Senin, 01 Oktober 2012

CERPEN


ELEGI KATA
Rahimah Ib
           
            Angin sepoi menampar wajah pekat perempuan setengah baya yang sedang tergopoh menuju padang ilalang diujung kampung. Diangkat kainnya tinggi-tinggi agar langkah bisa diayunnya jauh-jauh, matanya merah saga, dadanya bergemuruh marah, giginya gemeretuk.
Beberapa orang yang dijumpai membuang pandang, tahu pada perempuan yang marah dan tak elok disapa, akan membuat suara perempuan ini pecah membuncah, meledak sampai kelangit.
Keluar kau anak jadah!, tak tau adat!! pecah suara perempuan itu, seperti petir. Dari dalam semak ilalang, muncul sepasang kepala.
Apa yang kau kerjakan dalam semak-semak anak syetan?, tak tau malu! membuat onar! Benar-benar kau anak jadah!. Perempuan itu terus merepet, si anak dara berwajah muda belia itu pias.
Aku hanya duduk-duduk Mak, menemani Bang Zami menunggui lembu pulang, gadis muda belia mencoba membela diri, pemuda pekat yang ada disampingnya pias tak berdarah.
Apa kau bilang? menunggu jantan ini menunggui lembunya pulang? dasar anak durjana, pandai sekali kau membohongi aku ibumu, darimana kau dilahirkan? dari lembu-lembu itu? dasar anak syetan tak tau adat!!,” bukan main marahnya perempuan paruh baya ini. Ditariknya tangan si anak dara kuat-kuat, seakan tangan halus itu terbuat dari baja.
 Pulang!!! Akan kau dapati pelajaran sesampainya di rumah.Si anak dara, Syarifah namanya turut bagai lembu dicucuk hidung. Si pemuda, Zamzami namanya diam tanpa daya bagai patung batu, tak bergerak.
Syarifah berjalan pasrah mengikuti langkah ibunya yang panjang-panjang, ia setengah berlari. Betapa ia sudah dapat merasakan aroma penghinaan dari ibunya, sumpah serapah, mulut ibunya sangat cepat bergerak, sama cepatnya ketika ia mengunyah sirih. Syukur jika tangan ibunya tak hinggap ke pipinya.
Syarifah sungguh tak mengerti, benarkah aku dilahirkan dari rahimnya?. Benarkah perempuan paruh baya ini adalah ibunya?. Bagaimana Syarifah harus ragu?, sejak kecil ia sudah bersama perempuan ini, disayang dimanja sampai semua berubah ketika ia menginjak masa remaja.

***

            Perempuan paruh baya itu memandang langit bertabur bintang, alangkah indahnya. Matanya tak berkedip seakan menghitung jumlah bintang, layaknya anak yang mendapat tugas guru belajar berhitung. Mata perempuan itu panas menahan air yang hampir tumpah, betapa ia selama ini hidup dalam kesalahan yang tak berujung.
 Ia, perempuan yang terbuang. Terbuang dari keluarga dan masa depan, terbuang dari atas nama kebahagiaan, terbuang dari apa yang pernah ia cita-citakan. Masih terngiang perkataan ayahnya pada satu waktu “ Janganlah kau keluar malam-malam Aisyah, tak baik anak dara ada dalam gelap,Ayah duduk di beranda rumah sambil membaca kitab, menasehati anak dara yang sering didapatinya keluar menembus gelap.
Aku tidak kemana-mana, Ayah. Aku ke rumah Asmidar mengerjakan tugas Sekolah, jawab perempuan itu mencoba meyakinkan.
            Kau tahu, Aisyah?. Syetan itu sangat menyukai kegelapan. Gelap itu adalah malam, ketika kau ada dalam gelap itu, syetan akan mendampingimu. Keluarlah siang hari ke rumah Asmidar jika memang kau ingin mengerjakan tugas Sekolah.” Itu kata Ayah si perempuan.
            Tapi apa nyana?, malam selalu menggoda hatinya, indahnya orkes musik dangdut yang ada dalam pesta, hawa dingin dan angin laut yang menerpa, harum tubuh orang yang ada disekitarnya dan lelaki remaja yang menggoda. Perempuan ini tak mampu berakal sehat, mengabaikan titah Ayah yang sangat menyintainya.    
            Gejolak masa remaja benar-benar meluluh lantakkan akal sehatnya, tak mampu ia bertarung melawan nafsu remaja. Maka ia akan sering keluar dari jendela, melepas jilbab dan mengurai rambutnya, ia akan larut bersama teman sebaya.
            Tahukah Ayah Ibu tercinta?, tidak! Ia akan rapat mengunci pintu kamarnya, menghidupkan tape bermusik kasidah dengan suara pelan dan sayup, seakan ia telah ditidurkan alunan itu. Hingga kemudian ia bertemu dengan Asiong, pemuda sipit yang kaya dan putih licin. Pemuda yang kemudian merayunya, mengajaknya terbang kebulan, menjanjikan keindahan tapi kemudian dihancurkan, dicampakkan, dipijak-pijak tak berdaya tanpa harga.
            Perempuan itu sujud di kaki Ayah memohon ampun, menghiba dan merintih ketika ia merasakan ada nyawa dalam perutnya. Tapi apa daya?, Ayah cukup kuat bertahan dalam pendiriannya. Kata-katanya sangat datar dan masih terngiang sampai sekarang.
             “Pergilah kau bawa tubuh najismu, tak sudi aku beranakkan engkau. Kau telah menodai garis keturunanku. Kau tahu Aisyah?, najismu akan turun beranak pinak, aku tak ingin itu.” Lelaki itu mengucapkan dengan kelu, tak peduli pada anak perempuannya yang meraung mohon ampun.
              “Ibu... ampuni aku....,” kini ia beralih pandang kepada Ibu yang duduk membatu disamping Ayahnya.
              Kami memberimu nama Aisyah , dengan harapan kau akan menjadi wanita indah seperti istri Rasul, wanita shalehah. Kau diberi pengajaran agama yang cukup, kau sholat, kau mengaji. Tapi syetan lebih berperan dalam darahmu, pulanglah kau kepada syetanmu. Tak sudi aku mendekat kepadamu.....,” air mata Ibu jatuh berderai-derai menandakan betapa hancurnya ia, tapi ia tetap duduk disamping Ayah, sama-sama membatu. Ayah perempuan itu  memberi kata penutup.
             Pergilah malam ini juga, bawa apa yang kau rasa perlu. Darahku ada dalam tubuhmu, tapi malam ini juga aku putuskan hubungan darah itu, pergilah. Jika kau masih ingin hidup, berjuang untuk hidupmu. Jika kau ingin mati, matilah yang wajar jika memang sampai waktu malaikat menjemputmu,” Ayah beranjak pergi menuju kamarnya. Tak ada yang bisa dilakukan perempuan itu selain tangis yang berkepanjangan, sesal tak berujung.
            Mulailah perempuan ini dengan hidupnya, terasing dalam sebuah kampung entah berantah. Mengaku kepada kepala kampung bahwa ia kematian suami, sehingga harus menanggung hidup sendiri dengan perut yang semakin membesar. Tak lagi ia membayangkan Asiong yang sudah mendapatkan perempuan barunya, kepada Ayah Ibu yang murka.
            Betapa ia  harus hidup sendirian, mengupas kerang, mengutip kelapa, mencungkil kopra untuk menyambung hidupnya. Tak ada lagi kamar hangat di rumah Ayah, yang ada hanya gubuk ditengah kebun kopra milik Haji Jali kepala kampung yang baik hati itu. Betapa pedih ketika ia harus meregang nyawa mengeluarkan orok yang seharusnya tak ada, dibantu Mak Jiah si dukun beranak. Suaranya melolong seperti anjing ditengah kebun kopra, lolongan yang penuh benci dan sesal tak berujung.
            Gadis kecil itu berkulit kuning gading, bermata sipit dan berambut lurus. Betapa rupanya menimbulkan cinta perempuan ini pada anak yang tak pernah diharapkannya. Di rawatnya sepenuh jiwa, disusui sepenuh cinta, disayang sepenuh manja. Tak ada yang kurang dirasa. Si Gadis kecil tumbuh remaja, ngiang-ngiang titah si Ayah terus merajai pikiran perempuan ini.
            Si gadis yang beranjak tumbuh remaja, Syarifah namanya, tak bisa berbuat apa-apa karena wajah Ibu yang penuh curiga. Mulailah perempuan ini hidup dengan sumpah serapahnya, siang malam. Syarifah akan meringkuk sepanjang malam dalam tanda tanya “ Oh..Ibu, seburuk itukah aku dalam pikiran dan bahasamu?.”

***
           
            Angin terasa kuat malam ini, agaknya gelombang laut akan tinggi. Perempuan paruh baya ini masih berdiri dipintu dengan jiwa resah tak terperi, anak gadis remajanya belum juga pulang. Malam semakin pekat, angin semakin kuat, dimana gadis itu berada?.
            Di ujung ladang menunggui Zami dengan lembunya?, tak mungkin, hari sudah gelap. Angin terasa menusuk tulang, dimana anak itu?, kemana harus dicari?, semakin berdenyut kepala perempuan ini. Ia mengupat dalam hati, menyumpahi anak gadisnya yang belum pulang, benar-benar perempuan ini lupa berkata bijak layaknya ibu bagi anaknya.
            Dari dalam gelap, muncul bayangan sepasang manusia. Perempuan itu menyipitkan matanya, berharap bayangan itu nampak jelas, dia tahu sekarang.....
              “Anak syetan!! Dari mana kau, haaa?, tak tahu diri! Berdua dalam gelap, anak jadah!, mulailah ia menyumpahi gadis itu, Syarifah.
             Aku memang anak syetan Mak!, aku anak jadah!, teruslah Emak sumpahi aku, sepanjang hari sepanjang waktu...,”tangis Syarifah pecah dibawa angin, ia belum pernah membantah Ibunya selama ini. Ia selalu menerima segala sumpah serapah itu, walau sakit dan pedih. Apakah Ibunya  tidak sadar akan semua perkataannya yang akan menjadi do’a?. Perempuan itu tertegun, melempar pandang pada pemuda yang ada disamping anak gadisnya, matanya menyipit, marah.
            Kau..Zami, apa maumu ha? Kemana kau bawa Syarifah?.” Suara perempuan itu semakin meninggi saja, Zami tak menjawab, lidahnya terasa kelu, tak mampu ia berkata. Bagi Zamzami, perempuan ini sangat menyeramkan, layaknya separuh hantu.
             Aku sudah ternoda Mak....aku hancur..!,” lirih  suara Syarifah. Perempuan itu terpekik, melotot dan tercekat sampai ke ulu hati.
             Tapi aku ingin menikahinya Ibu, aku sungguh......” belum selesai Zami berkata-kata, perempuan itu melompat-lompat bagai orang gila. Ia meraung-raung pilu.
              “Oh Ayahku sayang..... kau benar, aku hancur, anakku hancur, dan cucuku nanti juga akan hancur. Oh Ayah... kapan aku membersihkan darah keturunanmu. Oh Ayah... aku sudah membuka lembaran keturunan penzina. Oh Ayah... ampuni aku, ya Allah... ampuni aku, tolong akuuuu....” perempuan itu meratap-ratap, menarik-narik bajunya, berhamburan rambutnya.
            Syarifah menangis dalam takut, Zami terpaku bingung dalam sesal, dalam tanda tanya ibarat laut tak bertepi. Dari jauh azan Isya terdengar sayup berkumandang, perempuan itu berdiri seakan ingat sesuatu.
              “ Ya Allah... aku mau sholat! Aku mau sholat!...” ia berlari kebelakang rumah menuju perigi. Terdengar suaranya terus menyebut Asma Allah yang tak pernah disebut sebelumnya, terkadang lirih, terkadang menjerit-jerit.
            Syarifah semakin takut, apakah Ibunya  akan gila?. Syarifah menangis teramat sangat pilunya, tangisan mereka bersahut-sahutan. Zamzami duduk tepekur, menyesal….
Desember 11, untuk Ibu di seluruh dunia…