Pagi masih berselimut kabut.
Daun-daun mangga dan anggrek masih basah berembun. Udara pagi menggigit
dingin. Aku masih tepekur di sudut halaman rumah, jongkok di bawah pohon jambu,
merapatkan jaket. Kuperhatikan rumah di sebelah utara, rumah bercat hijau lumut
bersih. Halaman yang banyak ditumbuhi bunga-bunga, berpagar tanaman alam nan
asri. Rumah itu, rumah yang menarik perhatianku selama seminggu ini. Rumah yang
selama ini sama saja dengan rumah yang ada di komplek tempat aku tinggal. Rumah
itu kini sangat berbeda, atau tepatnya
penghuni yang sangat berbeda.
Yang kutunggu akhirnya muncul juga,
pemandangan unik yang selalu aku tunggu seminggu ini, setiap pagi. Seorang
gadis sibuk menyiram bunga dengan selang air. Tidak berapa lama kemudian muncul
gadis lainnya dengan sapu lidi, menyapu daun-daun melati yang gugur di atas
rumput jepang yang rapat seperti beledru. Selang beberapa menit berikutnya
muncul lagi seorang gadis; perkiraanku masih duduk di bangku SMP. Suara canda
mereka benar-benar mampu memecah pagi
yang hening. Sesekali terdengar suara ibunya agar mereka jangan terlalu membuat
keributan, tak enak pada tetangga. Tapi, entahlah aku suka melihat mereka,
kompak, lucu dan penampilan yang tak biasa. Pemandangan aneh yang selalu
kulihat seminggu pagi ini adalah tak lain dan tak bukan, ketiga gadis cantik
itu memakai kain sarung. Kain yang biasa aku gunakan untuk solat berjama’ah di
masjid komplek. Mengapa hari gini masih ada gadis kota bersarung?
“Ferza!” aku terkejut mendengar
suara mama yang agaknya sibuk mencariku yang sudah menghilang dari kamar. Belum
sempat aku menjawab, mama sudah ada di sampingku, berkacak pinggang dan
melotot!
“Ya, Allah! Ngapain kamu di sini?
Enggak sekolah?” belum aku menjawab, pandangan mama sudah menuju ke arah
halaman rumah gadis itu.
“Merhatiin anak Tante Husna?” syukur,
mama tak marah. Mama tersenyum kecil, bibirnya dimonyongkan beberapa senti.
“Hehehe,
naksir yang mana nih?” mama menggoda, pipiku terasa panas, mungkin memerah.
“Enggak ah, Ma! Ferza siap-siap,
ya!” aku berlari masuk rumah, mama menyusul sambil tertawa.
“Yang mana, nih! Biar mama
comblangin!” ya Allah, nih mama buat malu aja, rutukku dalam hati. Aku kelas
tiga SMA, tapi sangat pemalu, apalagi sama perempuan, hii...aku takut!
Aku
masuk kamar mandi dengan perasaan tak menentu, aku tidak menyukai mereka
seperti yang dikatakan mama, tapi mereka itu sangat unik. Mereka, tiga orang
gadis bersarung.
Aku masih memanaskan motorku,
pemandangan rutin itu muncul lagi dari depan pintu pagar. Tiga gadis bersarung
berubah total menjadi tiga gadis yang sangat cantik dan modis. Seorang diantara
mereka; mungkin si sulung mahasiswa karena berpakaian bebas, menyetir mobil
jazz silver. Dua adiknya berseragam SMA dan SMP ikut bersamanya. Sebelum
berangkat, kehebohan kembali terjadi. Mereka akan berebut menyalami ibunya dan
mencium bergantian, memeluk beramai-ramai. Mereka akan tertawa bersama-sama,
melambai ke arah ibunya sampai mobil bergerak tak kurang dari seratus meter.
Aku, sangat menyukai pemandangan ini. Ah! Aku tak punya saudara perempuan.
***
Sudah hampir satu bulan lamanya aku
menjalani rutinitas jongkok di bawah pohon jambu memerhatikan tiga gadis cantik
yang unik. Mama semakin heran dan mulai mengajakku bertandang ke rumah Tante Husna, terang saja
aku menolak. Mengapa harus bertandang tanpa sebab? Ihh...kan malu.
“Ferza, penyakitmu itu sudah akut.
Kalo masih gitu juga nanti Mama
bawa ke psikolog!” wadduh, mama mulai mengancam.
“Aku enggak stres kok, Ma. Enggak
juga depresi apalagi gila.” Aku nyengir
kambing sambil menggigit roti.
“Trus, ngapain juga kamu nongkrong
tiap pagi di bawah pohon jambu merhatiin mereka? Kamu aneh, tau!” mama mulai
sengit.
“Mereka itu unik, Ma. Mana ada gadis
hari gini bersarung? Trus mereka sangat kompak, bahagia, sayang sama ibunya
tuh, sweeeett banget,” aku mulai
alay.
“Trus? Kamu enggak bahagia, gitu?”
“Aduuh...Mama princess yang cantik, aku bahagia Mama sayang. Tapi aku
kesepian seorang diri, enggak punya saudara perempuan. Mas Tegar malah
kuliahnya jauh banget, aku kan sedih..hiks,” aku bertambah lebay. Tapi, warna
wajah mama berubah suram dan aku mulai menyesal.
“Tapi masih untung kok aku punya
mama princess, hehehe,” aku semakin
alay. Tapi mungkin itulah cara membuat mama bahagia. Mama menjitak jidatku
sayang, sambil tertawa memamerkan sudut gigi serinya yang sompel, tapi suer! Mama masih sangat cantik.
“Kamu antar ini ke rumah Tante Husna, ya?” mama
menyerahkan sekotak brownis kukus yang masih hangat dan harum. Aku serasa tak
berjejak ke tanah, papa yang asyik membaca koran nyengir, ah!
“Wadduh, Mama! Ini namanya
pemerkosaan hak asasi,” aku mulai asal nyablak, mama melotot.
“Kamu kalo ngomong enggak pake kamus
ya, Za?” papa mulai ikut campur.
“Aduuh, Pa! Yang lain aja deh,
disuruh cuci mobil, cuci WC, nyiram bunga, Ferza enggak nolak kok,” senyum papa
semakin lebar.
“Ayolah...nanti brownisnya dingin,
enggak enak lagi. Demi mama princess
ya? Pliisss..” mama mulai memelas, alaaahhh...ini ilmu mama yang paling mujarab
dan membuat aku selalu mengiyakannya. Berat hati aku menerima kotak itu dan
harus mengantarnya ke rumah depan. Apakah gadis bersarung ada di rumah?
Rumah itu sepi, tak ada tanda ada
orang di rumah, padahal ini hari minggu. Aku mulai ragu melangkah, tapi aku
harus menyampaikan amanah mama, sekotak brownis hangat. Perlahan, kutekan bel,
terdengar suara denting beberapa kali. Huff...ada suara langkah menuju pintu.
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikum salaaamm....” suara dari
dalam, tepat di balik pintu.
“Lho? Ah...Tante kira tamu jauh,
rupanya kamu. Ada apa, nih?” aku tersenyum dan menarik nafas lega. Bersyukur
karena Tante Husna yang
membukakan pintu.
“Ini, Tante. Titipan Mama, masih hangat, fresh from the oven, Hehehe..” kucoba
bercanda walau terdengar garing.
Itu kan brownis kukus, kenapa pula kukatakan dari oven?
“Adduuhh...makasih banyak. Oya, kamu
tunggu bentar, ya? Tante juga buat sup buah, lebih enak dari yang dijual di
cafe, ntar ya?” aku belum menjawab, Tante
Husna sudah menghilang ke ruang belakang. Aku duduk di teras sambil menunggu.
Aku lega tidak berhadapan dengan ketiga gadis bersarung itu.
Namun...sesungguhnya hatiku bertanya-tanya penasaran, kemana mereka? Ma’af, aku
sedikit tidak berlaku sopan, karena apa? Karena aku mengintip ruang tamu, taman
samping, garasi sampai beberapa kali.
***
Pagi yang hujan, dingin menggigit
tulang. Waktu yang paling nyaman meringkuk di balik selimut, memeluk guling.
Tapi ini
adalah hari yang penting buatku, aku harus mempersiapkan diri sebaik mungkin.
Ada pertandingan seleksi daerah untuk pertandingan nasional karate di Bali
nanti. Bali? Ah...siapa yang tidak ingin ke sana? Gratis pula. Hmmm..itu adalah
target, aku harus lulus seleksi daerah, menuju Bali dan aku harus pulang
membawa medali emas untuk daerah tercinta.
“Ready
to be a
winner?” papa menyambutku di meja makan, masih berkain
sarung, tersenyum.
“Ya, do’akan ya, Pa?” aku meneguk segelas
jus yang dicampur madu, buatan
mama.
“Persiapan kamu, gimana?”
“Insya Allah, semaksimal mungkin, Pa”
“Peta kekuatan lawan?” papa menatapku serius, aku
menarik nafas panjang.
“Lawan harus dibayangkan selalu lebih hebat, lebih kuat
dan lebih segalanya,”
“Bagus, artinya..kamu tidak boleh
menyepelekan lawan,” papa
tersenyum, mengucek-ngucek rambutku.
Pagi masih hujan, tak ada matahari
dan aku tak pula jongkok di bawah pohon jambu untuk memerhatikan tiga gadis
bersarung. Aku benar-benar fokus pada pertandingan pagi ini. Karena cuaca yang
buruk, aku diantar papa
ke gelanggang tempat biasa aku latihan karate. Tempat itu pula yang digunakan
hari ini untuk pertandingan seleksi. Baju karate putih dan sabuk hitamku sudah
di dalam tas sejak malam tadi. Karena diantar papa, aku memutuskan memakai baju
kebanggaanku itu dari rumah.
Gelanggang sudah ramai, banyak orang
yang tidak aku kenal. Aku segera menjumpai pelatih dan teman-teman satu tim.
Simpai Ayi menyambutku setelah aku memberi hormat dengan mengucapkan “osh”.
“Kamu, Ferza...masuk di pertandingan
kedua. Lawan pertamamu Yudha, kamu ingat Yudha? Anggota Dojo Mifta? Ingat kan?”
Simpay Ayi berkata tegas dengan matanya yang tajam.
“Osh!..ingat
Simpai,” kujawab tak kalah tegas, Simpay Ayi mengangguk. Yudha itu atlit yang tangguh,
aku pernah kalah dengannya pada pertandingan yang lalu, tapi apakah aku harus
takut? No! Pantang takut dan pantang menyerah, tapi harus tetap rendah hati,
itu adalah janji karate.
Its show time,
pertandingan demi pertandingan berlalu hingga giliranku tiba. Yudha
berperawakan tidak terlalu tinggi, tapi ia nampak kekar dan tangguh. Kulit
wajahnya bening, pandangannya tajam,
wajahnya tegang tanpa ekspresi. Setelah membungkuk hormat, Yudha menyerang
duluan. Aku menerima tendangan dan membalas dengan pukulan. Mempelajari gerakan
Yudha, aku memutuskan menggunakan Goju-ryu.
Paduan gerakan yang kurasa sangat efektif dengan pernapasan yang kuat. Pertandingan demi pertandingan aku menangkan, tiket ke
Bali sudah di tangan. Tapi, perasaanku tak enak. Salah satu gadis bersarung itu
ada di barisan atlit putri, ah.. ketika aku dipanggil ke panggung menerima
medali dia juga dipanggil untuk kategori putri, medali emas.
“Kamu
atlit karate juga, ya?” gadis bersarung itu menghampiriku, setelah turun dari
tribun dan mengulurkan tangannya. Aku sambut, sedikit gemetar. Aku kan sudah katakan,
aku takut sama perempuan, entah mengapa, super lebay.. aku mengangguk dan
tiba-tiba berani menjawab.
“Ya…gitu
deh. Aku malah enggak nyangka, kamu juga atlit karate,”
“Kenapa?
Karena aku suka memakai sarung? Hahahaha…” tawanya lepas, gigi putihnya Nampak
rapi berderet-deret. Aku menelan ludah, cemas.
“Kamu
kan suka mengamati kami setiap pagi, unik kan?” senyum itu menggoda, dia
seusiaku dan berani sekali. Wajahku memanas dan tak bisa menjawab, kakiku
mendadak gemetar. Aku ingin lari saja, malu tak kepalang tanggung. Gila!
“See you tomorrow morning, bye….” Ia
berlalu sambil tersenyum lagi, kakiku masih
terpacak di ubin dingin. Tomorrow morning? Keningku mengkerut.
“Jangan
di bawah pohon jambu, banyak nyamuk! Kamu bantuin kita aja nyiram bunga!”
senyum itu semakin lebar. Aku merasa dunia runtuh, alamaaaakkk…malunya! Satu
rombongan pula nanti berangkat ke Bali. Aiiihh… ada koper? Ada koper? Buat
nyimpan mukaku? Hiks