Kamis, 17 November 2016

KISAH DALAM RINAI HUJAN (lanjutan)

KISAH 4

                Pukul 9  pagi. Berkali-kali Jenar melongok ke kubikel di depannya, kosong. Wajah yang begitu akrab selama ini entah kemana, Jenar gelisah. Computer sudah menyala dua puluh  menit, tapi dia sama sekali belum menyentuh tutsnya untuk menyusun laporan audit. Jenar harus memastikan semua, biar gelisah tak berkepanjangan.  Jenar melangkah menuju meja Bosma, Admin umum di kantor.
                “Bosma… Alfian masuk enggak,”
                “Enggak, pagi tadi dia udah telepon aku. Katanya demam tinggi. Kenapa? Rindu kau sama Alfian?” Bosma tertawa garing. Jenar merengut manja. Dasar… lelaki Medan  memang suka tembak langsung. Sekali tembak langsung kena sasaran, Jenar salah tingkah. Bergegas kembali ke kubikelnya.
                “Kata mamaknya semalam sore dia pulang basah kuyub kehujanan. Tengah malam dia menggigil demam tinggi. Pagi ini masih demam!” Suara Bosma yang tinggi beberapa oktaf memecah ruangan. Empat orang dalam satu ruangan yang dibatasi kubikel-kubikel saling berdiri melongok dan tersenyum.  Pipi Jenar merah padam.
                “Kau tengok nanti pulang kantor… bawa jeruk ya!” sambung Bosma terkekeh, seiring mendarat di kepalanya sebuah pulpen besar. Jenar melotot, mengirim sinyal marah.. atau lebih tepatnya malu. Tawa Bosma tambah meledak menggema.
                Susah payah Jenar menyelesaikan tugasnya hari ini. Resah, gelisah dan entah perasaan apalagi. Dia ingin sekali menelepon Alfian seperti saran Marissa, tapi selalu urung.  Jika menelepon apa yang harus dikatakannya? Menanyakan kabarnya? Mohon maaf karena ia sudah mengantarnya dalam hujan? Mohon maaf karena dia memakai mantelnya sehingga Alfian harus basah kuyub? Bukankah Alfian yang menawarkan diri? Bukankah ia sudah minta berteduh? Mengapa pula Alfian begitu ringkih? Hujan saja sudah demam? Ahhh…      Jenar menarik-narik ujung jilbabnya. Marissa, satu satunya teman perempuan yang ada dalam satu ruangan memperhatikan tingkahnya sejak pagi.
                “Nar! Ke rumah Fian, yok!” Marissa menyampaikan ide, serius. Dia tak ada niat menggoda, takut Jenar malu atau salah tingkah.    Jenar mendongak, menatap lurus mata sahabatnya yang sudah dikaruniai dua anak, namun masih tetap cantik.
                “Ayolaaah… boleh dong, lihat teman sakit,”
                “Masih sehari. Ntar deeh… kalo besok nggak masuk juga baru kita lihat.” Jenar menjawab ragu.
                “Lho? Masa mau lihat teman sakit nunggu seminggu? Yang bener lo!” Marissa tersenyum, menaik turunkan alisnya.
                “Udahlaaaah… rumahku dan Alfian itu searah. Aku juga gak perlu jemput Wafi hari ini karena papanya udah jemput. Jadi aku bisa sekalian pulang. Kamu kan nanti bisa pulang naik gojek. Gimana?”
                “Pergilah… biar cepat sehat kawan tu kalo ko tengok!” Bosma berteriak sengit. Jenar melotot, Marissa terkikik. Sisanya… dua lelaki lagi, Akbar dan Alif cuek beibeh. Jenar melempar kotak tissue, Bosma menangkap dengan cekatan,
                “Awas ko ya! Barang yang udah ko lempar tak balek lagi ke mejamu. Besok ko lamper aku pake atm mu ya!” Bosma tertawa-tawa tanpa rasa bersalah. Jenar melotot galak. Atau pura-pura galak?

***
KISAH 5
               
                “Alfian itu lelaki yang baik,”  Marissa menatap lurus ke depan dari balik kemudi. Gelap merayap naik, awan hitam di sebelah barat sudah cukup menjadi sinyal sore ini akan ada hujan, lagi. Jenar diam, menunggu cerita yang akan keluar dari mulut Marissa, tentang Alfian.
                “Kami sudah bekerja di kantor yang sama hampir tujuh tahun, tidak pernah mutasi. Jadi aku tau banyak tentang dia,” Marissa menarik nafas panjang, menginjak rem di lampu merah, memeriksa chat di smart phone  sesaat.
                “Termasuk urusan cinta,” Marissa menatap lurus, Jenar berdebar.
                “Dia sudah dua kali gagal menikah,” Marissa menggantung ucapannya.
                “Kenapa?” Jenar memberondong tak sabar. Marissa tersenyum, ini awal yang baik pikirnya.
                “Kalau aku bilang sih sepele. Tapi menurutnya itu sangat urgent,”
                “Apa tu?” Jenar membalikkan badannya, menatap wajah Marissa.
                “Dia belum menemukan wanita yang tepat untuk ibunya. Baginya, ibu itu segala-galanya. Jika ia menikahi seorang wanita maka wanita itu harus siap menerima ibunya, apa adanya.”  Hujan mulai turun, gerimis. Jalanan semakin padat, semua serba terburu-buru. Hati Jenar menggelinding. Semulia itukah Alfian? Menempatkan ibunya di atas segala kepentingannya? Bukankah itu pemuda berlian? Jarang ditemukan di zaman sekarang? Bukankah seorang lelaki yang memuliakan ibunya kelak ia akan memuliakan istrinya? Mengapa pula wanita-wanita itu tak bisa menyadarinya? Hati Jenar melompat-lompat, dadanya bergemuruh hebat, mengiringi gemuruh hujan yang mulai tumpah lebat.
                Mobil berhenti di depan sebuah rumah sederhana bercat hijau, berpagar tanaman yang rapi.
                “Ini rumahnya, kita sudah sampai.” Marissa memutar kunci, mematikan mesin mobil, membalikkan badan mengambil payung di jok belakang. Mereka berlari kecil beriringan di bawah payung. Mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
                “Siapa?” terdengar suara agak jauh, samar.
                “Marissa  Mak. Mau lihat Fian..” Seorang wanita membuka pintu, pandangannya tanpa ekspresi, lurus saja. Dada Jenar semakin bergemuruh hebat, melebihi gemuruh hujan. Matanya tak berkedip. Apakaaaaahhh….
                “Mari masuk Sa, Fian masih istirahat di kamar. Anak-anak mana?” tangan wanita itu melayang di udara hampa.
                “Gak ikut Mak. Ini Marissa sama teman kantor, Jenar.” Sejenak kening wanita itu berkerut seperti ingat sesuatu. Sesaat kemudian tersenyum, mengulurkan tangannya.
                “Akhirnya… kamu kesini ya..,” wajah itu tersenyum hangat dan ramah, pandangannya  masih lurus kedepan dan kosong.
                “Oya… silakan duduk, biar mak panggil Fian,”
                “Gak usah Mak, boleh kami ke kamarnya aja? Biar gak mengganggu?” usul Marissa. Jenar masih diam, hatinya entah kemana.
                “Oya… enggak apa-apa, mungkin dia tidur.”
                Tubuh itu terbujur lurus, ditutup selimut. Sebuah handuk kecil menempel di keningnya. Wajahnya memerah, karena suhu tubuh yang tinggi.
                “Saya minta maaf Mak. Kemarin Fian antar saya hujan-hujan. Jadi demam deh…” Jenar menunduk, Emak malah tertawa.
                “Enggak apa-apa, dia ada cerita ke Emak tentang itu,” emak menarik nafas panjang.
                “Emak gak bisa lihat kamu, tapi boleh emak raba wajahmu Nak?”  Jenar melirik Marissa yang mengangguk meyakinkannya. Dalam hitungan detik, telapak tangan wanita itu sudah menjalari wajahnya. Seluruh lekuk ditelusuri dengan telapak tangannya yang hangat, pelan sekali dengan seluruh perasaan. Jenar ingin menangis… mengingat almarhum ibu yang sudah sepuluh tahun meninggalkannya. Rindu tangan yang sudah mengasuhkan selama tiga belas tahun, ibu pergi ketika ia masih belia dan perlu bimbingan. Air mata Jenar jatuh, tak bisa dibendung.
                “Kamu kenapa Nak?” tangan itu berhenti ketika merasakan ada titik air yang jatuh.
                “Saya ingat Mama… saya kangen Mama..” tangis Jenar pecah. Mereka berpelukan, emak dan Jenar saling mendekap kuat. Emak bisa merasakan harum tubuh Jenar, dan Jenar bisa merasakan aroma minyak gosok Emak. Alfian tersenyum dalam tidurnya… dia dengar semua, dia tau semua. Hanya mata saja yang terpejam, karena ia berpikir inilah cara aman untuk tidak salah tingkah dikunjungi wanita yang diam-diam diperhatikannya. Kena   lu….. #3

***
KISAH 6
               
                Empat bulan setelah itu.  Membina hubungan dengan pola yang rumit. Impian, harapan, masa depan, rencana-rencana semua sudah dipintal rapi. Nyaris membentuk kubus sempurna. Tapi selalu terbentur pada urusan jika menikah nanti Jenar harus tinggal di rumah, menemani Emak yang buta. Berkali kali pula Jenar beralih bahwa emak adalah wanita mandiri dengan segala keterbatasannya. Emak bisa masak atau malah membersihkan rumah dan tanaman. Tak ada orang yang tau jika rumah itu dirawat seorang wanita yang buta. Alfian tetap dengan prinsipnya di timur, dan Jenar tetap dengan prinsipnya di barat. Dua sisi yang bertolak belakang. Jenar sering berpikir inilah yang menjadi konflik sebab musabab Alfian dua kali gagal menikah. Tapi… Jenar sudah mencintainya, Jenar juga sudah dengan tulus menyayangi emak seperti ibunya. Tapi di sisi lain Jenar juga sangat menikmati pekerjaannya, rutinitasnya. Menggunakan penghasilan sendiri tanpa intervensi. Di rumah? Mau jadi apa dia? Berkutat dengan dapur? Aaah… repotnya, mengupas bawang saja dia tidak bisa.
                Suatu sore… permasalahan itu memuncak, pecah. Jenar menghindari berdebat dengan topik yang sama dari hari kehari. Tapi Alfian terus mendesaknya, Jenar kesal dan berlalu pulang sendiri. Lagi-lagi langit gelap, siap menumpahkan air dan berdendang gemuruh.
                “Ayo… aku antar,” Alfian menghentikan sepeda motornya di depan Jenar yang sedang menunggu angkutan umum.
                “Enggak! Aku bisa pulang sendiri!” Jenar mendengus, kesal.
                “Ayolaaaah… semua bisa kita bicarakan, jangan ngambek aahh…,” Alfian mencoba lunak, nyaris merayu. Jenar tak bergeming, kesalnya sudah sampai ubun-ubun. Setiap mendengar ucapan Alfian ia menggeser beberapa langkah, Alfian mengikutinya dengan sedikit memutar gas motornya. Langit sudah mulai menumpahkan air. Jenar kering di halte, Alfian basah di atas sepeda motornya. Hujan, semua kendaraan serba terburu-buru. Alfian lengah, sebuah bis melaju kencang mengabaikan halte yang seharusnya bis  berhenti. Stang sepeda motor Alfian  terbentur dengan dahsyat, mencampakkannya hingga beberapa puluh meter, membentur trotoar, tiang besi  dan tanpa helm. Sore yang basah pecah, aroma amis darah bercampur air meyeruak. Suara teriakan Jenar tak lagi berarti apa-apa, semua kalut. Sangat kalut.
***
KISAH 7
                Ambulans meraung-raung membelah jalan, Alfian terbujur dengan nafas satu-satu bermandi darah. Jenar menangis nyaris meraung-raung dengan gamang serasa tak lagi berada di bumi. Penyesalan bukanlah lagi jawaban. Bukankah semua takdir Tuhan? Allah azza wajalla? Apakah segala impian yang sudah dirajut sempurna bisa jadi nyata? Atau malah egois memisahkannya? Yang jelas.. Jenar harus ikhlas, ketika Alfian koma. Menunggu saja dalam do’a, berharap Allah masih mau mengembalikannya. Mengembalikan Alfian dalam kehidupan nyatanya. Jenar rela jika harus tinggal di rumah, mengurus emak atau bahkan menjadi baby sitternya. Jenar rela!                             
                Apa yang lebih indah dan pedih selain daripada hujan? Air yang beraroma cinta, sejuk, basah dan jiwa yang mengambang? Hujan yang selalu mengirimkan pesan ada cinta untuknya? Hujan yang selalu menggelantung harapan tanpa batas, atau lebih tepatnya menggantung mimpi. Jenar masih menatap benang air yang jatuh di halaman rumah, duduk mendekap kaki dari bingkai jendela krem  pucat. Mata bulat kenarinya jarang berkedip, seakan ia tak ingin melewatkan setiap helai air. Helai demi helai yang seakan membingkai huruf dan kisah. Kisah hujan, yang terpatri dalam jiwa sampai ia mati nanti. Ya… sampai mati!
                Telepon berbunyi, Jenar menghapus sudut matanya yang basah. Meraih hand phone dengan malas, namun ketika melihat nama yang tampil di layar. Dadanya berdebar hemat, persendiannya serasa lepas, tangannya bergetar.
                “Assalamu’alaikum, Mak….” Airmata Jenar jatuh, perlahan.
                “Wa’alaikumsalam… Nar! Cepat ke rumah sakit… cepat! Fian sudah sadar, dia tanya kamu terus. Cepat nak… cepat!” Jenar tak lagi menjawab. Dia berlari meraih apa yang bisa dikenakannya untuk menutup aurat, tak lagi berpikir warna atau mode, meraih tas entah berisi dompet atau tidak. Berdoa komat kamit tak jelas. Jenar berlari keluar rumah nyaris panik. Mencari kendaraan apa saja yang bisa membawanya ke rumah sakit.
                Alfian sudah keluar kamar ICU, menghuni kamar rawat  putih bersih rumah sakit. Beberapa selang yang selama ini melekat ditubuhnya sudah dilepas. Hanya cairan infuse dan persiapan tabung oksigen masih siaga di sisi tempat tidur. Emak duduk disampingnya, menggenggam tangan putra kesayangannya sambil berkali-kali menghapus sudut matanya yang basah. Jenar, duduk disebelah emak, dengan tampang kacau. Memakai gamis lusuh, dengan celana piama yang mengintip dari celah gamisnya. Jilbab dengan warna tak senada, sandal jepit, dan wajah sembab. Benar-benar tak biasa untuk seorang Jenar.
                “Aku minta ma’af…. Hiks,” Jenar tersedak, hidungnya terasa penuh. Alfian masih diam, nafasnya tenang, matanya masih redup.
                “Aku ikhlas mengurus emak, berhenti kerja asal kita bisa tetap bersama,” bibir itu bergetar, air mata mengalir hebat. Begitu lelahnya Jenar seminggu ini, seminggu yang menakutkan, takut kehilangan orang yang dicintainya. Seminggu Alfian tidur dalam koma.
                “Tak usah… tetaplah bekerja. Emak katanya bisa mandiri, selama ini emak juga aku tinggal sendiri.” Pelan Alfian menarik nafas panjang.
                “Hanya aku yang terkadang khawatir berlebihan,”
                “Nggak apa.. aku ikhlas kok, rela…” Jenar menunduk dalam. Dia sudah ikhlas.
                “Sudah… begini saja,” Emak ambil alih pembicaraan, menarik nafas dan melanjutkan dengan senyum yang terbingkai manis.
                “Jenar tetap saja bekerja, tapi nanti setelah kalian punya anak barulah Jenar berhenti, karena emak tak bisa mengurus bayi, bagaimana?” emak tersenyum genit. Alfian tertawa pelan dan jenar tertunduk malu. Ahaaaayyyy…. Bukankah semua bisa dibicarakan baik-baik? Mari lepas ego kita, agar semua berjalan indah dan bahagia, ya!


*Kita sering menghargai sesuatu bila ia berada diambang hilang J
               
               
               
               
               


                                                                                                                                                                                                               

               
                 








                

Senin, 03 Oktober 2016

KISAH DALAM RINAI HUJAN


                Apa yang lebih indah dan pedih selain daripada hujan? Air yang beraroma cinta, sejuk, basah dan jiwa yang mengambang? Hujan yang selalu mengirimkan pesan ada cinta untuknya? Hujan yang selalu menggelantung harapan tanpa batas, atau lebih tepatnya menggantung mimpi. Jenar masih menatap benang air yang jatuh di halaman rumah, duduk mendekap kaki dari bingkai jendela krem  pucat. Mata bulat kenarinya jarang berkedip, seakan ia tak ingin melewatkan setiap helai air. Helai demi helai yang seakan membingkai huruf dan kisah. Kisah hujan, yang terpatri dalam jiwa sampai ia mati nanti. Ya… sampai mati!
****
KISAH 1
                Jenar baru saja membersihkan kubikelnya ketika Alfian melongok dari baliknya. Jenar sedikit menarik wajah.
                “Nar! Pulang sama aku  yaaa… kubonceng kau naik kereta,”  mata Alfian berkedip kedip lucu. Jenar melengos. Tak tertarik atau lebih tepatnya pura-pura tak tertarik.
                “Nar… ayoklah. Tak usah sombong kali, kan lumayan kalo ku bonceng, tak usah kau naik angkot,” Alfian merayu.
                “Males ahh.. mending naek angkot, daripada dibonceng kamu, ogaaahhh…” Jenar memonyongkan bibir. Alfian terkekeh senang, tidak kesal sama sekali. Sesaat kemudian dia sudah berlalu sebelum melempar senyum terbaiknya.
                “Daaaaaa… cantik. Salam sama supir angkotmu ya!” Jenar melengos kesal, Alfian tertawa dan berlalu.
                Kisah itu terulang terus menerus semenjak Jenar dipindah tugaskan oleh perusahaan yang berkantor di Jakarta ke Medan. Jenar sudah tahu rutinitas Alfian yang berusaha mengajaknya pulang sama, dan Jenar tak pernah mau menerimanya. Jenar tak tertarik pada sosok pemuda itu, si jangkung berambut ikal yang kental batak. Bagi Jenar, ia adalah pemuda berwatak kasar dan tak ada sama sekali lembutnya. Pulang bareng? Dibonceng Alfian? Jenar khawatir ntar motornya masuk got! Idiiiih… ogaaahh..
***


KISAH 2
                Hujan sedari pagi mengguyur Medan, banjir dan macet terjadi dimana-mana. Sampai menjelang istirahat makan siang, hujan masih saja turun. Jenar sudah mulai gelisah, perutnya sudah bernyanyi dan matanya sudah cukup lelah menatap layar computer. Alfian melongok dari balik kubikelnya.
                “Enggak keluar? Makan siang…”
                “Kayaknya enggak bisa keluar deh, hujannya deras banget,”
                “Yaudah.. makan sama aku  aja,”
                “Makan sama kamu? Maksudnya?” Jenar mengerutkan kening.
                “Aku bawak bontot, biasalah… masakan mamak aku. Masakan paling enak sedunia. Kau mau?    Biar kita bagi dua” Alfian menyodorkan dua kotak bekal besar, sepertinya memang cukup jika dibagi dua. Jenar ingin menolak, takut masakan ibu Alfian yang tak cocok di lidahnya. Tapi suara perutnya yang meronta membuatnya menyerah dan mengangguk. Alfian tersenyum menang.
                “Yok… kita makan di ruangan paling romantis di gedung ini, ayo!” Alfian mengajak dengan isyarat memiringkan kepalanya. Jenar ikut seperti kerbau dicucuk hidung. Alfian singgah di ruang pantry, mengambil dua piring, gelas dan sendok.
                “Kita naik ke atas, yok! Tapi ini kau yang bawak ya!” Alfian menyodorkan piring, Jenar lagi-lagi tak bisa menolak. Sampai akhirnya mereka tiba di lantai empat, nafas Jenar ngos-ngosan, tumit terasa mau lepas karena ia tak melepas sepatu dengan heels delapan  senti. Jenar mau marah, tapi lagi-lagi urung. Mereka memasuki ruangan yang selama ini Jenar belum pernah tau, lebih tepatnya ruangan meeting room dengan luas enam kali delapan meter. Alfian membuka tirai yang menutupi dinding kaca, dan… jenar terpesona.
                “Nahhhh… cantikkan? Bisa hilang stress kita kalau duduk disini. Apalagi sambil makan,” Jenar menatap pemandangan yang disajikan dari balik kaca luas dinding ruangan. Taman pinus tertata rapi, ada kolam renang berbentuk hati dengan air biru, kolam ikan dan jembatan kecilnya, bunga anggrek, bougenvile. Seperti susunan lanskap yang sempurna, ditambah lagi hujan yeng membuatnya sejuk dan basah.
                “Kok bisa ada pemandangan seperti ini di tengah kota?” Jenar tak habis mengerti dan lupa pada perutnya.
                “Itu sebenarnya taman pribadi, rumah milik konglomerat kakap di Medan ini. Rumahnya bertembok tinggi, tapi enggak sengaja dia juga sudah membagi indahnya untuk kita dari atas,” Alfian menyusun piring, membagi nasi menjadi dua bagian.
                “Duduk, sambil makan masih bisa nengok keluar. Sayurnya kau ambil sendiri ya! Seberapa maumu,” Alfian sudah mengambil bagiannya. Membalik kursi menghadap keluar dinding kaca. Jenar melakukan yang sama.
                “Nasiku sedikit aja, kamu ambil lagi ni..” Jenar menyodorkan piring, Alfian tersenyum.
                “Memang anak gadis sekarang takut kali makan, takut gemuk, hehehehe. Tapi syukurlah, jadi nambah bagianku,” Alfian tak menolak. Jenar memandang sayur yang ada di kotak bekal satu lagi, penasaran dengan bentuk sayur yang aneh.
                “Ini sayur apaan…”
                “Ini namanya daun ubi tumbok. Sayur paling enak di dunia, makanlah. Habis makan nanti kau nyandu. Apalagi mamakku yang masak, tak ada tandingannya,” Alfian kembali terkekeh.
                Makan siang yang aneh namun mengasyikkan. Aneh karena harus lelah naik ke lantai empat tanpa lift. Makan bekal nasi dan sayur yang sudah dingin. Mengasyikkan karena pemandangan yang disajikan seperti pemandangan hotel bintang lima. Alfian yang bercerita tentang ibunya yang dipanggilnya mamak. Tentang bekal yang selalu dibawanya. Tentang sayur yang akhirnya disukai Jenar. Penilaiannya  tentang Alfian berubah. Dia bukan lelaki kasar seperti yang dipikirkannya. Dia lelaki penyayang yang begitu halus budinya. Lelaki yang menghormati ibunya. Jenar tersenyum… kena lu! # 1
***
KISAH 3
                Langit gelap di sebelah barat. Sepertinya sebentar lagi turun hujan. Jenar menatap jendela kaca dengan cemas. Payung lipat  yang ada di tasnya tinggal, lupa dipindahkan ke tas yang dipakainya hari ini.  
Alfian sedang menunggu jawabannya. Seperti biasa, ngajak pulang sama, naik motor pula.
                “Ntar kalo hujan gimana dooong…” Jenar masih menatap jendela dengan cemas.
                “Makanya kita balek sekarang, sebelum hujan. Masak hujan yang ko pikirin. Cepatlah!”  Tanpa sadar Jenar sudah menyambar tasnya. Mengikuti langkah panjang Alfian menuju parkir sepeda motor. Lima menit kemudian mereka sudah di jalanan padat kota Medan, gelap semakin menggelayuti langit. Rinai mulai turun, semakin rapat. Alfian menepi, mengambil mantel dari balik jok sepeda motor, menyerahkannya ke Jenar.
                “Kamu gimana dong?” ragu Jenar menerimanya.
                “Enggak apa-apa, aku udah biasa mandi hujan, ko pake aja,”
                “Atau kita berteduh aja? Nunggu hujan reda…”
                “Enggak usah, kita harus lanjot sebelum banjir dan macet,” Alfian kembali ke sadel sepeda motor. Jenar mengenakan mantel dan kembali mereka diguyur hujan, membelah jalan.
                “Kamu singgah? Biar aku buatkan teh panas,” Ucap Jenar sambil menyerahkan mantel yang basah. Telapak tangan Alfian Nampak pucat dan biru.
                “Enggak usah,” jawab Alfian dengan menahan bibir yang gemeretuk dingin.
                “Tapi kamu kedinginan…”
                “Enggak apa, aku gak bisa lama-lama. Kasian mamak sendiri di rumah hujan deras gini,” Alfian mengenakan mantel yang sepertinya sudah tak diperlukan lagi karena toh dia sudah basah kuyup. Motor berlalu, Jenar terpaku, terpana… kena lu! # 2

BERSAMBUNG YAAA!!! J
               
                 








                

Rabu, 24 Februari 2016

JAWABAN MENJELANG JINGGA PULANG





            “ Kau tau, Din? Aku sudah mengambil keputusan dalam hidup untuk enggak mau dekat dengan lelaki,” mata Naura mengerjab-ngerjab menatap langit-langit kamar, bulu mata lentiknya turun naik dengan cepat. Dini yang sedang membaca novel favoritnya sontak berhenti karena kaget. Masa sih? Naura yang cantik ngomong gini, aiihh… biasanya kan gebetannya banyak.
            “Kok ngomong gitu? Udah dipikirin?” Dini meletakkan novelnya di atas meja belajar, menghampiri Naura yang berbaring menatap langit-langit kamar, Dini menghempaskan tubuhnya di samping Naura, kasur springbed tebal itu bergetar.
                “Iya, setiap kali aku punya pacar, mama selalu ngajak perang,” bibir Naura monyong beberapa senti, kesal. Dini terkekeh geli melihat ekspresi Naura yang lucu.
            “Emang mama kamu punya senjata? Pistol? Pedang? Atau panah?”
            “Dini! Aku serius tauuuu!!” Naura mendadak duduk, menyilangkan dua kaki jenjangnya, matanya yang cantik melotot kesal. Dini terkejut, dan dia mengambil posisi yang sama, sepertinya Naura serius.
            “Oke, fine. Aku akan mendengarmu dengan serius, ada masalah besar apa nih?” Dini menohok mata Naura dengan  tatapan tajam. Dia sebenarnya tahu apa yang dipikirkan sahabatnya. Dini tahu sifat Naura, hatinya, inginnya, egonya dan segala sesuatunya. Bukankah mereka tumbuh bersama? Usia mereka sama, orangtua mereka bertugas di kantor yang sama dan tinggal di komplek yang sama. Dan… mereka selalu sekolah di tempat yang sama. Pernah sewaktu SMP mereka pisah sekolah, apa yang terjadi? Keduanya enggak mau masuk kelas! Menangis seperti anak kematian induk, saling mencari dan orangtua mereka menyerah dan menyatukan mereka kembali. Rumah Naura ya rumah Dini, dapur Naura ya dapur Dini, kamar Naura ya kamar Dini. Yang beda sifat dan fisik saja. Naura periang, ramah, cantik, centil dan percaya diri. Badannya tumbuh ke atas dengan kulit putih dan rambut coklat tergerai. Dini? Ragu-ragu, suka buku dan kuper. Teman bicaranya yang heboh hanya Naura, dan dia seperti orang tua yang hanya mendengar celoteh Naura. Dini hanya bercanda dengan Naura, dengan yang lain ia akan mati kutu. Dini tumbuh kesamping, berkulit coklat dan rambut ikal dengan semburat mata tajam yang cerdas. Dini tak pernah merasa bermasalah dengan fisik dan hidupnya, ia sangat bahagia. Bagaimana ia punya masalah? Naura tak pernah membuat masalah, hidup aman dan nyaman saja, flat. Urusan pelajaran? Dia jago Fisika dan matematika, soal seni itu urusan Naura yang menyelesaikannya. Pendek kata, mereka seperti skrup dan mor, klop! Saya bukan lebay lho, ini fakta!- dalam imaji saya tentu, hihi…
Nahh… yang bermasalah itu ya Naura, dengan segala kelebihan fisiknya itu. Dengan sifatnya yang periang, ramah, centil dan sangat menyenangkan, hmmm…
***
            Pukul delapan malam, suara deru motor masuk halaman rumah. Mama melompat cepat dari sofa, menghampiri pintu depan, gemuruh dadanya turun naik, nafasnya sesak. Di depan pintu Naura tersenyum tanpa beban, wajah mama panas, sepeda motor telah pergi, entah dengan siapa Naura pulang.
            “Kamu diantar siapa?”
            “Doni, Ma.”
            “Kenapa tadi enggak langsung pulang? Dini jam tiga udah di rumah. Kamu enggak bisa mama hubungi, Dini enggak tau kamu kemana. Naura, ini maksudnya apa sih?”  Mama berkacak pinggang, hilang sudah kesabarannya.
            “Ahh.. Mama, masa sih? Pacaran juga harus sama Dini? Ya enggak laahh…”  Naura ingin beranjak ke dalam rumah, mama menarik tangannya.
            “Kita harus bicara, sekarang!”
            “Capek Ma! Ntar ajalahhh..,” ringan Naura menjawab, cengkeram tangan mama semakin keras, Naura meringis. Mama melemahkan cengkeramannya, mencoba mengalah, menarik nafas panjang. Ia harus menggunakan cara lain, ya… cara lain. Sepertinya mama akan gagal jika harus menggunakan emosi yang meletup-letup begini.
            “Oke, sekarang kamu mandi dan istirahat. Tapi kamu harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah kamu lakukan hari ini. Bertanggung  jawab untuk dirimu dan juga untuk mama papa. Sebelum papa pulang dari Kalimantan, semua harus selesai. Kalo enggak, mama yang selesai. Good night…” mama beranjak pergi dengan langkah yang diringan-ringankan, padahal hatinya meletup-letup. Kaki Naura terpacak kaku di lantai, wajahnya menyiratkan kebingungan. Mama yang selesai? Apa maksudnya? Dan malamya Naura benar-benar tak bisa tidur! Dan mama juga gelisah bukan main. Ada dua orang yang berjaga malam di rumah itu, mama dan Naura yang menatap langit-langit kamar masing-masing.
            Cahaya matahari yang masuk dari celah jendela membangunkan Naura. Pukul delapan! Naura lompat dari tempat tidur, gelagapan, oyong dan bingung. Buru buru ia membuka pintu kamar, tujuannya mencari mama, mengapa pagi ini mama tak membangunkannya? Seperti yang setiap hari mama lakukan? Naura mendapati mama duduk santai di teras belakang, menatap matahari terbit dari rimbun pohon palem sambil menyeruput kopi.
            “Pagi sayang…”
            “Lho? Mama enggak ke kantor?”
            “Enggak, mama izin…”
            “Trus Naura kok enggak dibangunin? Kok Dini enggak mbangunin juga?”
            “Mama udah titip surat ke Dini, kita libur bareng hari ini. Mama capek, pengen  jalan-jalan berdua kamu. Kita keluar senang-senang, anggap aja hari ini hari Minggu,” Mama tersenyum ringan, Naura malah kebingungan.
            “Tapi sebelum pergi kita beres-beres yok!” Mama bangkit, mengangkat cangkir kopinya dan membawa masuk sepiring roti bakar. Naura membuntuti sambil bengong.
            “Mbak Darmi mana?”
            “Enggak masuk, mama suruh dia libur hari ini. Biar dia fokus  ngurus anaknya yang sakit,” mama mulai mencuci beberapa piring kotor.
            “Kamu nyapu, ngepel dan membersihkan debu ya? Habis itu kamu mandi, sarapan biar kita pergi,” Naura seperti kerbau dicucuk hidungnya, nurut dan tak membantah seperti biasa. Pagi ini Naura bisa merasakan kharisma mama yang luar biasa. Sesuatu yang selama ini luput dari matanya, dari hatinya. Pagi ini mama berbeda, ia seperti melihat orang asing yang menguasai dirinya. Tapi… Naura suka, sangat suka.
            Setelah memastikan semua urusan rumah beres, mama memacu Honda brio putihnya membelah jalan yang lengang karena jam sibuk telah lewat.
            “Sebenarnya kita mau kemana nih Ma?”
            “Kamu mau kemana? Mama baru dapat bonus, kamu butuh apa?” Senyum mama mengembang. Naura memekik senang.
            “Ganti handphone ya Ma? Naura pengen yang keluaran terbaru,”
            “Kamu ingat aja apa yang kamu butuhkan Naura, bukan yang kamu inginkan,” berat suara mama dari balik kemudi. Naura melengos, ingin merengek tapi tak berani karena hari ini mama sangat berbeda. Apa yang ia butuhkan? Keningnya mengernyit aaah…Ia sudah punya semua.
            “Sepatu ya Ma?”
            “Seingat mama, masih ada sepasang sepatu yang kemaren dibeli papa belum kamu pakai,” senyum mama kembali tersungging, tapi Naura merasakan senyum mama misterius. Naura mendadak diam, tak ada alasan lagi untuk minta sesuatu.
            “Kita makan aja ya? Sambil ngobrol. Kayaknya kita udah lama enggak ngobrol dari hati ke hati,” mama membelokkan mobil di sebuah super market, memarkir mobil tidak jauh dari pintu. Sebelum masuk, mama menelepon seseorang, yang Naura dengar sepertinya mama memesan enam puluh kotak makanan. Buat apa sih? Kening naura berkerut. Belanja untuk apa mama? Tiga trolli belanja sudah penuh, rasanya hampir sepertiga isi super market sudah pindah ke mobil yang sesak. Aneka kebutuhan makanan ada mulai dari susu, biscuit, mie instant, keripik sampai permen.
            “Buat apa nih Ma? Kayaknya Naura enggak ulang tahun deh,”
            “Ayo… kita lanjutkan perjalanan, nanti kamu tahu,” mama bergegas memasuki mobil dan kembali sibuk di balik kemudi.
            Mobil terus melaju melewati perkotaan dan masuk ke perkampungan penduduk, hampir dua jam perjalanan dan akhirnya bangunan berwarna hijau nampak dari kejauhan. Sebuah bangunan layaknya rumah yang besar, halamannya luas dan dihiasi aneka tanaman dan sayuran. Di sebelah selatan ada area bermain, ada ayunan, jungkat-jungkit, prosotan dan rangka besi warna-warni. Semua terjawab ketika mata Naura tertumpu pada sebuah papan besar bertuliskan “PANTI ASUHAN SAKINAH”.
            “Disini dulu panti tempat tante Nudi dibesarkan,” mama menarik nafas panjang, seakan melepas beban. Naura tahu tante Nudi adalah sahabat mama yang selalu diceritakannya, tante Nudi yang meninggal karena demam berdarah dan urung kuliah di perguruan tinggi bergengsi.
            “Mama enggak cerita Tante Nudi besar di panti asuhan?” kening Naura berkerut.
            “Maaf, mama terlalu sibuk untuk mengajak kamu kemari,” mobil berhenti di area parkir. Seorang ibu tua keluar bergegas, dia tersenyum seakan sudah mengenal siapa yang datang.
            “Nak Nuriii… Alhamdulillah, sehat kamu sehat?” wanita itu menyongsong mama dengan ramah, memeluk mama akrab.
            “Alhamdulillah sehat, oya.. saya bawa Naura..princess saya,” mama melirik Naura, kini giliran Naura yang dipeluk si ibu dengan hangat dan haru. Naura salah tingkah tapi senang.
            “Naura yang cantik, mama sering cerita lho… tentang kamu. Akhirnya nyampe juga kemari ya? Anak-anak semua penasaran, “Nauranya bawa dong bundaaa… kita kan pengen jumpa sama princess bundaaa, hehehe..” si Ibu bercerita dengan bersemangat, matanya berbinar-binar, hidung Naura kembang kempis senang.
            “Naura, ini ibu Lisma, pengurus panti, biasa dipanggil anak-anak Bunda Lis,” wanita yang dipanggil Bunda Lis tersenyum hangat namun tiba-tiba ia seakan teringat sesuatu.
            “Oya, panti sepi nih, anak-anak masih sekolah. Gimana Naura? Mau touring panti?” Naura hampir tertawa mendengar istilah Bunda Lis tapi ia segera menggangguk.
            “Reno! Bunda Nuri datang, angkat barang-barang dari mobil, Nak!” seru Bunda Lis di pintu sebuah kamar. Sosok seorang pemuda keluar dengan tergopoh, Naura tak bisa menelan ludah karena shock. Pemuda ganteng mirip artis Aliando, kulit bersih, lebih tinggi dan kekar.
            “Itu Reno, dia kuliah di arsitektur. Kalo waktu luang seperti ini dia online, dia jualan di toko online. Lumayanlah untuk biaya dia pribadi  dan bisa bantu adik-adik  di panti,” Bunda Lis menjelaskan tanpa diminta.
            “Dia anak panti, Bun?” Naura penasaran.
            “Iya, kedua orangtuanya meninggal kecelakaan. Keluarganya enggak ada yang bisa menghidupi karena mereka menganggap dirinya enggak mampu. Reno disini dari usia delapan bulan. Dia anak yang cerdas dan pekerja keras,” Bunda Lis menarik nafas panjang.
            “Kehidupan disini banyak cerita, Naura. Masing-masing anak punya cerita, jika kamu tau, kamu pasti merasa anak paling beruntung di dunia,” suara Bunda Lis bergetar, matanya berkaca-kaca tapi sesaat kemudian ia sudah kembali tersenyum.
            “Ayoo.. ikut Bunda, kita mulai touring…” Naura terkekeh dan mengikuti langkah Bunda Lis. Naura melihat kamar-kamar yang berdipan kecil dan disusun sedemikian rupa. Kata Bunda Lis, kamar itu ada beberapa bagian. Ada kamar anak-anak, kamar balita dan kamar remaja. Bangunan rumah dibagi dua bagian, kamar putra dan putri. Untuk yang sudah dewasa seperti Reno, mereka berbagi kamar dengan adik-adiknya yang perlu bimbingan belajar, jadi seperti kakak pengasuh gitu. Untuk urusan kebersihan, semua bertanggung jawab kebersihan masing-masing. Untuk yang balita, kakak pengasuhnya yang usia remaja wajib bertanggung jawab pada kebersihan adiknya. Semua diatur layaknya sebuah keluarga besar, saling menjaga dan saling membimbing. Wajar saja panti Nampak bersih dan rapi, padahal tidak ada petugas kebersihannya. Di sebuah ruangan, lagi-lagi Naura terpaku melihat tiga bayi dan empat balita sedang bermain didampingi seorang kakak pengasuh.
            “Dia Sissy, jadwalnya ngurus adik-adik hari ini. Dia ambil kuliah malam, siang sampe sore kerja di restoran,” kening Naura berkerut, kapan istirahatnya?
            “Dia kuliah manajemen bisnis, dia Cuma punya waktu istirahat empat jam satu malam. Disini jika mau sukses harus kerja keras,” suara Bunda Lis nyaris berdesah.
            “Siang anak-anak pulang sekolah, semua berkumpul di ruangan itu sambil makan siang, disini tidak ada meja makan. Jumlah makanan juga dibatasi, kalau semua sudah makan dan masih ada sisa baru boleh nambah. Bagi makanan harus adil, enggak ada yang boleh curang, kalau enggak habis dan ingin berbagi ke saudaranya ya silakan… tapi enggak boleh minta. Yang besar harus sayang sama yang kecil, tidak boleh membully, dan si kecil juga harus hormat sama yang tua,” panjang lebar Bunda Lis menerangkan.
            “Yang menjaga panti dan anak-anak disini hanya Bunda dan Pak Rahmat. Ada tiga orang yang membantu di dapur untuk menyiapkan makanan anak-anak. Donatur ada juga dokter dan pengusaha, salah satunya Nuri, mama kamu,” Bunda Lis menarik nafas jeda.
            “Jika anak-anak tidak saling menjaga, siapa lagi?”
            “Berapa orang ada di panti ini Bun?”
            “Empat puluh orang, termasuk Reno dan Sissy. Yang keluar panti juga sudah banyak, umumnya mereka sudah bekerja dan mandiri. Sering mereka mengunjungi panti, tapi banyak juga yang di luar kota bahkan luar negeri,”
            Waktu berjalan, matahari terasa terik. Sebuah mobil L 300 memasuki halaman, begitu pintu mobil terbuka, kaki-kaki lelah berlompatan turun. Suara-suara kicauan anak-anak dan remaja tumpah menjadi satu, tertawa-tawa ramai seakan tanpa beban. Di pintu, salam bersahutan dan mendadak mereka diam, memerhatikan sosok Naura yang asing. Mama berdiri, semua tersenyum menyerbu, lupa pada Naura yang mematung.
            “Ayoo.. semua, kenalin.. ini Princessnya Bunda Nuri, Nauraaa!” Mama seperti host amatir memperkenalkan Naura yang  sempat bingung. Mendadak semua meyerbunya, menyalami bahkan memeluknya. Ada yang memakai rok merah, biru dan ada pula yang seumuran dengannya. Naura seperti princess betulan, seakan sosoknya memang sudah dinantikan. Setelah nasi makan siang pesanan mama datang mereka makan siang bersama. Naura bisa merasakan kebahagiaan yang lain, kebahagiaan berbagi. Naura melihat bagaimana Sissy dan dua gadis masih berseragam putih abu-abu membagi makanan yang dibawa mama. Semua harus akurat, tidak boleh ada yang lebih dari yang lain. Mereka semua sholat zuhur berjama’ah di ruangan yang sama setelah disulap jadi musholla kecil. Dan.. yang menjadi imamnya adalah si ganteng Reno, yang suara takbir dan do’a selesai sholatnya mampu membuat Naura klepek-klepek badai. Hihihi…hayyyoo…
***
            Nudi bertubuh mungil dan terkesan ringkih. Kulitnya coklat muda bersih, rambutnya ikal, alisnya tipis, berhidung tidak terlalu tinggi. Yang membuat Nudi istimewa adalah otaknya yang cerdas. Ibarat lem, pelajaran apa saja dapat lengket di kepalanya, tanpa kecuali. Biasanya, teman Nuri punya spesifikasi kecerdasan, Dino cerdas di Fisika, Kimia dan Matematika tapi lemot di pelajaran IPS dan sejenisnya. Alasannya dia tak mampu menghafal dan berimprovisasi, dia hanya bisa yang pasti. Nuri lebih cerdas di IPS ketimbang yang pasti. Karena, menurutnya dia bisa mengurai setiap pertanyaan dengan panjang lebar, karena toh semua jawaban pasti benar. Menghafal? Juga lebih mudah karena dia bisa berimprovisasi dan menggunakan bahasanya sendiri. Tidak ada kebenaran mutlak dalam pelajaran sosial. Tapi Nudi bisa semuanya! Dia adalah sahabat istimewa yang otak kanan kirinya sama besar dan sama hebat.
            Nudi dibesarkan di Panti Sakinah dan ia tak pernah mengenal ayah ibu atau sanak saudara. Saudara dan ibunya adalah orang yang ada di panti dan bernasib sama dengannya. Setiap hari ia berjalan lebih dari satu kilometer menuju SMA Negeri di kota. Sehari-hari bekal Nudi adalah dua potong roti dan sebotol besar minuman yang sudah habis setengah ketika ia sampai di sekolah. Nudi tak pernah punya uang saku. Nudi sebangku dengan Nuri, saling berbagi cerita dan belajar bersama. Nuri tahu benar keadaan sahabat baiknya ini dan hidupnya. Nuri selalu berbagi bekal dan jajan dengan Nudi. Pulang sekolah ia dijemput papa dengan sepeda motor dan Nuri selalu berbagi boncengan dengan Nudi. Mereka akan mengantar Nudi ke panti, memastikan semua baik-baik. Tak jarang Nuri betah bermain lama-lama di panti bersama anak-anak panti yang lain.
            Selesai EBTANAS di SMA, Nudi dan Nuri mendapat kabar baik. Mereka lulus PMDK di Perguruan Tinggi Favorit. Dunia berbunga-bunga, harapan masa depan Nudi terpampang indah di depan mata. Setelah wira-wiri ke sana kemari, Nudi mendapat sponsor beasiswa. Dia adalah seorang donatur tetap di panti. Seorang pengusaha kaya yang baik hati. Kebahagiaan, keyakinan dan bunga-bunga itu justru menimbulkan musibah yang tak akan dilupakan Nuri seumur hidupnya. Nudi demam, mereka tetap sibuk mempersiapkan diri menuju ke perguruan tinggi yang diimpikan. Nudi berpikir ia demam biasa saja, mereka sibuk mengurus kelengkapan berkas, buku-buku dan rencana-rencana. Mereka sibuk menyambangi perguruan tinggi yang diimpikan, duduk dibawah pohon rindang fakultas dan tertawa-tawa. Nudi sudah menyusun rencananya dan ditempel di dinding kamar panti. Sampai akhirnya pada malam itu Nudi menggigil dan merasakan ada sesuatu yang mengalir dari hidungnya, darah. Nudi mencoba tenang, tapi ketenangan itu berubah panik ketika ia muntah dan mengeluarkan cairan merah pekat sama dengan cairan yang mengaliri hidungnya. Malam pecah, Nudi dilarikan ke Rumah Sakit terdekat dan tak tertolong. Impian itu padam, selesai tepat azan subuh mengumandang. Nudi pergi.
            Nuri terpukul dan sangat kehilangan, mengunjungi panti seakan ia masih melihat Nudi sibuk dengan buku-bukunya, membaca, bercerita, tertawa. Mengunjungi panti dan berbagi adalah cara melepas rindu pada sahabatnya, Nudi. Jika Nuri tidak punya uang saku lebih ia tetap akan memberi buku atau alat tulis atau apapun yang ia miliki untuk anak-anak panti. Sampai akhirnya Nuri menikah, dia sudah wanti-wanti kepada suaminya agar diizinkan bekerja, agar bisa berbagi untuk anak-anak panti.
            “Sebaiknya kamu urus keluarga saja, Ri. Aku bisa mencukupi semua biaya hidup kita. Kamu bisa fokus mendidik anak kelak jika kita dikarunia anak,” kata suaminya suatu kali.
            “Izinkan aku bekerja, Mas. Insyaallah aku tetap memproriataskan keluarga kita. Aku ingin dapat memberi lebih kepada anak-anak Panti Sakinah. Aku menyayangi mereka,” mata Nuri berkaca-kaca. Rijal, suaminya menarik nafas panjang.
            “Baiklah, aku percaya. Dan yang paling penting kamu harus menjaga kepercayaanku ya?” Rijal membelai rambut lurus istrinya yang tersenyum lega.
            Jadilah Nuri bekerja pada satu perusahaan BUMN ternama. Kerjanya bagus, dan karirnya tentu juga bagus. Semua dijalani dengan tenang, walau bekerja tapi keluarga adalah segalanya. Ketika seorang bayi wanita mungil lahir dan kemudian diberi nama Naura Fatya Rijal, lengkaplah kebahagiaan. Nuri selalu memanfaatkan quality time, memberi ASI ekslusif, menyanyikan senandung sebelum tidur, berkomunikasi dengan putri kecilnya yang cantik dan lucu. Tak jarang ia masih memakai seragam kantor sampai menjelang tidur karena tak ingin kehilangan waktu dengan si kecil. Naura tumbuh menjadi gadis cantik yang percaya diri. Tapi ketika memasuki masa SMA Nuri mulai bingung karena putrinya seakan lepas kendali. Apa yang harus dilakukan? Apa yang harus dipertanggung jawabkan pada suaminya?
***
            Matahari di sebelah barat mulai merona jingga, dua perempuan anak beranak itu duduk di tepi sawah di pinggir jalan sepi, menatap langit.
            “Sayang, itulah mengapa Mama katakan jika kamu bertingkah liar, Mama akan selesai.” Nuri, mama Naura menarik nafas panjang, melipat kakinya menatap langit, mengusap sudut matanya yang basah.
            “Mama harus punya waktu lebih mengawasimu, mendengar keluh kesah dan curhatmu, membimbingmu. Mama harus berhenti bekerja, resign. Mama sudah komitmen dengan papa akan menjadikanmu anak berguna” mama sesenggukan, Naura tercekat, mengapa sampai sejauh itu?
            “Mungkin jika mama di rumah mengurusmu akan lebih baik,”
            “Maaaa… ma’af. Naura enggak punya maksud gitu. Naura enggak mau pergi-pergi lagi sama cowok, rajin belajar, enggak lagi ninggalin sholat, janji. Mama tetap aja kerja, biar kita bisa kasih sumbangan buat anak-anak panti…” kini Naura yang sesenggukan, mama memeluknya dengan kasih sayang penuh. Mama mengalirkan kehangatan pada belahan jiwanya.
            “Naura menyesal kenapa enggak mama bawa dari dulu ke panti. Naura jadi lebih bersyukur dengan apa yang Naura punya. Kecukupan dan kasih sayang, Naura ngerti sekarang….” Mama menghapus air mata putrinya. Ia selama ini tak ingin mengajak Naura ke panti, karena tak ingin Naura melihat kesedihan di sana. Tapi itu justru tindakan yang salah. Azan maghrib berkumandang dari masjid kecil di tepi sawah, mereka bergegas.
            “Mama… Princess udah gak galau lagi,” bisik Naura di telinga mama.
            “Kenapa?”
            “Karena Princess mama udah tau tujuan hidupnya,”
            Alhamdulillah, terus masih pacaran sama Doni?”
            “Enggak aahhh… besok Naura putusin. Reno lebih keren dan sholeh, hihihi…” Naura terkikik, mama melotot dan mencubit lengannya. Memang anaknya belum tahu apa itu cinta, enak saja memutuskan hubungan tanpa beban.
            “Sekolah duluuuu… belajar dulu…”
            “Iya mama sayaaaang…”
            Jingga di langit ditutup dengan sholat maghrib di masjid tepi sawah yang sejuk. Mereka menembus gelap, kembali pulang . Naura ingin segera berbagi cerita pada Dini. Ingin segera menemui pagi.

*Bersyukurlah dengan apa yang kamu miliki. Bersyukur dengan cara bijak, memanfaatkan waktu dan mengisi kehidupan dengan kebaikan. Di sekitarmu betapa banyak anak-anak yang kurang beruntung. So.. jangan pacaran melulu tauuukk J wkwkwkwkwk.. bravo!!