Selasa, 15 November 2011

CERPEN

PEREMPUAN KEDUA
By. Rahimah Ib

Trotoar kampus masih basah ketika aku melangkahkan kaki menembus gerimis tipis. Jalanan hitam penuh pasrah menerima tumpahan bunga kuning akasia yang gugur, pemandangan jalanan yang indah, paduan warna yang harmonis. Kutarik nafas panjang, aroma khas bunga akasia menyergab hidung, aku suka dan menikmatinya. Hujan, entah mengapa aku suka menikmatinya walau terkadang tidak menguntungkan. Udara sejuk, air yang jatuh dari langit, daun yang basah adalah lukisan ajaib bagiku.
“ teeeetttt...”, hups...! aku terhenyak dari lamunan, kuperhatikan mobil yang berhenti tepat disisi kananku.
“ bareng yok Zul!, hujan nih....”, sebingkai wajah muncul dari kaca jendela mobil, wajah yang cantik dan sangat kukenal.
“ serius nih...”, jawabku basa basi
“ iyalah... ayok!..”, wajah cantik itu tersenyum lucu, dia pasti tahu jika aku berbasa-basi, aku tak lagi berkomentar dan masuk kedalam mobil, agaknya gerimis tambah merapat.
“ langsung pulang?”, perempuan cantik yang duduk di belakang stir itu memulai percakapan.
“ iya.. aku turun di perempatan aja”
“ enggak usah... langsung kuantar aja, kita kan satu arah “, tawarannya begitu serius
“ enggak usah, aku jadi enggak enak nih..”, aku juga serius, tanpa basa basi. Kikuk juga rasanya berlama-lama dekat perempuan ini, mobilnya sejuk dan wangi. Pipinya putih bak pualam, matanya cerah benderang, fisiknya sudah menjelaskan kalau dia seorang yang hidup dalam kesenangan tanpa beban. Sementara aku?, aku adalah laki-laki yang bergelimang perjuangan. Kasih sayang, pendidikan dan motivasi Ibu lah yang membuat aku menjadi kuat, tanpa itu? Jiwaku telah lama mati.
Perempuan cantik itu tak menjawab, pandangannya serius memandang jalan yang dipadati kendaraan lain. Hujan membuat pengendara sepeda motor panik dan ingin cepat sampai, ini kondisi yang berbahaya untuk pengendara mobil jika tidak hati-hati. Aku diam, mendekap tangan di dada, memandang kedepan dengan hujan yang semakin merapat. Kami tenggelam dalam diam.
Mobil berbelok memasuki gang menuju rumahku, sebagai lelaki aku merasa tak enak hati diantar seorang perempuan. Tapi aku juga tak mampu menolak niat baik perempuan ini, tulus sekali, ketulusan yang terpancar dari dalam jiwa yang bisa kubaca dari sorot matanya.
“ singgah yok….”, tawaranku ketika mobil berhenti di depan rumah. Perempuan itu mengangguk tersenyum, alamaaak… aku Cuma basa basi, tapi dia tanggapi, wah..
Emak menyongsong didepan pintu rumah, tersenyum seperti anak yang dibawakan oleh-oleh permen, aku Cuma cengar cengir kuda melihat mata emak yang mendadak genit.
“ Wa… emak ada buat ubi rebus, mau?...”, aha.. Emakku terlalu pede fren…
“ wah…Awa suka tuh mak.., mama juga sekali-sekali masih buat ubi rebus, dikasi gula merah sama kelapa”.
“ suka ubi rebus wa?...”, kupastikan jawaban perempuan itu, Zahwa.
“ ya iyalah… itu makanan sehat Zul, di keluarga kami kalo bikin kudapan tuh ya.. ubi goreng, pisang goreng, bakwan, buat cake juga jarang..”, aku tertegun antara percaya dan tidak, apakah Zahwa hanya ingin menjaga perasaanku sebagai seorang lelaki miskin?.
Aku tak ingin membahasnya, aku sibuk dengan kegiatanku yang baru, memperhatikan Zahwa yang makan ubi rebus dengan asap yang masih mengepul ditemani Emak sambil tertawa-tawa. Sesekali kulongok mobil yang diparkir Zahwa didepan rumah, takut ada kendaraan lain yang tak bisa lewat karena gang rumahku yang sangat sempit. Zahwa pamit setelah duapuluh menit duduk menikmati ubi rebus sambil bercerita dengan Emak. Heran.. aku tak dilibatkan mereka dalam pembicaraan, hanya Emak sesekali mengerling kearahku, dasar perempuan…
Sahabat… sulit kujelaskan dengan kata-kata tentang perempuan itu, Zahwa namanya. Dia seorang perempuan yang hidup makmur, gemah ripah lohjinawi. Aku yakin sekali jika perempuan itu tak pernah dihinggapi penderitaan. Ayahnya seorang Profesor dan ibunya seorang dokter spesialis ortopedi. Aku juga heran mengapa bisa dekat dengan perempuan yang beda fakultas ini, dia di kedokteran sementara aku di hukum. Yang menyatukan kami hanya Organisasi kampus di kelompok Jurnalis Kampus, itu saja. Aneh, selalu ada kesempatan bertemu dan dia selalu punya tawaran baik mengantarku pulang, bicara dengan Emak dengan sangat akrab seakan seorang anak yang bicara dan curhat dengan Ibunya. Dan.. Emak yang terlalu pede seakan-akan Zahwa adalah calon menantunya. Walah..aku tak pernah mimpi bisa memiliki perempuan ini, tak pernah!!. Siapa yang terlalu bodoh memilih aku sebagai pacar atau bahkan pasangan hidup?. Aku Zulkarnaen.. pemuda yang dari kecil sudah yatim, berjuang hidup bersama Emak tercintanya, yang miskin tak punya harta, kendaraan jelek pun tak punya. Semangat hidup, lampu dalam gelap itu hanyalah Emak, dan..sang pencipta tentunya.
“ heh.. melamun..”, Emak muncul disampingku,menepuk lembut bahuku.
“ mikirin si Zahwa ya??”, Emak menatapku menggoda.
“ Mak.. si Zahwa itu anak orang kaya, anak dokter. Kita orang miskin mak, mana mau dia sama Zul, dia Cuma kasian lihat Zul kemana-mana naik angkot, makanya dia mau antar, itu aja. Udah ah.. Emak terlalu pede, nanti aku cari aja perempuan lain untuk jadi menantu Emak, yang selevel…”.Aku bangkit, Emak menarik tanganku.
“ duduk Zul..”, Emak menatapku tajam, aku tak berani membalasnya, aku kembali duduk.
“ Emak tidak pernah mimpi nak…, status bukanlah segalanya. Emak suka Zahwa bukan karena dia seperti yang kau bilang anak orang kaya, dia perempuan yang membuat Emak senang serasa menemukan anak perempuan. Dia bukan perempuan biasa Zul. Besok kalau kau jumpa dia, kau perhatikan betul cahaya matanya, tak bisa dibohongi kalau dia suka sama kau nak, cinta dia sama kau..”. Aku tertegun, benarkah Emak terlalu pede?.
“ Oke , kalau aku pacaran sama dia, pake apa aku pergi ngapel?, naik sepeda?.. ah Mak.. udahlah.. jauh kali cita-cita Emak, nanti Emak sakit hati”. Aha… bukannya aku yang sakit hati?, aku bangkit lagi ingin melakukan sesuatu yang tadi tertunda.
“ la.. mau kemana? Emak belum selesai cakap Zul…”
“ mau mandi Emakku sayang… trus sholat Emakku tercinta.. habis itu aku mau menghabiskan ubi rebus Emak yang enak, oke?”, kutepuk-tepuk bahu Emak yang tersenyum-senyum lucu, diapun mengangguk takzim.
Aku mandi, bayangan Zahwa menari-nari didalam ember. Di kamar, bayangan Zahwa menari-nari di cermin. Aku sholat bayangan Zahwa menari-nari di atas sajadah, walah….kenapa jadi gini? Emaaaaaakkkkkkk………..Zahwa menari dimana-mana, seperti udara dan angin, menguap keatas, menggumpal menjadi awan dan turun menjadi hujan. Ku lahap ubi rebus cepat-cepat, Emak perempuan pertama dalam hidupku melihatku dengan pandangan aneh. Zahwa perempuan kedua dalam hatiku tersenyum dalam bayangan, menari-nari dalam pikiran.
Fren… kisahku masih panjang tentang perempuan kedua ini, nanti aku akan menceritakannya untukmu, ketika hujan sudah reda tentunya. (Telah terbit di Harian Waspada Minggu 16 Okt 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar