Senin, 03 Oktober 2016

KISAH DALAM RINAI HUJAN


                Apa yang lebih indah dan pedih selain daripada hujan? Air yang beraroma cinta, sejuk, basah dan jiwa yang mengambang? Hujan yang selalu mengirimkan pesan ada cinta untuknya? Hujan yang selalu menggelantung harapan tanpa batas, atau lebih tepatnya menggantung mimpi. Jenar masih menatap benang air yang jatuh di halaman rumah, duduk mendekap kaki dari bingkai jendela krem  pucat. Mata bulat kenarinya jarang berkedip, seakan ia tak ingin melewatkan setiap helai air. Helai demi helai yang seakan membingkai huruf dan kisah. Kisah hujan, yang terpatri dalam jiwa sampai ia mati nanti. Ya… sampai mati!
****
KISAH 1
                Jenar baru saja membersihkan kubikelnya ketika Alfian melongok dari baliknya. Jenar sedikit menarik wajah.
                “Nar! Pulang sama aku  yaaa… kubonceng kau naik kereta,”  mata Alfian berkedip kedip lucu. Jenar melengos. Tak tertarik atau lebih tepatnya pura-pura tak tertarik.
                “Nar… ayoklah. Tak usah sombong kali, kan lumayan kalo ku bonceng, tak usah kau naik angkot,” Alfian merayu.
                “Males ahh.. mending naek angkot, daripada dibonceng kamu, ogaaahhh…” Jenar memonyongkan bibir. Alfian terkekeh senang, tidak kesal sama sekali. Sesaat kemudian dia sudah berlalu sebelum melempar senyum terbaiknya.
                “Daaaaaa… cantik. Salam sama supir angkotmu ya!” Jenar melengos kesal, Alfian tertawa dan berlalu.
                Kisah itu terulang terus menerus semenjak Jenar dipindah tugaskan oleh perusahaan yang berkantor di Jakarta ke Medan. Jenar sudah tahu rutinitas Alfian yang berusaha mengajaknya pulang sama, dan Jenar tak pernah mau menerimanya. Jenar tak tertarik pada sosok pemuda itu, si jangkung berambut ikal yang kental batak. Bagi Jenar, ia adalah pemuda berwatak kasar dan tak ada sama sekali lembutnya. Pulang bareng? Dibonceng Alfian? Jenar khawatir ntar motornya masuk got! Idiiiih… ogaaahh..
***


KISAH 2
                Hujan sedari pagi mengguyur Medan, banjir dan macet terjadi dimana-mana. Sampai menjelang istirahat makan siang, hujan masih saja turun. Jenar sudah mulai gelisah, perutnya sudah bernyanyi dan matanya sudah cukup lelah menatap layar computer. Alfian melongok dari balik kubikelnya.
                “Enggak keluar? Makan siang…”
                “Kayaknya enggak bisa keluar deh, hujannya deras banget,”
                “Yaudah.. makan sama aku  aja,”
                “Makan sama kamu? Maksudnya?” Jenar mengerutkan kening.
                “Aku bawak bontot, biasalah… masakan mamak aku. Masakan paling enak sedunia. Kau mau?    Biar kita bagi dua” Alfian menyodorkan dua kotak bekal besar, sepertinya memang cukup jika dibagi dua. Jenar ingin menolak, takut masakan ibu Alfian yang tak cocok di lidahnya. Tapi suara perutnya yang meronta membuatnya menyerah dan mengangguk. Alfian tersenyum menang.
                “Yok… kita makan di ruangan paling romantis di gedung ini, ayo!” Alfian mengajak dengan isyarat memiringkan kepalanya. Jenar ikut seperti kerbau dicucuk hidung. Alfian singgah di ruang pantry, mengambil dua piring, gelas dan sendok.
                “Kita naik ke atas, yok! Tapi ini kau yang bawak ya!” Alfian menyodorkan piring, Jenar lagi-lagi tak bisa menolak. Sampai akhirnya mereka tiba di lantai empat, nafas Jenar ngos-ngosan, tumit terasa mau lepas karena ia tak melepas sepatu dengan heels delapan  senti. Jenar mau marah, tapi lagi-lagi urung. Mereka memasuki ruangan yang selama ini Jenar belum pernah tau, lebih tepatnya ruangan meeting room dengan luas enam kali delapan meter. Alfian membuka tirai yang menutupi dinding kaca, dan… jenar terpesona.
                “Nahhhh… cantikkan? Bisa hilang stress kita kalau duduk disini. Apalagi sambil makan,” Jenar menatap pemandangan yang disajikan dari balik kaca luas dinding ruangan. Taman pinus tertata rapi, ada kolam renang berbentuk hati dengan air biru, kolam ikan dan jembatan kecilnya, bunga anggrek, bougenvile. Seperti susunan lanskap yang sempurna, ditambah lagi hujan yeng membuatnya sejuk dan basah.
                “Kok bisa ada pemandangan seperti ini di tengah kota?” Jenar tak habis mengerti dan lupa pada perutnya.
                “Itu sebenarnya taman pribadi, rumah milik konglomerat kakap di Medan ini. Rumahnya bertembok tinggi, tapi enggak sengaja dia juga sudah membagi indahnya untuk kita dari atas,” Alfian menyusun piring, membagi nasi menjadi dua bagian.
                “Duduk, sambil makan masih bisa nengok keluar. Sayurnya kau ambil sendiri ya! Seberapa maumu,” Alfian sudah mengambil bagiannya. Membalik kursi menghadap keluar dinding kaca. Jenar melakukan yang sama.
                “Nasiku sedikit aja, kamu ambil lagi ni..” Jenar menyodorkan piring, Alfian tersenyum.
                “Memang anak gadis sekarang takut kali makan, takut gemuk, hehehehe. Tapi syukurlah, jadi nambah bagianku,” Alfian tak menolak. Jenar memandang sayur yang ada di kotak bekal satu lagi, penasaran dengan bentuk sayur yang aneh.
                “Ini sayur apaan…”
                “Ini namanya daun ubi tumbok. Sayur paling enak di dunia, makanlah. Habis makan nanti kau nyandu. Apalagi mamakku yang masak, tak ada tandingannya,” Alfian kembali terkekeh.
                Makan siang yang aneh namun mengasyikkan. Aneh karena harus lelah naik ke lantai empat tanpa lift. Makan bekal nasi dan sayur yang sudah dingin. Mengasyikkan karena pemandangan yang disajikan seperti pemandangan hotel bintang lima. Alfian yang bercerita tentang ibunya yang dipanggilnya mamak. Tentang bekal yang selalu dibawanya. Tentang sayur yang akhirnya disukai Jenar. Penilaiannya  tentang Alfian berubah. Dia bukan lelaki kasar seperti yang dipikirkannya. Dia lelaki penyayang yang begitu halus budinya. Lelaki yang menghormati ibunya. Jenar tersenyum… kena lu! # 1
***
KISAH 3
                Langit gelap di sebelah barat. Sepertinya sebentar lagi turun hujan. Jenar menatap jendela kaca dengan cemas. Payung lipat  yang ada di tasnya tinggal, lupa dipindahkan ke tas yang dipakainya hari ini.  
Alfian sedang menunggu jawabannya. Seperti biasa, ngajak pulang sama, naik motor pula.
                “Ntar kalo hujan gimana dooong…” Jenar masih menatap jendela dengan cemas.
                “Makanya kita balek sekarang, sebelum hujan. Masak hujan yang ko pikirin. Cepatlah!”  Tanpa sadar Jenar sudah menyambar tasnya. Mengikuti langkah panjang Alfian menuju parkir sepeda motor. Lima menit kemudian mereka sudah di jalanan padat kota Medan, gelap semakin menggelayuti langit. Rinai mulai turun, semakin rapat. Alfian menepi, mengambil mantel dari balik jok sepeda motor, menyerahkannya ke Jenar.
                “Kamu gimana dong?” ragu Jenar menerimanya.
                “Enggak apa-apa, aku udah biasa mandi hujan, ko pake aja,”
                “Atau kita berteduh aja? Nunggu hujan reda…”
                “Enggak usah, kita harus lanjot sebelum banjir dan macet,” Alfian kembali ke sadel sepeda motor. Jenar mengenakan mantel dan kembali mereka diguyur hujan, membelah jalan.
                “Kamu singgah? Biar aku buatkan teh panas,” Ucap Jenar sambil menyerahkan mantel yang basah. Telapak tangan Alfian Nampak pucat dan biru.
                “Enggak usah,” jawab Alfian dengan menahan bibir yang gemeretuk dingin.
                “Tapi kamu kedinginan…”
                “Enggak apa, aku gak bisa lama-lama. Kasian mamak sendiri di rumah hujan deras gini,” Alfian mengenakan mantel yang sepertinya sudah tak diperlukan lagi karena toh dia sudah basah kuyup. Motor berlalu, Jenar terpaku, terpana… kena lu! # 2

BERSAMBUNG YAAA!!! J