Selasa, 12 Maret 2019

PINDAH (19)



            “Bagaimana, bisa?” Mr.Lamek menatap wajahku serius. Kami baru selesai makan malam bersama di rumah induk. Tante Diana masak rendang, tapi diseberang mejaku, Audya lebih memilih sepiring pasta dan pattat. Aku masih belum berpikir normal atas tawaran Mr.Lamek, pindah ke Canberra? bagaimana bisa?
            “Teman Oom akan urus semua keperluan administrasimu. Disana kamu bisa lebih dekat ke Indo, hanya enam jam” aku masih diam, memperhatikan Mr.Lamek mengunyah nasinya.
            “Disana kamu akan banyak belajar, kalau Zamzami selesai kuliah, dia akan Oom tarik kesana juga.”
            “Bagaimana baiknya saja Oom…” suaraku terdengar pasrah.
            “Serius?” Mr. Lamek masih meyakinkan aku, aku mengangguk, dia menarik nafas panjang.
            Alhamdulillah…syukurlah, semua akan lebih baik disana, Oom janji, Insyaallah..”
            Malam yang panjang, aku tak bisa tidur. Berbagai pikiran dan bayangan berkecamuk dikepala. Baru dua tahun aku di Rotterdam, belum lagi rasanya aku mengetahui banyak hal tentang kota ini. Belum banyak tempat yang aku jelajahi, kini Mr.Lamek minta aku pindah ke Canberra. Bukankah aku harus menyesuaikan diri lagi? Seberapa lama pula aku disana? Bagaimana pula suasana di sana?. Aku gelisah, Hafeed telah tertidur nyenyak, menggenggam tasbihnya, tersenyum dalam tidurnya.
            “Petir akan pindah ke Canberra,” di Restoran, berita itu semakin hangat.
            “Bagus, kalau kamu diajak pindah, berarti ada perbaikan nasib,” Hafeed menimpali.
            “Maksudnya?,”
            “Disana kamu akan tahu, Canberra akan memberimu kehidupan yang  lebih baik,”
            “Bukankan nilai mata uang masih lebih tinggi disini?”
            “Hahaha…..percayalah, Mr.Lamek tahu bahwa kamu memang lebih tepat disana. Lihat saja nanti, oke?,” Hafeed menepuk punggungku, menyipitkan sebelah matanya. Benarkah Canberra lebih baik?
            Bulan depan, aku akan kembali mendatangi negeri asing, kota Canberra di benua Australia. Masih negeri empat musim, sama dengan Belanda. Sebelum Zayni pulang, kutulis surat untuk Emak.
Emak Tercinta
Alhamdulillah Mak, aku sehat wal’afiat, semoga begitu juga dengan Emak disana, selalu berada dibawah lindungan Allah SWT.
Mak…..kiriman Emak sudah aku terima, dan aku nikmati bersama kawan-kawan, mereka semua senang dan mengatakan masakan Emak paling enak, lebih enak dari masakan restoran.
Emak tau? Daun ubi tumbuk yang pernah aku buat di restoran sekarang jadi makanan favorit, banyak yang pesan, tapi syukurlah di Rotterdam banyak makanan Asia, jadi tidak sulit mencari daun ubi. Tapi tetap saja makanan di Indonesia lebih enak, terlebih-lebih masakan Emak yang tak ada tandingnya.
Emakku tersayang….
Aku rindu dan ingin pulang…
Tapi Mak….aku masih belum cukup uang untuk membuka usaha di Medan. Mr.Lamek mengajakku pindah ke Canberra, aku belum tahu apa tugasku disana. Kata teman-teman, disana lebih baik, semoga saja. Masalah rumah itu, Emak beli saja. Dengan begitu kita lebih tenang, tidak mengontrak lagi dan rumah itu bisa menjadi tempat usaha, Emak tak usah lagi ke Pasar subuh-subuh. Aku kasihan pada Emak yang semakin tua, sendirian di Pasar. Tapi syukurlah jika sekarang ada si Saidah, bisa menemani Emak, akupun lebih tenang disini.
Emak tercinta…
Urusan wanita, aku  minta ma’af, Mak. Aku belum bisa memenuhi permintaan Emak, belum ada perempuan yang mampu menggantikan Zahwa. Tapi percayalah Mak. Aku akan segera menemukannya. Mengantarkannya pada Emak, membuat Emak bahagia dan bangga.
Disini, aku juga mengirimkan foto dan bajuku. Semoga mampu menjadi pengobat rindu.
Emak tercinta, teruslah mendo’akan aku anakmu, disetiap langkahku aku harap restu Emak. Tanpa do’a dan restu Emak, aku tak dapat meraih apapun, cita-cita, materi dan kebahagiaan.
Jika sudah waktunya, aku akan pulang, menemui emak, kembali memeluk dan menemani Emak. 

Salam sujud dan cinta Ananda
Petir.
            Surat satu lembar setengah itu kulipat dengan dada gemuruh dihunjam rindu, betapa aku sangat merindukan perempuan yang telah melahirkanku, mendidikku dengan sepenuh jiwa dan cintanya. Jika dapat, aku ingin melesat terbang ke awan, menembus angin, terbang pulang ke Indonesia, mendarat di Medan. Ah…..rindumya.
Kucium surat bertinta biru itu, kumasukkan ke dalam amplop putih. Jam sudah menunjukkan angka  tiga, aku bangkit menunaikan sholat malam. Kupersembahkan do’a untuk Emak, untukku, dan untuk semua cita-citaku. Aku tidur, bersiap menjalani esok yang masih panjang.
            ****
            Zayni memelukku, menepuk punggungku.
            “Di Canberra, kau akan beralih tugas di kantor Oom Lamek. Usaha disana bergerak dibidang Software dan hardware computer. Insyaallah disana akan lebih baik.”
            “Ya….Insyaallah, aku akan menjalaninya. Allah tahu apa yang terbaik untukku. Alhamdulillah, terimakasih untuk semua,”
            “Kami akan transit melalui Medan, aku akan langsung mengantarkan titipanmu untuk Emak. “
            “Ya, terimakasih. Salamku untuk Maulidya dan keponakanku ya?. Jangan lupa katakan pada Emak bahwa aku sehat wal’afiat,”
            “Ya, akan kukatakan. Segeralah kau dapatkan perempuan Indo disini,”
            “Itu barang langka, Zein,”
            “Kalu begitu, kau cari yang banyak saja, noni Belanda,”
            “Ah…tak selera aku,” Aku menggelengkan kepala, Zeyni tertawa terbahak. Kembali kami berpelukan. Zeiny memasuki mobil yang akan mengantarkan mereka ke Bandara Schippol, melambaikan tangan kearahku. Ada jarum yang menusuk jantungku, aku ingin pulang…aku ingin merasakan cahaya matahari di negeriku sendiri. Tapi, kapan?. Aku masih harus mendatangi negeri berbeda lagi, batas waktu yang belum jelas. Disudut hati, aku tersenyum. Allah sudah mengatur semua, kembali aku akan berpetualang. Bukankah semakin banyak berjalan semakin banyak dilihat? Tempat yang tak pernah aku bayangkan, sama seperti dulu ketika aku datang ke kota ini. Aku melompat ke sadel sepeda, aku harus ke restoran.

           


Selasa, 05 Maret 2019

KEJUTAN DAN KAUKENHOF (18)



            Aku, Hafeed, Tarjo dan Kurniawan baru saja memarkir sepeda di samping belakang Indescheelatte Restoran. Lenny menyambut kami dengan tergopoh-gopoh, wajahnya cerah memerah.
            “Kita jadi ke Kaukenhof, Mr.Lamek udah telepon, besok dia nyampe dari Ausi” Lenny terengah-engah, Hafeed mengernyitkan alis.
            “Kok, enggak telepon saya ya?”
            “Tadi, barusan aja beliau telepon, mungkin mau kasi kejutan” Hafeed melirik jam tangannya, jam tujuh pagi, artinya di Ausi jam dua siang.
            “Aduuh…enggak sabar lihat hamparan Tulip”
            “Katanya Mba Lenny udah sering tuh ke Kaukenhof, masih maruk aja..” Tarjo nyeletuk ringan, Lenny melotot.
            “Ampe kapanpun, aku tetap maruk. Itu taman paling indah di dunia tau? Itu tempat favoritku dan Evan tiap musim semi”
            “Iya..iya…trus suami dibawa juga..”
            Always…dia enggak boleh tinggal!”
            “Lho Mba..enggak boleh bawa pasangan” Tarjo menimpali, sedikit mencibir.
            “Emang kenapa?”
            “Khusus buat kita aja, Evan enggak termasuk”
            “Masa sih?”
            “Iya, kami suka risih lihat Mba kayak bule beneran, cium-cium, peluk-peluk” Tarjo pura-pura serius, Lenny cemberut.
            “Evan kan suamiku Jo, kalo orang lain ya...enggak akan. Masa mesra ama suami dilarang?” Lenny menjelaskan alasannya. Kami terdiam dan saling berpandangan, memang benar apa yang dikatakan Lenny, apa salahnya mesra dengan suami sendiri? Hanya kami orang Indonesia asli, pemegang budaya yang kuat, budaya malu.
            Hari itu, gaung Kaukenhoof diantara kami semakin terasa membahana. Aku diam-diam semakin penasaran, seperti apakah taman bunga yang dihebohkan itu?
****
            Sore cerah, angin semilir bertiup sejuk. Aku dan Chandra mendapat giliran pulang cepat. Kami mengayuh sepeda dengan santai, menikmati sore, melewati  jalanan yang lebar, memperhatikan anak-anak bermain di lapangan bola kecil. Anak-anak itu bermain diatas rumput hijau, jika musim gugur mereka menggunakan rumput sintetik. Di sekeliling lapangan kecil itu sebagian anak bermain skate board, tertawa riang. Ada juga yang berselisih pendapat, saling memukul dan memaki, kemudian menangis. Aku tersenyum sendiri, ternyata anak-anak dibelahan dunia manapun tetap sama. Bermain, beradu urat leher, tak berdaya kemudian menangis, selanjutnya berteman lagi, melupakan semua kalimat buruk yang sudah diucapkan. Kulirik Chandra, dia juga tersenyum, agaknya pikirannya sama dengan pikiranku.
            Di depan rumah induk yang besar itu aku tercekat, aku hampir jatuh dari sepeda, untunglah aku cepat menguasai diri. Aku berdiri tegak bagai batu, kaki dan tanganku kaku. Benarkah apa yang kulihat di depan mataku ini adalah suatu kenyataan? Kukedip-kedipkan mata, pandangan itu tetap tak berubah. Lelaki gagah itu berjalan kearahku, merentangkan tangannya, ingin memelukku.
            Assalamu’alaikum Halilintar Perkasa Alam, apa kabar sohib?” betul! Itu Zeiny! Ya Tuhan...Zeiny datang! Menempuh jalan melintasi benua, duduk diam lima belas jam di angkasa raya, menemuiku yang dibalut rindu! Kupeluk Zeiny kuat-kuat, menumpahkan rindu yang dalam, Zeiny sudah cukup mewakili semua, Emak, Medan, Indonesia, atau istri orang itu, Zahwa.
            “Ya Allah...Zeiny, ngapain kemari? Wah... udah banyak duit nampaknya”
            “Enggak juga, aku nemani Fikar liburan, semua gratis lah..” katanya dengan senyum sumringah.
            “Maulidya?”
            “Dia enggak bisa ikut, bayi kami belum bisa dibawa”
            “Oya? Waah... aku sudah punya ponakan, perempuan?”
            “Enggak, laki-laki, baru dua bulan”
            “Siapa namanya?”
            “Halilintar”
            “Lho...?”
            “Kenapa? Aneh?”
            “Memang enggak ada nama lain?”
            “Sudahlah, itu nama yang baik, sama seperti nama oomnya, Petir.” Zeiny mengedipkan matanya, aku masih belum mengerti.
            Malam, aku menghabiskan waktu disalah satu kamar dirumah besar Mr.Lamek bersama Zeiny. Cerita seakan tak ada habisnya, sebelum berangkat ke Rotterdam Zeiny menyempatkan diri menemui Emak. Zeiny menceritakan suasana baru disekitar rumahku, Emak menitipkan sambal teri kacang yang enak. Sambal teri, kacang dan tempe berwarna merah cerah, lezat dinikmati bersama nasi hangat. Zeiny menyerahkan sepucuk surat, surat dari Emak.
            “Buka suratnya, Tir. Aku juga mau tau apa yang ditulis Emak” Zeiny menyuruhku untuk membuka surat itu. Kusobek ujung amplop surat perlahan, kubuka. Aku tersenyum memperhatikan tulisan Emak, tak beraturan dengan huruf kapital diletakkan secara acak tak berkaedah bahasa. Seingatku, Emak hanya pernah sekali menulis surat sakit ketika aku SD, setelah itu tidak lagi.
anakku petir
alhamdulillah nak, eMak Sehat. Semoga Kau juga sehat selalu diBawah linDungan allah.
Anakku, emak kini tidak Lagi sendirian di rumah kita. Kau Ingat si saidah? gadis bisu yang rumahnya dibelakang Rumah kiTa itu, anak wak udin? Yang tukang galas pisang? Dia sekarang tinggal dirumah kita, karena ayahnya sudah meninggal dan dia sendirian, saudaranya tak ada yang mau menerima. Emak pikir, biarlah dia tinggal dirumah kita menjadi teman emak agar tak sendirian. Ternyata si saidah itu rajin sekali, dia juga mau menemani emak jualan ke pajak. Cuman emak agak susah bercakap, karena dia tuli dan bisu, tapi tak apa karena emak lama-lama jadi pandai bahasa isyarat.
Anakku, kabar lainnya. Wak sahara yang tinggal didepan gang rumah kita mau jual rumah, dia tawarkan kepada emak. Rumah itu katanya rumah warisan, uang penjualan akan dibagi rata, takut anaknya nanti berantam katanya. Kata pak kepling, ambil saja karena rumah itu bukan rumah sengketa dan bagus jika ingin berjualan. Bagaimana nak? Masalah uang, alhamdulillah tabungan kita cukup. Uang yang kau kirim tak pernah emak gunakan untuk apapun, hasil keringatmu semua emak simpan. Emak juga punya tabungan, karena emak hanya menghidupi diri emak sendiri dan sekarang baru ada saiDah. Tapi nak, rasanya lebih lengkap lagi hidup emak jika kau punya istri dan anak.
Anakku, nanti kalau Zeiny pulang. Tulislah juga surat untuk emak, kirimkan fotomu, kirimkan juga bajumu yang belum kau cuci, emak sangat rindu. Kalau kontrak kerjamu selesai, pulanglah cepat dan segera menikah, emak merindukan cucu. Nanti kau tulis juga pendapatmu tentang rumah itu ya? emak tunggu. Oya..emak hanya sempat masak sambal teri kacang karena Zeiny datang tiba-tiba dan tergesa. Semoga masakan emak bisa menjadi pengobat rindu.
saLam riNdu
Emak
            Mataku panas, terasa sekali kerinduan Emak akan diriku, sama seperti yang aku rasakan. Ucapan Emak melalui surat, memintaku menitipkan pakaian kotor berbau keringat untuknya. Mengapa Emak tak melakukan yang sama? Menitipkan bajunya yang berbau pajak untukku? Untuk kupeluk dan selalu merasakan kehadirannya? Mengapa pula aku menjadi cengeng? Ahh...seperti gadis saja.
            “Emak masih yakin, kau punya kontrak kerja” Zeiny bersuara, nyaris berdeis. Aku menunduk, berusaha menguasai hati dan mata yang terasa panas.
            “Ya..aku mengontrak diriku sendiri”aku bergumam sendiri.
            “Aku akan pulang, secepatnya, paling tidak, Emak sudah bisa membeli rumah”
            “Hanya rumah?” Zeiny mendongak, tajam menatapku. Aku diam
            “Jangan cengeng, pulang nanti kau harus punya bisnis, jaminan masa depan”
            “Ya... itu memang targetku Zein. Kau pikir aku cengeng? Aku kan pejuang, masa gini aja cengeng?”aku bangkit, menunjukkan semangat pada sahabatku ini.
            “Masa? Si Zahwa gimana?” aku tercekat, diam, kerongkonganku terasa kering.
            “Sudahlah, jangan dibahas ya? Itu masa lalu, dia sekarang sudah menikah”
            Malam beranjak larut, aku dan Zeiny berbagi ranjang, persis seperti yang pernah kami jalani semasa kuliah dulu. Tapi tentu saja kini semua berbeda. Kamar ini sangat mewah dibandingkan kamarku yang kusam, Zeiny telah menjadi seorang ayah yang berbahagia, dan kami kini berada jauh dari Indonesia. Tak mampu aku memejamkan mata, walau tubuh bergelayut lelah. Semua berkelabat dikepala, huruf-huruf yang terburai tak berketentuan aku kutip satu persatu. Kucoba rangkai menjadi kata BAGAIMANA PERJALANAN HIDUPKU SELANJUTNYA?
***
            Selepas sholat subuh aku kembali ke flat. Hafeed masih memakai gamis sholatnya, wajahnya segar dibasuh wudhu’.
            “Sudah melepas rindu dengan sahabat?” Hafeed tersenyum, aku mengangguk.
            Alhamdulillah, aku bisa merasakan kebahagiaanmu”
            “Terimakasih,Feed”
            “Aku bahkan lupa wajah sahabatku, aku hanya punya sahabat waktu kecil” wajah Hafeed suram, matanya menerawang.
            “Sudahlah Feed, enggak perlu berpikir macam-macam. Kami semua sahabatmu, saudaramu” kutepuk bahu Hafeed, dia kembali tersenyum, wajahnya kembali cerah.
            “Oya... hari ini resto tutup, kita jadi ke Kaukenhoof. Siap melihat Tulip?”
            “Bagaimana rupanya?”
            “Lihat saja nanti, oke?”
                        Pagi yang sibuk, lebih sibuk dari biasanya. Baru kali ini aku berjumpa dengan Tante Diana, istri Mr. Lamek yang cantik. Perempuan paruh baya itu nampak cerah, busananya membuatku terkejut, dia berhijab. Putrinya Audia membuatku lebih terkejut lagi, berambut coklat gelombang, memakai tanktop hijau tua dan celana bermuda berwarna moka. Audia berkulit putih, berhidung mancung dan bermata biru. Sekilas, air mukanya mirip Maulidya istri Zeiny. Zulfikar? Sangat berbeda, berkulit dan bermata coklat, bertubuh sedang seperti Mr. Lamek. Mungkin saja warna kulit itu pengaruh daerah tempat tinggal, bukankah Zulfikar tinggal di Aceh?
            Aku pernah mendengar cerita dari Hafeed. Mr.Lamek dan tante Diana ini sudah berkali-kali melaksanakan ibadah haji. Hanya, haji di Belanda tak sama dengan haji di Indonesia. Dengan kata lain, tak menggunakan gelar. Ada juga yang menggunakannya, tapi tak banyak karena tak menjadi tradisi. Sesungguhnya, Mr.Lamek sangat mencintai budaya dan tradisi Indonesia. Tapi bisnisnya membuat dia harus terbang ke berbagai negara. Audia, putri sulungnya lebih cenderung mengikuti pola hidup Eropa. Dia kuliah di Adelaide, Australia. Karena kekhawatiran pula, Mr. Lamek memilih Zulfikar sekolah di Indonesia, lebih tepatnya di Banda Aceh. Mr.Lamek berharap, Zulfikar menjadi pemuda Indonesia seutuhnya, tidak seperti Audia yang sudah terlanjur terbentuk menjadi gadis Eropa.
            Keluarga Mr. Lamek nampak sangat demokratis, dan mampu menghargai orang lain dengan baik. Audia dan Zulfikar ikut memasukkan aneka bekal kedalam bagasi mobil, kakak adik itu terus bercanda sambil melepas rindu. Kami sering tersenyum geli mendengar lidah Audia yang berat berbahasa Indonesia. Beberapa kali dia memperbaiki kalimatnya, Zulfikar tertawa-tawa menggoda. Audia cemberut, Zulfikar semakin tertawa lebar. Mr.Lamek dan tante Diana tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
            Kaukenhoff di Lisse kami tempuh selama satu setengah jam dari Rotterdam. Setelah masing-masing menyerahkan tiket masuk, aku dihadang dengan pemandangan menakjubkan. Benar, hamparan tulip berwarna-warni, ditata dengan sedemikian rupa. Luar biasa, mengapa Tulip banyak sekali warnanya? Mulai merah, kuning, ungu, pink, putih, hijau. Semua ditata berdasarkan kelompok warnanya, mataku tak mau berkedip. Di Kaukenhoof juga ada sakura dan jenis bunga lainnya. Kami sibuk berfoto-foto. Siang, kami makan dibawah kincir angin, menikmati sambal teri kiriman Emak. Bekal kami ada nasi, roti dan cemilan lainnya. Nanti, aku akan menulis surat untuk Emak dan melampirkan fotoku di Keukenhof dan di salju. Betapa bangganya Emak, anaknya bekerja di benua Eropa dan saban bulan menerima euro. Emak tidak tahu, aku adalah pelayan, melayani bule makan.
            Menjelang sore, kami masih sempat menikmati parade bunga di Corso Boulevard. Flower Parade berlangsung meriah, jalanan sangat ramai. Kami menyeruak keramaian agar dapat mencapai pinggir jalan. Kami saling berpegangan tangan, Mr.Lamek dan tante Diana agaknya menyerah dan pasrah dalam kerumunan orang. Lenny dan Evan juga teman yang lain  entah kemana. Aku, Hafeed, Zeiny, Tarjo, Fikar dan Audia saling berpegangan. Hafeed menyeruak jalan, aku di belakangnya. Audya memegang tanganku kuat-kuat, takut terlepas. Kami sampai di pinggir jalan melihat Flower Parade dengan leluasa. Audya melompat-lompat girang, aku dipeluknya kuat-kuat, tangannya tak lepas dari tanganku. Aku berdebar-debar, seumur hidup, baru kali ini aku dipeluk perempuan selain ibuku. Oleh seorang perempuan, berpakaian terbuka pula, beeeuuuhhh….