Apa yang lebih indah dan pedih selain
daripada hujan? Air yang beraroma cinta, sejuk, basah dan jiwa yang mengambang?
Hujan yang selalu mengirimkan pesan ada cinta untuknya? Hujan yang selalu
menggelantung harapan tanpa batas, atau lebih tepatnya menggantung mimpi. Jenar
masih menatap benang air yang jatuh di halaman rumah, duduk mendekap kaki dari
bingkai jendela krem pucat. Mata bulat
kenarinya jarang berkedip, seakan ia tak ingin melewatkan setiap helai air. Helai
demi helai yang seakan membingkai huruf dan kisah. Kisah hujan, yang terpatri
dalam jiwa sampai ia mati nanti. Ya… sampai mati!
****
KISAH
1
Jenar
baru saja membersihkan kubikelnya ketika Alfian melongok dari baliknya. Jenar sedikit
menarik wajah.
“Nar!
Pulang sama aku yaaa… kubonceng kau naik
kereta,” mata Alfian berkedip kedip
lucu. Jenar melengos. Tak tertarik atau lebih tepatnya pura-pura tak tertarik.
“Nar…
ayoklah. Tak usah sombong kali, kan lumayan kalo ku bonceng, tak usah kau naik
angkot,” Alfian merayu.
“Males
ahh.. mending naek angkot, daripada dibonceng kamu, ogaaahhh…” Jenar
memonyongkan bibir. Alfian terkekeh senang, tidak kesal sama sekali. Sesaat kemudian
dia sudah berlalu sebelum melempar senyum terbaiknya.
“Daaaaaa…
cantik. Salam sama supir angkotmu ya!” Jenar melengos kesal, Alfian tertawa dan
berlalu.
Kisah
itu terulang terus menerus semenjak Jenar dipindah tugaskan oleh perusahaan yang
berkantor di Jakarta ke Medan. Jenar sudah tahu rutinitas Alfian yang berusaha
mengajaknya pulang sama, dan Jenar tak pernah mau menerimanya. Jenar tak
tertarik pada sosok pemuda itu, si jangkung berambut ikal yang kental batak. Bagi
Jenar, ia adalah pemuda berwatak kasar dan tak ada sama sekali lembutnya. Pulang
bareng? Dibonceng Alfian? Jenar khawatir ntar motornya masuk got! Idiiiih…
ogaaahh..
***
KISAH 2
Hujan
sedari pagi mengguyur Medan, banjir dan macet terjadi dimana-mana. Sampai menjelang
istirahat makan siang, hujan masih saja turun. Jenar sudah mulai gelisah,
perutnya sudah bernyanyi dan matanya sudah cukup lelah menatap layar computer. Alfian
melongok dari balik kubikelnya.
“Enggak
keluar? Makan siang…”
“Kayaknya
enggak bisa keluar deh, hujannya deras banget,”
“Yaudah..
makan sama aku aja,”
“Makan
sama kamu? Maksudnya?” Jenar mengerutkan kening.
“Aku
bawak bontot, biasalah… masakan mamak aku. Masakan paling enak sedunia. Kau mau?
Biar
kita bagi dua” Alfian menyodorkan dua kotak bekal besar, sepertinya memang cukup
jika dibagi dua. Jenar ingin menolak, takut masakan ibu Alfian yang tak cocok
di lidahnya. Tapi suara perutnya yang meronta membuatnya menyerah dan mengangguk.
Alfian tersenyum menang.
“Yok…
kita makan di ruangan paling romantis di gedung ini, ayo!” Alfian mengajak
dengan isyarat memiringkan kepalanya. Jenar ikut seperti kerbau dicucuk hidung.
Alfian singgah di ruang pantry, mengambil dua piring, gelas dan sendok.
“Kita
naik ke atas, yok! Tapi ini kau yang bawak ya!” Alfian menyodorkan piring,
Jenar lagi-lagi tak bisa menolak. Sampai akhirnya mereka tiba di lantai empat,
nafas Jenar ngos-ngosan, tumit terasa mau lepas karena ia tak melepas sepatu
dengan heels delapan senti. Jenar mau
marah, tapi lagi-lagi urung. Mereka memasuki ruangan yang selama ini Jenar
belum pernah tau, lebih tepatnya ruangan meeting room dengan luas enam kali
delapan meter. Alfian membuka tirai yang menutupi dinding kaca, dan… jenar
terpesona.
“Nahhhh…
cantikkan? Bisa hilang stress kita kalau duduk disini. Apalagi sambil makan,”
Jenar menatap pemandangan yang disajikan dari balik kaca luas dinding ruangan. Taman
pinus tertata rapi, ada kolam renang berbentuk hati dengan air biru, kolam ikan
dan jembatan kecilnya, bunga anggrek, bougenvile. Seperti susunan lanskap yang
sempurna, ditambah lagi hujan yeng membuatnya sejuk dan basah.
“Kok
bisa ada pemandangan seperti ini di tengah kota?” Jenar tak habis mengerti dan lupa
pada perutnya.
“Itu
sebenarnya taman pribadi, rumah milik konglomerat kakap di Medan ini. Rumahnya bertembok
tinggi, tapi enggak sengaja dia juga sudah membagi indahnya untuk kita dari
atas,” Alfian menyusun piring, membagi nasi menjadi dua bagian.
“Duduk,
sambil makan masih bisa nengok keluar. Sayurnya kau ambil sendiri ya! Seberapa maumu,”
Alfian sudah mengambil bagiannya. Membalik kursi menghadap keluar dinding kaca.
Jenar melakukan yang sama.
“Nasiku
sedikit aja, kamu ambil lagi ni..” Jenar menyodorkan piring, Alfian tersenyum.
“Memang
anak gadis sekarang takut kali makan, takut gemuk, hehehehe. Tapi syukurlah,
jadi nambah bagianku,” Alfian tak menolak. Jenar memandang sayur yang ada di
kotak bekal satu lagi, penasaran dengan bentuk sayur yang aneh.
“Ini
sayur apaan…”
“Ini
namanya daun ubi tumbok. Sayur paling enak di dunia, makanlah. Habis makan
nanti kau nyandu. Apalagi mamakku yang masak, tak ada tandingannya,” Alfian
kembali terkekeh.
Makan
siang yang aneh namun mengasyikkan. Aneh karena harus lelah naik ke lantai
empat tanpa lift. Makan bekal nasi dan sayur yang sudah dingin. Mengasyikkan karena
pemandangan yang disajikan seperti pemandangan hotel bintang lima. Alfian yang
bercerita tentang ibunya yang dipanggilnya mamak. Tentang bekal yang selalu
dibawanya. Tentang sayur yang akhirnya disukai Jenar. Penilaiannya tentang Alfian berubah. Dia bukan lelaki kasar
seperti yang dipikirkannya. Dia lelaki penyayang yang begitu halus budinya. Lelaki
yang menghormati ibunya. Jenar tersenyum… kena lu! # 1
***
KISAH 3
Langit
gelap di sebelah barat. Sepertinya sebentar lagi turun hujan. Jenar menatap
jendela kaca dengan cemas. Payung lipat yang ada di tasnya tinggal, lupa dipindahkan ke
tas yang dipakainya hari ini.
Alfian sedang menunggu jawabannya. Seperti biasa,
ngajak pulang sama, naik motor pula.
“Ntar
kalo hujan gimana dooong…” Jenar masih menatap jendela dengan cemas.
“Makanya
kita balek sekarang, sebelum hujan. Masak hujan yang ko pikirin. Cepatlah!” Tanpa sadar Jenar sudah menyambar tasnya. Mengikuti
langkah panjang Alfian menuju parkir sepeda motor. Lima menit kemudian mereka
sudah di jalanan padat kota Medan, gelap semakin menggelayuti langit. Rinai
mulai turun, semakin rapat. Alfian menepi, mengambil mantel dari balik jok
sepeda motor, menyerahkannya ke Jenar.
“Kamu
gimana dong?” ragu Jenar menerimanya.
“Enggak
apa-apa, aku udah biasa mandi hujan, ko pake aja,”
“Atau
kita berteduh aja? Nunggu hujan reda…”
“Enggak
usah, kita harus lanjot sebelum banjir dan macet,” Alfian kembali ke sadel
sepeda motor. Jenar mengenakan mantel dan kembali mereka diguyur hujan,
membelah jalan.
“Kamu
singgah? Biar aku buatkan teh panas,” Ucap Jenar sambil menyerahkan mantel yang
basah. Telapak tangan Alfian Nampak pucat dan biru.
“Enggak
usah,” jawab Alfian dengan menahan bibir yang gemeretuk dingin.
“Tapi
kamu kedinginan…”
“Enggak
apa, aku gak bisa lama-lama. Kasian mamak sendiri di rumah hujan deras gini,”
Alfian mengenakan mantel yang sepertinya sudah tak diperlukan lagi karena toh
dia sudah basah kuyup. Motor berlalu, Jenar terpaku, terpana… kena lu! # 2
BERSAMBUNG YAAA!!! J