TAK
SEINDAH RENCANA (11)
Langit indah, bintang menari-nari
mengelilingi bulan sabit yang tersenyum. Ku tatap langit dengan hampa, sekosong
hatiku saat ini. Setelah aku sarjana, menyandang gelar yang bersahaja, hidupku
makin sulit saja. Segala rencana yang telah aku rancang tak satupun tercapai,
semua hanya akan menjadi catatan usang. Poin demi poin impian yang telah
kutoreh sesuai dengan apa yang sering aku baca dan aku dengar dari orang
sukses, tak satupun impian itu tercapai, dua tahun sudah, aku prustasi.
Dua bulan setelah mendapat gelar
sarjana dan aku telah mengantongi Ijazah, aku langsung mengirimkan surat
lamaran kerja. Aku mengirimkan berkas lamaran kemana saja, perusahaan BUMN,
Bank, kantor-kantor pengacara, Harian local dan entah kemana saja lagi sampai
aku lupa. Akhirnya aku sempat bekerja di sebuah kantor pengacara, aku bahagia
dan berharap ini adalah langkah awalku menuju sukses.
Tapi, perlakuan yang aku terima
sangat tidak adil. Pekerjaanku jauh dari apa yang kubayangkan, aku di
suruh-suruh layaknya office boy. Menyiapkan kopi bos, sampai membuka pintu
mobilnya. Bosku seorang pengacara perempuan, cantik wajahnya tak secantik
hatinya. Tahu nya hanya marah-marah saja, menyumpah serapah sampai ungkapan
kotor keluar seenak perutnya. Aku heran, ada manusia berpendidikan tapi
sikapnya persis gembel yang tak pernah sekolah. Honorku sebulan hanya lima ratus
ribu, untuk apa aku bertahan? Karir atau pengalaman apa yang bisa aku dapatkan?
Kerjaku tak lebih dari kacung, bahkan lebih parah, hatiku luka di sumpah
serapahi perempuan itu. Melihat mukanya saja aku mau muntah, perutku mulas.
Dua kali berturut-turut selama dua
tahun ini aku melamar CPNS, sama saja, tak ada hasil. Pernah aku mengikuti
seleksi di salah satu BUMN ternama, aku gagal. Hatiku sering menjerit menerima
kenyataan. Terlalu burukkah aku sehingga tak ada perusahaan menerimaku untuk
bekerja? Aku adalah mahasiswa berprestasi di kampus, lulus cumlaude, tidak merokok apalagi narkoba. Tampangku tidaklah buruk,
walau juga tak terlalu gagah. Tapi, aku adalah sarjana yang layak diandalkan,
egoku semakin memojokkan ku. Aku mendapatkan pengakuan di kampus, tapi tidak di
kantor-kantor itu!
Emak seakan pasrah dengan kondisi
ini, menatapku miris. Anaknya yang sarjana, yang diimpikannya pergi ke kantor
memakai pakaian rapi lengkap dengan dasi, tetap berada di sampingnya menghadapi
embun. Malah kondisi tambah parah , aku tak lagi punya order menulis, semuanya
hilang dan lenyap begitu saja. Ku perhatikan Emak yang semakin bertambah kerut,
Zahwa yang menjauh karena tak berharap banyak seperti yang kujanjikan. Aku
minta agar dia sabar menungguku memiliki pekerjaan agar bisa mengangkat muka di
depan ayah ibunya. Tapi apa yang kudapat? Mengangkat jari saja aku tak bisa.
Aku tetap bergelut bersama sayur dan bau busuk pasar yang tak pernah bisa
diadaptasi penciumanku.
Zahwa akan segera mengambil
spesialisnya dan mungkin juga akan menikah. Zeiny sudah PNS di daerahnya, Togar
yang punya IPK pas-pasan sudah pula bekerja di sebuah Bank swasta. Agaknya,
tiga puluh empat orang dalam satu kelas, hanya aku yang apes. Nasib baik tak
berpihak padaku. Sekali lagi, catatan poin-poin impianku tak ada yang di
ceklis, semua masih sama seperti dua tahun lalu.
Penderitaanku semakin mendera ketika
melihat Emak. Kapan aku bisa membahagiakannya? Waktu terus berjalan seiring
detak nafas dan jantungnya, usia Emak terus bertambah, rambut putih di balik
songkok itu juga. Sampai kapan aku terus begini? sampai kapan? Aku harus cepat
mengambil tindakan, memutar haluan catatan impian itu. Dua tahun adalah waktu
yang cukup untuk berusaha meraih impian yang tak jua terwujud. Ku anggap itu
adalah impian A, aku akan segera membuat impian B. Ibarat Intelejen, jika dia
gagal menjalankan rencana A, dia telah menyiapkan rencana B. Itu yang aku lihat
di film-film action keluaran Amerika. Dan aku akan melakukan itu.
Setiap lepas sholat Magrib, aku
mulai rajin pergi ke Warnet dekat rumah. Menjelajah dunia maya mencari peluang
kerja. Aku sudah meng- email surat
lamaran kerja kemana saja, bahkan keluar negeri segala. Sudah beberapa bulan, hasilnya
nihil, kepalaku mau pecah.
“Tir… tadi Zeiny datang, sama calon
istrinya” aku terkejut mendengar informasi dari Emak, aku baru pulang dari
warnet dan memang tidak membawa HP.
“Kenapa enggak Emak suruh tunggu?”
“Dia buru-buru, katanya ada perlu
sama kau. Enggak enak melalui telepon, makanya dia datang kesini sama calonnya
itu”
“Dia nginap di mana Mak?”
“Di rumah keluarga calon istrinya,
Setia Budi. Eh.. calon istrinya cantik , kayak bule. Matanya aja biru, kulitnya
putih, hidungnya mancung, aduuuhh… ramah pulak,
Emak suka lihatnya” mata Emak menerawang, aku senyum saja melihatnya .
“Dalam rangka apa Zeiny ke Medan ya
Mak?”
“Katanya belanja untuk acara pesta
pernikahan mereka, sekalian itu tadi, mau bicara sama kau”
“Kapan acara pernikahannya?”
“Insyaallah akhir bulan depan, di
Banda Aceh tempat keluarga perempuan”
Malam itu juga ku telepon Zeiny,
kehangatannya tak pernah berubah. Setiap dia ke Medan, kami selalu janjian
berjumpa. Tapi malam ini, informasi yang kuterima dari Emak menghangatkan
hatiku, merasakan kebahagiaan sahabat baikku yang sangat baik. Zeiny mendapati
kebahagiaan yang berlipat, bekerja, punya masa depan dan istri yang cantik
pula.
“Besok sore aku
berangkat pulang ke Banda. Kita sempat jumpa jam makan siang, gimana?”
“Boleh, bawa calonmu ya? Aku pengen
kenal”
“Oke, tapi jangan kau rayu ya? kau
pake baju pajak aja, jangan pake baju
keren apalagi pake parfum, gimana?”
“Dasar! Berarti kau harus mengakui
aku lebih ganteng dari pada kau, kurus kerempeng!”
Kami
tergelak bersama, tentu saja Zeiny tidak serius dengan kata-katanya, aku juga.
Malam ini aku tidur berbingkai senyum, esok aku akan bertemu sahabat baik yang
ceria.
***
Hampir sepuluh menit aku menunggu
sahabatku di sebuah warung lesehan, tempat
yang sudah kami janjikan untuk bertemu. Sebuah mobil soluna hitam masuk
area parkir, turun seorang lelaki gagah dan seorang perempuan cantik. Aku
hampir memekik kaget, itu Zeiny. Ya Tuhan… sahabatku berubah, dari seorang
pemuda kerempeng hitam, menjadi seorang pemuda padat berisi berkulit coklat
bersih. Aku jadi malu pada diri sendiri, mengatakannya lelaki kerempeng. Dan
perempuan itu, aku seperti melihat artis. Tinggi semampai, berkulit bersih,
senyum manis dan modis. Aku berdiri menyambut sahabat baikku ini, dia tersenyum
lalu memelukku.
“Apa khabar sahabatku, Halilintar
Perkasa Alam” Zeiny masih memanggilku dengan panggilan itu.
“Fisik Alhamdulillah, sehat selalu.
Jiwa yang sakit…”
“Ah.. santai saja, semua ada jalan
keluarnya. Oya.. ini istriku, Maulidya Ahmad”
“Lho… istri? Katanya akan menikah,
kok sudah jadi istri?” aku melongo.
“Kami sudah menikah seminggu lalu,
pestanya bulan depan. Kau pikir aku bebas bawa anak perempuan orang tanpa ikatan
pernikahan, disembelihlah aku sama bapaknya” Zeiny tergelak, perempuan itu
tersenyum manis dan mengulurkan tangannya.
“Maulidya, panggil aja Lili”
“Petir, sahabat baik Zeiny. Kalo mau
tau lebih banyak tentang Zeiny Tanya saya aja ya? Saya ada nyimpan semua
rahasianya, hehehehe” aku terkekeh sendiri, Lili senyum-senyum, Zeiny melotot.
Kami bicara tak tentu arah sambil
makan nasi hangat dengan gurame bakar, cah kangkung, tongseng kambing dan es
kelapa muda. Zeiny bercerita tentang pertemuan pertamanya dengan Maulidya.
Waktu itu mobil Maulidya mogok di tengah jalan pinggiran hutan Seulawah, gadis
itu sendirian dan putus asa. Secara kebetulan sekali Zeiny melintas karena baru
ada urusan kantor di Bagok. Zeiny yang
tak mengerti mesin juga pias, hari semakin gelap, tak ada orang lain melintas.
Jalan Negara itu mendadak sepi, handphone
Maulidya lemah batterenya, tak tau nomor yang harus di hubungi karena gadis itu
tak hafal satu nomorpun. Akhirnya, mereka membuat keputusan yang berani. Mereka
melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor Zeiny, mobil jazz silver mengkilat
itu di tinggal di tengah jalan di pinggir hutan.
Menurut Zeiny, itu memang keputusan
terbaik. Kondisi Aceh tak sepenuhnya damai pada waktu itu. Terkadang ada saja
orang-orang yang masih mengambil kesempatan dalam kesempitan. Jika saja mereka
tetap bertahan menunggu bantuan, resiko nyawa dan harta melayang. Besok pagi,
ketika teknisi bengkel datang mengambil mobil. Mobil itu ibarat rangka saja,
isinya habis di jarah. Orangtua Maulidya tak habis-habisnya berterimakasih,
sampai kemudian mereka di jodohkan.
“Jadi, perjodohan niihh…” aku
melirik Maulidya, dia tertunduk malu.
“Ya.. tapi kami sebenarnya udah
cinta pada pandangan pertama, ya kan Li?” Maulidya mengangguk. Gadis ini tak
banyak bersuara, malu-malu.
“Tapi sebenarnya kami ingin
menawarkan pekerjaan untukmu” Zeiny mencuci tangan karena sudah selesai makan.
Aku berdesir mendengar perkataannya, pekerjaan apa?
“Paman Maulidya punya restoran di
Belanda, dia perlu karyawan karena satu karyawannya pulang ke Jawa, gimana?”
mata Zeiny menatapku sungguh-sungguh, dadaku berdebar-debar, Belanda?
“Sebagai apa? Biaya berangkat dan
lainnya gimana?”
“Tahap pertama, kamu mulai jadi waiters,
melayani tamu makan. Memang kerja pelayan tapi kamu kan dibayar pake Euro.
Semua biaya keberangkatan dan administrasi di tanggung Om Lamek. Di sana juga
sudah ada tempat tinggal, biaya hidup enggak usah kamu pikirin. Jika hemat,
sepenuhnya bisa menabung. Karyawan om semua pulang menjadi orang sukses dan
punya bisnis sendiri” Maulidya memberi keterangan yang jelas, aku masih
terdiam.
“Oke, Tir. Masih ada waktu untuk
berpikir, menurutku kau ambil aja kesempatan ini. Kau tak punya bakat kerja
kantor. Kumpulin aja uang, kau jadikan modal usaha” giliran Zeiny yang
mensupport.
“Ya.. aku pikir dulu ya!”
“Jangan lama-lama, waktumu Cuma satu
bulan”
“Oke”
“Oya… jangan lupa hadir di pesta
perkawinan kami. Aku kasi tiket pulang pergi untuk kau dan Emak ya?”
Siang itu, Zeiny menyempatkan diri
mengantarku pulang. Emak senang menerima oleh-oleh gurame bakar. Tak lama Zeiny
berbicara dengan Emak, mereka harus segera kembali ke Banda.
“Hebat Zeiny sekarang, ya? Punya
calon istri cantik, udah PNS pulak”
“Itu istrinya Mak, bukan calon lagi”
“Ha? Kenapa si Zein tak bilang?”
“Takut dia, Emak kik nanti..”
“Emak kan mau ucapin selamat”
“Nanti aja, kita ke Banda Mak, ikut
enggak?” Emak terlonjak dari duduknya.
“Betul? Kita ke Banda?”
“Yo’i…kita dapat tiket pulang pergi
dari Zeiny.” Bukan main sumringahnya Emak, dia sudah sibuk mengatur rencana apa
yang akan dibawanya. Aku masih belum bercerita tentang tawaran Zeiny untuk
bekerja di Belanda, nanti saja.