Rabu, 25 April 2018

MENJEMPUT IMPIAN DI KEUKENHOF (11)


                                           TAK SEINDAH RENCANA (11)
 
            Langit indah, bintang menari-nari mengelilingi bulan sabit yang tersenyum. Ku tatap langit dengan hampa, sekosong hatiku saat ini. Setelah aku sarjana, menyandang gelar yang bersahaja, hidupku makin sulit saja. Segala rencana yang telah aku rancang tak satupun tercapai, semua hanya akan menjadi catatan usang. Poin demi poin impian yang telah kutoreh sesuai dengan apa yang sering aku baca dan aku dengar dari orang sukses, tak satupun impian itu tercapai, dua tahun sudah, aku prustasi.
            Dua bulan setelah mendapat gelar sarjana dan aku telah mengantongi Ijazah, aku langsung mengirimkan surat lamaran kerja. Aku mengirimkan berkas lamaran kemana saja, perusahaan BUMN, Bank, kantor-kantor pengacara, Harian local dan entah kemana saja lagi sampai aku lupa. Akhirnya aku sempat bekerja di sebuah kantor pengacara, aku bahagia dan berharap ini adalah langkah awalku menuju sukses.
            Tapi, perlakuan yang aku terima sangat tidak adil. Pekerjaanku jauh dari apa yang kubayangkan, aku di suruh-suruh layaknya office boy. Menyiapkan kopi bos, sampai membuka pintu mobilnya. Bosku seorang pengacara perempuan, cantik wajahnya tak secantik hatinya. Tahu nya hanya marah-marah saja, menyumpah serapah sampai ungkapan kotor keluar seenak perutnya. Aku heran, ada manusia berpendidikan tapi sikapnya persis gembel yang tak pernah sekolah. Honorku sebulan hanya lima ratus ribu, untuk apa aku bertahan? Karir atau pengalaman apa yang bisa aku dapatkan? Kerjaku tak lebih dari kacung, bahkan lebih parah, hatiku luka di sumpah serapahi perempuan itu. Melihat mukanya saja aku mau muntah, perutku mulas.
            Dua kali berturut-turut selama dua tahun ini aku melamar CPNS, sama saja, tak ada hasil. Pernah aku mengikuti seleksi di salah satu BUMN ternama, aku gagal. Hatiku sering menjerit menerima kenyataan. Terlalu burukkah aku sehingga tak ada perusahaan menerimaku untuk bekerja? Aku adalah mahasiswa berprestasi di kampus, lulus cumlaude, tidak merokok apalagi narkoba. Tampangku tidaklah buruk, walau juga tak terlalu gagah. Tapi, aku adalah sarjana yang layak diandalkan, egoku semakin memojokkan ku. Aku mendapatkan pengakuan di kampus, tapi tidak di kantor-kantor itu!
            Emak seakan pasrah dengan kondisi ini, menatapku miris. Anaknya yang sarjana, yang diimpikannya pergi ke kantor memakai pakaian rapi lengkap dengan dasi, tetap berada di sampingnya menghadapi embun. Malah kondisi tambah parah , aku tak lagi punya order menulis, semuanya hilang dan lenyap begitu saja. Ku perhatikan Emak yang semakin bertambah kerut, Zahwa yang menjauh karena tak berharap banyak seperti yang kujanjikan. Aku minta agar dia sabar menungguku memiliki pekerjaan agar bisa mengangkat muka di depan ayah ibunya. Tapi apa yang kudapat? Mengangkat jari saja aku tak bisa. Aku tetap bergelut bersama sayur dan bau busuk pasar yang tak pernah bisa diadaptasi penciumanku.
            Zahwa akan segera mengambil spesialisnya dan mungkin juga akan menikah. Zeiny sudah PNS di daerahnya, Togar yang punya IPK pas-pasan sudah pula bekerja di sebuah Bank swasta. Agaknya, tiga puluh empat orang dalam satu kelas, hanya aku yang apes. Nasib baik tak berpihak padaku. Sekali lagi, catatan poin-poin impianku tak ada yang di ceklis, semua masih sama seperti dua tahun lalu.
            Penderitaanku semakin mendera ketika melihat Emak. Kapan aku bisa membahagiakannya? Waktu terus berjalan seiring detak nafas dan jantungnya, usia Emak terus bertambah, rambut putih di balik songkok itu juga. Sampai kapan aku terus begini? sampai kapan? Aku harus cepat mengambil tindakan, memutar haluan catatan impian itu. Dua tahun adalah waktu yang cukup untuk berusaha meraih impian yang tak jua terwujud. Ku anggap itu adalah impian A, aku akan segera membuat impian B. Ibarat Intelejen, jika dia gagal menjalankan rencana A, dia telah menyiapkan rencana B. Itu yang aku lihat di film-film action keluaran Amerika. Dan aku akan melakukan itu.
            Setiap lepas sholat Magrib, aku mulai rajin pergi ke Warnet dekat rumah. Menjelajah dunia maya mencari peluang kerja. Aku sudah meng- email surat lamaran kerja kemana saja, bahkan keluar negeri segala. Sudah beberapa bulan, hasilnya nihil, kepalaku mau pecah.
            “Tir… tadi Zeiny datang, sama calon istrinya” aku terkejut mendengar informasi dari Emak, aku baru pulang dari warnet dan memang tidak membawa HP.
            “Kenapa enggak Emak suruh tunggu?”
            “Dia buru-buru, katanya ada perlu sama kau. Enggak enak melalui telepon, makanya dia datang kesini sama calonnya itu”
            “Dia nginap di mana Mak?”
            “Di rumah keluarga calon istrinya, Setia Budi. Eh.. calon istrinya cantik , kayak bule. Matanya aja biru, kulitnya putih, hidungnya mancung, aduuuhh… ramah pulak, Emak suka lihatnya” mata Emak menerawang, aku senyum saja melihatnya .
            “Dalam rangka apa Zeiny ke Medan ya Mak?”
            “Katanya belanja untuk acara pesta pernikahan mereka, sekalian itu tadi, mau bicara sama kau”
            “Kapan acara pernikahannya?”
            “Insyaallah akhir bulan depan, di Banda Aceh tempat keluarga perempuan”
            Malam itu juga ku telepon Zeiny, kehangatannya tak pernah berubah. Setiap dia ke Medan, kami selalu janjian berjumpa. Tapi malam ini, informasi yang kuterima dari Emak menghangatkan hatiku, merasakan kebahagiaan sahabat baikku yang sangat baik. Zeiny mendapati kebahagiaan yang berlipat, bekerja, punya masa depan dan istri yang cantik pula.
            “Besok  sore  aku berangkat pulang ke Banda. Kita sempat jumpa jam makan siang, gimana?”
            “Boleh, bawa calonmu ya? Aku pengen kenal”
            “Oke, tapi jangan kau rayu ya? kau pake baju pajak aja, jangan pake baju keren apalagi pake parfum, gimana?”
            “Dasar! Berarti kau harus mengakui aku lebih ganteng dari pada kau, kurus kerempeng!”
Kami tergelak bersama, tentu saja Zeiny tidak serius dengan kata-katanya, aku juga. Malam ini aku tidur berbingkai senyum, esok aku akan bertemu sahabat baik yang ceria.
***
            Hampir sepuluh menit aku menunggu sahabatku di sebuah warung lesehan, tempat  yang sudah kami janjikan untuk bertemu. Sebuah mobil soluna hitam masuk area parkir, turun seorang lelaki gagah dan seorang perempuan cantik. Aku hampir memekik kaget, itu Zeiny. Ya Tuhan… sahabatku berubah, dari seorang pemuda kerempeng hitam, menjadi seorang pemuda padat berisi berkulit coklat bersih. Aku jadi malu pada diri sendiri, mengatakannya lelaki kerempeng. Dan perempuan itu, aku seperti melihat artis. Tinggi semampai, berkulit bersih, senyum manis dan modis. Aku berdiri menyambut sahabat baikku ini, dia tersenyum lalu memelukku.
            “Apa khabar sahabatku, Halilintar Perkasa Alam” Zeiny masih memanggilku dengan panggilan itu.
            “Fisik Alhamdulillah, sehat selalu. Jiwa yang sakit…”
            “Ah.. santai saja, semua ada jalan keluarnya. Oya.. ini istriku, Maulidya Ahmad”
            “Lho… istri? Katanya akan menikah, kok sudah jadi istri?” aku melongo.
            “Kami sudah menikah seminggu lalu, pestanya bulan depan. Kau pikir aku bebas bawa anak perempuan orang tanpa ikatan pernikahan, disembelihlah aku sama bapaknya” Zeiny tergelak, perempuan itu tersenyum manis dan mengulurkan tangannya.
            “Maulidya, panggil aja Lili”
            “Petir, sahabat baik Zeiny. Kalo mau tau lebih banyak tentang Zeiny Tanya saya aja ya? Saya ada nyimpan semua rahasianya, hehehehe” aku terkekeh sendiri, Lili senyum-senyum, Zeiny melotot.
            Kami bicara tak tentu arah sambil makan nasi hangat dengan gurame bakar, cah kangkung, tongseng kambing dan es kelapa muda. Zeiny bercerita tentang pertemuan pertamanya dengan Maulidya. Waktu itu mobil Maulidya mogok di tengah jalan pinggiran hutan Seulawah, gadis itu sendirian dan putus asa. Secara kebetulan sekali Zeiny melintas karena baru  ada urusan kantor di Bagok. Zeiny yang tak mengerti mesin juga pias, hari semakin gelap, tak ada orang lain melintas. Jalan Negara itu mendadak sepi, handphone Maulidya lemah batterenya, tak tau nomor yang harus di hubungi karena gadis itu tak hafal satu nomorpun. Akhirnya, mereka membuat keputusan yang berani. Mereka melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor Zeiny, mobil jazz silver mengkilat itu di tinggal di tengah jalan di pinggir hutan.
            Menurut Zeiny, itu memang keputusan terbaik. Kondisi Aceh tak sepenuhnya damai pada waktu itu. Terkadang ada saja orang-orang yang masih mengambil kesempatan dalam kesempitan. Jika saja mereka tetap bertahan menunggu bantuan, resiko nyawa dan harta melayang. Besok pagi, ketika teknisi bengkel datang mengambil mobil. Mobil itu ibarat rangka saja, isinya habis di jarah. Orangtua Maulidya tak habis-habisnya berterimakasih, sampai kemudian mereka di jodohkan.
            “Jadi, perjodohan niihh…” aku melirik Maulidya, dia tertunduk malu.
            “Ya.. tapi kami sebenarnya udah cinta pada pandangan pertama, ya kan Li?” Maulidya mengangguk. Gadis ini tak banyak bersuara, malu-malu.
            “Tapi sebenarnya kami ingin menawarkan pekerjaan untukmu” Zeiny mencuci tangan karena sudah selesai makan. Aku berdesir mendengar perkataannya, pekerjaan apa?
            “Paman Maulidya punya restoran di Belanda, dia perlu karyawan karena satu karyawannya pulang ke Jawa, gimana?” mata Zeiny menatapku sungguh-sungguh, dadaku berdebar-debar, Belanda?
            “Sebagai apa? Biaya berangkat dan lainnya gimana?”
            “Tahap pertama, kamu mulai jadi waiters, melayani tamu makan. Memang kerja pelayan tapi kamu kan dibayar pake Euro. Semua biaya keberangkatan dan administrasi di tanggung Om Lamek. Di sana juga sudah ada tempat tinggal, biaya hidup enggak usah kamu pikirin. Jika hemat, sepenuhnya bisa menabung. Karyawan om semua pulang menjadi orang sukses dan punya bisnis sendiri” Maulidya memberi keterangan yang jelas, aku masih terdiam.
            “Oke, Tir. Masih ada waktu untuk berpikir, menurutku kau ambil aja kesempatan ini. Kau tak punya bakat kerja kantor. Kumpulin aja uang, kau jadikan modal usaha” giliran Zeiny yang mensupport.
            “Ya.. aku pikir dulu ya!”
            “Jangan lama-lama, waktumu Cuma satu bulan”
            “Oke”
            “Oya… jangan lupa hadir di pesta perkawinan kami. Aku kasi tiket pulang pergi untuk kau dan Emak ya?”
            Siang itu, Zeiny menyempatkan diri mengantarku pulang. Emak senang menerima oleh-oleh gurame bakar. Tak lama Zeiny berbicara dengan Emak, mereka harus segera kembali ke Banda.
            “Hebat Zeiny sekarang, ya? Punya calon istri cantik, udah PNS pulak”
            “Itu istrinya Mak, bukan calon lagi”
            “Ha? Kenapa si Zein tak bilang?”
            “Takut dia, Emak kik nanti..”
            “Emak kan mau ucapin selamat”
            “Nanti aja, kita ke Banda Mak, ikut enggak?” Emak terlonjak  dari duduknya.
            “Betul? Kita ke Banda?”
            “Yo’i…kita dapat tiket pulang pergi dari Zeiny.” Bukan main sumringahnya Emak, dia sudah sibuk mengatur rencana apa yang akan dibawanya. Aku masih belum bercerita tentang tawaran Zeiny untuk bekerja di Belanda, nanti saja.




Rabu, 18 April 2018

MENJEMPUT IMPIAN DI KEUKENHOF (10)


DAUN UBI TUMBUK DAN PLIEK U (10)
            Hari cerah, masih pukul sepuluh pagi. Tapi aku sudah dua jam duduk di depan ruang dosen, menunggu Pak Ritonga dosen pembimbingku. Novel  best seller yang baru kubeli berhalaman seratus empat puluh dua  sudah habis kulahap. Tadi aku sempat bertemu Pak Ritonga sebentar, tapi kemudian beliau pergi dari ruangannya karena ada pertemuan dengan Dekan. Aku masih sempat mengejar langkahnya yang panjang, langkah yang menunjukkan ciri-ciri orang sibuk, kata ustadz Syafri, guru mengajiku dulu.
            “Gimana Pak? saya mau setor bab empat dan lima Pak”
            “Nanti saja, saya ada pertemuan dengan Dekan”
            “Jam berapa selesai Pak? Biar saya tunggu”
            “Jam sepuluh ya?”
            “Iya pak, saya tunggu disini”
            “Oke.”
            Dan sekarang jam sudah menunjukkan  angka sepuluh lewat lima belas menit, tak ada tanda-tanda Pak Ritonga akan segera ke ruangannya. Aku mulai gelisah dan kesal dalam hati dengan situasi ini. Aku ingin pulang dan tidur, mataku terasa amat berat, cahaya mataku tinggal lima watt, redup. Tadi malam, aku hanya istirahat dua jam karena mengejar setoran skripsiku yang tinggal dua bab. Aku melangkah meninggalkan ruang dosen tanpa konfirmasi apa-apa, kepalaku berdengung-dengung. Sebenarnya aku berniat melangkah ke perpustakaan, mencari litelature tulisan yang berkenaan dengan skripsi  yang sedang aku kerjakan. Tapi niat itu urung di buat tubuh yang semakin melemah, aku ingin tidur dan kembali ke kampus pukul tiga sore. Perpustakaan tutup pukul lima sore, agaknya dua jam cukup untuk mencari catatan kaki. Yang penting, aku sudah tahu judul buku yang akan aku cari. Jika cepat selesai, aku segera mendaftar sidang dan segera wisuda.
            “ Tir... tunggu!!” aku menoleh kebelakang, Zeiny sibuk menyelaraskan langkahnya dengan langkahku.
            “Kenapa?”
            “Mau kemana?”
            “Pulang”
            “Kok cepat?”
            “Mau ngapain lagi? Aku ngantuk.”
            ”Aku ikut ya?” Aku menghentikan langkah, menatap sahabat baikku ini. Aku ingin tidur, bagaimana jika dia ikut? Aku pasti terganggu, aku pasti harus mendengar celotehannya yang seperti tiupan angin tak pernah berhenti, aku masih berfikir.
            “Ikut ya?” bujuknya lagi
            “Kenapa tak pulang ke kost mu aja Zein? Aku ngantuk kali, mau tidur, jam tiga nanti aku harus balik ke sini.”
            “Aku tak akan mengganggumu, kau tidur saja. Aku rindu Emak Tir. Trus nanti kita balek ke sini sama-sama. Kan lumayan, kau bisa ku bonceng, lebih hemat waktu dan uang, gimana?”
            “Ah! Nanti kau minta uang bensin, sama saja kan?”
            “Hei! mana mungkin aku minta uang bensin sama anak yatim, berdosalah aku, hehehe” Zeiny nyengir kambing, menunjukkan ginsul giginya.
Sebenarnya, Zeiny menawarkan solusi yang menarik, dia bawa sepeda motor dan itu lebih efektif. Jika dikatakannya dia rindu Emak itu memang beralasan, sahabatku ini memang sangat dekat dengan Emak. Dia sering ke rumah dan kami sering bersenda gurau dengan Emak, hanya saja kali ini aku sangat mengantuk, aku tak ingin bersenda gurau, di kepalaku hanya ada bayangan bantal dan kasur, ngantuk sekali. Semoga Zeiny tak menggangguku, sesuai dengan janjinya.
“Oke.. ingat syaratnya, kau tak boleh ganggu tidurku” sekali lagi kutekankan kalimat itu sambil mengacungkan jari telunjuk.
“Siap, Halilintar Perkasa Alam!” Zeiny meletakkan telapak tangannya di depan jidatnya yang lebar. Halilintar Perkasa Alam itu adalah namaku yang diciptakannya sendiri, di ucapkan ketika penting-penting saja. Zeiny bilang, sayang kami tak pernah jumpa ketika ibu kami mengandung. Jika kami bersahabat dari orok, dia akan membisikkan nama keren itu ke telinga Emakku. Zeyni suka sekali bercanda, hanya kadang dia jadi sinting dengan candanya sendiri.
            Zeiny mengambil motornya yang di parkir, motor matic. Aku senyum-senyum melihatnya, mengendarai motor dengan kakinya yang panjang. Dia sebenarnya lebih pantas mengendarai motor yang tinggi. Tapi katanya, uangnya hanya cukup untuk membeli motor matic, jadilah kakinya terlipat panjang jika mengendarainya. Motor keluar parkiran, menembus gerbang kampus menuju ke arah barat. Motor melaju membelah jalan Dokter Mansyur yang sedikit lengang, berbelok ke Setia Budi yang macet terus melesat ke jalan Binjai. Di boncengan, ku peluk pinggang sahabatku sambil menahan kantuk yang semakin    berat, aku terangguk-angguk di buai angin. Sejurus kemudian aku tak sadar, kepalaku jatuh di punggung sahabatku. Aku tertidur.
            Aku tersadar karena mendengar suara Zeiny merepet-repet. Kami sudah sampai di rumah, Zeiny marah karena kemeja kesayangannya kena air liurku yang tak terkontrol ketika ketiduran. Aku prihatin, tapi mau macam mana lagi? Aku kan tidak sadar. Emak muncul di depan pintu, tersenyum-senyum melihat Zeiny yang berang.
            “Kenapa Zein?”
            “Nih! Petir Mak, masak tidur di badanku sambil ngences lagi” Zeiny sibuk membenahi belakang kemeja petak-petak warna abu-abu yang konon baju kesayangannya. Menurut cerita Zeiny, itu hadiah dari Nana mantan pacarnya yang ternyata gemar selingkuh.
            “Udah... nanti kamu ganti pake baju Petir. Biar bajumu Emak cuci” Emak beranjak masuk, kami mengikuti dari belakang.
            “Tapi baju Petir samaku kedodoran Mak..”
            “Kalo mau pas, pergi sana beli yang baru” sambutku sedikit jengkel, Zeiny diam. Tentu saja bajuku sedikit longgar jika dipakainya. Zeiny kurus tinggi, bidang badannya sempit. Sementara aku tinggi besar dengan bidang badan lebar, pastilah bajuku kedodoran jika dipakainya.
            “Masak apa Mak?” aku melongok ke dapur.
            “Daun ubi tumbuk” Emak ke dapur, melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Aku senang bukan kepalang, itu adalah sayur kegemaranku. Kuperhatikan lumpang kayu yang terletak di samping kompor, Emak belum selesai menumbuk daun ubi alias daun singkong.
            “Bantu Emak numbuk daun ubi Zein... sesuai perjanjian, aku ingin tidur” ku lirik Zeiny yang sudah melepas kemejanya yang ternoda, dia mencibir kesal. Hehehe siapa suruh ikut, rasain! Kata hatiku. Aku melangkah menuju kamar, merebahkan diri yang lemah diserang kantuk. Di dapur, terdengar suara lumpang seperti alunan musik, diselingi suara Emak dan Zeiny yang sedang bersenda gurau. Suara itu semakin lama semakin menjauh, samar dan hilang. Aku lelap.
***
            Daun ubi tumbuk adalah jenis masakan khas Tapanuli Selatan, namun sudah membumi di kota Medan. Rasanya bukan main, mencium aromanya saja aku sudah menahan air liur. Emak sering membuatnya untuk menu makan kami, daun singkong, rimbang, kincong, cabe merah, bawang merah, jahe di tumbuk jadi satu menggunakan lumpang kayu. Setelah daun ubi ditumbuk agak kasar, selanjutnya di masak dengan santan kelapa dengan rencah teri atau ikan asin. Daun ubi tumbuk biasanya di lengkapi dengan ikan asin goreng dan sambal terasi, disajikan dengan nasi hangat. Biasanya, aku makan seperti orang yang gelap mata, satu kuali bisa tandas!
            Siang ini, gulai itu ada di hadapanku. Aku makan dengan lahap, Zeiny makan dengan mie instant saja. Dia tak mau makan daun ubi tumbuk, padahal aku sudah capek merayunya mengatakan bahwa sayur ini sangat enak dan menyuruhnya mencoba. Tapi Zeiny bergeming, tetap saja ia menolak.
            “Coba Zein, enak...”
            “Enggak!”
            “Coba kenapa? Halal kok, enggak pake rencah babi, hehehe”
            “Gila kau!” Zeiny melotot menanggapi candaku, mungkin pikirnya canda itu kelewatan dan kebablasan. Aku heran saja, apa anehnya daun ubi tumbuk? mengapa Zeiny tak bisa menerima daun ubi tumbuk? Bayangan suram menjijikkan itu tak pernah lepas dari kepalanya, sampai sekarang.
            Jawabannya keanehan Zeiny sebenarnya sudah kudapat ketika ia pernah mengajakku ke kampungnya. Keluarga besar Zeiny tinggal di sebuah kampung di Bireun, Aceh Utara. Kampung itu di tepi laut, Ujong Blang namanya. Berjarak empat kilometer dari pusat kota. Zeiny sering mengatai aku anak yatim, padahal gelarnya lebih lengkap dariku, Zeiny anak yatim piatu. Dia tinggal bersama makciknya yang dia panggil Bunda, adik ibunya yang tak jua menikah. Orangtua Zeiny meninggal karena kecelakaan, sepeda motor mereka di tubruk truk dan keduanya meninggal di tempat. Menurut Zeiny, bundanya yang belum menikah karena  kena guna-guna sehingga tak pernah bisa menikah. Jika ada orang yang melamarnya, Bunda akan lari seperti orang gila. Bunda Zeiny bukanlah Bunda yang biasa, ia seorang guru senior di sebuah SMA Negeri di kota Bireun. Karakter Bunda itu sangat kuat dalam mendidik, wajar saja Zeiny bisa seperti sekarang karena pengaruh pendidikan dari bundanya. Walau kost dan seorang laki-laki, Zeiny sangat rapi dan disiplin. Tak pernah kulihat kamar kostnya kotor atau berantakan, beda dengan kamarku. Zeiny sangat rapi, bersih dan soleh tentunya.
            Zeiny memiliki seorang adik perempuan yang manis dan duduk di SMA. Dek Yah namanya, gadis yang malu-malu jika di sapa dan selalu tunduk kepalanya. Dek Yah tiap sore mengaji di dayah dekat rumah, setiap selepas sholat Isya melantunkan ayat qur’an dengan suaranya yang sayub-sayub terdengar dari bilik kayu kamarnya. Aku sangat menyukai keluarga ini, damai sekali. Bunda Zeiny tak pernah merepet, jika tak suka cukup mata saja yang berbicara. Zeiny dan Dek Yah sudah tahu arti dari bahasa mata itu. Aku terkagum-kagum kepada Bunda yang sudah tiga kali menunaikan ibadah haji.
            Rumah yang di tempati Zeiny di kampung sangat sederhana, rumah papan yang sejuk. Di halaman yang luas tumbuh beberapa jenis pohon mangga, bunga-bunga, pohon sukun dan belimbing. Di sebelah utara halaman, di sudut belakang, ada kandang ayam, kandang bebek dan kandang lembu. Ada ruang halaman beberapa meter di tanami sawi dan bayam. Betapa bermakna tiap-tiap jengkal tanah mereka, sekali lagi, aku kagum. Takjub pada Dek Yah yang menyirami tanaman sawi dan bayam dengan mengenakan jilbab dan sarung. Takjub kepada Bunda yang menyuruh ternak-ternaknya masuk kandang ketika gelap datang. Bukan saja Zeiny dan Dek Yah yang patuh padanya, tapi lembu, ayam, bebek juga sama. Manut-manut pada Bunda yang hebat ini.
            Selama berada di kampung Zeiny, setiap pagi kami pergi ke laut. Duduk di pinggir laut sambil menikmati kopi panas dan pulut panggang hangat. Jika ada nelayan naik ke darat, kami minta ikan, bukan beli. Mereka senang saja memberinya beberapa ekor pada Zeiny yang tampak bak selebritis. Kami memanggang ikan di pinggir laut, membuat bara dari ranting-ranting kering yang ada. Bukan main nikmatnya, aku cinta tanah ini. Bukankah tanah ini juga tanah Ayahku? Tempat nenek moyangku? wajar jika aku jatuh cinta pada tanah ini, cinta sekali.
            “Sudah pernah makan kuah plik, Petir?” tanya bunda suatu pagi, hari ketiga aku berada di kampung Zeiny.
            “Belum, Bunda. Kuah plik itu apa Bunda?”
            “Itu sayuran khas orang Aceh, kalau Petir orang Aceh, Petir harus tahu kuah itu” Bunda menjelaskan dengan bahasa Indonesia yang baik, dia memang seorang guru yang profesional. Zeiny dan Dek Yah saja masih kental logat daerahnya, tapi Bunda tidak.
            Maka, siang itu terhidanglah kuah plik di meja makan, di lengkapi dengan ikan asin goreng. Aroma aneh itu meruap-ruap memenuhi rongga nafasku, kuamati gulai sayuran yang aneh berwarna moka. Keningku berkerut, Zeiny dan Bunda senyum-senyum.
            “Cobalah Tir, kau pasti ketagihan” kata Zeiny percaya diri. Aku tak menjawab dan mengambilnya sesendok. Ku cicipi dulu sedikit, agak aneh dan asing di lidahku. Tapi ketika suapan ketiga, aku mulai suka. Mulailah aku makan seperti orang gila, sama gilanya ketika aku makan daun ubi tumbuk. Padahal, jika kuamati segala macam jenis sayuran bersatu di situ, sayuran Bhineka Tunggal Ika. Genjer, kangkung, daun singkong, melinjo, daun melinjo, jipang, kacang panjang dan entah apa lagi. Kenapa bisa enak begini?
            “Zein, Bunda masak pake biji ganja ya?” aku berbisik ketelinga Zein, penasaran.
            “Gila!! Kau pikir semua orang Aceh pake ganja? dasar anak pajak!” Zein menepuk jidatku. Dia menyebutku anak pajak, karena aku membantu Emak jualan di pasar, pajak itu maksudnya pasar.
            “Kok enak?”
            “Ya... memang enak lah..” Zeiny membusungkan dada.
            “Aku suka sayur plik, kok kau enggak suka daun ubi tumbuk?” aku merasa Zeiny tidak adil.
            “Mau tau kenapa?”Zeiny membuatku penasaran, aku cepat-cepat mengangguk.
            “Karena daun ubi tumbuk seperti taik lembu...”Zeiny berbisik, matanya melotot jahat. Aku terlonjak mendengar jawabannya, benarkah? Maka esok paginya, aku mengamati kotoran sapi yang ada di kandang belakang tanpa setahu Zeiny. Aku tersenyum-senyum dengan hasil pengamatanku. Kotoran lembu tentu beda dengan daun ubi tumbuk, karena pencernaan sapi lebih canggih menggiling dari pada lumpang kayu. Maka dari itu, kotoran sapi ledih halus dan lumat di bandingkan daun ubi tumbuk. Aku tersenyum dan berjingkat kembali ke rumah. Zeiny masih bergulung di balik sarungnya, persis Trenggiling.