Rabu, 20 November 2013

CERPEN "DARAH CUT NYAK DHIEN"




            “Aku adalah perempuan biasa, cinta keluarga, saudara dan cinta damai. Aku bekerja dengan ikhlas dan cinta. Aku sama sekali tidak pernah berpikir dengan intrik atau jilat menjilat.” Perempuan itu menarik nafas panjang, matanya menggenang dan sejurus kemudian menganak sungai. Aku menatapnya prihatin dengan pandangan lurus, sejenak ia melanjutkan.
            “Aku  tersinggung, sangat tersinggung. Aku tidak bisa terima harga diriku dinilai dengan benda atau uang,” anak sungai itu semakin deras. Aku hanya mampu memandangnya, memegang tangannya.
            “Bersabarlah, mungkin dia banyak masalah hingga mengeluarkan ucapan seperti itu…,” kataku menghibur, masih menatap lurus bola matanya yang basah.
            “Ya, seminggu ini aku berpikir seperti itu. Tapi akal sehatku sudah tidak bisa menerima…,” dia mengambil tissue dan mengusap wajahnya.
            “Aku harus segera mengambil tindakan…,” dia sangat tegas, aku merinding.
            “Maksudnya? Tindakan apa?”
            “Aku resign” suaranya begitu dingin, aku terbelalak.
            “Freya…jangan main-main…,” aku sedikit memekik.
            “Aku sudah katakan padamu, Diana. Aku bekerja dengan ikhlas dan cinta, ketika itu sudah lenyap dihapusnya. Buat apa aku bertahan di sini? Menatap matanya yang seakan menusukku? Menikamku?” mata bulat Freya, perempuan itu, membesar, layak bohlam di ufuk timur.
            “Tidak bisa begitu, Frey. Kamu harus berpikir sehat, resign itu artinya kamu kalah,” kupancing emosinya, setiap orang kan nalurinya tidak mau kalah. Tapi dia balik menatapku tajam.
            “Ini bukan pertandingan. Tak ada yang kalah atau menang. Ini adalah harga diri,” Freya bangkit dan berlalu, meninggalkan mejanya. Hingga menjelang makan siang aku tak melihatnya. Suara Pak Arif sudah dianggapnya angin lalu. Freya begitu marah, Pak Arif juga sangat marah. Dalam seminggu ini, kantor yang biasa sejuk berubah seperti miniature neraka!
***
            Dialah Freya Fatma. Perempuan anggun dengan bahasa santun. Tubuhnya proporsional, berkullit kuning dan punya kecerdasan diatas rata-rata. Wanita ini sangat beruntung dan nyaris memiliki semua yang ia inginkan. Keluarga, anak, suami dan harta. Tanpa sibuk bekerja pun ia dapat hidup berlebihan. Terbukti, Freya memiliki rumah dan mobil yang jauh di atas standart kami karyawan lainnya. Atau pasportnya yang penuh stempel berbagai Negara dan diganti karena penuh sebelum lima tahun. Sementara pasportku dalam lima tahun hanya empat kali stempel, dua kali pergi dan dua kali pulang. Itupun karena pergi berobat, mematikan kuman sial yang bersarang di ginjalku. Payah.
            Di kantor, Freya konsultan konstruksi –perusahaan kami bergerak dibidang bangunan dan tata kota. Setiap tender masuk, Freya memeriksa dengan teliti massa kontruksi bangunan. Sementara tugasku memeriksa RAB anggaran. Ketika “ya” kata Freya, giliranku menghitung digit angka. Melewati beberapa proses lagi, kemudian masuk tahap deal dan pelaksanaan. Freya, memang bekerja dengan ikhlas dan cinta, kami semua saksinya. Karena ikhlas dan cintanya kami sering mengolok-oloknya dengan sebutan “cerdas tapi bodoh”. Freya tersenyum saja, tidak tersinggung. Ketika kami sudah bergerak keluar kantor, Freya masih di depan computer. Alasannya dia tidak ingin pulang dengan beban pekerjaan yang belum selesai. Rumah adalah istana dimana seluruh jiwa raganya untuk keluarga. Untuk menyenangkan hatinya dan kenyamanan kerja, Freya mengeluarkan uangnya sendiri untuk membeli peralatan kantor- benar-benar bodoh. Ketika aku meminta bon pembelanjaan untuk di klaim ke perusahaan, Freya hanya berkata “Enggak usah, pakai uangku aja. Enggak banyak kok,” Ah… Freya memang berbeda. Sementara yang lain, uang parkir di proyek saja minta klaim. Bensin untuk jalan-jalan keluarga saja minta klaim. Entah siapa yang bodoh.
            Petaka itu terjadi seminggu lalu. Perusahaan mendapat beberapa tender, proyek besar. Seperti biasa, Freya memeriksa massa kontruksi dan menyeimbangkan RAB yang telah kuperiksa. Alisnya bertaut dan ia menarik nafas panjang.
            “Tidak masuk akal,” gumamnya. Dia mulai menjelaskan padaku mengapa dikatakannya tidak masuk akal. Aku bisa terima dan mencium aroma tak sedap tentang sebuah kecurangan. Akhirnya, kami menghadap Pak Arif di ruangannya. Freya semangat menjelaskan, dengan keikhlasannya, dengan cintanya. Pak Arif menanggapinya dengan dingin.
            “Jangan mengada-ada, Bu Freya..,” Pak Arif berkata ketus.
            “Saya serius, Pak. Dua tender ini tidak masuk akal.”
            “Lalu?”
            “Kita tolak, Pak.” Freya begitu percaya diri.
            “Lantas, yang masukkan tender suami anda? Biar licin?” glek! Terdengar jelas suara Freya menelan ludah, pipinya memerah. Mengapa lelaki di depannya berkata seperti itu? Suaminya tidak pernah terlibat urusan tender dengan perusahaan tempat dia bekerja. Suaminya bergerak di perkebuban kelapa sawit, mengapa dihubungkan dengan bangunan? Freya ingin menangis, perkataannya tentang sebuah kebenaran diabaikan. Pak Arif belum puas dan melanjutkan, sinis.
            “Masih kurang kaya, ya? Mau beli pulau?” Freya berlari keluar ruangan bosnya, ingin menangis. Aku terduduk kaku di depan meja Pak Arif. Menjadi saksi atas semua perkataannya pada Freya, sial.
            “Kamu, Diana. Tunggu apa lagi? Kerjakan tugasmu, cepat!” haaa? Aku pun lari keluar tunggang langgang, menghindari lelaki botak berkumis landak yang seakan siap menelanku. Gila.
***
            Freya tidak main-main. Esoknya, lima orang lelaki kekar masuk ke ruangan kantor kami. Di ruangan itu ada mejaku, Freya, Zaki, Purba dan Nesti. Berbeda dengan ruang lain, ruang kami langsung terhubung dengan ruangan Direktur, Pak Arif. Bisa dikatakan, kami adalah termasuk “pejabat teras” perusahaan. Sehingga, kami harus terus terhubung dengan Pak Arif. Kuperhatikan, lima lelalki itu mendengar semua instruksi Freya. Mereka mengepak barang-barang pribadi wanita bermata bulat itu.
            “Kamu serius, Frey?” aku berbisik, teman satu ruangan yang lain bingung, hingga Purba lupa menutup mulutnya. Nesty memerah matanya, sementara Zaki yang gemulai menatap kagum pria-pria berotot itu, menjijikkan.
            “Aku serius..,”
            “Kamu sudah mengajukan surat resign?”
            “Ya, setelah ini aku menyerahkannya,”
            “Apa tidak tanya pendapat Pak Arif dulu? Mungkin dia kelepasan omong, lagi emosi. Maklum, Frey..dia setengah umur, kena diabetes…istrinya masih cantiik..,” aku mengerdipkan sebelah mata, coba bercanda sedikit konyol. Freya tersenyum, kecut dan dingin.
            “Nanti, aku akan memberikan pertunjukan untuk kalian. Sekarang diam saja,” Freya melanjutkan mengepak barang. Ketika semua selesai, kami semua terbengong-bengong dengan pemandangan yang kami lihat. Sepertiga ruangan, kosong! Lima lelaki itu mengangkat dua printer canggih yang biasa kami gunakan, dua computer, lemari buku, satu meja computer dll, dll. Kami tak berdaya, karena memang……itu barang pribadi Freya. Menakjubkan, memalukan. Mengapa Pak Arif masih berpikir ia ingin menang tender? Bodoh sekali.
            “Its show time…,” Freya berbisik ke telingaku, aku ciut. Freya memberi kode, memberi kesempatan kepada kami untuk mendengar pembicaraannya dengan Pak Arif. Freya masuk ke ruangan Pak Arif, pintu tetap terbuka. Aku dan lainnya menguping, berbaris di sebelah daun pintu.
            “Saya resign…,” Freya membanting amplop suratnya, persis seperti lakon sinetron. Aku mengintip, melihat jelas wajah Pak Arif yang terkejut, persis lakon sinetron juga.
            “Mengapa harus resign?”
            “Karena Bapak sudah menyinggung harga diri saya. Bapak mensejajarkan harga diri saya dengan benda dan uang…” suara Freya meninggi.
            “Halaaaaahh…merajoook, dasar perempuan!” sinis sekali suara Pak Arif, mencibir, mengejek.
            “Heh! Dengar ya! Kumis landak!” suara Freya lebih tinggi beberapa oktaf, hampir menjerit, agaknya kucing ini siap berubah menjadi harimau.
            “Dengar ya! Dalam darahku mengalir darah Cut Nyak Dhien, darah pejuang. Aku tak mau kejujuranku, keihklasanku dibalas dengan trik licik.” Trik licik? Aku belum paham.
“Anda sudah cukup menghinaku. Orang Aceh itu pantang disepelekan, darahnya cepat mendidih. Cut Nyak Dhien itu memang sombong, tak mau dijamah penjajah. Aku adalah generasinya!” suara Freya pedas dan tajam. Dasar egois dank eras kepala, Pak Arif tentu saja tak mau ditantang seperti itu, dia tak pernah kalah.
“Kau pikir kau siapa, ha? Kalu mau keluar ya..keluar saja. Pergi sana! Jadi perempuan penunggu rumah. Bau bawang!!” Pak Arif sangat kekanak-kanakan, ungkapan yang aneh.
“Pak Arif yang terhormat, kau lupa siapa aku? Istri penguasa lahan sawit setengah dari Kabupaten Labuhan Batu? Kau lupa aku adalah penulis? Kau lupa aku adalah pebisnis? Aku yang selama ini bodoh bekerja denganmu. Menghabiskan waktu di sini untuk proyekmu. Syukur penghinaanmu menyadarkanku,”
“Seminggu kau akan kembali kemari, kau penggila kerja,” suara Pak Arif menurun, seperti memohon.
“Tidak, aku tak pernah kembali. Dalam setahun ini aku akan berkeliling ke lima belas Negara dan menyelesaikan lima belas buku.” End! Pertunjukan selesai. Freya keluar ruangan dengan tersenyum lega. Semua belum selesai, ketika Pak Arif ikut keluar dari ruangannya dia terpekik.
“Apa-apaan ini? Mana barang-barang di sini, ha?” lelaki itu melenguh marah.
“Dibawa Bu Freya, Pak,”
“Apa? Orang kaya masih mau mencuri?” ironi sekali, inventaris kantor saja dia tidak tahu yang mana.
“Itu memang barang pribadi Bu Freya, Pak.” Kemayu suara Zaki.. Glek! Langit serasa runtuh menimpa Pak Arif. Seperti akhirnya, dua bulan kemudian proyek gagal. Fondasi bangunan runtuh menimpa 32 orang pekerja, semua meninggal. Kabarnya, proyek itu ditangani adik kandung Pak Arif. Pantas saja ia memenangkan tender abal-abal itu. Aku baru tahu setelah kejadian itu terjadi. Menyeramkan.
Akhirnya, perusahaan mengalami tuntutan karena kelalaian sehingga menyebabkan kematian. Sementara Freya yang  berdarah Cut Nyak Dhien, duduk di pinggir kolam renang, menulis. Rencananya, ia akan membangun taman bacaan, pondok yatim dan dhu’afa, menyalurkan beasiswa untuk anak cerdas yang kurang mampu. Kata Freya, ini waktunya ia berbagi, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan aku, memilih belajar menulis bersama Freya. Inilah hasilnya. Buruk kah? Ah.. namanya juga baru belajar. Nanti, ketika kita berjumpa, beri saran, ya?






Sabtu, 01 Juni 2013

CERITA CINTA DI BALIK PENGUMUMAN KELULUSAN SMP DARUSSALAM MEDAN




            Sabtu, 1 Juni 2013. Pengumuman kelulusan siswaku tercinta, siswa SMP Darussalam Medan. Malam, aku sudah susah tidur karena belum ada hasil konkrit, tersiksa. Pagi, empat kali aku ke kamar mandi karena mendadak diserang mulas yang melilit, melintir usus dengan kejam! Agaknya, sinyal-sinyal resah di dada dan kepala memengaruhi usus dan anggota perut lainnya, resah yang komplit! (sedikit lebay). Pukul 11 siang, hasil di tangan. Alhamdulillaaaahh…siswaku lulus 100% horeeee…..terimakasih ya, Allah…terimakasih ya Allah…aku bersujud syukur.
            Pukul dua, orangtua siswa dikumpulkan di kelas, ibu Kasek memberi pengarahan. Wajah-wajah orangtua Nampak mengkerut, berlipat-lipat stress. Hasil, tentu tak boleh dibocorkan dahulu, pengumuman dimasukkan dalam amplop tertutup. Di luar, siswa/i mengintip tak kalah kalut, kasihan. Wali kelas segera mengambil posisi masing-masing, siap melepas peluru. Selepas pengarahan dan menyapa orangtua dan siswa, aku pun kembali masuk kantor. Bersiap jika ada orangtua yang ingin berkonsultasi dan lain-lain (seringnya curhat, nyeritain anaknya yang begini-begitu, maklum…remaja, masalahnya macam-macam). Belum lagi ngotot masuk ke sekolah yang belum tentu sesuai kocek orangtua, kadang anak suka maksa…
            Baiklah, orangtua pertama masuk. Wajahnya sangat resah, air mukanya keruh. Ibu yang cantik ini menanyakan nilai akhir anaknya, aku memberi bocoran. Nilai yang baik, tapi tidak terlalu tinggi, ia berulangkali mengusap wajah dan mulai bercerita.
“Ibu, anak saya mau masuk SMAN…. (SMAN favorit di kota Medan). Tapi, nilai segitu, mana lulus jalur regular? Dia ngotot mau masuk dengan tes, tapi ibu tau kan? Kalo tes itu hasilnya enggak objektif dan “pake tanda kutip”. Gimana dong?” (si ibu pake bahasa Jakarta). Aku  masih menjadi pendengar yang baik, dia melanjutkan.
“Saya udah bilang, kita enggak boleh nyogok, itu dosa! Masa mau masuk SMA aja nyogok? Wadduh! Gimana, nih? Saya pusing karena dia ngotot” si ibu semakin resah parah. Baiklah, aku tahu, ibu ini bukan resah masalah uang. Toh, ayah si siswa  yang ngotot ini punya jabatan di sebuah bank swasta nasional, pasti dia punya duit. Tapi, benar, resahnya karena masuk SMAN favorit itu melalui jalur yang “tanda kutib”. Pakaiannya sudah menunjukkan, si ibu seorang muslimah sejati, bukan muslimah tanggung. Aku coba memberi gambaran singkat untuk si ibu, dia manggut-manggut dan segera menyela “Ibu aja yang ngomong sama anak saya ya?” aku mengangguk, baiklah. Nah, akhirnya, siswaku yang ganteng duduk di hadapanku. Tubuhnya tinggi, wajahnya halus budi, hidung mancung dihiasi bibir mungil bebas rokok (tentu saja). Aku  menatap matanya, focus.
“Audy, mau lihat hasil UN?” aku memulai, mensugesti, support atau apalah namanya. Dia mengangguk, aku tahu dia berdebar. Kubuka daftar nilai dengan perlahan, membahas nilainya. Dia  manggut-manggut, wajahnya mulai kusut.
“Ngotot masuk SMAN….?”
“Iya, Bu. Nilai saya memang enggak cukup, tapi katanya ada jalur tes, kok. Kemaren sepupu saya lulus jalur itu,” upss…langsung aku sambar kata-katanya.
“Gratis? Free? Enggak pake duit?” naaahh..kan! wajah itu kembali mengkerut, dahinya berlipat.
“Enggak, sih. Katanya pake duit,” wadduh!
“Audy, kita usaha, ya? Nanti kamu daftar aja di SMAN favorit kamu. Tapi ingat! Enggak usah pake duit. Kamu tau? Menyogok dengan yang disogok itu sama dosanya. Buat apa mencari ilmu dengan cara yang enggak halal? SMA aja udah gitu, gimana dunia kerja? Muncullah nanti koruptor.” Saya berhenti sebentar, memerhatikan wajahnya yang galau.
“Kamu mau cari style di sana? Ah..sekolah swasta bergengsi juga banyak. Kamu belajar yang baik, cari bimbel yang oke, terus asah otakmu. Nanti, targetmu adalah perguruan tinggi nasional yang keren. Targetkan Unpad, ITB, IPB.” Woooww….wajah itu mulai bersinar. Dia mulai mengangguk-angguk.
“Cita-cita kamu nanti mau jadi apa?”
“Arsitek,”
“Keren. Nanti kamu tempel gambar Universitas favorit targetmu di kamar besar-besar, tulis rencana dan tujuanmu.” Ah! Mata itu kembali bersinar, manggut-manggut. Agaknya mata si ibu mulai berkaca-kaca. Aku menggunakan tekanan suara yang dahsyat, walau tak sedahsyat Mario Teguh atau Wahyudi (tentu saja, hehehe). Akhirnya, siswaku dan ibunya pulang dengan kepala tegak. Semoga yang kusampaikan bermanfaat. Meninggalkan kesan yang dalam untuk Audy. Semoga Allah memberikan semua yang terbaik untuknya. Kini, sampailah pada cerita kedua, cekitdot.
Seorang ibu masuk kantor. Dia belum lagi berbicara, tapi matanya sudah basah, dia menangis. Dia ingin memelukku, tapi meja kerja membatasi kami. Dia menyalamiku dengan erat, sesenggukan, aku semakin bingung melihat anaknya- siswaku- ikut menghapus sudut matanya yang juga basah. Dia mulai bercerita, dengan sangat emosional.
“Saya ingin berterimakasih pada Ibu,” ehmm...aku tersenyum mengangguk, itu biasa saja. Biasakan? Orangtua berterimakasih kepada guru anaknya. Tapi, ceritanya kemudian membuat aku tercekat ikut menitikkan air mata.
“Sewaktu Ibu memberi kata sambutan wisuda kemarin* ada satu kata-kata ibu yang menyadarkan saya dan merubah hidup saya,” air matanya jatuh dengan deras.
“Saya ingat kata-kata Ibu, Ibu waktu itu bilang “anak saya adalah teman dan sahabat saya” saya tersentuh sekali,” dia kembali menghapus air matanya.
“Tapi, saya selama ini tak pernah memperlakukan dia seperti sahabat. Saya marah terus, merintah dia seenaknya, jadinya...saya tertekan, dia tertekan. Kami enggak pernah nyambung, hiks.”  Ibu ini memegang tangan anaknya, mereka sama menangis, aku juga.
“Sekarang, saya memperlakukannya seperti yang ibu bilang, anak saya adalah sahabat saya. Dia enggak pernah membantah saya lagi karena enggak saya perintah-perintah dengan kasar. Kami udah nyambung, sekarang rumah jadi sejuk, semua rileks,” ibu itu makin kuat menggenggam tangan anaknya. Cahaya mata penuh cinta antara ibu dan anak ada di depan mataku kini. Tak banyak kata yang kuucapkan, aku tersenyum dan berucap syukur. Ternyata, sedikit saja kata positif mampu melahirkan makna yang cukup dalam. Semua di luar dugaan, mampu mserubah kehidupan antara ibu dan anak, dialah Zulian Agustina, siswaku di kelas 9.4.
Selamat jalan anakku, siswaku. Berjuanglah karena jalan kalian masih panjang. Ingat pesan ibu, ya? Jadilah anak yang cerdas, cerdas intelektualmu, cerdas emosimu, cerdas agamamu. InsyaAllah, sukses akan kalian raih....amiin.
*Pada waktu itu, saya menerima Miftahussalam award sebagai guru berprestasi. Dalam kata sambutan, saya mengucapkan terimakasih kepada keluarga, suami dan anak-anak saya, cahaya mata saya. “Terimakasih untuk anak-anak saya, Liza yang menjadi sahabat saya, tempat saya berdiskusi tentang isi tulisan saya. Syifa yang selalu sedia membuatkan saya teh meskipun tengah malam. Bila yang selalu siap memijat jika saya lelah. Wafi yang selalu mesupport saya agar tulisan saya cepat selesai.” Yaaaa...kira-kira begitulah bunyinya.
NB. Selamat, ya? Untuk yang mendapat nilai UN tertinggi. Farah, Iqlima, Ayu, Nancy, Nisa....semoga bisa masuk SMA favorit. Untuk Ulfa, selamat udah lulus di Matauli, do the best every where...love u all :*


Rabu, 29 Mei 2013

BUNDA, MENGAPA AKU TIDAK CANTIK? (UNTUK ANAK INDONESIA)





"Bunda, mengapa aku tidak cantik?" Sasha menatap wajah bunda yang teduh.
"Masa, sih? kamu tidak cantik?" Bunda kembali bertanya, kaget mendapati anaknya yang galau.
"Iya, semua bilang aku tuh jelek, enggak kayak Bunda. Bunda putih, mancung, tinggi.." bibir gadis kecil itu melengkung, cemberut.
"Yang ngomong gitu siapa?"
"Semua teman-temanku, Bun. Lina, Putri, Rifa, Kasya..Denni juga ikut-ikutan," bibir itu semakin melengkung, matanya mulai basah, menangis. Perempuan lembut yang dipanggil bunda itu mengelus kepala putrinya, kepala yang dihiasi rambut keriting.
"Sayang..., Bunda dulu juga tidak cantik, Bunda sangat jelek dan sering diolok-olok teman," mendengar itu, mata mendung gadis kecil itu membulat.
"Oya? kok bisa Bun? ah..Bunda bohong. Trus biar cantik Bunda luluran ya? ke salon? gimana Bun? ajarin doooong..," suara gadis kecil begitu bersemangat, ah! Bunda pasti akan membagi resep cantiknya, hmm..
"Tau enggak? Bunda tuh, baru cantik selama sebelas tahun ini,"
"Haa? ah, Bunda bohong...emang Bunda operasi plastik?"
"Husss..jangan ngaco ah, kamu ada aja. Mau Bunda kasi tau?"
"Mauuuuu....mau, cepet Bun! nanti aku praktekin,"
"Oke, dengar baik-baik ya?" gadis kecil itu membetulkan posisi duduknya, seakan siap mendengar satu cerita penting yang akan mengubah hidupnya.
"Bunda, dulu juga jelek, karena tak sepenuhnya wudhuk membasuh wajah Bunda. Shalat Bunda masih bolong-bolong, jadi cahaya wajah Bunda kusam dan buram. Dulu, Bunda juga tidak mengenakan jilbab, kulit Bunda terbuka dan terkena sengatan debu dan matahari, maka kulit bunda dulu juga hitam dan kusam.” Bunda menarik nafas panjang dan melanjutkan.
 “Nah, setelah menikah dengan Ayah, Bunda menjadi perempuan yang cantik. Shalat Bunda tak lagi bolong-bolong sehingga cahaya wudhuk terpancar. Bunda juga menutup aurat sehingga kulit bunda terlindungi, jadi...Bunda sekarang putih bersih, hehe..gimana? udah tau resep cantiknya?" singkat saja petuah bunda, mata gadis kecil itu berbinar senang.
"Segitu aja, Bun?" suaranya begitu gembira.
"Ada lagi, mau dengar?"
"Mau..mau banget, Bun!"
"Perempuan cantik itu bukan dari wajahnya, tapi dari hatinya. Itu namanya aura,"
"Maksudnya?" mata si gadis kecil menyipit.
"Hati tidak boleh menyimpan iri, dengki, dendam. Kita harus mau mema'afkan, berkata jujur, lemah lembut, trus...jangan suka marah-marah, ya?"
"Ah..Bunda, tapi teman-teman terus mengejekku,"
"Sasha sayang...kalau kamu membalasnya dengan senyum, kamu pasti akan menjadi cantik, mereka akan diam dan kagum padamu. Karena marah dan dendam akan menghalagi kecantikan, bagaimana?" Perempuan yang halus lembut itu menjentik hidung anaknya. Sasha, anaknya yang berumur sepuluh tahun tersenyum cerah. Besok, dia akan menjadi perempuan yang cantik.
Benar saja, tidak harus menunggu esok. Sore itu juga Sasha melaksanakan ashar yang biasanya lolos karena les privat. Begitu juga maghrib, selepas sholat membaca Al Qur'an bersamanya. Seterusnya Isya sebelum tidur, subuh selepas bangun tidur. Ayahnya bertanya heran     "Bunda apain tuh, Sasha? biasanya sholat disuruh-suruh. Sekarang kok rela banget," Bunda tersenyum dan bercerita tentang kegelisahan gadis kecilnya, ayah tersenyum. "Syukurlah, berarti Bunda menjadi perempuan cantik setelah menikah, sukses buat Ayah," hahay..si Ayah memuji diri sendiri. Tapi tak apalah, karena itu adanya. Siang, kebahagian memancar dari segala penjuru rumah. Senyum si gadis kecil menjelma menjadi cantik. Dia belum baligh, tapi cahaya iman sudah memancar dari segala sudut wajah dan hatinya.
"Assalamu'alaikum, anak Bunda yang cantik...," sapaan hangat setiap pagi untuk bidadari yang cantik.

*untuk anakku yang cantik 


Senin, 27 Mei 2013

INDAHNYA CIRRUS



INDAHNYA CIRRUS



Matahari sedang ada di puncak langit. Panas menyengat sampai ke ubun-ubun. Berkali-kali pak Syafiq menyeka keringat yang membasahi keningnya. Kipas angin di kelas tidak mampu membuatnya nyaman, ditambah lagi tingkah polah siswa yang semakin hari semakin ribut saja. Ini adalah kelasnya, kelas delapan dimana ia dipercaya menjadi wali kelas. Yang membuat pak Syafiq tidak nyaman karena dia baru saja mendapat laporan dari guru BK, bahwa tiga orang siswanya cabut kemarin. Ketika ditanya kemana mereka pergi, serentak mereka menjawab “Ke Warnet, Pak, main game” Internet, lagi-lagi internet. Apakah teknologi canggih itu harus disalahkan? Tentu saja tidak. Semua terjadi karena ketidak pahaman siswanya terhadap penggunaan informasi yang semakin hari semakin canggih. Satu-satunya cara adalah memberi mereka pengetahuan dengan cara yang menyenangkan. Tiba-tiba, peluh itu menyuntikkan inspirasi  ke rongga kepala pak Syafiq.
“Siapa yang punya face book?” tiba-tiba siswa yang mulai tampak layu, mengangkat kepala. Serentak mereka menjawab “Saya, Paaaak…” pak Syafiq tersenyum, kini peluru siap dilepaskan.
“Kalau sudah punya face book, berarti punya email kan?”
“Iya, Paaaak…” suara kembali bergemuruh, siswa mulai antusias.
“Nah…tahu cara kirim email, tidak?” siswa saling berpandangan, sedikit blo-on. Sebagian besar menggeleng, cahaya mata mereka penuh dengan tanda tanya. Pak Syafiq mengeluarkan laptop, beberapa siswa disuruh maju untuk memasang infokus. Suasana kelas tiba-tiba sejuk, wajah siswa tampak bergairah, mata-mata mulai melotot.
Matahari, di puncak langit. Di kelas 8-2 berlangsung tutorial menggunakan email. Pertanyaan yang bertubi-tubi dari siswa dijawab pak Syafiq dengan ringan dan santai. Si tukang bolos kebagian peran praktek langsung. Wajahnya cerah sambil manggut-manggut seakan paham benar. Hampir satu jam pelajaran habis untuk tutorial email, ini bukan pelajaran TIK. Tapi bukankah semua pelajaran berbasis IT? Pak Syafiq juga punya misi, penyampaian kegunaan internet secara sehat dan positif.
“Mulai besok, semua tugas kalian email ke email saya,” pak Syafiq menulis alamat emailnya di white board.
“Tugas LKS, Pak?” Muti si ketua kelas bertanya bingung.
“Bukan, jika saya beri tugas membuat tulisan hasil browsing internet.” Seisi kelas mengangguk senang.
“Nah..sekarang, coba lihat awan di langit,” kelas mulai gaduh, semua berebut menuju jendela.
“Tahu awan apa namanya?” siswa menggeleng sambil berteriak “Tidak tahu, Paaak…”
“Baiklah, sekarang kita cari di internet, ya?”
Pak Syafiq mengetik di google search “Jenis-jenis awan”, muncullah di layar berbagai jenis awan berikut bentuk dan namanya. Siswa terkagum-kagum, mata mereka semakin cerah menyaingi cerahnya matahari di puncak langit.
“Ayo..perhatikan dengan benar, awan apa yang kita lihat sekarang?” beberapa siswa berbisik-bisik diskusi.
“Awan cirrus, Pak!”
“Benar! ternyata internet besar manfaatnya untuk ilmu pengetahuan kan? Mulai sekarang, jangan Cuma main game atau face book. Dengan internet kamu bisa menjadi lebih pintar.”
Bell pulang berdering nyaring, siswa masih duduk tenang seakan masih menunggu pencarian oom google yang lain, pemandangan yang langka. Pak Syafiq tersenyum lega, matahari cerah dan awan cirrus mengintip dengan indahnya. Semoga, besok ada perubahan pada siswa yang sangat dicintainya. Tidak ada perubahan drastis, tapi paling tidak, ada pintu menuju ke sana.