Rabu, 28 Maret 2018

MENJEMPUT IMPIAN DI KEUKENHOF (7)

MATA YANG KELAM    (7)

            Hujan masih belum reda juga,  parit di gang sempit di depan rumah mulai muntah. Anak-anak sekolah yang punya semangat tinggi berangkat diantar ibunya dengan payung, si Ucok yang pemalas masih terlelap tidur. Ketika Ibunya merepet-repet dia hanya mengatakan “ Tenanglah mak… guruku pun masih tidur”. Ahahaaayyyy…. Andai gurunya mendengar  pasti si Ucok dituntut, karena tak tau membalas budi, sudah diajarkan menulis membaca yang tak didapat dari Ayah Ibunya.
            Aku teringat guruku Pak Zainal. Beliau adalah guru pertamaku, yang mengajarkan aku menulis dan membaca. Walau Emak sudah mengajariku, tetap saja aku merasa beliau adalah guruku yang paling hebat. Aku tak pernah merasakan bangku TK, tapi Emak sangat sabar mengajariku. Beliau selalu menggunakan Koran-koran bekas untuk mengenalkan huruf dan angka. Aku suka melihat Koran atau buku yang bergambar. Tak heran, ketika aku duduk di SD aku tak pernah kalah dari teman-teman yang merasakan bangku TK. Pak Zainal sering menghadiahi aku permen karena dapat melakukan tugas-tugas yang di perintahkannya dengan cara halus. Mungkin saja, aku suka beliau karena permen-permen itu.
Ku longok jendela, hujan sangat rapat. Emak sudah dua hari tidak jualan ke pasar, badan Emakpun panas tinggi, Emak demam. Malam tadi aku tidur disampingnya, mengompres keningnya dan mengingatkannya untuk banyak minum air putih agar panas tubuhnya cepat turun, kasihan Emak tidurnya tidak nyenyak seperti biasa. Sebenarnya, aku berencana subuh ini untuk berjualan menggantikan Emak, tapi Emak melarang aku jualan sendirian dan hujan sangat rapat. Aku juga benci sekali suasana pasar yang diakibatkan hujan, bau busuk merayap-rayap naik ke kepala. Kepalaku sering berdenyut-denyut, hidungku tak pernah ramah terhadap aroma ini. Meskipun aku sudah bertahun-tahun berada dalam lingkaran pasar, dari bayi malah.
Handphone ku bernyanyi nyaring, sms masuk. Isinya sangat singkat “ jpi aq d prkr FH j 10,PTG,TLG”, kukernyitkan alis penuh tanda tanya, itu sms dari Zahwa, ada apa?
  Siapa Tir ?” suara lemah Emak bertanya heran . Ingin kusembunyikan pada emak, tapi aku tak pandai berbohong menghadapi Emakku ini, aku juga tak pandai jika HP ku hanya getar, untuk urusan ini aku punya koneksi lambat. Togar teman kuliahku selalu mengeluh, katanya aku orang kampung karena suara HP ku norak, walaaahhh……siapa peduli?
  “ Zahwa mak… katanya ada yang penting” kujawab pertanyaan Emak perlahan, takut ditanya lagi.
  “ Ada apa?” nah kan… ditanya lagi.
  Katanya ada yang penting…”
  Jadi…?? “ tuh kan.. Emak bertanya lagi.
  Dia minta aku jumpai jam 10 di parkir kampus..”
  Pergilah.. jumpai dia, perasaan Emak juga enggak enak” Emak menjawab sedikit serius, aku merinding. Tapi mencemaskan Emakku ini.
  “ Emak enggak apa-apa, panas Emak sudah turun. Cuma masih lemas aja, pergilah!”
Tak kujawab lagi suara Emak, aku berfikir bagaimana caranya menjumpai Zahwa, karena  jam 9 aku juga harus menjumpai Pak Ritonga pembimbing skripsiku. Menjumpai beliau agak rumit, karena seperti mendulang emas. Ketemu syukur, tak bertemu buat janji lagi. Tapi aku bisa memaklumi karena beliau cukup sibuk, pasti banyak yang lebih penting daripada aku. Yang penting, ketika nanti aku menjadi penting, aku juga akan memandang semua manusia penting. Wah.. pusing aku memikirkan yang penting-penting!
            Ketika hujan mulai reda, kutelusuri gang sempit rumahku. Melambai kearah mobil kuning yang selalu siap mengantarku pergi tanpa pernah mengeluh. Mobil yang selalu menjadi sahabat keseharianku menuntut ilmu, suka menyalip dan berhenti suka-suka. Sopir yang saling memaki dan tak peduli pada suasana, yang terkadang duduk miring karena sakit pinggang. But I love them! jika mereka mogok aku juga tak bisa kemana-nama, merana!
            Alhamdulillah.. Pak Ritonga duduk manis dalam ruangannya seakan menunggu aku, prediksi memang tak selalu benar. Skripsiku lancar, dia mengangguk takjub seakan skripsiku memang perfect, hanya ada beberapa bagian yang harus dikoreksi berhubungan dengan data.
            Aku tersenyum bahagia, bukankah selama ini menulis adalah pekerjaan yang menghasilkan uang bagiku? Sudah berapa banyak skripsi yang beredar adalah hasil jerih payahku demi membantu Emak? Urusan dengan Pak Ritonga hanya menghabiskan waktu 30 menit, aku menuju lapangan parkir untuk menunggu Zahwa.
Gadis itu sudah ada di lapangan parkir, berdiri disamping mobilnya seakan sedang menunggu aku. Bukankah janji itu jam 10? ini masih 9.45.
  Assalamualaikum Wa….”, kusapa Zahwa.
             Alaikumsalam…. Yok!”, Zahwa menjawab sambil membuka pintu mobil.
  Kemana nih?” kujawab dengan heran.
  Kemana aja Zul, jangan disini…..” mata Zahwa Nampak kelam, ada sesuatu yang tak beres tampaknya. Aku ikut masuk kedalam mobil tanpa berkata apa-apa, aku sudah merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
  Ada apa Wa?” tak sabar aku bertanya. Zahwa  menggeleng, nampak matanya mulai basah, ada air yang jatuh. Belum jauh dari kampus, Zahwa menghentikan mobil di pinggir jalan, tangisnya pecah! Aku bertambah tak mengerti. Betapa pedihnya tangis gadis ini, apa yang harus kulakukan? Aku tak berani menyentuhnya.
  “ Papa Tir…..”, suara Zahwa terasa sangat berat, masih dalam isaknya.
             Kenapa?”
             Kami enggak ada yang tau, ternyata papa punya istri lagi… sudah tiga tahun, dia juga  punya dua anak lagi, papa jahaaaaaattttt…..!” Zahwa berteriak sambil memukul stiur mobil melepaskan kepedihannya. Ya Allah… aku terhenyak! mengapa Zahwa harus mengalami ini? ternyata gadis ini tak sepenuhnya bahagia.
Mengapa Zahwa harus mengatakan ini padaku? Apa yang harus kulakukan untuk menghiburnya? Aku tak bisa memeluknya untuk meredakan tangis itu, aku bukan suaminya. Aku sangat menghormati perempuan, aku lahir dari rahim Emakku yang juga perempuan. Kutarik nafas panjang, mencoba tenang.
  Dengar Wa… semua masalah bisa diatasi dan enggak selamanya hidup itu indah. Allah selalu memberi cobaan sebatas mampu kita aja. Allah penyayang Wa, percayalah … ada hikmah dibalik semua ini. Kita juga tak sepenuhnya boleh menyalahkan papamu, dia juga punya alasan Wa..”
  Karena kamu laki-laki kan?” potong Zahwa ketus.
  Bukan Wa, kita enggak sepenuhnya tau urusan rumah tangga orangtua kita. Kamu mungkin lebih tau suasana dirumah bagaimana. Mungkin mamamu yang sangat sibuk hingga papa kesepian dan dia butuh teman…”,
  Ah… tetap aja papa jahat! aku selalu temani papa kok. Itu Cuma legalitas laki laki!”
  Tapi enggak semua bisa dia dapat dari anaknya kan?” aku memotong kalimatnya dengan hati - hati. Zahwa diam, menunduk.
  Aku mau makan!” Zahwa kembali menyetir dengan bersemangat, aku takut.
  Hati- hati Wa..” aku mengingatkannya.
             Kalau mau mati aku enggak ngajak kamu Tir, mati ndiri aja….” aku diam menatap gadis yang matanya masih merah dan basah ini. Air itu terus jatuh menganak sungai di pipinya yang bersih, aku diam seribu bahasa.
            Zahwa makan seperti kuli, aku terkagum-kagum.Ternyata dia tipe makan ketika stress, tapi kok enggak gemuk ya? Menu Zahwa double sirloin steak dua porsi, aku mual melihatnya. Tapi biarlah… mungkin dengan begini pikirannya agak tenang. Aku juga agak tenang karena ketika kutelepon, kondisi Emak sudah membaik. Hari ini, aku seperti pengawal gadis yang mengikuti kemana dia mau pergi. Belanja, nonton, mutar mutar tanpa tujuan, melihat Zahwa yang tertawa dan menangis.
            Setiap ucapanku ku coba untuk selalu memotivasi  membangkitkan semangatnya yang nampak hampir ambruk. Aku juga tahu Zahwa yang sangat menjaga sholatnya, apapun yang dilakukan dia masih ingat waktu sholat, khusyu’ dan tak diburu waktu. Dalam hati aku bertanya-tanya,mengapa harus aku yang menemaninya? apakah Zahwa tak punya teman lain?
            Pukul Sembilan aku pulang diantar Zahwa. Kalimat akhir sebelum aku turun dari mobil membuatku hampir pingsan.
  Aku mau pergi dari rumah ” aku urung membuka pintu mobil, memiringkan tubuh menatap wajahnya dengan serius.
  Jangan ngaco ah…. Jangan cemen Wa, masak masalah gini aja mau ninggalin rumah” kucoba membujuknya. Mata yang kelam itu menatapku, gelap.. tapi ada sesuatu disana. Cahaya dalam gelap itu berbinar, menusuk jantungku dengan tajam.
  Nikahi aku……” lirih suara itu, bergetar… air bening dari mata yang kelam itu jatuh lagi. Aku tercekat, halilintar menyambar-nyambar. Aku terpaku bagai seonggok batu, aku tak bisa beranjak menghampiri Emak yang sudah menungguku di dalam rumah. Fren… nanti aku akan bercerita lagi, aku tercekat!                      


 * Ikuti terus lanjutannya yaaa... :)


           


Senin, 19 Maret 2018

MENJEMPUT IMPIAN DI KEUKENHOF (6)


PEREMPUAN DENGAN PIPI MERAH MUDA (6)
Perempuan itu bernama Zahwa. Secara fisik, dia cukup menggetarkan jiwa lelaki normal. Walau Zahwa berpakaian tertutup, auranya tetap terpancar berjarak ratusan meter. Aku bisa menggambarkan Zahwa sebagai perempuan yang nyaris sempurna. Berpostur tinggi, kulit telapak tangan yang putih mulus didampingi kuku putih bersih yang cantik. Wajahnya bujur sirih, dihiasi hidung mancung dan mata teduh yang di bingkai alis tebal yang rapi. Ada beberapa noda benjolan di pipinya berwarna merah muda, tidak banyak dan terkadang  hilang sesaat. Menurut cerita Emak, perempuan seperti itu biasanya kedatangan benjolan yang disebut jerawat muncul saat menjelang menstruasi karena perubahan hormon. Aku mulai nakal dan mengamati ketika bertemu Zahwa, apakah bintik merah muda itu ada?
Terus terang, aku menyukai pipi dengan bintik merah muda itu. Warna yang kontras, paduan putih dan merah muda yang elegan. Terkadang aku beristighfar dalam hati, menepis pikiran yang merajai. Ibarat setan yang berdansa di kepala, ada-ada saja yang muncul dalam pikiran dan tak layak disampaikan. Awalnya, aku sama sekali tak tertarik dengan perempuan ini. Bukan apa-apa, aku menyadari kami ada dalam satu komunitas dengan kasta berbeda. Dia, ibarat bulan dan aku ibarat pungguk. Jika digabungkan maka muncullah kata-kata mutiara “ Ibarat pungguk merindukan bulan”. Itu adalah sesuatu yang tak mungkin dan tak pernah kesampaian, aku adalah lelaki bersemangat baja tapi hati masih dihinggapi apatis, resah menghadapi masa depan.
Ternyata Zahwa bukanlah tipe perempuan yang memilih teman berdasarkan ukuran dompet dan kendaraan. Dia memperlakukan aku sama dengan teman yang ada dalam komunitas kami, penulis kampus. Terkadang, aku juga diperlakukan spesial. Zahwa bersedia mengajakku pulang bersama dan mengantarkanku sampai depan rumah. Aku berpikir, itu hanya rasa simpati Zahwa padaku yang tidak punya kendaraan pribadi. Kemana aku pergi, aku berserah diri pada supir angkot yang liar minta ampun, memaki, mengumpat dan sering menjadi manusia pesong yang hilang kontrol. Terkadang, Zahwa mengajakku makan siang ke tempat yang tak pernah aku datangi. Tentu saja, dia juga prihatin padaku yang tak pernah makan di restoran mahal. Yang aku tahu hanya warung nasi Padang delapan ribu, prinsip makanku yang penting  kenyang. Betapa banyak orang kaya menghabiskan uang untuk memanjakan lidah sebatas tenggorokan. Kemudian seonggok nasi dengan lauk pauk mahal itu ditinggalkan. Aku merepet kesal dalam hati yang tak berdaya, andai uangnya di sumbangkan kepada orang miskin yang lapar, tentu jauh lebih manfaat. Aku berdamai dalam hati, mereka bersikap begitu tentu saja karena mereka tak pernah merasakan lapar.
“ Wa... kok makanannya di tinggalin? “ aku setengah berbisik kepada Zahwa, setelah menyaksikan seorang pria tambun di meja sebelah kami yang hanya menyeruput sedikit minuman dan berlalu, membayar ke kasir, dan meninggalkan meja dengan hidangan utuh!
            “ Mungkin dia ada bisnis Tir..” Zahwa menjawab ringan
            “ Mubazir tuh!  masak di bayar enggak di makan, sakit jiwa!”
            “ Husss!! “ Zahwa melotot, wajahnya tampak lucu
            “ Yang penting, kita enggak ikut-ikut mubazir. Udah.. makan yok, nanti dingin enggak enak lagi” Zahwa mencuci tangan dan mulai mencomot bebek presto yang kami pesan. Aku ikut makan, tapi dengan diselimuti pikiran pedih. Mengapa manusia berduit punya sikap seperti itu?
            “ Tir... makan jangan melamun, nanti tangannya masuk kehidung” Zahwa seakan tau pikiranku.
            “ Tu...kan, nasi nyangkut di pipi, hehehe” Zahwa tertawa kecil, menyaksikan butiran putih di pipiku yang salah arah. Kini, aku yang tersipu malu di depan perempuan ini, tertawa memamerkan sederet gigi putihnya yang rapi menawan.
            Perempuan berpipi putih dihiasi bintik merah muda itu bernama lengkap Sabina Ghalia Zahwa, nama yang indah.  Perempuan pertama yang  pernah masuk ke dalam rumahku. Perempuan yang tidak  jengah menginjakkan kakinya ke lantai rumahku yang berlantai semen batu. Perempuan yang sanggup mengajak Emak bicara layaknya Ibu dan anak. Perempuan yang sanggup menebar mimpi Emak menjulang ke awan dan pecah melesap ke udara. Perempuan yang selalu dibicarakan Emak di rumah, di puja puji layaknya dewi yang baru turun ke bumi. Betapa aku memperhatikan Emak yang bersemangat. Sementara aku bukanlah pemimpi layaknya Emak, aku lebih suka pada realita. Aku dan Zahwa adalah dua sahabat yang tak mungkin mengarah kepada ikatan. Aku Petir adalah seekor pungguk, Zahwa adalah ibarat  bulan.
            Hampir setiap aku berangkat kuliah, pulang dari pasar menemani Emak berdagang. Emak selalu menitip salam, berangkai-rangkai salam untuk Zahwa idolanya. Padahal belum tentu hari itu aku akan bertemu dengan perempuan berpipi putih dihiasi bintik merah muda itu. Aku dan Zahwa beda Fakultas, hanya kegiatan komunitas mempertemukan kami. Belakangan, kami sering bertemu di luar dugaan, dan Zahwa selalu hangat menyapa. Perempuan ini sangat menyenangkan, sebagai lelaki aku tak pernah merasa rendah walau  ia mengantar pulang atau mengajak makan siang. Agaknya, Zahwa sangat tau memposisikan diri.
            Satu-satunya teman yang rajin berkomentar hanya Zeiny. Hasutannya seperti bisikan syetan, terngiang-ngiang di seluruh rongga kepala, kepalaku berdenyut, berdengung mengisi semua rongga tubuh, membuncah tapi tak bisa keluar, terperangkap.
            “ Udah lah Tir, kau tangkap aja si Zahwa itu. Cantik, pintar, kaya lagi. Kau dapat dia, cerah masa depanmu. Tak usah lagi Emak mu jualan sayur, bangun pagi-pagi, kasian dia...” bukan main bersemangatnya si Zein, sampai air liurnya muncrat ke mukaku. Aku coba menghindar, tapi itu sudah terlanjur terjadi.
            “ Kau pikir dia bola? Main tangkap aja....” kujawab sekenanya saja.
            “ Maksudku.. kau tembak aja dia, biar jadi pacar kau..” wah... muncrat lagi. Sahabatku ini memang punya mulut yang selalu basah oleh air liur, maka ketika ia bicara aku sering menjadi korban. Air liurnya overload. Aku mengusap muka pasrah, dia adalah sahabat baikku.
            “ Mati dia kalau ku tembak...”
            ” Alaaahh... payah kali cakap sama kau, nanti di ambil orang baru merana kau, patah hati, bunuh diri...ckk,” Zein meletakkan telunjuknya di leher, sebuah isyarat penyembelihan. Zein benar-benar mendramatisir keadaan. Pemuda Aceh ini masih memiliki logat daerah yang kental dan ganjil, aku sering geli mendengar bahasanya. Setahuku Zein sudah lama di Medan, tapi lidahnya masih saja keriting. Aku tersenyum, di lingkari manusia sekitar yang penuh mimpi. Aku masih kukuh dan keras hati, itu tak mungkin. Dan, mengapa pula Zein membawa nama Emak dalam hal ini? Apakah ada persekongkolan diantara keduanya? Zein cukup tahu keadaanku, luar dalam. Dia tipe manusia yang setia kawan, walau sedikit egois dan tak pernah mau kalah. Kabarnya, itu adalah karakter khas kaumnya yang keturunan Sultan dan tanah airnya yang tak pernah diinjak penjajah. Jadilah mereka kaum yang pongah, sombong walau berpakaian kumal dan bodoh. Itu hal yang pernah aku baca di Novel Lampuki karya Arafat Nur salah seorang penulis favoritku yang berasal dari Daerah yang sama dengan sahabatku Zein. Begitupun, aku sangat mengasihi sahabatku ini, dan aku pernah menginjak tanah airnya yang indah dan makmur.
            Hujan lagi, cuaca benar-benar tak bisa di duga. Situasi sekarang memang tak enak, pagi terang benderang dan sesaat bisa saja mendung kelabu menggayuti langit dan hujan tumpah ruah ke bumi. Aku adalah orang yang selalu sial jika hujan, susah sekali untuk bisa keluar rumah dan lagi, kasihan melihat diriku dan Emak yang di semprot hujan di kedinginan dini hari. Kami akan meringkuk di bawah payung sewaan di pasar, berharap sayur cepat habis agar tak membusuk. Ku perhatikan wajah Emak yang pucat kedinginan namun tetap bersemangat. Hujan memang sangat sombong, tapi aku tak mampu melawannya. Yang kulakukan hanyalah mencoba menikmatinya, merasakan aromanya, atau bahkan membiarkan wajahku di tamparnya hingga perih. Kunikmati semua akibat yang ditimbulkannya, dingin yang menusuk tulang, air parit busuk meluap, sampah di pasar mengeluarkan aroma tak sedap, dan telapak tangan dan kakiku mengkerut seakan usiaku sudah tujuh puluh tahun.
            Ketika hujan pula, si perempuan berpipi merah muda itu rajin menghampiriku, mengajak bersama duduk dalam mobilnya menikmati tawanya yang renyah. Terkadang aku sangat jengah disini, duduk di samping perempuan yang harum dan ramah. Perempuan yang sopan tapi lincah, yang punya pipi merah muda, terkadang bintil merah muda itu juga lenyap seketika. Terkadang aku justru heran dengan diri sendiri. Mengapa aku harus jengah dan linglung jika aku menganggapnya sebatas sahabat? Apakah aku seorang laki-laki yang mencoba berkhianat pada diri sendiri  yang teramat sangat malang karena keadaan yang papa? Apakah aku lelaki malang yang berjuang melawan keinginan dan kehampaan seakan aku tak menginginkan perempuan ini? Bukan main resahnya hatiku menghadapi hari-hari, mencoba lari menjauh, tapi justru semakin dekat dan tak berdaya. Aku terperangkap dalam alam pikiranku sendiri, mencoba menarik tapi malah tertarik, mencoba keluar dari lingkaran tetapi malah semakin jauh terperangkap dalam lingkaran itu, ahhh.
            “ Apa pandanganmu tentang hidup Tir?” tanya Zahwa suatu kali, saat kami akan pulang seusai pertemuan mingguan kelompok penulis kampus. Kali ini, pipinya bersih, tak ada bintil merah muda itu. Ah, aku suka sekali nakal memikirkan itu.
            “ Apa itu penting Wa? “
            “ Yaaa.... aku pengen tau aja, apa pandangan hidupmu “
            “ Aku enggak tau, pandangan hidup yang gimana? “ aku balik bertanya, bibir Zahwa mengkerut, merajuk.
            “ Maksudku, pandangan tentang apa? Sisi hidup itu banyak Wa, misalnya cita-cita, orangtua, perempuan atau... apalah “ aku mencoba berdiplomasi.
            “ Oke, kita mulai dari cita-cita dulu “ Zahwa semakin bersemangat, seakan ingin membongkar tiap sisi diriku. Aku menyesal telah memilah-milah pandangan hidup itu, diplomasi yang salah. Kutarik nafas panjang, cita-citaku jelas. Tapi haruskah kubeberkan pada perempuan ini? yang tau cita-citaku hanya Emak, aku ingin menyimpannya dari orang lain.
            “ Cita-citaku adalah.... aku ingin sukses lahir batin, bekerja dan punya penghasilan “
            “ Itu standart Tir..... yang spesifik gitu “
            “ Enggak ada, aku membiarkan hidupku mengalir seperti air. Kalo kamu. Gimana? “ aku kembali bertanya pada Zahwa, memiringkan tubuh menghadapnya.
            “ Aku ingin nanti ketika gelar dokter sudah dapat, aku ambil spesialis obgin supaya perempuan yang ingin melahirkan atau hamil enggak perlu ditangani dokter laki-laki. Dokter Obgin perempuan di sini kan masih dikit. Aku ingin buka klinik sendiri, punya suami dan anak-anak yang lahir dari rahimku sendiri. Bahagia selamanya...” Zahwa tersenyum menguraikan cita-citanya yang sudah dibentuknya dengan jelas, seperti pahatan patung lilin yang sempurna.
            “ Pandanganmu tentang sosok suami? “ ohh... mengapa aku lancang bertanya? Mengapa bibirku melepas ucapan itu?.
            “ Aku ingin punya suami sholeh, imam dan penuntun jalan hidupku. Aku ingin punya suami petarung, pejuang dan tak boleh manja berleha-leha “ Zahwa menatap kedepan, sangat jauh.
            “ Apakah dia seorang dokter?“ uupps... kelancangan menguasai mulutku. Zahwa tertawa menunjukkan barisan giginya yang tersusun sempurna. Barisan gigi yang seakan disusun sang pencipta dengan sangat hati-hati, tak boleh kurang atau lebih ukuran senti dan inci.
            “ Ya.... bolehlah, kalau dokter boleh, siapa aja boleh. Yang penting sholeh.....” Zahwa masih tersenyum, pipinya bersemu merah muda. Entah mengapa, aku tersenyum lega.


           


Kamis, 08 Maret 2018

MENJEMPUT IMPIAN DI KEUKENHOF (5)



PEREMPUAN KEDUA (5)

            Trotoar kampus masih basah ketika aku melangkahkan kaki menembus gerimis tipis. Jalanan hitam penuh pasrah menerima tumpahan bunga kuning akasia yang gugur, pemandangan jalanan yang indah, paduan warna yang harmonis. Kutarik nafas panjang, aroma khas bunga akasia menyergab hidung, aku suka dan menikmatinya. Hujan di kampus sangat berbeda, aku suka dan menikmatinya. Udara sejuk, air yang jatuh dari langit, daun yang basah adalah lukisan ajaib bagiku. Kecuali di Pasar, hujan membawa penderitaan.
  Teeeetttt...” hups...! aku terhenyak dari lamunan, kuperhatikan mobil yang berhenti tepat disisi kananku.
  “ Bareng yok Tir! hujan nih....” sebingkai wajah muncul dari kaca jendela mobil, wajah yang cantik dan sangat kukenal.
  “ Serius nih...”, jawabku basa basi
  “ Iyalah... ayok!..” wajah cantik itu tersenyum lucu, dia pasti tahu jika aku berbasa-basi, aku tak lagi berkomentar dan masuk kedalam mobil, agaknya gerimis tambah merapat.
  “ Langsung pulang?” perempuan cantik  yang duduk di belakang stir itu memulai percakapan.
  “ Iya.. aku turun di perempatan aja”
  “ Enggak usah... langsung kuantar aja, kita kan satu arah “ tawarannya begitu serius dan manis, aku jadi tak enak hati.
  “ Enggak usah, aku jadi enggak enak nih..” aku juga serius, tanpa basa basi. Kikuk juga rasanya berlama-lama dekat perempuan ini, mobilnya sejuk dan wangi. Pipinya putih bak pualam, matanya cerah benderang, fisiknya sudah menjelaskan kalau dia seseorang yang hidup dalam kesenangan tanpa beban. Sementara aku? aku adalah laki-laki yang bergelimang perjuangan. Kasih sayang, pendidikan dan motivasi  Emak lah yang membuat aku menjadi kuat, tanpa itu? Jiwaku telah lama mati.
Perempuan cantik itu tak menjawab, pandangannya serius memandang jalan yang dipadati kendaraan lain. Hujan membuat pengendara sepeda motor panik dan ingin cepat sampai tujuan, ini kondisi yang berbahaya untuk pengendara mobil jika tidak hati-hati. Aku diam, mendekap tangan di dada, memandang kedepan dengan hujan yang semakin merapat. Kami tenggelam dalam diam.
            Mobil berbelok memasuki gang menuju rumahku, sebagai lelaki aku merasa tak enak hati diantar seorang perempuan. Tapi aku juga tak mampu menolak niat baik perempuan ini, tulus sekali, ketulusan yang terpancar dari dalam jiwa yang bisa kubaca dari sorot matanya.
  “ Singgah yok….” tawaranku ketika mobil berhenti di depan rumah. Perempuan itu mengangguk tersenyum, alamaaak… aku Cuma basa basi, tapi dia tanggapi, wah..
Emak menyongsong didepan pintu rumah, tersenyum seperti anak yang dibawakan oleh-oleh permen, aku Cuma cengar cengir kuda melihat mata emak yang mendadak genit.
  “ Wa… emak ada buat ubi rebus, mau?”  aha.. Emakku terlalu pede fren
  “ Wah…Awa suka tuh mak.., mama juga sekali-sekali masih buat ubi rebus, dikasi gula merah sama kelapa”.
  “ Suka ubi rebus Wa?”  kupastikan jawaban perempuan itu, Zahwa.
  “ Ya iyalah… itu makanan sehat Tir, di keluarga kami kalo bikin cemilan tuh ya.. ubi goreng, pisang goreng, bakwan, buat cake juga jarang.” aku tertegun antara percaya dan tidak, apakah Zahwa hanya ingin menjaga perasaanku sebagai seorang lelaki miskin?
Aku tak ingin membahasnya, aku sibuk dengan kegiatanku yang baru, memperhatikan Zahwa yang makan ubi rebus dengan asap yang masih mengepul ditemani Emak sambil tertawa-tawa. Sesekali kulongok mobil yang diparkir Zahwa didepan rumah, takut ada kendaraan lain yang tak bisa lewat karena gang rumahku yang sangat sempit. Zahwa pamit setelah dua puluh menit duduk menikmati ubi rebus sambil bercerita dengan Emak. Heran.. aku tak dilibatkan mereka dalam pembicaraan, hanya Emak sesekali mengerling kearahku, dasar perempuan.
Sahabat… sulit kujelaskan dengan kata-kata tentang perempuan itu, Zahwa namanya. Dia seorang perempuan yang hidup makmur, gemah ripah loh jinawi. Aku yakin sekali jika perempuan itu tak pernah dihinggapi penderitaan. Ayahnya seorang Profesor dan ibunya seorang dokter spesialis ortopedi. Aku juga heran mengapa bisa dekat dengan perempuan yang beda fakultas ini, dia di kedokteran sementara aku di Fakultas Hukum. Yang menyatukan kami hanya Organisasi kampus di kelompok Jurnalis Kampus, itu saja. Aneh, selalu ada kesempatan bertemu dan dia selalu punya tawaran baik mengantarku pulang, bicara dengan Emak dengan sangat akrab seakan seorang anak yang bicara dan curhat dengan Ibunya. Dan.. Emak yang terlalu pede seakan-akan Zahwa adalah calon menantunya. Walah..aku tak pernah mimpi bisa memiliki perempuan ini, tak pernah! Siapa yang terlalu bodoh memilih aku sebagai pacar atau bahkan pasangan hidup?
Aku Petir, pemuda yang dari kecil sudah yatim, berjuang hidup bersama Emak tercintanya, yang miskin tak punya harta, kendaraan jelek pun tak punya. Semangat hidup, lampu dalam gelap itu hanyalah Emak, dan..sang pencipta tentunya.
  “ Heh.. melamun..” Emak muncul disampingku,menepuk lembut bahuku.
  “ Mikirin si Zahwa ya?”  Emak menatapku menggoda.
  “ Mak.. si Zahwa itu anak orang kaya, anak dokter. Kita orang miskin mak, mana mau dia sama aku, dia Cuma kasian lihat aku yang  kemana-mana naik angkot, makanya dia mau antar, itu aja. Udah ah.. Emak terlalu pede, nanti aku cari aja perempuan lain untuk jadi menantu Emak, yang selevel….”Aku bangkit, Emak menarik tanganku.
  “ Duduk Nak...”, Emak menatapku tajam, aku tak berani membalasnya, aku kembali duduk.
  “ Emak tidak pernah mimpi nak, status bukanlah segalanya. Emak suka Zahwa bukan karena dia seperti yang kau bilang anak orang kaya, dia perempuan yang membuat Emak senang serasa menemukan anak perempuan. Dia bukan perempuan biasa. Besok kalau kau jumpa dia, kau perhatikan betul cahaya matanya, tak bisa dibohongi kalau dia suka sama kau nak, cinta dia sama kau..”. Aku tertegun, benarkah Emak terlalu pede?
  “ Oke , kalau aku pacaran sama dia, pake apa aku pergi ngapel? naik sepeda? ah Mak.. udahlah.. jauh kali cita-cita Emak, nanti Emak sakit hati.” Aha… bukannya aku yang sakit hati?  aku bangkit lagi ingin melakukan sesuatu yang tadi tertunda.
             “ Lha.. mau kemana? Emak belum selesai cakap Tir…”
             “ Mau mandi Emakku sayang… trus sholat Emakku tercinta.. habis itu aku mau menghabiskan ubi rebus Emak yang enak, oke?” kutepuk-tepuk bahu Emak yang tersenyum-senyum lucu, diapun mengangguk takzim.
Aku mandi, bayangan Zahwa menari-nari didalam ember. Di kamar, bayangan Zahwa menari-nari di cermin. Aku sholat bayangan Zahwa menari-nari di atas sajadah, walah….kenapa jadi gini? Emaaaaaakkkkkkk………..Zahwa menari dimana-mana, seperti udara dan angin, menguap keatas, menggumpal menjadi awan dan turun menjadi hujan. Ku lahap ubi rebus cepat-cepat, Emak perempuan pertama dalam hidupku melihatku dengan pandangan aneh. Zahwa perempuan kedua dalam hatiku tersenyum dalam bayangan, menari-nari dalam pikiran.
Nafasku tersengal-sengal menahan pikiran yang buncah dengan mulut penuh singkong panas.
“ Tir….. kenapa? “ Emak menepuk-nepuk bahuku bingung. Aku menggeleng-geleng, sebagai isyarat aku baik-baik saja.
“ Minum….” Emak menyodorkan segelas teh manis yang sudah mulai dingin, ku teguk perlahan dan menarik nafas panjang.
“ Makan jangan buru-buru, kecekik kan? “ Emak mulai tenang, menyandarkan bahunya ke belakang kursi. Aku tak menjawab, padahal aku ingin sekali mengatakan “ Mak…. Benarkah menurut Emak perempuan cantik itu berhasrat padaku? “
Kuhabiskan malam dengan gelisah, kantuk merayap naik ke ubun-ubun, namun mata tak mau terpejam. Perempuan itu seakan menyusup masuk dalam aliran darahku, panas.


  • Ahaaa.. tunggu kelanjutannya yaa J