orang kedua yang aku kabarkan adalah Zeiny. Lelaki yang sudah dianugerahkan anak tiga itu juga tak kalah antusias. Yang membuat aku tersenyum kecut adalah ucapannya.
            “Segera cari istri, jangan jadi bujang lapok! Kalau payah kali, nanti aku carikan perempuan aceh yang sesuai seleramu,” ah!..Zeiny ada saja. Memang perempuan itu makanan? Sehingga dikatakan sesuai selera? Ada-ada saja.          Bibirku tetap menyungging senyum, walau hati terasa perih. Untuk urusan perjodohan, agaknya aku memiliki jodoh yang jauh. Ternyata tak mudah menemukan tulang rusuk yang hilang itu. Atau, memang Allah ingin aku benar-benar menjadi pejuang dalam kehidupan? Berjuang melewati masa kecil yang sulit tanpa seorang ayah. Berjuang melewati masa sekolah yang pahit karena miskin, begitu juga masa kuliah yang suram atau masa dimana menjadi pengangguran. Setelah itu, berjuang di negara asing dengan musim dingin yang menggigit sampai tulang, dan sekarang...berjuang memulai bisnis dan satu lagi, berjuang mencari istri.
            Benar, life is fight. Hidup adalah perjuangan, selama kita hidup dan masih bernafas maka perjuangan belumlah usai. Jika tak ingin berjuang mencapai apa yang kita inginkan dalam hidup, sebaiknya berhenti saja hidup. Percayalah, memang begitu adanya. Pulang nanti, aku akan memulai bisnis baru dalam penjualan perangkat lunak. Aku ingin yang simple saja, buka toko. Aku ingin semua berlangsung cepat dan tak ingin menjadi pengangguran sekembalinya ke tanah air tercinta. Lagi-lagi aku butuh pertolongan Zeiny, mencari tempat yang tepat untuk penjualan hardware dan software lengkap. Aku tidak punya kerabat di Medan, hanya Zeiny yang terdekat. Aku hanya bantu dengan browsing, dan Zeiny akan membuktikan secara reel. Dan, sahabat baikku itu sengaja mengambil cuti kerja demi kepentingan ini. Zeiny, memang melebihi saudara kandung sendiri bagiku yang tak memiliki siapa-siapa selain emak.
            Musim semi, 23 Agustus aku meninggalkan Canberra. Pulang ke tanah air untuk menjemput impian dan masa depanku. Menemui emak yang kucinta dengan sepenuh rindu. Jika harus berkata jujur, sebenarnya perasaan hatiku bercampur aduk antara sedih dan bahagia. Ada perasaan sedih meninggalkan Canberra dan pekerjaan yang sudah terlanjur nyaman dan kusenangi. Sedih meninggalkan oom Lamek dan tante Diana yang hangat dan telah pula aku “kecewakan” (entah mengapa, selalu aku merasa seperti itu). Tapi, sisi bahagia lebih dominan, bahagia akan segera menjejakkan kaki di bumi Indonesia yang hangat. Bahagia akan segera berjumpa Emak.
            “Jalanilah bisnis seperti yang pernah engkau dapat di sini, jadilah raja bagi diri sendiri,” pesan Oom Lamek sebelum aku berangkat pulang.
            “Terimakasih, Oom. Atas semua kesempatan yang telah oom berikan kepada saya. Sekali lagi saya mohon ma’af atas semuanya,” ada sesuatu yang sangkut d tenggorokannku, sakit sekali.
            “Tidak ada yang perlu saya ma’afkan, Tir. Allah maha tahu segalanya, jangan pernah berpikir yang bukan-bukan. Kamu tahu mengapa saya sangat ikhlas melepas Audia? Karena ia dijemput Allah dalam puncak keimanannya. Dia berhijab, dia sholat, dia selalu bermunajat malam dan puasa sunah dan dia selalu berzikir dalam diamnya. Saya yakin, dia penghuni syurga di sisi Allah. Itulah, saya sangat ikhlas, sangat ikhlas,” mata Oom Lamek nampak berkaca-kaca. Aku tak dapat menahan diri, airmataku jatuh dan oom Lamek memelukku dengan hangat dan dada yang berguncang, dia menangis.
            “Pulanglah, jumpai Ibumu. Jika ada waktu, jumpai saya lagi,” Oom Lamek melepaskan pelukannya dan menepuk bahuku, aku mengangguk
“Ya, Oom. Saya akan selalu berkirim kabar. Do’akan saya ya, Oom?” aku menyalami Oom Lamek dengan takzim dan mencium tangannya.
            Pesawat Qantas air line membelah langit canberra yang cerah. Mengantarku pulang kepada Emak. Mendengar perkataan Oom Lamek yang ikhlas karena Audia di syurga membuatku bisa tersenyum. Ya, aku juga sudah ikhlas, karena oom Lamek benar, dia dijemput Allah dalam puncak keimanannya. Aku menarik nafas lega, melihat bayangan Audia tersenyum manis. Aku siap kembali ke tanah airku, untuk kembali berjuang menjempput mimpiku. Karena life is fight, hidup adalah perjuangan. Ketika Allah masih memberiku oksigen, maka perjuangan belum selesai.



TRAGEDI COMMONWEALTH BRIDGE (21)



            Autum di Canberra. Mata dimanjakan warna coklat dan orange, sepi hijau. Daun-daun berwarna kuning keemasan, berserak di sepanjang jalan dan taman. Pohon-pohon seakan berdiri mati, karena daun yang telah lepas dari dahannya. Batang-batang itu semakin indah dibawah pantulan matahari sore, siluet seni yang dalam. Angin terasa dingin menusuk tulang. Sore autumn, indah. Tinggal di Negara empat musim, sangat variatif dan menuntut daya tahan tubuh yang kuat. Negara tropis amatlah nyaman, tubuh tidak selalu terkejut menerima perubahan cuaca. Aku menyukai musim semi dan autum, sementara aku sangat membenci musim dingin. Bila musim dingin datang, jika keluar rumah gigiku terus menerus gemeretuk, bibir pecah-pecah dan terkadang darah segar keluar dari hidung. Putih salju sangat menyilaukan mata, sering aku sakit kepala. Syukurlah kacamata hitam banyak membantu. Agaknya, mataku mulai kehilangan daya lihat maksimal, sering berair dan melihat tidak focus.
            Pekerjaanku di Canberra semakin baik. Mr. Lamek mempercayakan aku sebagai manager divisi pengadaan barang. Hal ini membuat aku semakin banyak mengenal orang-orang dari manca Negara, terutama yang berhubungan dengan computer. Emak selalu menelepon dan meluapkan rindunya sambil sesekali mengomel. Mengatakan aku sudah lupa padanya, ia tak perlu uang tapi hanya ingin aku pulang. Ya, aku sudah lima tahun tidak menginjak Indonesia. Melewati lima Ramadhan dan lima lebaran di Negara asing. Aku ingin sekali pulang, tapi entahlah. Terkadang kepalaku selalu dipenuhi angka-angka. Yang aku pikirkan hanya menabung sebanyak-banyaknya. Aku sudah meminta Emak untuk mendaftar berangkat haji. Tapi emak ingin berangkat bersamaku, jadi ia masih menungguku. Aku ingin pulang, tapi aku masih menunggu waktu yang tepat. Aku ingin memeluk emak, tapi masih tertunda.
Aku masih mengatur strategi, untuk bisa menjadi bos bagi diri sendiri. Atau, aku juga harus mampu membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain yang membutuhkan. Seperti yang pernah dikatakan Audya, yang selalu memotivasi diriku. Perempuan yang mengagumkan, yang sebulan lalu menemuiku dengan geraian jilbab yang indah. Rambutnya yang coklat sudah tertutup, begitu juga lengan dan betisnya. Audya, menampakkan aura sebagai seorang muslimah yang cantik dan cerdas. Diam-diam, aku menyukainya. Aku pernah mengutarakannya, Audya tersenyum menampakkan sederet giginya yang putih, pipinya merona merah.
“Apakah saya pantas untuk orang shaleh seperti kamu?,” Audya menunduk, memainkan jari tangannya dengan gelisah. Aku terkekeh geli, dia menganggapku orang shaleh? Ah..
“Mengapa kamu memandang saya sebagai orang shaleh?,” aku memancingnya, untuk mengeluarkan pikirannya tentang aku.
Simple answer, karena kamu rajin sholat, puasa sunat, tidak berhubungan dengan perempuan, I think that enough.” Aku berdehem, terbatuk-batuk kecil sebagai cara menghentikan gemuruh yang berdentum di dada layaknya badai tornado.
“Kalau begitu, kamu mau menjadi istri saya?. Seorang pemuda miskin, yang tidak punya harta?,” aku nyaris tidak dapat mendengar suaraku sendiri, pelan sekali.
“Harta bukan segalanya, kepribadian itulah harta sesungguhnya. Mama selalu mengingatkan kami, bahwa harta itu bukan sumber kebahagiaan, hanya pendukung saja. Aku tidak pernah takut miskin, karena Papa tidak akan pernah membiarkannya,” Audya berkata mantap, tegas.
“Apakah Oom Lamek tidak keberatan jika aku menjadi suamimu?,”
“Berapa kali harus aku katakan, bahwa papa sangat mengagumimu, ha?,” Audya melotot lucu. Aku tersenyum mengangguk-angguk, hidungku kembang- kempis merasa tersanjung.
Aku, sudah mengatur rencana. Emak sudah aku telepon dan sangat senang, suaranya nyaring seperti orang bernyanyi.
“Kirim fotonya, ya?,” itulah kata-kata emak melalui telepon. Aku minta foto Audya yang memakai jilbab dan segera mengirimnya ke Medan. Emak menelepon lagi.
“Ya Allah…cantik sekali, Tir. Pasti nanti anakmu cantik seperti Ibunya. Cepat pulang, segera nikahi Audya, ya?,” suara Emak mendayu-dayu senang, seperti anak yang dapat permen.
“Sabar, Mak. Insya Allah aku pulang secepatnya, dua tahun lagi,”
“Tidak baik lama-lama, Tir. Segera nikahi Audya, bila perlu bulan depan,” aku tak lagi menjawab instruksi emak. Takut terlalu panjang, juga tak ingin membantah Emak. Emak benar, akan tetapi aku juga tidak salah. Aku harus mengatur rencana secara matang. Audya harus menyelesaikan studynya terlebih dahulu. Untuk kemudian mengajak Audya menikah dan kami akan pulang ke tanah air. Semua, sudah kutulis dalam agenda rencana, perfect!.
***
            Sore yang indah di musim gugur. Awan berarak kelabu dan dingin. Siang tadi aku sholat Jum’at di Canberra Mosque di empire circuit. Pagi  tadi, Audya minta aku menemaninya ke Lake Burley Griffin. Audya minta agar kami sampai sebelum jam empat sore untuk menyaksikan Water jet di tengah danau. Water jet di luncurkan pada pukul 11 siang dan pukul 4 sore. Jika ada matahari, air seberat enam ton yang ditembakkan ke udara itu akan menghadirkan pelangi. Tapi, itu biasanya muncul pada musim panas. Hari ini tidak ada matahari, tapi Audya ingin melihat water jet yang fantastis itu. Sambil memanjakan mata memandang danau buatan yang biru membentang.
            Lake Burley Griffin terletak di jantung kota Canberra. Danau yang dirancang ahli lanskap dari Amerika, Walter Burley Griffin memiliki luas 35 kilometer. Di bangun pada tahun 1963 dan menjadi kebanggaan masyarakat Canberra. Pada musim panas, danau ini menjadi pusat olahraga ski air. Di sekitar danau, ada jalanan tempat bersepeda untuk mengelilingi danau. Lake Burley Griffin adalah tempat favorit turis yang berkunjung ke Canberra. Rencananya, Audya yang akan menjemputku ke kantor di kawasan Pert Avenue.
            Di kantor, aku masih memeriksa laporan Barney tentang jumlah software yang masuk pada bulan Maret ini.
            “Assalamu’alaikum…,” kepala Audya yang ditutup jilbab merah maroon muncul dari balik pintu. Aku menjawab salam dan menyuruhnya masuk.
            “Kita langsung ke Burley Griffin?,” Audya masih memegang handle pintu.
            “Mengapa buru-buru?,”
            “Aku takut ketinggalan water jet,”
            “Aduuh, seperti baru pertama lihat aja,”
            “Entahlah, aku ingin cepat ke sana. Ayolah…nanti terlalu dingin. Sholat ashar kita nanti di Canberra Mosque, aku kepingin lihat anak-anak bermain di halaman mesjid.”
Aku memperhatikan aura wajah Audya yang aneh, cahaya mata yang tidak seperti biasanya. Apakah ia sakit?. Ah, tidak ada sesuatu yang pantas dipikirkan secara negative. Water jet tetap menarik sampai kapanpun, lake Burley Griffin juga layak menjadi pemandangan yang selalu ingin disaksikan. Begitu pula anak-anak yang bermain di halaman mesjid Canberra. Halaman mesjid Canberra dirancang seperti taman bermain. Yang cukup menarik lagi adalah, anak-anak dari berbagai Negara ada di sana. Lanskap kecil dunia muslim tampak di halaman mesjid. Ada anak-anak berkulit putih dari eropa, ada yang berkulit kuning dari asia atau lebih banyak lagi dari Afghanistan dan Turki. Bukankah itu sangat menarik?.
You drive,” Audya menyerahkan kunci mobil. Seperti biasa, aku tidak menolak. Bukankah etika timur seorang pria menjadi supir bagi seorang wanita?. Di manapun, aku masih lebih menghormati budayaku sendiri. Budaya timur yang santun.
            Prius putih membelah Pert Avenue di kawasan Yarralumla yang sedang lengang. Menuju ke utara, menyeberangi Commonwealth bridge yang membelah danau Burley Griffin sepanjang 1 mil. Audya membuka jendela mobil, katanya ingin menikmati angin. Di tangannya sekotak keripik kentang siap untuk disantap. Di dasbor mobil masih ada lagi sekotak coklat kacang, dan di jok belakang masih ada satu krat soda. Di setiap perjalanan, Audya tidak pernah lupa dengan makanan ringan. Dia akan terus mengunyah makanan sambil berbicara, sesekali tertawa. Jilbab maroon yang dikenakannya berkibar ditiup angin. Kecepatan mobil yang kukemudikan berkisar antara 70 km perjam. Angin berdesir-desir masuk melalui jendela mobil, suasana yang benar-benar santai. Audya bercerita tentang studinya yang hampir selesai. Tentang teman-temannya yang dapat menerima perubahan penampilannya. Tentang harapan dan cita-citanya. Aku, cukup menjadi pendengar yang baik, dengan mata yang sesekali menyipit.
            Memasuki Commonwealth bridge, aku mengurangi kecepatan. Jembatan panjang ini juga Nampak lengang. Di tengah jembatan, aku menambah kecepatan laju mobil. Sama sekali aku tidak memperhatikan, di depan kami sebuah container juga melaju dengan kecepatan tinggi. Mataku menyipit, ada cahaya menyilaukan yang memancar dari arah depan. Aku mengurangi kecepatan.
            Watchout!!..,” Audya menjerit panik. Tapi terlambat, sayap kiri container menyentuh kap depan mobil, Audya menjerit menyebut asma Allah. Prius putih yang aku kendarai membentur dinding jembatan dengan cukup keras, terseret dan mengeluarkan percikan api dari gesekan dinding jembatan. Mobil berhenti setelah terseret puluhan meter.
Aku masih sadar, terikat pada sabuk pengaman. Kakiku tidak merasakan apa-apa, kepalaku terasa hangat, mungkin ada rembesan darah, bibirku terus mengucapkan asma Allah. Aku memperhatikan Audya yang juga terikat sabuk pengaman, wajahnya penuh darah. Jilbabnya basah, Audya masih bergerak, tapi seperti orang kejang, menggeliat-geliat.
            “Audy…Audy..,” tak ada jawaban.
            “Audy…bangun, Audy..,” masih tak ada jawaban. Tiba-tiba dadaku sesak, seperti dihimpit ratusan ton beban berat. Lamat-lamat semua hitam, suara-suara riuh terdengar dari luar mobil, sangat jauh.
***
            Tragedi di Commonwealth bridge. Kaki kiriku patah, tepat pada tungkainya. Kepalaku hanya sedikit luka, tak ada luka lain, wajahku bersih. Tapi, Audya tidak. Dia mengalami luka fisik yang parah, kepalanya mengalami benturan berat dan wajahnya terkena serpihan kaca mobil. Dan, Allah telah menjemputnya. Audya tidak dapat tertolong, kami semua pasrah. Berserah diri sepenuhnya pada Allah.
            Mr. Lamek dan Tante Diana mendapat cobaan yang berat, aku juga. Rasa bersalah dan penyesalan menyusup dalam setiap aliran darahku. Bayangan wajah Audya tak pernah lepas dari pikiranku. Mengapa ini bisa terjadi?, mengapa aku mengantuk? mengapa tidak Audya saja yang menyetir? Mengapa tidak ke mesjid Canberra saja dulu, sehingga tidak berpapasan dengan container itu? Mengapa? Semua kata-kata mengapa mengisi kepalaku selama 24 jam. Allah adalah tempat aku berserah. Tapi aku juga manusia yang lemah, berharap semua berjalan sesuai rencanaku sebagai manusia yang ingin bahagia. Tapi kini semua sudah terenggut, Audya telah pergi selamanya. Semua rencana kandas sudah, tak berbekas apa-apa selain luka yang menganga.        
            Dua bulan aku harus mengistirahatkan kaki kiriku, pasca operasi. Bone tissue 35 dm dimasukkah ke sela-sela tungkai di dua tempat. Aku harus menggunakan tongkat dan selama dua bulan tidak oleh memijakkan kaki ke tanah. Hampir setiap hari Emak menelepon, menanyakan kondisiku. Setiap kali menelepon Emak tersedu, mengharap dirinya ada di dekatku. Menemaniku, menghiburku. Aku merindukannya, aku juga ingin ada di dekatnya, mencurahkan semua kedukaan, kehancuran perasaan dan harapan.
Dua kali dalam seminggu aku harus mengikuti terapi di Canberra hospital. Barley mengantarku dengan setia. Lelaki jangkung itu banyak menghiburku. Pada hari minggu ia membawa anak dan istrinya ke rumah. Barley memiliki seorang putri kecil berusia 4 tahun yang dipanggil Emily. Emily berambut pirang dan bibirnya merah seperti strawberry matang. Emily lucu dan cerdas, dia memanggilku Oom Pet. Panggilan aneh yang lucu, Pet? Ya…Pet!. Dan, ketika keluarga Barley pulang. Aku kembali dicekam perasaan kehilangan yang dalam. Harapan ke depan semakin terasa suram. Menggambarkan siluet-siluet yang panjang, luas dan tak memiliki tepi.



           

           

Senin, 08 April 2019

GADIS ADELAIDE ( 20 )



            Langit kelam, awan gelap memayungi lekat kota Canberra. Aku baru saja menjejakkan kaki di pintu rumah, hujan turun diiringi guntur hadir dengan luar biasa. Kuletakkah jaket di sofa hijau tua yang terbuat dari kayu onix, melangkah menuju dapur yang berdinding  putih susu, mengambil minuman dari lemari es dan menenggaknya habis. Hari ini memang hari yang cukup melelahkan, separuh energiku terasa pergi, raib. Mr. Lamek memintaku menemui Mr. Osswort, lelaki bertubuh tinggi besar yang baru datang dari New York. Tugasku adalah memberi pelayanan terbaik untuk Mr. Osswort mengitari Canberra, makan di tempat yang enak sambil membicarakan beberapa hal yang berhubungan dengan bisnis.Yang membuat aku bingung adalah, lelaki itu seperti banteng yang tak pernah lelah. Seharian mengelilingi Canberra dengan pertanyaan yang tak kunjung selesai, sementara aku punya keterbatasan untuk menjawab. Belanja seperti perempuan, bukankah itu hal yang menyiksa? Menjawab sesuatu yang kita juga tidak tahu dan membawa tas belanjanya yang minta ampun.  Satu-satunya cara aku bisa beristirahat adalah ketika melaksanakan sholat Zuhur dan Asar. Itupun aku harus menjelaskan dengan panjang lebar bahwa aku seorang muslim yang punya kewajiban lima waktu. Syukurlah, walau Mr. Osswort tidak begitu memahami, paling tidak ia bisa memaklumi.
Sebenarnya ini adalah tugas Rolf, untuk mengantar tamu-tamu di perusahaan. Tetapi ia sedang mengunjungi ibunya yang sakit di Queensland. Jadilah tugas itu menjadi tanggung jawabku, seorang pemuda Indonesia yang baru setahun di Canberra. Ah…kutarik nafas panjang, melongsorkan badan yang penat, serasa tulang seakan lesap dari tubuh. Di luar, hujan semakin garang saja, Guntur mendentum-dentum seperti gendang raksasa yang ditabuh di atas langit. Aku merebahkan tubuh di sofa, aku  tidak berniat tidur, karena sebentar lagi masuk waktu magrib. Cukuplah sekadar berbaring, melepas penat. Ada kecemasan di hati, jika aku tertidur aku tidak akan terbangun untuk melaksanakan sholat magrib. Tidak ada suara azan di Canberra, seperti suara azan yang selalu menyejukkan jiwa ketika dia di kampung halaman, Indonesia belahan barat. Sholat, adalah benar-benar ritual yang dilaksanakan semata-mata karena iman. Jika tidak, tinggallah semua. Itulah kehidupan di negeri asing, muslimnya minoritas, berjalan sendirian dan agak menakutkan.
Kehidupan di Canberra lebih baik, itu benar. Canberra adalah kota yang nyaman sebagai tempat tinggal, tidak terlalu padat penduduk. Kehidupan orang-orang Nampak makmur, Canberra adalah kota tempat pusat pemerintahan Australia berlangsung. Di sini, aku menempati rumah Mr. Lamek yang nyaman, sendirian. Gajiku lebih besar daripada sewaktu aku di Rotterdam, akupun kerja di kantor yang nyaman, setiap hari berdasi dan bersih. Hanya saja, aku di sini tak berkawan. Tidak ada keluarga seperti teman-teman sewaktu di Rotterdam, sahabatku hanya perempuan dan lelaki berambut pirang. Mr. lamek menjanjikan Zamzami akan segera ditarik ke Canberra, tapi Zamzami belum juga menyelesaikan studinya.
Baru  saja aku meluruskan tubuh di sofa, bel berdenting tiga kali. Kutarik  nafas panjang dan enggan untuk bangkit. Siapa pula yang datang pada saat hujan begini? Biasanya, orang-orang lebih suka berdiam di rumah, ditambah lagi waktu merangkak gelap. Canberra adalah kota yang damai, kota elegan, semuanya saling menghormati. Aku  mencoba mengabaikannya, tapi bel semakin kencang berdenting. Mau tak mau aku bangkit, menarik nafas panjang dengan malas dan dongkol. Kuseret  kaki yang lelah dengan paksa, terseok-seok. Kuintip  dari kaca kecil yang ada di daun pintu, aku terperangah kaget, seorang perempuan cantik menggigil kedinginan di depan pintu rumah. Aku membuka pintu, dengan perasaan yang tidak menentu.
“Assalamu’alaikum…,” sapa perempuan itu yang ternyata Audia, putri Mr. Lamek.
“Wa’alaikum salam. Ada apa, Audi? Kok hujan-hujan begini datang, dengan siapa?” bertubi-tubi pertanyaan itu berhamburan dari mulutku yang kebingungan.
“Enggak, Bang. Saya sendiri, memang rencananya saya mau kesini, tapi hujan menyambut saya.”
“Ada apa?”
“Enggak apa-apa, ada tugas dari papa yang harus saya kerjakan disini.” Audi masih berdiri di depan pintu, aku belum menyuruhnya masuk.
“Oya..mari masuk,” mendadak aku sadar akan kebingunganku. Bukankah rumah yang kutempati sekarang ini adalah rumah Mr. Lamek, selain ada juga rumah lain yang lebih besar dan berhalaman luas. Biasanya, rumah yang besar itu tempat mereka beristirahat jika sedang berkunjung ke Canberra. Tapi, petang ini, mengapa Audya singgah ke sini?
Aku buru-buru menyerahkan handuk, Audya mengangguk dan tersenyum.
“Terimakasih, Bang. Saya hanya magrib di sini, nanti saya langsung ke big house.”
“Mengapa tadi tidak langsung saja ke big house?
“Entahlah, saya takut petir. Saya minta supir taxi mengantar ke mari, di sana saya tidak ada teman,” wajah Audia Nampak ketakutan. Aku baru menyadari bahwa gadis ini takut petir, itu yang pernah aku dengar dari Zamzami.
“Ma’af, saya merepotkan. Nanti selepas magrib saya pulang,”
“Kalau hujan belum reda, bagaimana?” kulontarkan juga pertanyaan bodoh itu. Aku sendiri bingung, tidak mungkin kami berdua di rumah ini. Sangat tidak layak dan mengganggu pikiran. Audya tidak menjawab, kepalanya menunduk, rambutnya yang basah tergerai ke depan, menutupi sebahagian wajahnya yang putih.
“Sebentar, aku siapkan kamar untukmu,” aku bangkit, mencoba berbasa-basi.
“Enggak usah, Bang. Saya ke big house aja,”
“Yakin?, berani?”
“Insya Allah, saya berani. Enggak pantas saya di sini, Bang,” hmm..seorang Audya berkata seperti itu? Siapa sebenarnya gadis cantik ini? Jantungku berdegup penasaran.
Malam ini, pandanganku tentang seorang Audia benar-benar berubah. Dia bukan seperti gadis yang aku pikirkan, gadis Eropa yang modern. Busana yang selalu dikenakannya sangat bertolak belakang dengan apa yang aku saksikan malam ini. Seorang  gadis yang dibesarkan di Negara asing melaksanakan shalat magrib. Selepas magrib melantunkan ayat suci Al Qur’an, lancar dan berirama merdu, bulu kudukku berdiri. Tapi, mengapa ia tidak sekalian berhijab? menyempurnakan ibadahnya sebagai seorang muslimah?
Aku harus mengantar Audya pulang ke big house, hujan sudah mulai reda. Jalan hitam di depan rumah berkilauan disinari lampu neon jalanan. Di sini, tidak ada genangan air meskipun hujan lebat turun, atau ketika salju mencair. Tata kota tertib dan rapi, semua dilaksanakan secara sistematis dan terencana, Canberra benar-benar kota yang elegan.
“Kita makan dulu, ya?” suaraku terdengar memecah keheningan, ketika kami berjalan mencari taxi.
“Boleh, aku juga lapar.” Audya tersenyum, dan melanjutkan.
“Pernah makan di Sanur restoran?”
“Belum, ada yang istimewa?” jawabku sambil memasukkan tangan ke kantong jacket, hujan menyisakan udara dingin, lebih dingin dari habis hujan di Indonesia.
Sure, oke..kita ke sana,”
Sanur  restoran yang ada di Shop 1 The Boardwalk Nampak sepi, hanya beberapa meja terisi. Menurut cerita Audya,  biasanya  restoran ramai ketika dinner. Tapi malam ini hanya Nampak beberapa pasangan yang sedang menyantap makan malam. Aku dan Audya mengambil  tempat di sudut ruangan, di sebuah sofa merah yang nyaman. Seorang waitres menghampiri kami, Audya memesan nasi ulam bali dengan jukut urab. Aku lebih memilih nasi goreng. Menurut pengalamanku di negeri asing, apapun namanya makanan di sini tidak akan pernah sama rasanya dengan di Indonesia, lidah tetap asing menerimanya. Sama seperti sewaktu aku di Rotterdam, masakan Indonesia tetap saja disesuaikan dengan lidah asing, agar layak jual. Aku tersenyum sendiri, mengingat daun ubi tumbuk yang ditaburi keju. Menu ‘aneh’ yang pernah aku buat di Indesyelatte Restaurant sewaktu di Rotterdam.
“Apa yang kamu dapatkan setelah di Canberra?” Audya membuka pembicaraan. Suara music instrumental terdengar sangat memanjakan telinga. Aku semakin ngantuk saja, tapi aku harus menemani putri Mr. Lamek ini. Yang, entah mengapa pula aku mulai memperhatikannya dan ingin tahu lebih banyak tentang gadis ini. Gadis Indonesia yang besar di Negara asing, gadis Adelaide yang sholat maghrib dan membaca alqur’an saku.
“Hmm..apa ya?” aku berpura-pura bingung. Pura-pura bingung? Ah…sesungguhnya aku memang bingung. Apa yang aku dapat di Canberra?
“Maksudku…ilmu, pengalaman, atau..apalah…,” Audya lebih menegaskan, setelah  mengucapkan terimakasih kepada waitres yang telah mengantarkan pesanan kami. Harum aroma urap menusuk tajam hidung. Kuperhatikan piring Audya, memang urap terdiri dari aneka sayuran. Tapi apakah rasanya sama dengan urap yang selalu dibuat Emak? Aku sangat rindu pada wanita yang telah memberikan aku kehidupan di rahimnya.
“Kamu kenapa, Bang?” Audya memandangku aneh.
“Ah..enggak, aku jadi ingat Rotterdam. Di sana lebih mudah mendapatkan makanan Indonesia daripada di sini.”
So? Aku harus bilang kepada papa supaya buka restoran Indonesia disini?” Audya cepat menyambar dari sisi bisnis.
“Oiya, kenapa Oom Lamek enggak buka restoran Indonesia di sini ya?” aku mulai mempertanyakannya. Audya tersenyum, menyeruput strawberry milk pelan.
“Papa bisnisnya gado-gado, aku juga enggak ngerti,” aku mengerti maksud Audya, bisnis Mr. Lamek memang campur-campur. Perkebunan di Indonesia, restoran di Belanda, perangkat computer di Australia dan entah apa lagi yang mungkin saja aku tidak tahu.
“Kamu besar di sini, di luar Indonesia. Apa tidak berpengaruh terhadap sikap dan moral?”
Pertanyan bodoh, aku merutuki diri sendiri. Mengapa pertanyaan itu yang keluar dari mulutku? Audya tersenyum, urung menyuap nasi ke mulutnya.
            “Siapa bilang tidak terpengaruh? aku terpengaruh sekali,”
            “Oya? Tapi kamu melaksanakan sholat, di tasmu ada mukena dan Al qur’an. Bukankah itu pemandangan aneh di sini?” aku masih belum mengerti.
            “Aku sampai SMP masih  di Indonesia. Senior High School baru aku ke Brisbane. Bayangkan saja usia segitu aku dihadapkan pada perbedaan budaya yang sangat mencolok. Aku sempat gamang, terikut pola hidup barat. Tapi, syukurlah. Orangtuaku sangat ketat beragama, biar hidup di belahan dunia manapun agama tetap dijaga, termasuk ibadah rutin,” Audya mengunyah makanannya pelan, aku masih menyimak sambil menikmati nasi goreng sea food yang lezat.
            “Aku pernah meninggalkan sholat dalam waktu yang lama,” Audya berhenti sebentar, menarik nafas panjang. Kemudian melanjutkan.
            “Aku bingung, waktu jam-jam sholat sama sekali tidak ada. Tempat juga tidak ada, pernah aku sholat di ruang ganti, aku kemudian di panggil head master. Diwawancarai hampir beberapa jam, setelah itu aku ketakutan, dan tak berani lagi sholat di sekolah.”
            “Lalu?” aku penasaran.
            “Ya…gitu. Sholat di depan orangtua aja. Membaca Al Qur’an juga tidak pernah lagi. Mengikuti teman party, pernah mencicipi wine. Pernah beberapa kali pacaran dengan teman sekelas. Tapi semua mengerikan!”
            “Maksudnya?” aku semakin penasaran dan menggebu.
            “Kau mengerti maksudku, di sini adalah dunia bebas. Semua halal, termasuk pergaulan lawan jenis. Sentuhan fisik itu biasa, tidak melanggar norma. Di sinilah kemudiam timbul masalah, membuat aku kembali kepada agama, tak perduli pada lingkungan yang mencemooh dan memandangku aneh,” Audya menyeruput minumannya dengan cepat, seakan emosional.
            “Pacaran disini, sama dengan zina dalam agama kita. Aku menolak itu, dan mereka memandangku aneh. Aku selalu ingat pesan Mama agar menjaga kesucian yang agung. Akhirnya, aku kembali sholat dan membaca Al Qur’an. Itulah yang dapat menuntun kita di sini. Aku mulai mendapat kembali ketenangan hidup, yang sebelumnya hilang.”
            “Mengapa tidak sekalian mengenakan hijab?” ah…pertanyaanku.
            “Hmm..keinginan ada, tapi aku belum mampu,”
            “Mengapa?”
            “Aku sudah cukup dipandang aneh. Jika memakai jilbab, semakin aneh nanti,”
            “Ya, sudah…sekalian saja. Biar sempurna anehnya,” aku tersenyum, Audya tersenyum.
            “Iya, ya? Di kampus ada yang memaki jilbab, dia mahasiswi dari Afghanistan.”
            So? Why you don’t do that?”
            Yes..you are right. I will think about it before. Mama juga bilang begitu, tapi entahlah, hati belum tergerak.” Audya menghabiskan nasinya. Kupandang gadis ini dengan ekor mataku. Gadis yang menarik, pribadi yang menarik, cerita yang menarik.
            How about you? Sepertinya kamu menyimpan banyak cerita. Kamu juga lelaki teguh beragama, aku ingin nanti pendamping hidupku orang seperti kamu. Mampu menjadi imam, itu yang selalu dikatakan papa.” Ups! Sepotong cumi seakan sangkut di tenggorokanku, gadis yang sangat terbuka. Inilah sisi barat Audya, sangat terbuka bila berbicara, tanpa konotasi.
            “Aku? Aku bukan siapa-siapa, Audy. Aku lelaki yang dihempas nasib sampai di sini. Aku lelaki miskin, yatim. Sarjana pengangguran, anak tukang sayur. Zeiny yang menawarkan aku ke Rotterdam dan papamu mengantarkan aku sampai di sini, tempat yang tidak pernah aku bayangkan sama sekali.” Bayangan Emak melintas dalam bayangan, seakan tersenyum.
            “Tapi, kepribadian kamu mencuri perhatian papa. Kamu memiliki pribadi pemenang, tangguh.” Audya mampu membuat hidungku kembang, aku cepat beristighfar.
            “Tangguh apaan? Aku cengeng lho. Suka rindu dengan Emak, rindu Indonesia, ah..aku enggak seperti yang engkau bayangkan, semua serba enggak jelas,”
            “Jika begitu, mulai sekarang harus kamu perjelas. Susun terus rencana hidup mulai sekarang, menabung dan pulang. Buka usaha di Indonesia, jadi Bos. Simple kan?” Audya mencondongkan wajahnya ke depan, seakan memberi penegasan. Aku tersenyum, memang itulah sebenarnya yang aku rencanakan. Apakah Audya bisa membaca pikiranku?  Audya menyodorkan telapak tangannya mengajak tos. Kutepukkan telapak tanganku, menimbulkan bunyi, kami tertawa.
            Malam yang indah, serasa sedikit beban lepas. Lelah yang tadi menggelayuti sendi, entah mengapa hilang menguap begitu saja. Aku mengantar Audya sampai pintu rumah besar yang sering kami sebut big house. Sebuah rumah besar bercat putih, yang ditunggui seorang perempuan hitam bernama Presdo. Perempuan yang ditemukan Mr. Lamek di pinggiran jalan Canberra, perempuan yang hidup sebatang kara. Lelaki penolong yang luar biasa, memiliki seorang putri yang juga luar biasa. Taxi menembus malam menuju rumah yang aku huni selama di Canberra. Gadis Adelaide itu masih tersisa dalam pikiran, walau ia kini tidak nampak di depan mata. Kutarik nafas panjang, menghempasnya dengan sejuta harapan. Allahu Akbar!









           
           
           

Selasa, 12 Maret 2019

PINDAH (19)



            “Bagaimana, bisa?” Mr.Lamek menatap wajahku serius. Kami baru selesai makan malam bersama di rumah induk. Tante Diana masak rendang, tapi diseberang mejaku, Audya lebih memilih sepiring pasta dan pattat. Aku masih belum berpikir normal atas tawaran Mr.Lamek, pindah ke Canberra? bagaimana bisa?
            “Teman Oom akan urus semua keperluan administrasimu. Disana kamu bisa lebih dekat ke Indo, hanya enam jam” aku masih diam, memperhatikan Mr.Lamek mengunyah nasinya.
            “Disana kamu akan banyak belajar, kalau Zamzami selesai kuliah, dia akan Oom tarik kesana juga.”
            “Bagaimana baiknya saja Oom…” suaraku terdengar pasrah.
            “Serius?” Mr. Lamek masih meyakinkan aku, aku mengangguk, dia menarik nafas panjang.
            Alhamdulillah…syukurlah, semua akan lebih baik disana, Oom janji, Insyaallah..”
            Malam yang panjang, aku tak bisa tidur. Berbagai pikiran dan bayangan berkecamuk dikepala. Baru dua tahun aku di Rotterdam, belum lagi rasanya aku mengetahui banyak hal tentang kota ini. Belum banyak tempat yang aku jelajahi, kini Mr.Lamek minta aku pindah ke Canberra. Bukankah aku harus menyesuaikan diri lagi? Seberapa lama pula aku disana? Bagaimana pula suasana di sana?. Aku gelisah, Hafeed telah tertidur nyenyak, menggenggam tasbihnya, tersenyum dalam tidurnya.
            “Petir akan pindah ke Canberra,” di Restoran, berita itu semakin hangat.
            “Bagus, kalau kamu diajak pindah, berarti ada perbaikan nasib,” Hafeed menimpali.
            “Maksudnya?,”
            “Disana kamu akan tahu, Canberra akan memberimu kehidupan yang  lebih baik,”
            “Bukankan nilai mata uang masih lebih tinggi disini?”
            “Hahaha…..percayalah, Mr.Lamek tahu bahwa kamu memang lebih tepat disana. Lihat saja nanti, oke?,” Hafeed menepuk punggungku, menyipitkan sebelah matanya. Benarkah Canberra lebih baik?
            Bulan depan, aku akan kembali mendatangi negeri asing, kota Canberra di benua Australia. Masih negeri empat musim, sama dengan Belanda. Sebelum Zayni pulang, kutulis surat untuk Emak.
Emak Tercinta
Alhamdulillah Mak, aku sehat wal’afiat, semoga begitu juga dengan Emak disana, selalu berada dibawah lindungan Allah SWT.
Mak…..kiriman Emak sudah aku terima, dan aku nikmati bersama kawan-kawan, mereka semua senang dan mengatakan masakan Emak paling enak, lebih enak dari masakan restoran.
Emak tau? Daun ubi tumbuk yang pernah aku buat di restoran sekarang jadi makanan favorit, banyak yang pesan, tapi syukurlah di Rotterdam banyak makanan Asia, jadi tidak sulit mencari daun ubi. Tapi tetap saja makanan di Indonesia lebih enak, terlebih-lebih masakan Emak yang tak ada tandingnya.
Emakku tersayang….
Aku rindu dan ingin pulang…
Tapi Mak….aku masih belum cukup uang untuk membuka usaha di Medan. Mr.Lamek mengajakku pindah ke Canberra, aku belum tahu apa tugasku disana. Kata teman-teman, disana lebih baik, semoga saja. Masalah rumah itu, Emak beli saja. Dengan begitu kita lebih tenang, tidak mengontrak lagi dan rumah itu bisa menjadi tempat usaha, Emak tak usah lagi ke Pasar subuh-subuh. Aku kasihan pada Emak yang semakin tua, sendirian di Pasar. Tapi syukurlah jika sekarang ada si Saidah, bisa menemani Emak, akupun lebih tenang disini.
Emak tercinta…
Urusan wanita, aku  minta ma’af, Mak. Aku belum bisa memenuhi permintaan Emak, belum ada perempuan yang mampu menggantikan Zahwa. Tapi percayalah Mak. Aku akan segera menemukannya. Mengantarkannya pada Emak, membuat Emak bahagia dan bangga.
Disini, aku juga mengirimkan foto dan bajuku. Semoga mampu menjadi pengobat rindu.
Emak tercinta, teruslah mendo’akan aku anakmu, disetiap langkahku aku harap restu Emak. Tanpa do’a dan restu Emak, aku tak dapat meraih apapun, cita-cita, materi dan kebahagiaan.
Jika sudah waktunya, aku akan pulang, menemui emak, kembali memeluk dan menemani Emak. 

Salam sujud dan cinta Ananda
Petir.
            Surat satu lembar setengah itu kulipat dengan dada gemuruh dihunjam rindu, betapa aku sangat merindukan perempuan yang telah melahirkanku, mendidikku dengan sepenuh jiwa dan cintanya. Jika dapat, aku ingin melesat terbang ke awan, menembus angin, terbang pulang ke Indonesia, mendarat di Medan. Ah…..rindumya.
Kucium surat bertinta biru itu, kumasukkan ke dalam amplop putih. Jam sudah menunjukkan angka  tiga, aku bangkit menunaikan sholat malam. Kupersembahkan do’a untuk Emak, untukku, dan untuk semua cita-citaku. Aku tidur, bersiap menjalani esok yang masih panjang.
            ****
            Zayni memelukku, menepuk punggungku.
            “Di Canberra, kau akan beralih tugas di kantor Oom Lamek. Usaha disana bergerak dibidang Software dan hardware computer. Insyaallah disana akan lebih baik.”
            “Ya….Insyaallah, aku akan menjalaninya. Allah tahu apa yang terbaik untukku. Alhamdulillah, terimakasih untuk semua,”
            “Kami akan transit melalui Medan, aku akan langsung mengantarkan titipanmu untuk Emak. “
            “Ya, terimakasih. Salamku untuk Maulidya dan keponakanku ya?. Jangan lupa katakan pada Emak bahwa aku sehat wal’afiat,”
            “Ya, akan kukatakan. Segeralah kau dapatkan perempuan Indo disini,”
            “Itu barang langka, Zein,”
            “Kalu begitu, kau cari yang banyak saja, noni Belanda,”
            “Ah…tak selera aku,” Aku menggelengkan kepala, Zeyni tertawa terbahak. Kembali kami berpelukan. Zeiny memasuki mobil yang akan mengantarkan mereka ke Bandara Schippol, melambaikan tangan kearahku. Ada jarum yang menusuk jantungku, aku ingin pulang…aku ingin merasakan cahaya matahari di negeriku sendiri. Tapi, kapan?. Aku masih harus mendatangi negeri berbeda lagi, batas waktu yang belum jelas. Disudut hati, aku tersenyum. Allah sudah mengatur semua, kembali aku akan berpetualang. Bukankah semakin banyak berjalan semakin banyak dilihat? Tempat yang tak pernah aku bayangkan, sama seperti dulu ketika aku datang ke kota ini. Aku melompat ke sadel sepeda, aku harus ke restoran.