KISAH 4
Pukul 9 pagi. Berkali-kali Jenar melongok ke kubikel
di depannya, kosong. Wajah yang begitu akrab selama ini entah kemana, Jenar
gelisah. Computer sudah menyala dua puluh menit, tapi dia sama sekali belum menyentuh
tutsnya untuk menyusun laporan audit. Jenar harus memastikan semua, biar
gelisah tak berkepanjangan. Jenar
melangkah menuju meja Bosma, Admin umum di kantor.
“Bosma… Alfian masuk
enggak,”
“Enggak, pagi tadi
dia udah telepon aku. Katanya demam tinggi. Kenapa? Rindu kau sama Alfian?”
Bosma tertawa garing. Jenar merengut manja. Dasar… lelaki Medan memang suka tembak langsung. Sekali tembak
langsung kena sasaran, Jenar salah tingkah. Bergegas kembali ke kubikelnya.
“Kata mamaknya
semalam sore dia pulang basah kuyub kehujanan. Tengah malam dia menggigil demam
tinggi. Pagi ini masih demam!” Suara Bosma yang tinggi beberapa oktaf memecah
ruangan. Empat orang dalam satu ruangan yang dibatasi kubikel-kubikel saling
berdiri melongok dan tersenyum. Pipi
Jenar merah padam.
“Kau tengok nanti
pulang kantor… bawa jeruk ya!” sambung Bosma terkekeh, seiring mendarat di
kepalanya sebuah pulpen besar. Jenar melotot, mengirim sinyal marah.. atau
lebih tepatnya malu. Tawa Bosma tambah meledak menggema.
Susah payah Jenar
menyelesaikan tugasnya hari ini. Resah, gelisah dan entah perasaan apalagi. Dia
ingin sekali menelepon Alfian seperti saran Marissa, tapi selalu urung. Jika menelepon apa yang harus dikatakannya?
Menanyakan kabarnya? Mohon maaf karena ia sudah mengantarnya dalam hujan? Mohon
maaf karena dia memakai mantelnya sehingga Alfian harus basah kuyub? Bukankah
Alfian yang menawarkan diri? Bukankah ia sudah minta berteduh? Mengapa pula
Alfian begitu ringkih? Hujan saja sudah demam? Ahhh… Jenar menarik-narik ujung jilbabnya. Marissa, satu satunya
teman perempuan yang ada dalam satu ruangan memperhatikan tingkahnya sejak
pagi.
“Nar! Ke rumah Fian,
yok!” Marissa menyampaikan ide, serius. Dia tak ada niat menggoda, takut Jenar
malu atau salah tingkah. Jenar
mendongak, menatap lurus mata sahabatnya yang sudah dikaruniai dua anak, namun
masih tetap cantik.
“Ayolaaah… boleh
dong, lihat teman sakit,”
“Masih sehari. Ntar
deeh… kalo besok nggak masuk juga baru kita lihat.” Jenar menjawab ragu.
“Lho? Masa mau lihat
teman sakit nunggu seminggu? Yang bener lo!” Marissa tersenyum, menaik turunkan
alisnya.
“Udahlaaaah… rumahku
dan Alfian itu searah. Aku juga gak perlu jemput Wafi hari ini karena papanya
udah jemput. Jadi aku bisa sekalian pulang. Kamu kan nanti bisa pulang naik
gojek. Gimana?”
“Pergilah… biar
cepat sehat kawan tu kalo ko tengok!” Bosma berteriak sengit. Jenar melotot,
Marissa terkikik. Sisanya… dua lelaki lagi, Akbar dan Alif cuek beibeh. Jenar melempar kotak tissue,
Bosma menangkap dengan cekatan,
“Awas ko ya! Barang
yang udah ko lempar tak balek lagi ke mejamu. Besok ko lamper aku pake atm mu
ya!” Bosma tertawa-tawa tanpa rasa bersalah. Jenar melotot galak. Atau
pura-pura galak?
***
KISAH 5
“Alfian itu lelaki
yang baik,” Marissa menatap lurus ke
depan dari balik kemudi. Gelap merayap naik, awan hitam di sebelah barat sudah
cukup menjadi sinyal sore ini akan ada hujan, lagi. Jenar diam, menunggu cerita
yang akan keluar dari mulut Marissa, tentang Alfian.
“Kami sudah bekerja
di kantor yang sama hampir tujuh tahun, tidak pernah mutasi. Jadi aku tau
banyak tentang dia,” Marissa menarik nafas panjang, menginjak rem di lampu
merah, memeriksa chat di smart phone sesaat.
“Termasuk urusan
cinta,” Marissa menatap lurus, Jenar berdebar.
“Dia sudah dua kali
gagal menikah,” Marissa menggantung ucapannya.
“Kenapa?” Jenar
memberondong tak sabar. Marissa tersenyum, ini awal yang baik pikirnya.
“Kalau aku bilang
sih sepele. Tapi menurutnya itu sangat urgent,”
“Apa tu?” Jenar
membalikkan badannya, menatap wajah Marissa.
“Dia belum menemukan
wanita yang tepat untuk ibunya. Baginya, ibu itu segala-galanya. Jika ia
menikahi seorang wanita maka wanita itu harus siap menerima ibunya, apa
adanya.” Hujan mulai turun, gerimis.
Jalanan semakin padat, semua serba terburu-buru. Hati Jenar menggelinding.
Semulia itukah Alfian? Menempatkan ibunya di atas segala kepentingannya? Bukankah
itu pemuda berlian? Jarang ditemukan di zaman sekarang? Bukankah seorang lelaki
yang memuliakan ibunya kelak ia akan memuliakan istrinya? Mengapa pula
wanita-wanita itu tak bisa menyadarinya? Hati Jenar melompat-lompat, dadanya
bergemuruh hebat, mengiringi gemuruh hujan yang mulai tumpah lebat.
Mobil berhenti di
depan sebuah rumah sederhana bercat hijau, berpagar tanaman yang rapi.
“Ini rumahnya, kita
sudah sampai.” Marissa memutar kunci, mematikan mesin mobil, membalikkan badan
mengambil payung di jok belakang. Mereka berlari kecil beriringan di bawah
payung. Mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
“Siapa?” terdengar
suara agak jauh, samar.
“Marissa Mak. Mau lihat Fian..” Seorang wanita membuka
pintu, pandangannya tanpa ekspresi, lurus saja. Dada Jenar semakin bergemuruh
hebat, melebihi gemuruh hujan. Matanya tak berkedip. Apakaaaaahhh….
“Mari masuk Sa, Fian
masih istirahat di kamar. Anak-anak mana?” tangan wanita itu melayang di udara
hampa.
“Gak ikut Mak. Ini
Marissa sama teman kantor, Jenar.” Sejenak kening wanita itu berkerut seperti
ingat sesuatu. Sesaat kemudian tersenyum, mengulurkan tangannya.
“Akhirnya… kamu
kesini ya..,” wajah itu tersenyum hangat dan ramah, pandangannya masih lurus kedepan dan kosong.
“Oya… silakan duduk,
biar mak panggil Fian,”
“Gak usah Mak, boleh
kami ke kamarnya aja? Biar gak mengganggu?” usul Marissa. Jenar masih diam,
hatinya entah kemana.
“Oya… enggak
apa-apa, mungkin dia tidur.”
Tubuh itu terbujur
lurus, ditutup selimut. Sebuah handuk kecil menempel di keningnya. Wajahnya
memerah, karena suhu tubuh yang tinggi.
“Saya minta maaf
Mak. Kemarin Fian antar saya hujan-hujan. Jadi demam deh…” Jenar menunduk, Emak
malah tertawa.
“Enggak apa-apa, dia
ada cerita ke Emak tentang itu,” emak menarik nafas panjang.
“Emak gak bisa lihat
kamu, tapi boleh emak raba wajahmu Nak?” Jenar melirik Marissa yang mengangguk
meyakinkannya. Dalam hitungan detik, telapak tangan wanita itu sudah menjalari
wajahnya. Seluruh lekuk ditelusuri dengan telapak tangannya yang hangat, pelan
sekali dengan seluruh perasaan. Jenar ingin menangis… mengingat almarhum ibu
yang sudah sepuluh tahun meninggalkannya. Rindu tangan yang sudah mengasuhkan
selama tiga belas tahun, ibu pergi ketika ia masih belia dan perlu bimbingan.
Air mata Jenar jatuh, tak bisa dibendung.
“Kamu kenapa Nak?”
tangan itu berhenti ketika merasakan ada titik air yang jatuh.
“Saya ingat Mama…
saya kangen Mama..” tangis Jenar pecah. Mereka berpelukan, emak dan Jenar
saling mendekap kuat. Emak bisa merasakan harum tubuh Jenar, dan Jenar bisa
merasakan aroma minyak gosok Emak. Alfian tersenyum dalam tidurnya… dia dengar
semua, dia tau semua. Hanya mata saja yang terpejam, karena ia berpikir inilah
cara aman untuk tidak salah tingkah dikunjungi wanita yang diam-diam
diperhatikannya. Kena lu….. #3
***
KISAH 6
Empat bulan setelah
itu. Membina hubungan dengan pola yang
rumit. Impian, harapan, masa depan, rencana-rencana semua sudah dipintal rapi.
Nyaris membentuk kubus sempurna. Tapi selalu terbentur pada urusan jika menikah
nanti Jenar harus tinggal di rumah, menemani Emak yang buta. Berkali kali pula
Jenar beralih bahwa emak adalah wanita mandiri dengan segala keterbatasannya.
Emak bisa masak atau malah membersihkan rumah dan tanaman. Tak ada orang yang
tau jika rumah itu dirawat seorang wanita yang buta. Alfian tetap dengan
prinsipnya di timur, dan Jenar tetap dengan prinsipnya di barat. Dua sisi yang
bertolak belakang. Jenar sering berpikir inilah yang menjadi konflik sebab
musabab Alfian dua kali gagal menikah. Tapi… Jenar sudah mencintainya, Jenar
juga sudah dengan tulus menyayangi emak seperti ibunya. Tapi di sisi lain Jenar
juga sangat menikmati pekerjaannya, rutinitasnya. Menggunakan penghasilan
sendiri tanpa intervensi. Di rumah? Mau jadi apa dia? Berkutat dengan dapur?
Aaah… repotnya, mengupas bawang saja dia tidak bisa.
Suatu sore…
permasalahan itu memuncak, pecah. Jenar menghindari berdebat dengan topik yang
sama dari hari kehari. Tapi Alfian terus mendesaknya, Jenar kesal dan berlalu
pulang sendiri. Lagi-lagi langit gelap, siap menumpahkan air dan berdendang
gemuruh.
“Ayo… aku antar,”
Alfian menghentikan sepeda motornya di depan Jenar yang sedang menunggu
angkutan umum.
“Enggak! Aku bisa
pulang sendiri!” Jenar mendengus, kesal.
“Ayolaaaah… semua
bisa kita bicarakan, jangan ngambek aahh…,” Alfian mencoba lunak, nyaris
merayu. Jenar tak bergeming, kesalnya sudah sampai ubun-ubun. Setiap mendengar
ucapan Alfian ia menggeser beberapa langkah, Alfian mengikutinya dengan sedikit
memutar gas motornya. Langit sudah mulai menumpahkan air. Jenar kering di halte,
Alfian basah di atas sepeda motornya. Hujan, semua kendaraan serba
terburu-buru. Alfian lengah, sebuah bis melaju kencang mengabaikan halte yang
seharusnya bis berhenti. Stang sepeda
motor Alfian terbentur dengan dahsyat,
mencampakkannya hingga beberapa puluh meter, membentur trotoar, tiang besi dan tanpa helm. Sore yang basah pecah, aroma
amis darah bercampur air meyeruak. Suara teriakan Jenar tak lagi berarti
apa-apa, semua kalut. Sangat kalut.
***
KISAH 7
Ambulans
meraung-raung membelah jalan, Alfian terbujur dengan nafas satu-satu bermandi
darah. Jenar menangis nyaris meraung-raung dengan gamang serasa tak lagi berada
di bumi. Penyesalan bukanlah lagi jawaban. Bukankah semua takdir Tuhan? Allah
azza wajalla? Apakah segala impian yang sudah dirajut sempurna bisa jadi nyata?
Atau malah egois memisahkannya? Yang jelas.. Jenar harus ikhlas, ketika Alfian
koma. Menunggu saja dalam do’a, berharap Allah masih mau mengembalikannya.
Mengembalikan Alfian dalam kehidupan nyatanya. Jenar rela jika harus tinggal di
rumah, mengurus emak atau bahkan menjadi baby sitternya. Jenar rela!
Apa
yang lebih indah dan pedih selain daripada hujan? Air yang beraroma cinta,
sejuk, basah dan jiwa yang mengambang? Hujan yang selalu mengirimkan pesan ada
cinta untuknya? Hujan yang selalu menggelantung harapan tanpa batas, atau lebih
tepatnya menggantung mimpi. Jenar masih menatap benang air yang jatuh di
halaman rumah, duduk mendekap kaki dari bingkai jendela krem pucat. Mata bulat kenarinya jarang berkedip,
seakan ia tak ingin melewatkan setiap helai air. Helai demi helai yang seakan
membingkai huruf dan kisah. Kisah hujan, yang terpatri dalam jiwa sampai ia
mati nanti. Ya… sampai mati!
Telepon
berbunyi, Jenar menghapus sudut matanya yang basah. Meraih hand phone dengan malas, namun ketika melihat nama yang tampil di
layar. Dadanya berdebar hemat, persendiannya serasa lepas, tangannya bergetar.
“Assalamu’alaikum, Mak….” Airmata Jenar
jatuh, perlahan.
“Wa’alaikumsalam… Nar! Cepat ke rumah
sakit… cepat! Fian sudah sadar, dia tanya kamu terus. Cepat nak… cepat!” Jenar
tak lagi menjawab. Dia berlari meraih apa yang bisa dikenakannya untuk menutup
aurat, tak lagi berpikir warna atau mode, meraih tas entah berisi dompet atau
tidak. Berdoa komat kamit tak jelas. Jenar berlari keluar rumah nyaris panik.
Mencari kendaraan apa saja yang bisa membawanya ke rumah sakit.
Alfian
sudah keluar kamar ICU, menghuni kamar rawat
putih bersih rumah sakit. Beberapa selang yang selama ini melekat
ditubuhnya sudah dilepas. Hanya cairan infuse dan persiapan tabung oksigen
masih siaga di sisi tempat tidur. Emak duduk disampingnya, menggenggam tangan
putra kesayangannya sambil berkali-kali menghapus sudut matanya yang basah.
Jenar, duduk disebelah emak, dengan tampang kacau. Memakai gamis lusuh, dengan
celana piama yang mengintip dari celah gamisnya. Jilbab dengan warna tak
senada, sandal jepit, dan wajah sembab. Benar-benar tak biasa untuk seorang
Jenar.
“Aku
minta ma’af…. Hiks,” Jenar tersedak, hidungnya terasa penuh. Alfian masih diam,
nafasnya tenang, matanya masih redup.
“Aku
ikhlas mengurus emak, berhenti kerja asal kita bisa tetap bersama,” bibir itu
bergetar, air mata mengalir hebat. Begitu lelahnya Jenar seminggu ini, seminggu
yang menakutkan, takut kehilangan orang yang dicintainya. Seminggu Alfian tidur
dalam koma.
“Tak
usah… tetaplah bekerja. Emak katanya bisa mandiri, selama ini emak juga aku
tinggal sendiri.” Pelan Alfian menarik nafas panjang.
“Hanya
aku yang terkadang khawatir berlebihan,”
“Nggak
apa.. aku ikhlas kok, rela…” Jenar menunduk dalam. Dia sudah ikhlas.
“Sudah…
begini saja,” Emak ambil alih pembicaraan, menarik nafas dan melanjutkan dengan
senyum yang terbingkai manis.
“Jenar
tetap saja bekerja, tapi nanti setelah kalian punya anak barulah Jenar
berhenti, karena emak tak bisa mengurus bayi, bagaimana?” emak tersenyum genit.
Alfian tertawa pelan dan jenar tertunduk malu. Ahaaaayyyy…. Bukankah semua bisa
dibicarakan baik-baik? Mari lepas ego kita, agar semua berjalan indah dan
bahagia, ya!
*Kita sering menghargai sesuatu bila ia berada
diambang hilang J