“Bagaimana, bisa?” Mr.Lamek menatap
wajahku serius. Kami baru selesai makan malam bersama di rumah induk. Tante
Diana masak rendang, tapi diseberang mejaku, Audya lebih memilih sepiring pasta
dan pattat. Aku masih belum berpikir
normal atas tawaran Mr.Lamek, pindah ke Canberra? bagaimana bisa?
“Teman Oom akan urus semua keperluan
administrasimu. Disana kamu bisa lebih dekat ke Indo, hanya enam jam” aku masih
diam, memperhatikan Mr.Lamek mengunyah nasinya.
“Disana kamu akan banyak belajar,
kalau Zamzami selesai kuliah, dia akan Oom tarik kesana juga.”
“Bagaimana baiknya saja Oom…”
suaraku terdengar pasrah.
“Serius?” Mr. Lamek masih meyakinkan
aku, aku mengangguk, dia menarik nafas panjang.
“Alhamdulillah…syukurlah,
semua akan lebih baik disana, Oom janji, Insyaallah..”
Malam yang panjang, aku tak bisa
tidur. Berbagai pikiran dan bayangan berkecamuk dikepala. Baru dua tahun aku di
Rotterdam, belum lagi rasanya aku mengetahui banyak hal tentang kota ini. Belum
banyak tempat yang aku jelajahi, kini Mr.Lamek minta aku pindah ke Canberra.
Bukankah aku harus menyesuaikan diri lagi? Seberapa lama pula aku disana?
Bagaimana pula suasana di sana?. Aku gelisah, Hafeed telah tertidur nyenyak,
menggenggam tasbihnya, tersenyum dalam tidurnya.
“Petir akan pindah ke Canberra,” di
Restoran, berita itu semakin hangat.
“Bagus, kalau kamu diajak pindah,
berarti ada perbaikan nasib,” Hafeed menimpali.
“Maksudnya?,”
“Disana kamu akan tahu, Canberra
akan memberimu kehidupan yang lebih
baik,”
“Bukankan nilai mata uang masih lebih tinggi disini?”
“Hahaha…..percayalah, Mr.Lamek tahu
bahwa kamu memang lebih tepat disana. Lihat saja nanti, oke?,” Hafeed menepuk
punggungku, menyipitkan sebelah matanya. Benarkah Canberra lebih baik?
Bulan depan, aku akan kembali
mendatangi negeri asing, kota Canberra di benua Australia. Masih negeri empat
musim, sama dengan Belanda. Sebelum Zayni pulang, kutulis surat untuk Emak.
Emak Tercinta
Alhamdulillah Mak, aku sehat
wal’afiat, semoga begitu juga dengan Emak disana, selalu berada dibawah
lindungan Allah SWT.
Mak…..kiriman Emak sudah aku
terima, dan aku nikmati bersama kawan-kawan, mereka semua senang dan mengatakan
masakan Emak paling enak, lebih enak dari masakan restoran.
Emak tau? Daun ubi tumbuk yang
pernah aku buat di restoran sekarang jadi makanan favorit, banyak yang pesan,
tapi syukurlah di Rotterdam banyak makanan Asia, jadi tidak sulit mencari daun
ubi. Tapi tetap saja makanan di Indonesia lebih enak, terlebih-lebih masakan
Emak yang tak ada tandingnya.
Emakku tersayang….
Aku rindu dan ingin pulang…
Tapi Mak….aku masih belum cukup
uang untuk membuka usaha di Medan. Mr.Lamek mengajakku pindah ke Canberra, aku
belum tahu apa tugasku disana. Kata teman-teman, disana lebih baik, semoga
saja. Masalah rumah itu, Emak beli saja. Dengan begitu kita lebih tenang, tidak
mengontrak lagi dan rumah itu bisa menjadi tempat usaha, Emak tak usah lagi ke
Pasar subuh-subuh. Aku kasihan pada Emak yang semakin tua, sendirian di Pasar.
Tapi syukurlah jika sekarang ada si Saidah, bisa menemani Emak, akupun lebih
tenang disini.
Emak tercinta…
Urusan wanita, aku minta ma’af, Mak. Aku belum bisa memenuhi
permintaan Emak, belum ada perempuan yang mampu menggantikan Zahwa. Tapi
percayalah Mak. Aku akan segera menemukannya. Mengantarkannya pada Emak,
membuat Emak bahagia dan bangga.
Disini, aku juga mengirimkan foto
dan bajuku. Semoga mampu menjadi pengobat rindu.
Emak tercinta, teruslah mendo’akan
aku anakmu, disetiap langkahku aku harap restu Emak. Tanpa do’a dan restu Emak,
aku tak dapat meraih apapun, cita-cita, materi dan kebahagiaan.
Jika sudah waktunya, aku akan
pulang, menemui emak, kembali memeluk dan menemani Emak.
Salam sujud dan cinta Ananda
Petir.
Surat satu lembar setengah itu
kulipat dengan dada gemuruh dihunjam rindu, betapa aku sangat merindukan
perempuan yang telah melahirkanku, mendidikku dengan sepenuh jiwa dan cintanya.
Jika dapat, aku ingin melesat terbang ke awan, menembus angin, terbang pulang
ke Indonesia, mendarat di Medan. Ah…..rindumya.
Kucium
surat bertinta biru itu, kumasukkan ke dalam amplop putih. Jam sudah
menunjukkan angka tiga, aku bangkit
menunaikan sholat malam. Kupersembahkan do’a untuk Emak, untukku, dan untuk
semua cita-citaku. Aku tidur, bersiap menjalani esok yang masih panjang.
****
Zayni memelukku, menepuk punggungku.
“Di Canberra, kau akan beralih tugas
di kantor Oom Lamek. Usaha disana bergerak dibidang Software dan hardware
computer. Insyaallah disana akan lebih baik.”
“Ya….Insyaallah, aku akan
menjalaninya. Allah tahu apa yang terbaik untukku. Alhamdulillah, terimakasih
untuk semua,”
“Kami akan transit melalui Medan,
aku akan langsung mengantarkan titipanmu untuk Emak. “
“Ya, terimakasih. Salamku untuk
Maulidya dan keponakanku ya?. Jangan lupa katakan pada Emak bahwa aku sehat
wal’afiat,”
“Ya, akan kukatakan. Segeralah kau
dapatkan perempuan Indo disini,”
“Itu barang langka, Zein,”
“Kalu begitu, kau cari yang banyak
saja, noni Belanda,”
“Ah…tak selera aku,” Aku
menggelengkan kepala, Zeyni tertawa terbahak. Kembali kami berpelukan. Zeiny
memasuki mobil yang akan mengantarkan mereka ke Bandara Schippol, melambaikan
tangan kearahku. Ada jarum yang menusuk jantungku, aku ingin pulang…aku ingin
merasakan cahaya matahari di negeriku sendiri. Tapi, kapan?. Aku masih harus
mendatangi negeri berbeda lagi, batas waktu yang belum jelas. Disudut hati, aku
tersenyum. Allah sudah mengatur semua, kembali aku akan berpetualang. Bukankah
semakin banyak berjalan semakin banyak dilihat? Tempat yang tak pernah aku bayangkan,
sama seperti dulu ketika aku datang ke kota ini. Aku melompat ke sadel sepeda,
aku harus ke restoran.