Rabu, 20 November 2013

CERPEN "DARAH CUT NYAK DHIEN"




            “Aku adalah perempuan biasa, cinta keluarga, saudara dan cinta damai. Aku bekerja dengan ikhlas dan cinta. Aku sama sekali tidak pernah berpikir dengan intrik atau jilat menjilat.” Perempuan itu menarik nafas panjang, matanya menggenang dan sejurus kemudian menganak sungai. Aku menatapnya prihatin dengan pandangan lurus, sejenak ia melanjutkan.
            “Aku  tersinggung, sangat tersinggung. Aku tidak bisa terima harga diriku dinilai dengan benda atau uang,” anak sungai itu semakin deras. Aku hanya mampu memandangnya, memegang tangannya.
            “Bersabarlah, mungkin dia banyak masalah hingga mengeluarkan ucapan seperti itu…,” kataku menghibur, masih menatap lurus bola matanya yang basah.
            “Ya, seminggu ini aku berpikir seperti itu. Tapi akal sehatku sudah tidak bisa menerima…,” dia mengambil tissue dan mengusap wajahnya.
            “Aku harus segera mengambil tindakan…,” dia sangat tegas, aku merinding.
            “Maksudnya? Tindakan apa?”
            “Aku resign” suaranya begitu dingin, aku terbelalak.
            “Freya…jangan main-main…,” aku sedikit memekik.
            “Aku sudah katakan padamu, Diana. Aku bekerja dengan ikhlas dan cinta, ketika itu sudah lenyap dihapusnya. Buat apa aku bertahan di sini? Menatap matanya yang seakan menusukku? Menikamku?” mata bulat Freya, perempuan itu, membesar, layak bohlam di ufuk timur.
            “Tidak bisa begitu, Frey. Kamu harus berpikir sehat, resign itu artinya kamu kalah,” kupancing emosinya, setiap orang kan nalurinya tidak mau kalah. Tapi dia balik menatapku tajam.
            “Ini bukan pertandingan. Tak ada yang kalah atau menang. Ini adalah harga diri,” Freya bangkit dan berlalu, meninggalkan mejanya. Hingga menjelang makan siang aku tak melihatnya. Suara Pak Arif sudah dianggapnya angin lalu. Freya begitu marah, Pak Arif juga sangat marah. Dalam seminggu ini, kantor yang biasa sejuk berubah seperti miniature neraka!
***
            Dialah Freya Fatma. Perempuan anggun dengan bahasa santun. Tubuhnya proporsional, berkullit kuning dan punya kecerdasan diatas rata-rata. Wanita ini sangat beruntung dan nyaris memiliki semua yang ia inginkan. Keluarga, anak, suami dan harta. Tanpa sibuk bekerja pun ia dapat hidup berlebihan. Terbukti, Freya memiliki rumah dan mobil yang jauh di atas standart kami karyawan lainnya. Atau pasportnya yang penuh stempel berbagai Negara dan diganti karena penuh sebelum lima tahun. Sementara pasportku dalam lima tahun hanya empat kali stempel, dua kali pergi dan dua kali pulang. Itupun karena pergi berobat, mematikan kuman sial yang bersarang di ginjalku. Payah.
            Di kantor, Freya konsultan konstruksi –perusahaan kami bergerak dibidang bangunan dan tata kota. Setiap tender masuk, Freya memeriksa dengan teliti massa kontruksi bangunan. Sementara tugasku memeriksa RAB anggaran. Ketika “ya” kata Freya, giliranku menghitung digit angka. Melewati beberapa proses lagi, kemudian masuk tahap deal dan pelaksanaan. Freya, memang bekerja dengan ikhlas dan cinta, kami semua saksinya. Karena ikhlas dan cintanya kami sering mengolok-oloknya dengan sebutan “cerdas tapi bodoh”. Freya tersenyum saja, tidak tersinggung. Ketika kami sudah bergerak keluar kantor, Freya masih di depan computer. Alasannya dia tidak ingin pulang dengan beban pekerjaan yang belum selesai. Rumah adalah istana dimana seluruh jiwa raganya untuk keluarga. Untuk menyenangkan hatinya dan kenyamanan kerja, Freya mengeluarkan uangnya sendiri untuk membeli peralatan kantor- benar-benar bodoh. Ketika aku meminta bon pembelanjaan untuk di klaim ke perusahaan, Freya hanya berkata “Enggak usah, pakai uangku aja. Enggak banyak kok,” Ah… Freya memang berbeda. Sementara yang lain, uang parkir di proyek saja minta klaim. Bensin untuk jalan-jalan keluarga saja minta klaim. Entah siapa yang bodoh.
            Petaka itu terjadi seminggu lalu. Perusahaan mendapat beberapa tender, proyek besar. Seperti biasa, Freya memeriksa massa kontruksi dan menyeimbangkan RAB yang telah kuperiksa. Alisnya bertaut dan ia menarik nafas panjang.
            “Tidak masuk akal,” gumamnya. Dia mulai menjelaskan padaku mengapa dikatakannya tidak masuk akal. Aku bisa terima dan mencium aroma tak sedap tentang sebuah kecurangan. Akhirnya, kami menghadap Pak Arif di ruangannya. Freya semangat menjelaskan, dengan keikhlasannya, dengan cintanya. Pak Arif menanggapinya dengan dingin.
            “Jangan mengada-ada, Bu Freya..,” Pak Arif berkata ketus.
            “Saya serius, Pak. Dua tender ini tidak masuk akal.”
            “Lalu?”
            “Kita tolak, Pak.” Freya begitu percaya diri.
            “Lantas, yang masukkan tender suami anda? Biar licin?” glek! Terdengar jelas suara Freya menelan ludah, pipinya memerah. Mengapa lelaki di depannya berkata seperti itu? Suaminya tidak pernah terlibat urusan tender dengan perusahaan tempat dia bekerja. Suaminya bergerak di perkebuban kelapa sawit, mengapa dihubungkan dengan bangunan? Freya ingin menangis, perkataannya tentang sebuah kebenaran diabaikan. Pak Arif belum puas dan melanjutkan, sinis.
            “Masih kurang kaya, ya? Mau beli pulau?” Freya berlari keluar ruangan bosnya, ingin menangis. Aku terduduk kaku di depan meja Pak Arif. Menjadi saksi atas semua perkataannya pada Freya, sial.
            “Kamu, Diana. Tunggu apa lagi? Kerjakan tugasmu, cepat!” haaa? Aku pun lari keluar tunggang langgang, menghindari lelaki botak berkumis landak yang seakan siap menelanku. Gila.
***
            Freya tidak main-main. Esoknya, lima orang lelaki kekar masuk ke ruangan kantor kami. Di ruangan itu ada mejaku, Freya, Zaki, Purba dan Nesti. Berbeda dengan ruang lain, ruang kami langsung terhubung dengan ruangan Direktur, Pak Arif. Bisa dikatakan, kami adalah termasuk “pejabat teras” perusahaan. Sehingga, kami harus terus terhubung dengan Pak Arif. Kuperhatikan, lima lelalki itu mendengar semua instruksi Freya. Mereka mengepak barang-barang pribadi wanita bermata bulat itu.
            “Kamu serius, Frey?” aku berbisik, teman satu ruangan yang lain bingung, hingga Purba lupa menutup mulutnya. Nesty memerah matanya, sementara Zaki yang gemulai menatap kagum pria-pria berotot itu, menjijikkan.
            “Aku serius..,”
            “Kamu sudah mengajukan surat resign?”
            “Ya, setelah ini aku menyerahkannya,”
            “Apa tidak tanya pendapat Pak Arif dulu? Mungkin dia kelepasan omong, lagi emosi. Maklum, Frey..dia setengah umur, kena diabetes…istrinya masih cantiik..,” aku mengerdipkan sebelah mata, coba bercanda sedikit konyol. Freya tersenyum, kecut dan dingin.
            “Nanti, aku akan memberikan pertunjukan untuk kalian. Sekarang diam saja,” Freya melanjutkan mengepak barang. Ketika semua selesai, kami semua terbengong-bengong dengan pemandangan yang kami lihat. Sepertiga ruangan, kosong! Lima lelaki itu mengangkat dua printer canggih yang biasa kami gunakan, dua computer, lemari buku, satu meja computer dll, dll. Kami tak berdaya, karena memang……itu barang pribadi Freya. Menakjubkan, memalukan. Mengapa Pak Arif masih berpikir ia ingin menang tender? Bodoh sekali.
            “Its show time…,” Freya berbisik ke telingaku, aku ciut. Freya memberi kode, memberi kesempatan kepada kami untuk mendengar pembicaraannya dengan Pak Arif. Freya masuk ke ruangan Pak Arif, pintu tetap terbuka. Aku dan lainnya menguping, berbaris di sebelah daun pintu.
            “Saya resign…,” Freya membanting amplop suratnya, persis seperti lakon sinetron. Aku mengintip, melihat jelas wajah Pak Arif yang terkejut, persis lakon sinetron juga.
            “Mengapa harus resign?”
            “Karena Bapak sudah menyinggung harga diri saya. Bapak mensejajarkan harga diri saya dengan benda dan uang…” suara Freya meninggi.
            “Halaaaaahh…merajoook, dasar perempuan!” sinis sekali suara Pak Arif, mencibir, mengejek.
            “Heh! Dengar ya! Kumis landak!” suara Freya lebih tinggi beberapa oktaf, hampir menjerit, agaknya kucing ini siap berubah menjadi harimau.
            “Dengar ya! Dalam darahku mengalir darah Cut Nyak Dhien, darah pejuang. Aku tak mau kejujuranku, keihklasanku dibalas dengan trik licik.” Trik licik? Aku belum paham.
“Anda sudah cukup menghinaku. Orang Aceh itu pantang disepelekan, darahnya cepat mendidih. Cut Nyak Dhien itu memang sombong, tak mau dijamah penjajah. Aku adalah generasinya!” suara Freya pedas dan tajam. Dasar egois dank eras kepala, Pak Arif tentu saja tak mau ditantang seperti itu, dia tak pernah kalah.
“Kau pikir kau siapa, ha? Kalu mau keluar ya..keluar saja. Pergi sana! Jadi perempuan penunggu rumah. Bau bawang!!” Pak Arif sangat kekanak-kanakan, ungkapan yang aneh.
“Pak Arif yang terhormat, kau lupa siapa aku? Istri penguasa lahan sawit setengah dari Kabupaten Labuhan Batu? Kau lupa aku adalah penulis? Kau lupa aku adalah pebisnis? Aku yang selama ini bodoh bekerja denganmu. Menghabiskan waktu di sini untuk proyekmu. Syukur penghinaanmu menyadarkanku,”
“Seminggu kau akan kembali kemari, kau penggila kerja,” suara Pak Arif menurun, seperti memohon.
“Tidak, aku tak pernah kembali. Dalam setahun ini aku akan berkeliling ke lima belas Negara dan menyelesaikan lima belas buku.” End! Pertunjukan selesai. Freya keluar ruangan dengan tersenyum lega. Semua belum selesai, ketika Pak Arif ikut keluar dari ruangannya dia terpekik.
“Apa-apaan ini? Mana barang-barang di sini, ha?” lelaki itu melenguh marah.
“Dibawa Bu Freya, Pak,”
“Apa? Orang kaya masih mau mencuri?” ironi sekali, inventaris kantor saja dia tidak tahu yang mana.
“Itu memang barang pribadi Bu Freya, Pak.” Kemayu suara Zaki.. Glek! Langit serasa runtuh menimpa Pak Arif. Seperti akhirnya, dua bulan kemudian proyek gagal. Fondasi bangunan runtuh menimpa 32 orang pekerja, semua meninggal. Kabarnya, proyek itu ditangani adik kandung Pak Arif. Pantas saja ia memenangkan tender abal-abal itu. Aku baru tahu setelah kejadian itu terjadi. Menyeramkan.
Akhirnya, perusahaan mengalami tuntutan karena kelalaian sehingga menyebabkan kematian. Sementara Freya yang  berdarah Cut Nyak Dhien, duduk di pinggir kolam renang, menulis. Rencananya, ia akan membangun taman bacaan, pondok yatim dan dhu’afa, menyalurkan beasiswa untuk anak cerdas yang kurang mampu. Kata Freya, ini waktunya ia berbagi, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan aku, memilih belajar menulis bersama Freya. Inilah hasilnya. Buruk kah? Ah.. namanya juga baru belajar. Nanti, ketika kita berjumpa, beri saran, ya?