Senin, 16 April 2012

SURAT CINTA UNTUK KEKASIH

SURAT CINTA UNTUK KEKASIH
Assalam’alaikum, kekasih….
Tak terasa, kita sudah sembilan belas tahun bersama. Mengarungi hidup kita, merajut hari demi hari, menyusun waktu demi waktu, melewati gelap dan terang.
Kasih… pahit getir kita hadapi bersama, kita saling support, saling koreksi, saling instropeksi. Betapa indah hidup yang telah dianugerahkan untuk kita.
Kasih….masih ingatkan? Ketika rumah tangga kita diawali dari sebuah persahabatan, persahabatan yang dingin. Ketika aku mengajakmu menikah, karena aku tak ingin berpacaran. Bagiku, pacaran sama saja memupuk dosa, karena kita manusia biasa. Kasih….kita melakukan semua itu karena Allah. Aku mencintaimu karena Allah, karena kau adalah lelaki saleh yang bisa menjadi Imamku.
Masih ingatkah kau Kasih? Ketika kita menelusuri jalan malam diiringi gonggongan anjing, ketika kita pulang dari mengenalkan AlQur’an dari rumah ke rumah?. Ketika aku hamil si sulung kita masih melakukan itu semua, mengajarkan AlQur’an dari rumah ke rumah. Kita selalu bahagia meski tidur di dipan tak bertilam, kita bahagia meski makan sebungkus nasi dibagi berdua. Kita merasa betapa Allah sangat menyintai kita, kita selalu dicukupkanNya. Kita tak pernah mengeluh satu sama lain, kau adalah lelaki luar biasa, yang mampu mencukupkanku dalam segalanya. Terutama cinta karena Allah itu….
Alhamdulillah Kasih….Allah memang luar biasa, menyintai kita.
Kini, kita dianugerahkan empat cahaya mata. Yang membuat hidup kita semakin berwarna, amanah Allah yang harus kita jaga. Kita bahagia ketika mereka bisa membaca kitab Allah, karena engkau selalu menetapkan harga mutlak bahwa AlQuranlah yang harus pertama mereka baca, bukan buku. Memang, Allah telah menganugerahkan Imam yang luar bisasa untukku.
Kini, kita bisa melindungi anak-anak kita dari panas dan hujan, memberi mereka kehangatan dan kasih saying. Memberi mereka pendidikan dan makanan yang terbaik.
Kasih…. Betapa Allah sangat menyintai kita. Terkadang aku malu, masih layakkah aku meminta dariNya?. Aku ingin kita diberinya waktu bersama mendidik anak-anak kita hingga dewasa, berarti bagi agama dan sesama. Sempat menikmati tawa lucu cucu-cucu kita, duduk menua bersama sampai habis batas waktu kita. Tapi, bukankah kita hanya hamba?. Hamba yang selalu mengharap kasih sang pencipta, mengharap ridhoNya?.
Kasih….aku masih terus berdo’a, karena semua berjalan atas kuasaNya. Semoga Allah memberi kita keberkatan umur panjang, anak-anak yang sholeh. Semoga Allah terus menganugerahkan kita cinta yang tak pernah padam. Cinta tulus karenaNya.
(19 tahun usia perkawinan kita)

Selasa, 03 April 2012

CERPEN

MY LOVE BLACK BERRY
Rahimah Ib

Dengan wajah mengkerut, aku berjalan menyusuri koridor sekolah menuju parkiran sepeda motor. Resti berusaha mengejarku dari belakang, membawa kepayahan tubuhnya yang tambun, ia menarik lenganku.
“ Wen.. sorry lah…aku enggak sengaja, bener! Swer!, “ Resti mengangkat dua jari tangannya membentuk V. Aku tak bergeming, mengeluarkan Mio ku dari jajaran sepeda motor yang diparkir, memang sudah saatnya pulang. Tak sedikitpun kuperhatikan wajahnya yang memelas, aku dingin.
“ Wen…..sorry…” Resti memelas. Aku bisu dan ngeloyor pergi, langit buram, pekat, sepekat hati dan pikiranku.
Di kamar, aku masih memperhatikan bangkai Black Berryku. Penampilannya kacau, layar monitor pecah, keypad porak poranda, hancur leburlah sudah. Kuremas-remas rambutku yang panjang, kutarik-tarik kesal. Bagaimana aku bisa hidup tanpa benda ini?, bagaimana aku bisa hidup tanpa Hand Phone dan internet?. Biasanya, aku sangat eksis di dunia persahabatan dunia maya. Semua yang kulakukan ku update ke face book atau twitter. Misalnya lagi jalan kemana, lagi belajar, lagi bete ujian, atau hal remeh-remeh lainnya. Tapi sekarang? Apa yang bisa kulakukan tanpa BB ku tercinta?. Aku tak bisa lagi BBM-an dengan teman-teman gengku. Aduuuh…. Kuhentak-hentakkan kaki ke lantai kamar, ingin menangis.
Siang tadi, kejadian itu sangat singkat dan sederhana. Jam istirahat selesai, aku masuk kelas, masih bercanda dengan Wiwid, si model temanku sekelas. Tiba-tiba, tali sepatuku lepas dan aku berusaha menunduk untuk mengikatnya kembali. Aku lupa pada Black Berryku yang ada di saku baju, maka lompatlah dia. Black Berryku tercinta di sambar kaki Resty yang asyik jalan sambil menghabiskan makanannya, krakkk….aku berteriak tapi terlambat. Black Berryku hancur diinjak gadis yang punya berat badan hampir seratus kilo, seisi kelas menganga takjub, aku ingin menangis. Hiks hiks hiks nasibku….
Malam ini, aku berniat memelas pada Mama. Aku akan memasang wajah paling pilu, menekuk bibir, menyipitkan mata, atau apalah namanya, yang penting Mama akan iba padaku. Aku akan menangis sedih, sesenggukan, merengek manja, menciumnya, pasti Mamaku yang baik dan cantik akan luluh pada anak perempuan semata wayangnya. Aku akan minta Mama mengganti BB ku yang siang tadi hancur lebur, tak usahlah yang keluaran terbaru, yang Gemini juga boleh. Aku berharap, sangat berharap Mama akan luluh. Selama ini, Mama memang selalu luluh atas semua permintaanku.
Makan malam tiba, ehee…show time. Seperti biasa, saat makan malam kami selalu bersama. Makan siang, kami berpencar. Bang Reza makan siang di kampusnya, Papa di kantor, aku di Sekolah, hanya Mama yang di rumah. Mama punya usaha catering, tapi aku makan siang beli diluar, malas bawa bekal, tidak praktis.
“Mama....” aku mulai percakapan setelah suapan terakhir. Mama mendongakkan kepalanya, Papa dan Bang Rizki juga. Aku mulai jurus kedua, menghidangkan BB ku yang hancur di meja makan. Mama melotot kaget, Bang Rizki tersedak, Papa seperti biasanya tenang, cool.
“Lho.. Wen, kenapa jadi gini?”, Mama buru-buru minum dan mencuci tangannya. Tradisi di keluarga kami, makan selalu menggunakan tangan. Kata papa, telapak tangan kita mengandung zat yang membuat makanan cepat membusuk di dalam perut, sehingga proses pencernaan lebih cepat dan mudah.
“Kepijak Resti ma, jam istirahat tadi....,” kutekuk wajahku dengan cahaya mata pilu. Sudah kuusahakan semaksimal mungkin.
“Udah... minta ganti aja” sambar bang Rizky sambil menyuap buah pisang kesukaannya.
“Mana mungkin Resty nginjak BB Weni kalau tersimpan rapi atau didalam kantong, ceritanya gimana?” Papa angkat bicara.
Malam ini, aku menceritakan kejadian siang tadi di depan orang-orang tercintaku. Tentu saja aku sedikit mendramatisir agar mendapat simpati, Bang Rizki cengengesan bagai Kambing lapar mendengar ceritaku. Aku melotot, dia melengos mengejek, jengkel aku melihatnya.
“Mama... aku minta ganti yang baru ya?” aku mulai merayu Mama. Mama tersenyum manis, tapi tidak mengangguk.
“Nanti Mama bicara sama Papa dulu ya?”
“Oke, kapan kepastiannya Ma?. Aku enggak bisa hidup tanpa BB ku Ma, please...” kupeluk Mama, kucium Mama, itu jurus berikutnya.
“Makan malam besok, oke?.” Yess!! Aku deal dengan mama. Papa masih tenang menghabiskan buah pencuci mulutnya, Papa memang sosok laki-laki ganteng yang kalem. Pasti Mama dulu tergila-gila padanya. Bang Rizky memerot-merotkan bibirnya, pasti ia iri aku akan memiliki BB yang baru, yess!!!.
Hari pertama sekolah tanpa BB, aku tersiksa. Aku ketinggalan berita panas, Pak Zulkarnaen guru Bahasa Inggris masuk Rumah sakit terkena stroke. Lebih hebat lagi, dia terserang stroke habis marah-marah dengan siswa kelas XI IPS 2 yang katanya seperti Kadal busuk. Hari ini, anak XI IPS 2 hilang cahaya kegirangan yang selama ini selalu memancar liar tanpa batas. Merasa bersalah?, mungkin. Merasa lega?, mungkin juga. Kalau menurut pendapatku, mereka memang keterlaluan, malas belajar dan selalu jadi pecundang. Yang hebatnya lagi, mereka bangga dengan tingkahnya, amit-amit. Aku pernah dengar, guru-guru mengistilahkan kelas mereka ibarat kandang Macan, hiiiii......
Gosip hot kedua, Mutia berhasil menarik perhatian Riko si ganteng jago basket, jago futsal, jago musik dan tentu saja jago menarik perhatian siswi-siswi centil sekolah kami. Kabarnya, tadi malam mereka makan dan nonton.
“ Beruntung tuh si Mutia, bisa keluar ama Riko “ celetuk si Wiwid sang model, temanku sekelas. Secara fisik, tentu saja Wiwid lebih unggul dari Mutia yang kecil mungil dengan mata kucing yang lucu.
“ Kok bisa ya Wen?....” Wiwid mendesakku penasaran.
“ Mana aku tau Wid, tanya aja sama si Riko...” jawabku seenaknya. Wiwid melotot, menarik rambutku.
Hari ini, pembicaraan teman-teman seputar dua kabar tadi. Aku sama sekali tak tertarik. Yang ada dalam pikiranku hanyalah bagaimana waktu bisa cepat berjalan, malam tiba. Biasanya, setelah ada keputusan, kami langsung berangkat mencari apa yang aku minta atau aku butuhkan. Duhai malam.... cepatlah datang.
Keputusan malam ini ternyata cukup mencekikku. Kuremas-remas jemariku dari bawah meja makan, semuanya serius.
“Untuk bisa mengganti BB mu yang hancur, kamu harus kerja“ Papa mengeluarkan suara baritonnya. Aku mulai cemas, jantungku berdegup kencang, darahku berdesir-desir, kerja apa?. Kenapa Mama Papa jadi tega?, aku kan masih sekolah?.
“ Ya Wen, kamu harus bantu Mama....” Mama duduk membusungkan dada, tegas.
“ Gimana caranya Ma?” aku mulai pasrah dan patah hati.
“ Kamu setiap pagi temani Mama belanja, kamu sopirin Mama” aku tersentak, nyaris terlonjak dari dudukku.
“ Pake mobil Mama?...”
“ Enggak, kamu bawa pickup”.
“ Biasanya kan bang Rizki....”
“Bang Rizki cuti, dia ujian.Kamu yang ambil alih, gimana?”, Mama mencondongkan wajahnya kearahku. Aku ingin menangis, haruskah Mama menyiksaku seperti ini hanya karena sebuah BB?. Menemani Mama belanja kebutuhan catering tentulah sangat menyiksa. Aku harus bangun pukul empat pagi, menembus gelap yang berembun, menjelajahi pasar tradisional yang becek. Tapi, aku butuh BB itu. Aku punya tabungan, tapi semua di pegang Mama, aku tak boleh pakai ATM atau credit card yang memang tak perlu.
“ Imbalannya gimana Ma?” aku mulai berdamai dengan nasib.
“Lima puluh ribu untuk nemani Mama belanja, kalo mau tambahan lima puluh ribu lagi kamu cuci peralatan masak, gimana?”
“Mama.... kapan cukupnya kalo segitu....,” mataku mulai panas. Sedih sekali mendapati diri tersudut seperti ini dan Mama yang tak mau berdamai.
“Ya... sampai cukup. Semua terserah kamu, deal or no deal”, Mama mengacungkan tangannya sebagai isyarat. Aku terpuruk kalut. Papa makan buah dengan tenang, Bang Rizki memainkan ujung taplak meja tak mau menatapku, mungkin dia kasihan dan iba pada nasibku.
Apa lagi yang bisa kulakukan selain menyerah pada keputusan ini?. Setiap hari menemani Mama belanja di pagi buta dengan mobil pickup. Kalau mau tambahan, aku sepulang sekolah harus mencuci peralatan masak yang menggunung. Aku mulai berhitung, berapa yang harus aku hasilkan untuk mendapatkan sebuah BB?. Ternyata, aku harus bekerja sebulan!, itupun dua pekerjaan yang harus kuambil, mengantar Mama belanja dan mencuci peralatan masak, aku ciut.
Atau.. aku menekan Resty supaya mengganti BB ku yang sudah diinjaknya?. Ah... terlalu sekali, itu sama saja menjatuhkan harga diriku sendiri. BB itu terinjak karena jatuh dari kantongku, tentu aku yang ceroboh. Itu kata Papa kemarin, jangan salahkan orang lain karena sumber awal kesalahan dari Weni sendiri.... Huaaa.. malam yang kelam. Dalam remang cahaya kamar, aku menangis.
Pintu kamarku diketuk, aku menggeliat mengumpulkan kesadaran yang terpencar, mengutip nyawa yang terurai. Aku bangkit malas, ngantuk sekali, aku tak terbiasa bangun sepagi ini. Mama berdiri didepan pintu, memakai jaket rapat.
“Ayo... berangkat, mobil udah dipanasi Papa...,” aku mengangguk dan segera kekamar mandi mencuci muka. Aku berangkat masih memakai piyama tidur yang dilapisi jaket.
Pemandangan yang menakjubkan, aku ternganga. Ternyata pasar tradisional sudah ramai sekali. Cahaya lampu neon berpendar kemana-mana, terang benderang. Tak ada yang mengantuk, semua ceria bersemangat. Ada juga anak seumuran denganku yang duduk menemani orangtuanya berjualan. Ada bayi yang dalam gendongan, ada gerobak aneka makanan. Menarik sekali, tak pernah ada dalam bayanganku sekalipun!.
“Weni ikut Mama mutar atau nunggu di sini? “ suara mama menjentikku, kami berada di gerobak aneka makanan menu sarapan, ada beberapa kursi dan meja disitu.
“Disini aja Ma, Weni mau minum teh panas, dingiiinn” kujawab sambil merapatkan jaket. Mama mengangguk manis. Kuamati suasana pasar subuh ini, menarik. Suasana yang menyenangkan dan sebelumnya tak terpikirkan.
Jam istirahat pertama, aku sudah puluhan kali menguap. Wiwid terheran-heran, aku tak mau menceritakan pekerjaan baruku, tak penting. Dia bertanya penasaran atas sifatku hari ini, layu terkantuk-kantuk. Aku jawab bahwa aku belajar sampai dinihari, Wiwid melongo bingung. Kapan aku mendadak rajin belajar sampai dini hari? Its imposibble thing!, agaknya Wiwid tahu itu, tapi dia tak mau bertanya lagi.
Pekerjaan kedua, aku harus mencuci tumbukan peralatan masak yang kotor. Mbak Mus sengaja meninggalkan kekacaaun ini atas perintah Mama, boss nya. Jam sudah menunjukkan angka empat sore, aku hampir prustasi, ngantuk, capek menggelayuti seluruh sendi dan nadiku. Tapi aku harus berjuang demi BB itu, jika aku menyerah berarti aku harus menunggu lebih lama lagi untuk mendapatkannya. Aku berganti pakaian, menggunakan pakaian tempur, menyingsingkan baju dan mulai bekerja.
Selepas maghrib, nafasku tinggal satu-satu. Berjuang aku membuka mata yang tinggal lima watt. Ada pe-er Fisika yang harus aku selesaikan, jika tidak, aku harus rela dihukum berdiri didepan kelas. Berdiri didepan kelas? Wah... sakitnya tidak ada, tapi malunya ini.
Suara pintu kamar diketuk, aku tersentak lompat. Ya tuhan.... aku tertidur di meja belajarku!. Buku Fisika dibasahi air liur, tugas belum selesai, sekarang sudah pukul empat subuh, jadwalku menemani Mama belanja. Aduuuhhhh.....
“ Weni.. cepat sayang.. nanti kita terlambat, kamu kan juga harus Sekolah...,” terdengar suara Mama dari balik pintu. Tak ada waktu!, aku berlari kekamar mandi mencuci muka. Setengah sadar kutarik jaket, kuselipkan buku latihan didalam buku Fisika , ku comot pulpen dan berlari menyusul Mama yang sudah menunggu di dalam mobil.
Jadilah hari ini aku mengerjakan tugas Fisika dalam cahaya lampu pasar ditemani segelas teh manis panas. Cek Mad sipemilik gerobak senyum-senyum takjub, aku tak begitu memperhatikan orang yang lalu lalang. Targetku, tugas harus selesai. Pak Togar akan tersenyum sambil berkata “ Hebat kau bah!”. Itu kata yang selalu diucapkannya jika kami mengerjakan tugas tepat waktu. Jika tidak? Dia menyuruh kami berdiri sambil berkata
Tak kau hargai waktu yang sudah dikasi tuhan, berdiri kau disini sampai jam pelajaran bapak selesai ….wuihh.. malunya.
Kututup buku latihan Fisika dengan tersenyum puas, Mama sudah selesai belanja. Tumpukan belanjaan diangkat ke pickup oleh Towo, si penjual plastik kresek yang dijajakan ke pedagang yang kekurangan plastik. Mama akan memberi tip untuknya, dia sangat senang. Towo anak seusiaku yang putus Sekolah, badannya kurus dan kulitnya pekat. Tapi dia selalu tersenyum lebar pada siapapun, Towo sangat ceria. Agaknya, dia selau memandang hidup dari sisi positif.
“Anak kakak hebat ya?..mau ngawani* Mamaknya belanja pagi-pagi, rajin belajar pula, cantik lagi..ckckckckck”, Cek Mad berdecak-decak sambil menggelengkan-gelengkan kepalanya yang agak botak. Aku tersenyum kecut, tak taukah kau Cek Mad aku rajin karena bersebab?. Jika tidak karena BB ku yang sudah almarhum itu, tak sudi aku pagi buta melanglang buana seperti memburu kodok di sawah.
“ Iya.. dia anak kakak perempuan paling kecil”
“ Adik si Rizki, Kak? “, tanya Cek Mad berbasa-basi. Mama mengangguk, cahaya matanya begitu bangga.
“ Rizki mana kak? Sakit? “
“Enggak, dia sedang ujian, jadi sementara diganti sama Weni”, Mama menerangkan sesuatu yang kuanggap tidak perlu, Cek Mad mengangguk-angguk.
Hari kedua, kantuk ini masih ada. Hanya tak sedahsyat kemarin. Aku hanya beberapa kali menguap, Wiwid tak bertanya lagi. Entah mengapa, ada kepuasan luar biasa hari ini, mungkin karena dinamika yang aku jalani. Menyelesaikan tugas dengan penuh perjuangan. Menyaksikan senyum Towo yang putus Sekolah seakan tanpa beban, padahal dia hidup penuh kepedihan dan ketidak pastian. Aku?, aku hidup selalu nyaman penuh kasih sayang dan fasilitas. Biasanya, aku perlu apa-apa tinggal minta. Tapi kali ini....ah! sudahlah, aku memang harus menjalaninya. Mungkin Mama Papa harus mengajarkan aku tidak mudah untuk mendapatkaan sesuatu . Inilah saat yang tepat bagi mereka mendidik aku, aku harus berbaik sangka.
Entah mengapa, seminggu tanpa BB aku mulai terbiasa. Papa benar, kebiasaan yang membuat orang memiliki ketergantungan terhadap sesuatu. Terbiasa BBM an dengan teman, chating, FB dan sebagainya membuat aku tergantung pada BB ku. Kini, ketika seminggu aku terbiasa dalam sepi informasi, aku serasa tak begitu ingat akan kehilangan BB ku. Tapi, bukan berarti aku lepas target. Sebulan ini, tugasku harus selesai dan mendapat imbalan BB yang kuharapkan. Aku akan memulai lagi kebiasaan yang mengasyikan, meninggalkan kerja rodi ini dan bisa tidur nyenyak sampai jam enam!.
*****
Aku tersenyum puas, kini BB baruku ada dalam genggaman. Aku bisa mulai lagi kehidupanku yang sebulan ini nyaris hilang. Aku akan mulai bisa tertawa tanpa beban, jalan-jalan dengan teman, makan es krim atau sekedar nongkrong menjelang jam les tambahan pelajaran. Wiwid, Resty dan Anjar terkagum-kagum menyaksikan BB ku yang baru.Mama berbaik hati membelikanku BB keluaran terbaru, Bang Rizki malah memberiku aneka asesorinya, Papa menciumku sayang. Ya Tuhan... aku diperlakukan seperti orang yang menang perang!, hahahaha...
Aku melompat dari tempat tidur, mencuci muka, meraih jaket dan lari keluar kamar menuju garasi. Mama terpaku berdiri ditempatnya, Bang Rizki terpelongo. Bukankah hari ini aku sudah bebas tugas?, bukankah aku hari ini bisa tidur nyenyak sampai jam enam nanti?, akupun bingung dengan diriku sendiri.
“ Kok Weni udah bangun?...”
“ Enggak tau Ma..”
“ Udah Wen, Weni kan udah bebas, biar Bang Rizki yang antar Mama...” Bang Rizki menstarter mobil. Aku masih bingung, menatap Bang Rizki dan Mama bergantian.
“ Weni ikut.....” aku segera naik ke mobil, Mama terlongo-longo.
Biarlah mereka bingung, aku tak peduli. Aku sudah memiliki ritme kehidupanku yang baru, dan aku kini bahagia menjalaninya. Tak ada lagi beban yang sebelumnya memenuhi hati dan kepala, yang ada kini hanya bahagia. Aku mulai bisa menghargai segalanya, ya.... segalanya yang aku punya.

Medan, September 2011
* Menemani

Telah diluas FAM Indonesia Maret 2012