“Aku adalah perempuan biasa, cinta keluarga, saudara dan
cinta damai. Aku bekerja dengan ikhlas dan cinta. Aku sama sekali tidak pernah
berpikir dengan intrik atau jilat menjilat.” Perempuan itu menarik nafas
panjang, matanya menggenang dan sejurus kemudian menganak sungai. Aku
menatapnya prihatin dengan pandangan lurus, sejenak ia melanjutkan.
“Aku tersinggung,
sangat tersinggung. Aku tidak bisa terima harga diriku dinilai dengan benda
atau uang,” anak sungai itu semakin deras. Aku hanya mampu memandangnya,
memegang tangannya.
“Bersabarlah, mungkin dia banyak masalah hingga
mengeluarkan ucapan seperti itu…,” kataku menghibur, masih menatap lurus bola
matanya yang basah.
“Ya, seminggu ini aku berpikir seperti itu. Tapi akal
sehatku sudah tidak bisa menerima…,” dia mengambil tissue dan mengusap
wajahnya.
“Aku harus segera mengambil tindakan…,” dia sangat tegas,
aku merinding.
“Maksudnya? Tindakan apa?”
“Aku resign”
suaranya begitu dingin, aku terbelalak.
“Freya…jangan main-main…,” aku sedikit memekik.
“Aku sudah katakan padamu, Diana. Aku bekerja dengan
ikhlas dan cinta, ketika itu sudah lenyap dihapusnya. Buat apa aku bertahan di
sini? Menatap matanya yang seakan menusukku? Menikamku?” mata bulat Freya,
perempuan itu, membesar, layak bohlam di ufuk timur.
“Tidak bisa begitu, Frey. Kamu harus berpikir sehat, resign itu artinya kamu kalah,”
kupancing emosinya, setiap orang kan nalurinya tidak mau kalah. Tapi dia balik
menatapku tajam.
“Ini bukan pertandingan. Tak ada yang kalah atau menang.
Ini adalah harga diri,” Freya bangkit dan berlalu, meninggalkan mejanya. Hingga
menjelang makan siang aku tak melihatnya. Suara Pak Arif sudah dianggapnya
angin lalu. Freya begitu marah, Pak Arif juga sangat marah. Dalam seminggu ini,
kantor yang biasa sejuk berubah seperti miniature neraka!
***
Dialah Freya Fatma. Perempuan anggun dengan bahasa
santun. Tubuhnya proporsional, berkullit kuning dan punya kecerdasan diatas
rata-rata. Wanita ini sangat beruntung dan nyaris memiliki semua yang ia
inginkan. Keluarga, anak, suami dan harta. Tanpa sibuk bekerja pun ia dapat
hidup berlebihan. Terbukti, Freya memiliki rumah dan mobil yang jauh di atas
standart kami karyawan lainnya. Atau pasportnya yang penuh stempel berbagai
Negara dan diganti karena penuh sebelum lima tahun. Sementara pasportku dalam
lima tahun hanya empat kali stempel, dua kali pergi dan dua kali pulang. Itupun
karena pergi berobat, mematikan kuman sial yang bersarang di ginjalku. Payah.
Di kantor, Freya konsultan konstruksi –perusahaan kami
bergerak dibidang bangunan dan tata kota. Setiap tender masuk, Freya memeriksa
dengan teliti massa kontruksi bangunan. Sementara tugasku memeriksa RAB
anggaran. Ketika “ya” kata Freya, giliranku menghitung digit angka. Melewati
beberapa proses lagi, kemudian masuk tahap deal
dan pelaksanaan. Freya, memang bekerja dengan ikhlas dan cinta, kami semua
saksinya. Karena ikhlas dan cintanya kami sering mengolok-oloknya dengan
sebutan “cerdas tapi bodoh”. Freya tersenyum saja, tidak tersinggung. Ketika
kami sudah bergerak keluar kantor, Freya masih di depan computer. Alasannya dia
tidak ingin pulang dengan beban pekerjaan yang belum selesai. Rumah adalah
istana dimana seluruh jiwa raganya untuk keluarga. Untuk menyenangkan hatinya
dan kenyamanan kerja, Freya mengeluarkan uangnya sendiri untuk membeli
peralatan kantor- benar-benar bodoh. Ketika aku meminta bon pembelanjaan untuk
di klaim ke perusahaan, Freya hanya berkata “Enggak usah, pakai uangku aja.
Enggak banyak kok,” Ah… Freya memang berbeda. Sementara yang lain, uang parkir
di proyek saja minta klaim. Bensin untuk jalan-jalan keluarga saja minta klaim.
Entah siapa yang bodoh.
Petaka itu terjadi seminggu lalu. Perusahaan mendapat
beberapa tender, proyek besar. Seperti biasa, Freya memeriksa massa kontruksi
dan menyeimbangkan RAB yang telah kuperiksa. Alisnya bertaut dan ia menarik
nafas panjang.
“Tidak masuk akal,” gumamnya. Dia mulai menjelaskan
padaku mengapa dikatakannya tidak masuk akal. Aku bisa terima dan mencium aroma
tak sedap tentang sebuah kecurangan. Akhirnya, kami menghadap Pak Arif di
ruangannya. Freya semangat menjelaskan, dengan keikhlasannya, dengan cintanya.
Pak Arif menanggapinya dengan dingin.
“Jangan mengada-ada, Bu Freya..,” Pak Arif berkata ketus.
“Saya serius, Pak. Dua tender ini tidak masuk akal.”
“Lalu?”
“Kita tolak, Pak.” Freya begitu percaya diri.
“Lantas, yang masukkan tender suami anda? Biar licin?” glek! Terdengar jelas suara Freya
menelan ludah, pipinya memerah. Mengapa lelaki di depannya berkata seperti itu?
Suaminya tidak pernah terlibat urusan tender dengan perusahaan tempat dia
bekerja. Suaminya bergerak di perkebuban kelapa sawit, mengapa dihubungkan
dengan bangunan? Freya ingin menangis, perkataannya tentang sebuah kebenaran
diabaikan. Pak Arif belum puas dan melanjutkan, sinis.
“Masih kurang kaya, ya? Mau beli pulau?” Freya berlari
keluar ruangan bosnya, ingin menangis. Aku terduduk kaku di depan meja Pak
Arif. Menjadi saksi atas semua perkataannya pada Freya, sial.
“Kamu, Diana. Tunggu apa lagi? Kerjakan tugasmu, cepat!”
haaa? Aku pun lari keluar tunggang langgang, menghindari lelaki botak berkumis
landak yang seakan siap menelanku. Gila.
***
Freya tidak main-main. Esoknya, lima orang lelaki kekar
masuk ke ruangan kantor kami. Di ruangan itu ada mejaku, Freya, Zaki, Purba dan
Nesti. Berbeda dengan ruang lain, ruang kami langsung terhubung dengan ruangan
Direktur, Pak Arif. Bisa dikatakan, kami adalah termasuk “pejabat teras”
perusahaan. Sehingga, kami harus terus terhubung dengan Pak Arif. Kuperhatikan,
lima lelalki itu mendengar semua instruksi Freya. Mereka mengepak barang-barang
pribadi wanita bermata bulat itu.
“Kamu serius, Frey?” aku berbisik, teman satu ruangan
yang lain bingung, hingga Purba lupa menutup mulutnya. Nesty memerah matanya,
sementara Zaki yang gemulai menatap kagum pria-pria berotot itu, menjijikkan.
“Aku serius..,”
“Kamu sudah mengajukan surat resign?”
“Ya, setelah ini aku menyerahkannya,”
“Apa tidak tanya pendapat Pak Arif dulu? Mungkin dia
kelepasan omong, lagi emosi. Maklum, Frey..dia setengah umur, kena
diabetes…istrinya masih cantiik..,” aku mengerdipkan sebelah mata, coba
bercanda sedikit konyol. Freya tersenyum, kecut dan dingin.
“Nanti, aku akan memberikan pertunjukan untuk kalian.
Sekarang diam saja,” Freya melanjutkan mengepak barang. Ketika semua selesai,
kami semua terbengong-bengong dengan pemandangan yang kami lihat. Sepertiga
ruangan, kosong! Lima lelaki itu mengangkat dua printer canggih yang biasa kami
gunakan, dua computer, lemari buku, satu meja computer dll, dll. Kami tak
berdaya, karena memang……itu barang pribadi Freya. Menakjubkan, memalukan.
Mengapa Pak Arif masih berpikir ia ingin menang tender? Bodoh sekali.
“Its show time…,”
Freya berbisik ke telingaku, aku ciut. Freya memberi kode, memberi kesempatan
kepada kami untuk mendengar pembicaraannya dengan Pak Arif. Freya masuk ke
ruangan Pak Arif, pintu tetap terbuka. Aku dan lainnya menguping, berbaris di
sebelah daun pintu.
“Saya resign…,”
Freya membanting amplop suratnya, persis seperti lakon sinetron. Aku mengintip,
melihat jelas wajah Pak Arif yang terkejut, persis lakon sinetron juga.
“Mengapa harus resign?”
“Karena Bapak sudah menyinggung harga diri saya. Bapak
mensejajarkan harga diri saya dengan benda dan uang…” suara Freya meninggi.
“Halaaaaahh…merajoook, dasar perempuan!” sinis sekali
suara Pak Arif, mencibir, mengejek.
“Heh! Dengar ya! Kumis landak!” suara Freya lebih tinggi
beberapa oktaf, hampir menjerit, agaknya kucing ini siap berubah menjadi
harimau.
“Dengar ya! Dalam darahku mengalir darah Cut Nyak Dhien,
darah pejuang. Aku tak mau kejujuranku, keihklasanku dibalas dengan trik
licik.” Trik licik? Aku belum paham.
“Anda
sudah cukup menghinaku. Orang Aceh itu pantang disepelekan, darahnya cepat
mendidih. Cut Nyak Dhien itu memang sombong, tak mau dijamah penjajah. Aku
adalah generasinya!” suara Freya pedas dan tajam. Dasar egois dank eras kepala,
Pak Arif tentu saja tak mau ditantang seperti itu, dia tak pernah kalah.
“Kau
pikir kau siapa, ha? Kalu mau keluar ya..keluar saja. Pergi sana! Jadi
perempuan penunggu rumah. Bau bawang!!” Pak Arif sangat kekanak-kanakan,
ungkapan yang aneh.
“Pak
Arif yang terhormat, kau lupa siapa aku? Istri penguasa lahan sawit setengah
dari Kabupaten Labuhan Batu? Kau lupa aku adalah penulis? Kau lupa aku adalah
pebisnis? Aku yang selama ini bodoh bekerja denganmu. Menghabiskan waktu di
sini untuk proyekmu. Syukur penghinaanmu menyadarkanku,”
“Seminggu
kau akan kembali kemari, kau penggila kerja,” suara Pak Arif menurun, seperti
memohon.
“Tidak,
aku tak pernah kembali. Dalam setahun ini aku akan berkeliling ke lima belas
Negara dan menyelesaikan lima belas buku.” End!
Pertunjukan selesai. Freya keluar ruangan dengan tersenyum lega. Semua belum
selesai, ketika Pak Arif ikut keluar dari ruangannya dia terpekik.
“Apa-apaan
ini? Mana barang-barang di sini, ha?” lelaki itu melenguh marah.
“Dibawa
Bu Freya, Pak,”
“Apa?
Orang kaya masih mau mencuri?” ironi sekali, inventaris kantor saja dia tidak
tahu yang mana.
“Itu
memang barang pribadi Bu Freya, Pak.” Kemayu suara Zaki.. Glek! Langit serasa runtuh menimpa Pak Arif. Seperti akhirnya, dua
bulan kemudian proyek gagal. Fondasi bangunan runtuh menimpa 32 orang pekerja,
semua meninggal. Kabarnya, proyek itu ditangani adik kandung Pak Arif. Pantas
saja ia memenangkan tender abal-abal itu. Aku baru tahu setelah kejadian itu
terjadi. Menyeramkan.
Akhirnya,
perusahaan mengalami tuntutan karena kelalaian sehingga menyebabkan kematian.
Sementara Freya yang berdarah Cut Nyak
Dhien, duduk di pinggir kolam renang, menulis. Rencananya, ia akan membangun
taman bacaan, pondok yatim dan dhu’afa, menyalurkan beasiswa untuk anak cerdas
yang kurang mampu. Kata Freya, ini waktunya ia berbagi, tangan di atas lebih
baik daripada tangan di bawah. Dan aku, memilih belajar menulis bersama Freya.
Inilah hasilnya. Buruk kah? Ah.. namanya juga baru belajar. Nanti, ketika kita
berjumpa, beri saran, ya?