Selasa, 09 Desember 2014

VERSUS DI KAPAL YANG KARAM (CERPEN)




            Langit biru, tak berawan. Matahari tepat di puncak kepala, tak menyisakan angin untuk sekadar menepis peluh yang bercucuran. Versus memperhatikan kapal dengan pandangan hampa, warnanya masih sama- biru cerah mengkilap. Jendela-jendela bulat di lambung kapal berbingkai cat putih bersih. Kapal itu masih sama setelah menyisakan tragedi seminggu sebelumnya. Tragedi yang membuat hati Versus dan seisi kapal tak dapat melupakannya seumur hidup. Pada waktu itu, menjelang petang. Penumpang kapal banyak yang duduk di dek kapal, menikmati langit yang bergerak berwarna jingga. Laut tenang, sesekali lumba-lumba melompat memamerkan atraksinya di ekor kapal. Anak-anak menjerit gembira, orangtuanya memegang tangan anak mereka dengan erat dan ikut gembira pula. Sementara di kamar kendali, Kapten Prees tiba-tiba muntah, matanya melotot. Awak kapal panik, termasuk Versus yang sedang mengantarkan segelas kopi. Kapten Prees tentu saja bukan mabuk laut- itu tak pernah terjadi, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Versus cepat mengambil tindakan, tapi tubuh tambun Kapten Prees ambruk sebelum dia sempat meraihnya, Kapten Prees rebah di pangkuan Versus.  Kapten Prees kejang-kejang dan berhenti bernapas. Dokter Benhur sebagai tenaga medis kapal berusaha melakukan pertolongan. Hanya berselang lima menit, Dokter Benhur menggeleng-gelengkan kepalanya. Kapten Prees telah tiada karena serangan jantung. Versus menyesal, mungkin karena ia selalu menyediakan makanan enak untuk Kapten Prees hingga sang kapten bertubuh sangat subur. Lemak-lemak menimbun di tubuhnya, mengganggu aliran darah ke jantung. Versus sedih dan kehilangan sosok bapak yang dicintainya. Perjalanan sampai ke daratan masih dua hari lagi. Dengan sedih, Dokter Benhur menyuntikkan formalin ke jasad Kapten Prees. Kapal Dohaya berduka, bendera setengah tiang dinaikkan. Semua begitu cepat, padahal matahari belum sepenuhnya tenggelam.
***
            Inilah pelayaran berikutnya setelah kematian Kapten Prees. Yang membuat Versus gamang adalah, siapakah yang menjadi Kaptennya kini? Apakah ia se”bapak” Kapten Press? Yang cahaya matanya menyejukkan, yang selalu berterimakasih akan setiap hasil racikan masakannya. Yang selalu minta dibuatkan kopi setiap pagi dan sore dengan diselingi perkataan yang membuat Versus melayang “Kopi yang kamu racik membuat hidup saya lebih bersemangat” ah…
            Saat ini, semua awak kapal berkumpul di kabin utama. Semua sama, hanya ada seorang yang dirasakan berbeda diantara mereka, sang Kapten baru. Tubuhnya kekar dan berisi, sorot matanya tajam, alis matanya tebal dan tak rapi, kulitnya coklat madu eksotis, garis bibirnya kaku. Versus menarik napas panjang dan perasaan tak enak ditepisnya jauh-jauh.
            “Hallo, selamat siang….” Sang kapten mulai menyapa, disambut awak kapal dengan semangat, kecuali Versus. Suara itu menyisakan aura tak sedap- perasaan Versus.
            “Saya Kapten Melka, Kapten baru yang menggantikan Kapten Prees yang sudah lebih sepuluh tahun mengabdi di kapal ini. Kalian jangan meragukan kemampuan saya, saya sudah lama berlayar dengan kapal lain selama…bla bla bla”. Ups! Panjang sekali pidato Kapten Melka, beberapa orang sudah duduk melorot. Dugaannya benar, Kapten ini sangat sombong dan tinggi hati, jauh dari kesan sebagai pendengar, apalagi pembimbing. Bagaimana Versus bisa nyaman menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan sang Kapten? Yang setiap waktu harus disiapkannya makanan? Ah…Versus akan melihatnya pada pelayaran pertama ini, membawa penumpang berlayar menuju kota Polka, selama delapan hari.
            Hari pertama sampai hari ketiga. Kapten Melka tak pernah menatap matanya, menyuruh-nyuruh dengan ujung jarinya. Versus merasa posisinya benar-benar hanya sebagai juru masak yang harus melayani tuannya makan, tak lebih- kenyataan yang tak pernah dirasakannya ketika sepuluh tahun bersama Kapten Prees. Tak ada tanggapan, tak ada kata apalagi pujian. Hari keempat, Versus merasakan sesuatu yang tak beres di kapal. Sesuatu yang pernah dirasakannya dulu bersama Kapten Prees. Suara ombak yang menghempas dinding kabin ruang masak dirasanya sangat “lain”. Merasa nanti tak akan dilayani, Versus memilih membicarakannya pada Onix, asisten Kapten.
            “Aku merasa ada sesuatu terjadi pada kapal,” Versus memulai percakapan, Onix menanggapinya dengan sorot mata yang tajam.
            “Sus, aku juga merasakan hal yang sama,”
            “Aku akan melaporkannya pada Kapten Melka, segera.”
            “Menurutmu, apakah dia akan mendengarkan kita? Aku rasa tidak, dia sangat sombong dan tinggi hati. Apalah arti pandangan seorang juru masak tentang sebuah kapal besar? Aku bukan siapa-siapa,”
            “Versus, kau bukan juru masak biasa,”
            “Itu adalah perasaanku ketika kita masih bersama Kapten Prees. Tapi kini tidak lagi, Onix,” mata Versus begitu kelam.
            “Aku sekarang bukan sesiapa lagi,”
            “Baiklah, aku akan mengatakannya langsung pada Kapten Melka, percayalah aku akan meyakinkannya. Ini demi keselamatan kita semua, lima ratus lebih nyawa ada disini,” Onix menepuk-nepuk bahu Versus dengan hangat.
            Masih empat hari lagi mencapai daratan, Kota Polka. Versus mengantar segelas cappuccino ke kabin Kapten Melka. Perasaan Versus tak enak, di kabin itu ada banyak awak kapal, semua berwajah tegang.
            “Duduk…” perintah Kapten Melka dengan angkuh, Versus menunduk, duduk pada kursi yang ditunjuk Kapten Melka dengan ekor matanya.
            “Apa yang kau sampaikan kepada Onix? Mengapa kau merasa seperti seorang kapten yang cukup tahu seluk beluk kapal? Bukankah kau hanya juru masak yang hanya berselimut bumbu dapur?” cukup! Akhirnya penghinaan itu merayapi setiap rongga kepalanya, kekhawatiran itu terjadi. Versus coba mendongak, Nampak Onix menundukkan kepala, tak berdaya
            “Aku merasa dinding lumbung kapal dibeberapa tempat menipis, Kep,”
            “Haaa? Bagaimana kau bisa merasa? Tanpa fakta?” Kapten Melka mencibir, sudut bibirnya naik ke atas, sejenak ia merapikan topinya, melirik rolex berlapis emas yang melingkari pergelangan tangannya.
            “Dengar, juru masak. Aku kapten di kapal ini. Aku tahu apa yang seharusnya kulakukan. Kau masak saja sana, jangan sok tahu.” Selesai, begitu saja. Semua menatap Versus dengan geli, kecuali Onix. Versus keluar kabin dengan menunduk, Onix menyusulnya.
            “Bersabarlah, Versus…” Onix coba menghibur.
            “Nix, pelayaran masih empat hari lagi. Bagaimana aku harus menyelamatkan kapal ini? Dengan lebih lima ratus nyawa di dalamnya, ooohh…” Versus mengusap wajahnya.
            “Lakukan sebisamu, aku akan membantu,”
            “Ini masalah besar, Onix. Kita tidak bisa hanya berdua..”
            “Sudah kukatakan, sebisamu saja. Tapi jangan membuat panik, semua akan terasa semakin sulit,” Onix menepuk bahunya dan berlalu menuju kabin kendali. Tinggallah Versus yang gemetar, mimpi-mimpi itu semakin nyata.
            Apa yang harus dilakukan Versus? Membekukan keringatnya untuk menyisip kapal? Semua pastilah tak percaya, kapal Dohaya begitu besar dan mewah. Semua fasilitas ada di dalamnya, semua penumpang bersenang-senang di bar, di ruang olah raga, duduk makan di resto  atau sekadar berdiri di dek menikmati langit berbintang. Siapa yang percaya ada bagian lumbung kapal yang dindingnya menipis? Ahh….
            Versus  menyapa ibu-ibu yang memiliki anak kecil, mencoba berbagi tips penyelamatan. Menunjukkan sekoci di sisi kiri kanan kapal, atau mengingatkan rompi penyelamat yang ada di kabin mereka. Versus menyampaikannya dengan bercanda sehingga tak ada wajah-wajah panik. Versus begitu lelah dan Onix tak berperan apa-apa, sepertinya dia sama dengan yang lain, tak menganggap penting ungkapan kecemasan Versus. Dua hari menjelang daratan, itu terjadi. Sesuatu yang disesali seumur hidup oleh Kapten Melka.
***
            Langit begitu pekat, tak ada bintang. Gerimis mulai turun dan angin bertiup cukup kencang. Perairan yang dilalui kapal saat ini memang dikenal dengan gelombang laut yang besar. Secara normal saja cukup mengocok isi perut, apa lagi situasi seperti ini, semua akan bertambah parah. Kotoran muntah akan berhamburan dimana-mana, penumpang akan luluh lunglai, mabuk laut cukup menyiksa. Versus sudah mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan, dia merasa waktu itu semakin dekat. Versus memejamkan mata, menghitung waktu. Hatinya penuh diselimuti do’a. dia mengingat wajah ibunya yang tua, dirinya yang juga belum berkeluarga. Paling tidak, jika dia mati hanya ibu yang menangis, tak ada anak dan istri. Itu artinya, jika dia mati tak banyak orang yang berduka.
            Kapal mulai berderak-derak, terombang ambing ke kiri ke kanan. Air laut yang asin menghempas di dek kapal dengan kuat. Suara “ueeekkk…ueekkk” terdengar bersahut-sahutan oleh penumpang yang muntah karena mabuk. Tak lama, terdengar suara dentuman keras di lumbung kapal disusul suara jeritan penumpang yang panik. Kapal bergoyang semakin parah, penumpang berhamburan menuju dek. Suara derap langkah dan jeritan diselingi badai mengoyak malam.
            “Kapal pecaaahh…kapal pecaahh..” terdengar suara teriakan dari kabin utama. Suara sirene darurat mengaung-ngaung pilu.  Tindakan penyelamatan segera di lakukan, kapal mulai miring ke kiri. Perempuan dan anak-anak menjerit-jerit ketakutan. Semua berebut menyelamatkan diri, benar-benar tak terkendali. Beberapa orang anak dan ibu-ibu Nampak sudah mengenakan rompi pelampung. Perahu sekoci belum sempat diturunkan, kapal semakin miring. Versus harus rela menyaksikan satu persatu penumpang melorot turun ke dalam samudera yang dingin. Anak-anak, orangtua, remaja. Kini dia bukan hanya pernah menyaksikan di film Titanic. Tapi, kini layar nyata itu ada di depan matanya. Pilu sekali menyaksikan tangan kecil yang menggapai-gapai kemudian hilang. Versus masih berusaha sebisa mungkin bertahan tidak menyentuh air- Jika pun nanti ia tak mampu bertahan mencecah di dek yang licin sambil memeluk tiang kapal. Waktunya mengapung di air tidak terlalu lama dan berharap pertolongan segera datang. Dalam badai Versus bisa melihat cahaya lampu kapal di kejauhan, apakah itu kapal bala bantuan? Mengapa bisa begitu cepat datang?
    “Syukurlah mereka bisa cepat datang,” Versus menoleh ke arah suara yang sangat dikenalnya, oooh…Onix.
            “Jangan bertanya apapun padaku, Versus. Sepertinya aku tak bisa bertahan disini, tubuhku sangat berat. Aku ingin kau sampaikan salamku pada Mariline dan dua anakku. Katakan bahwa aku sangat menyintai mereka. Jika Mariline tak mampu membesarkan anak sendirian, aku titipkan mereka padamu. Karena aku yakin engkau adalah lelaki yang baik dan bertang….” Belum selesai perkataannya, Onix melorot turun, terjun ke air. Versus menjerit tapi suaranya tenggelam dengan suara-suara yang lain. Oh Tuhan…kematian itu sangat dekat.
            Dua menit setelah Onix jatuh ke laut. Versus tak mampu bertahan dan  menyusulnya sambil terus berdo’a dengan segenap kesadaran. Agar Tuhan mengizinkannya untuk tetap hidup, menjaga Meriline dan dua anak Onix. Menjaga Ibu yang semakin keriput dan tua. Dia akan berhenti menyintai laut, hidup normal di daratan. Membuka restoran sendiri dan menjadi kokinya.  Hati Versus terus berdialog untuk menyemangati hidupnya. Dialog hati yang mampu menepis kebekuan dinginnya air laut dalam badai dan tubuh-tubuh kecil yang mengapung tak bernyawa.                                              
***
            Versus membuka matanya yang diterpa hangatnya matahari, apakah ia sudah berada di syurga atau neraka? Semua terasa asing.
            “Syukurlah ia sudah sadar,” terdengar suara lelaki yang ada di sampingnya, Versus menoleh dan sama sekali tak mengenal lelaki itu.
            “Saya ada dimana?”
            “Di desa Netis, Tuan. Bersyukurlah anda selamat. Hanya beberapa orang yang kami temukan dalam keadaan bernyawa, salah satunya adalah anda,” hanya beberapa orang? Versus mencoba bangkit, tubuhnya terasa remuk redam. Di depannya banyak kantong-kantong mayat, relawan penolong dan petugas medis lalu lalang.
            “Versus…” suara yang sangat dikenalnya, Versus menoleh tak percaya.
            “Ohhh..Onix!” Onix tertawa-tawa sambil memeluknya, seakan tak ada duka yang menyelimuti mereka.
            “Dengar, keriting. Wasiatku aku tarik kembali. Aku tak mau menitipkan Mariline dan anak-anakku padamu. Kau cari
saja istri dan anakmu sendiri,” Onix tergelak-gelak. Memang, terkadang dunia ini sudah gila. Sama seperti Kapten Melka yang histeris berteriak-teriak mengucapkan kalimat yang sama berulang-ulang “lumbung kapal menipis…lampung kapal menipis”. Dia memang menjadi gila!
           

           

Selasa, 21 Oktober 2014

BINGKAI YANG KUSAM (Cerpen kecil yang menggelitik)




  
            Angin gemerisik meniup batang padi yang mulai menguning, orang-orangan sawah gemulai bergerak sesuai irama. Aku masih duduk di rangkang[1] menunggu petang, menanti matahari terbenam di sebelah barat tenggelam ditelan laut di ujung persawahan. Kutarik nafas panjang, menikmati segarnya udara sambil menyantab sisa timphan[2] yang tadi diantar Nyakchik[3] sebagai kudapanku, mengisi sore di sawah. Di sebelah utara terdengar sayup-sayup berkumandang sholawat Nabi, dari dayah Teungku Adi. Suaranya terdengar serak kelelahan, seakan ingin menunjukkan kelelahan yang sama, ketika dia membimbing santri di dayahnya yang semakin sepi saja.
            Matahari yang kutunggu semakin bersembunyi malu-malu, tenggelam ke dalam laut. Suara ombak berderu-deru, angin menampar pipiku, air laut mulai pasang. Aku bergerak pulang, menyusuri pematang sawah dengan lega dan gembira. Akhir-akhir ini, sunset agak langka di lautku. Karena cuaca yang tak menentu, matahari sore sering tertutup awan, yang tampak hanya bias cahaya merah saga saja. Suara Teungku Adi yang bersholawat sudah berubah menyenandungkan ayat Al Qur’an, merdu mendayu. Teungku yang tambun hitam itu punya suara luar biasa, serak dan lelah tapi tetap memesona.
            Di halaman belakang, umi sibuk memasukkan ayam ke kandang agar tak dimangsa Musang. Musang di kampungku ganas sekali, ketika mulai gelap, mereka semua mulai mencari mangsa. Jangan harap ada ayam selamat jika berkeliaran dalam gelap dan tak segera masuk kandang. Umi Nampak kelelahan mengejar ayam-ayamnya yang montok, Umi mengeluh resah, ayam semakin liar, aku terkekeh, umi marah.
            Gadoh kakhem, sit ka kaeu lon meularat bak parohj ih, ken ka bantu,”[4] umi mengomel sambil membetulkan kain sarungnya yang hampir melorot.
            “Umi lucu”
            “Peu lucu, galak that ka eu lon sosah…”[5] umi sensitive, cepat marah, tapi baik hati. Aku atur strategi, umi kusuruh mengusir ayam ke arahku. Aku siap dengan jala ikan abu yang tersangkut di pohon belimbing. Dalam sekejab, ayam-ayam gemuk yang bandel itu masuk ke dalam perangkapku. Aku gembira, umi tersenyum tak marah lagi, tapi tak mau bilang terimakasih dan memuji aku anaknya yang hebat. Ah! Umi.
            Menjelang magrib, aku bersiap berangkat ke dayah untuk sholat berjama’ah  dan sedikit mengkaji tafsir sambil menunggu sholat isa. Dayah biasanya menjadi tempat kami anak muda mangkal pada malam hari. Tapi kini keadaan sudah jauh berubah, dayah sepi. Hanya aku dan beberapa kawan yang masih mangkal disini. Ada juga remaja perempuan, mereka duduk dibagian belakang, mengkaji tafsir yang dipandu Teungku Adi. Sebenarnya, jiwa remajaku ingin sekali menatap perempuan-perempuan cantik itu, tapi aku tak berani. Jangankan menatap, melirik saja aku sudah gemetar, suara deheman Teungku Adi membuat jantungku seakan lepas.
            “Padum droe nyeng trok Nu?”[6] teungku Adi bertanya, setelah aku selesai mengabsen kawan-kawan.
            Siploh, teungku”[7]
            “Gata, padum Mala?”[8] kini giliran Mala yang mendapat pertanyaan, dia bertugas mengabsen anak perempuan.
            Tujoh, Teungku. Dek Yah saket, hanjeut i jak” [9]Mala menjelaskan, tunduk. Aku terkesiap mendengar Dek Yah sakit. Aku suka senyum Dek Yah, aku sering berdebar-debar, tapi aku tak pernah berani menyapanya, takut dan gemetar rasanya. Mendengar namanya saja dadaku hangat, dengan debar jantung yang berirama indah. Dek Yah, ibarat foto berbingkai putih, bersih dan cantik.
            Mendengar jumlah muridnya yang datang, Teungku Adi menarik nafas kecewa. Dibuangnya pandang sejauh-jauhnya, kosong. Tapi Teungku Adi berusaha menutup rasa kekecewaannya. Dia tetap membimbing kami sebaik-baiknya, kami begitu takzim padanya. Dulu, ketika DOM dayah ini ramai sekali. Karena orangtua ingin mengamankan anak laki-lakinya disini dari kekejaman tentara yang buta. Setelah tsunami, dayah ini juga ramai, mungkin semua sadar kematian begitu dekat dan datang dengan tiba-tiba. Semua mengaji, pada hari Rabu dan Sabtu ibu-ibu berkumpul di dayah. Pada hari senin dan jum’at giliran bapak-bapak berkumpul, mengaji, membaca kitab dan mengkaji tafsir, atau sekedar mendengar tausiyah dari teungku muda ini. Kini, setelah tahun-tahun sulit berlalu, kemudahan dan kemakmuran merapat, dan dayah ini menjadi sepi. Seakan ditinggal penduduk dari kamp pengungsian, kembali pulang kerumah masing-masing.
            Kawan, kukatakan padamu. Kini kawan-kawan remajaku suka nongkrong di cafe yang ada di kota. Mereka duduk membahas pertandingan bola atau hal yang tidak penting lainnya, sambil minum kopi dan makan mie favorit kami. Mie enak yang berbumbu lezat, di tambah kepiting bulat yang mengangkang di atas piring, kepiting yang pernah membuat gigi seriku sompel. Di cafe-cafe itu biasanya ada layar lebar, mereka bisa menonton siaran TV melalui layar lebar itu. Jika ditanya, aku juga suka suasana kota, tapi Umi dan Nyakchik pasti akan membunuhku jika meninggalkan dayah. Aku hidup dan tinggal ditengah-tengah orang yang ta’at. Abu, jangan ditanya lagi. Lima waktu dia ke mesjid di samping dayah Teungku Adi, jika dia sedang tidak melaut.
            Kampungku kini jauh berubah. Gadis-gadis selepas magrib nonton sinetron yang tak pernah ada habis-habisnya. Remaja lelaki melesat ke kota, mencari tempat nongkrong. Tinggallah kami yang “kolot” mengaji di dayah, membuka kitab, membaca Alqur’an yang agung dengan menyampirkan do’a keselamatan agar terhindar dali bala. Kini remaja putra-putri kembali berani duduk berdua di tepi laut, tak lagi takut dengan polisi syari’ah. Ada juga yang sudah berani berpakaian modis dengan celana ketat. Teungku Adi selalu mengingatkan agar remaja putri di dayah memakai rok, bukan celana panjang, apalagi yang ketat.
            Malam mulai beranjak naik semakin tinggi, aku berjalan pulang dari dayah sendirian dalam jalan kampung yang gelap. Di depan rumah Dek Yah aku tertegun, mataku menatap sepasang bayangan duduk dibawah pohon mangga yang gelap. Suara perempuan yang tertawa terkikik-kikik manja itu suara Dek Yah. Entah siapa lelaki temannya bercakap aku tak tahu. Dadaku berdebar kencang, bukankah Mala mengatakan bahwa Dek Yah sakit? Apakah perempuan yang kukagumi ini berbohong? Mengapa pula dia duduk bergelap-gelapan? Seribu tanya menyesak di dada, nafasku semakin memburu sambil berlalu, pura-pura tak tahu.
            Paginya kampung gempar oleh berita Dek  Yah yang ditangkap keuchik[10]. Informasi yang kudapat, lelaki yang bersamanya itu Mahdan. Lelaki kampung yang serampangan dan tak pernah menginjak dayah. Lelaki besar cakap dan besar pula urat lehernya. Mengapa Dek Yah bisa terpesona padanya sehingga rela menghinakan diri sendiri?. Kepalaku berdenyut-denyut karena terlalu banyak pertanyaan yang tak bisa kujawab membebaninya. Satu-satunya kelebihan Mahdan adalah fisik yang hebat. Dia tampan dan selalu tampil rapi, walau kerjaannya hanya keliling kampung tebar pesona, hidup dari harta kekayaan bapaknya.
            Seminggu setelah Dek Yah dinikahkan, kampung kembali gempar. Kabar beritanya, Dek Yah disiksa Mahdan, Dek Yah jadi korban KDRT. Mahdan memukuli istrinya dengan kejam diiringi sumpah serapah yang memalukan. Badan Dek Yah babak belur, pipinya yang putih lebam, matanya seperti kena tinju, biru tua. Tak habis-habisnya warga kampung membahasnya, di dayah juga.
                        Nyan akibat inong hana harga”[11] Tengku Adi memulai tausiahnya, teman-teman perempuan menunduk.
            “Hana ridho Allah bak awak nyan, sebab bak phon pieh ka dosa. Meunyo rumoh tangga ta bina ngen ridho Allah, Insyaallah sakinah, mawaddah warahmah. Bek that teupeudaya ngon donya, shit donya hana abeh-abeh. Maken ta let, maken jioh..”[12] Teungku Adi menyeruput kopinya, kemudian melanjutkan
            “ Agam yeung got geujok le Allah u inong yang got, meunan chit seubalek jieh. Keuneuk meurumpok jodoh yeung got, ta mulai bak droe keu droe teueh”[13]
            Teungku Adi benar, bahwa lelaki yang baik adalah untuk perempuan yang baik, begitu juga sebaliknya. Jika ingin mendapat jodoh yang baik, mulailah dari diri sendiri menjadi orang baik. Malam itu, kembali aku pulang menembus jalan kampung yang gelap sendirian, melewati rumah Dek Yah yang gelap pula. Sayup-sayup kudengar suara tangisan perempuan, aku merinding, apakah itu tangisan hantu? Kupasang telinga dengan awas, suara itu dari dalam rumah, suara tangisan halus perempuan, suara Dek Yah. Aku miris dan perih, kasihan perempuan cantik itu, tak seharusnya dia menderita. Tapi apa mau dikata? Harga dirinya hanya sebatas itu. Aku terus berjalan menuju rumah, dalam gerimis yang mulai jatuh aku berdo’a, semoga Allah kelak memberiku jodoh yang baik. Dek Yah, telah memilih jalan hidupnya,  hidup dalam bingkai yang kusam.

Medan, Maret 11. Untuk semua perempuan hebat di dunia J
*Rahimah Ib adalah anggota FAM Medan dan aktif mengajar di SMP Darussalam Medan.



[1] Pondok kecil di sawah, biasa digunakan untuk beristirahat
[2] Makanan khas Aceh, kue dari tepung pulut yang dibungkus daun pisang muda
[3] Nenek

[4] “ketawa saja kamu, sudah tahu saya susah ngusir ayam, bukannya dibantu”
[5] Apa yang lucu, suka lihat saya susah
[6] Berapa orang yang datang, Nu?
[7] Sepuluh, Teungku
[8] Kamu, berapa Mala?
[9] Tujuh, Teungku. Dek Yah sakit, tidak bisa datang
[10] Kepala kampung
[11] Itu akibatnya perempuan tidak berharga
[12] Allah tidak meridhoi mereka karena sudah diawali dengan perbuatan dosa. Jika rumah tangga dibina dengan ridho Allah, Insya Allah sakinah, mawaddah warahmah. Jangan terpedaya dengan dunia. Dunia tak ada habisnya, makin dikejar makin jauh
[13] Lelaki yang baik untuk perempuan yang baik, demikian juga sebaliknya. Jika ingin mendapatkan jodoh yang baik, mulailah dari diri sendiri.