Rabu, 30 Mei 2018

MENJEMPUT IMPIAN DI KEUKENHOF (16)


MUSIM DINGIN PERTAMA  (16)
            Langit buram, angin bersuit-suit ditelinga. Daun yang menggantung pada pohon eik bergoyang liar. Kurniawan benar, cuaca di Rotterdam agaknya sama dengan belahan dunia yang lain, kacau balau. Di negeri ini, prakiraan cuaca wajib di ikuti dari Televisi atau didengar melalui siaran radio Netherlands setiap hari. Terkadang, dikatakan panas tapi bisa tiba-tiba hujan atau malah turun salju. Teman-teman selalu siaga, sarung tangan, topi kupluk dan kacamata hitam selalu ada di dalam tas ransel. Sementara aku sama sekali belum terbiasa siaga, karena aku datang di musim semi dengan pancaran matahari yang hangat.
            Atas saran Hafeed dan teman yang lain, aku harus menyiapkan beberapa coat, menambah jacket, sarung tangan, topi dan kacamata hitam dan kaos kaki tentu saja. Bersama Kurniawan kami bersepeda ke pasar Blaak, kami memilih pasar Blaak karena sisini banyak dijual barang second hand dengan kondisi baik dan harga terjangkau. Belanda adalah Negara makmur, ada hari yang dinamakan “Hari Ratu”, karena memperingati ulang tahun Ratu Beatrix. Pada hari itu orang akan menjual barang yang dianggap tidak perlu lagi dengan harga murah dengan kondisi yang sangat baik. Aku dan Kurniawan akan memburu barang murah itu.
            Pasar Blaak ada setiap Selasa dan Sabtu. Kalau di kampung-kampung Indonesia  itu disebut “Pekan”. Tapi tentu saja pasar Blaak berbeda dengan Pekan di kampung Indonesia. Pekan di Indonesia kumuh, berbau tak sedap, sama seperti di pasar tempat aku dan Emak berjualan sayuran. Pasar Blaak bersih, rapi dan koopman yang tertib.
            Barang yang kami cari cukup banyak mode dan rupanya. Ada coat merah bata, hijau, atau coat yang berasesoris atau berbulu halus. Aku yang tak mengerti kebingungan, untunglah Kurniawan membantu untuk mencari apa yang kubutuhkan. Kami berdiskusi panjang hanya untuk membeli coat dan perlengkapan musim dingin lainnya, si pedagang bingung mendengar bahasa kami.
            Where are you come from?” tanyanya dengan bahasa Inggris logat Belanda
            “From Indonesia, do you know Indonesia?” Kurnia menjawab dengan ramah.
            “No” si koopman menggeleng.
            “Do you know Kartinistraat?”
            “Yes, I know”
            Kartini from Indonesia, Hindia Belanda. Same place with our country” si koopman mengangguk-angguk tersenyum. Dia melayani kami dengan antusias dan ramah, kalau belanja di pajak Sambu mungkin kami sudah dimaki-maki. Lebih lama memilih dan menawar, sulit mengambil keputusan, tentu membuat pedagang jengkel. Koopman jatuh cinta pada kami karena kami satu Negara dengan R.A Kartini. Belanda masih memakai nama-nama pejuang Indonesia sebagai nama jalan. Jangan heran, jika di Utrech tempat suami Lenny berasal ada jalan Kartinistraat, di daerah pemukiman elit. Agaknya, Indonesia kakak adik dengan Belanda. Atau mungkin saja mereka mengingat Indonesia yang sudah mereka ambil hasil alamnya, sebagai tanda penghargaan, mengingat jasa, mungkin.
            Hari itu, aku dan Kurniawan menjadi orang yang paling bahagia. Aku bisa mendapatkan perlengkapan musim dingin yang terdiri dari dua potong coat, jacket, sweater, sarung tangan dan topi kupluk seharga 10 euro. Si koopman yang baik menghadiahi aku kacamata hitam ski, dengan karet lentur yang nyaman dipakai. Harga yang kami bayar cukup murah, mengingat harga daun ubi tumbuk tooping keju di Indeschhelatte restoran saja seharga 12 euro, belum makanan penutup dan minum. Menurut Kurniawan, harga normal satu potong coat premium biasanya di bandrol dengan harga 30 sampai 40 euro. Belum lagi jika coat keluaran merek ternama, jauh lebih mahal. Aku berpikir, aku tak akan pernah bisa beli baju disini. Bayangkan saja, 40 euro itu sama dengan limaratus ribu!
            Salju turun, menurut siaran radio Netherlands cuaca mencapai -1 derajat celcius pada siang hari. Cuaca pada malam hari bisa mencapai -7 derajat celcius. Aku seperti berada di dalam kulkas, gigiku gemeretuk. Musim dingin ternyata sangat menyiksa, tak seperti kukira. Sebelumnya aku berpikir salju itu menyenangkan, putih terhampar, membuat boneka dan bermain bola salju. Tapi kini aku malah menggigil tak berdaya. Semua jacket kupakai, aku malah sulit bergerak karena sudah seperti robot. Hafeed memberiku penutup telinga, seperti headsheet yang bisa menutup telinga agar tak membeku karena tubuh yang belum terbiasa. Syukurlah, pemanas ruangan dapat membantu.
            Seperti biasanya, pagi kami berangkat ke Indescheelatte restoran dengan mengendarai sepeda. Melewati jalanan bersalju yang sudah di keruk oleh mobil pengeruk salju, pemandangan yang Nampak di depan mata adalah gundukan es ditepi jalan. Aku agak kesulitan mengayuh sepeda, kakiku terasa kaku. Memasuki restoran, aku merasa cairan hangat keluar dari hidungku. Tarjo Nampak kaget dan cepat-cepat mencari tissue.
            “Kamu mimisan Mas…” aku meraba hidungku, cairan darah segar mengalir. Aku mencoba tenang, aku pernah mengalami hal ini sebelumnya. Seingatku, aku pernah mengalami hal yang sama ketika SD dan SMP. Ketika aku main bola sambil mandi hujan, pulang kerumah, aku mimisan dan hidungku di sumbat Emak pakai daun sirih. Tapi disini mana ada daun sirih? aku bingung.
            “Berbaring, cepat!” Kurniawan memberi instruksi, aku berbaring di kursi panjang yang ada di dapur. Jacket dan segala macam rupa yang kupakai dilepas, karena pemanas ruangan sudah bekerja. Aku terharu melihat teman-teman yang perhatian, Chandra menyiapkan coklat panas dan Kurniawan  ikut menggulung daun mint dan menyumbat hidungku. Aku tak tahu apakah manfaat daun mint sama dengan daun sirih. Tapi sepertinya darah itu berhenti.
            “Tubuhmu masih belum bisa beradaptasi, ini biasa terjadi.” Hafeed berjalan mundar-mandir, sepertinya dia gelisah.
            “Kenapa Feed? kenapa kamu gelisah? Apa aku mengalamai sesuatu yang fatal?” aku mulai cemas. Chandra, Kurniawan dan teman yang lain menggeleng-gelengkan kepala.
            “Enggak Mas, Mas Hafeed trauma lihat darah” Tarjo memberi informasi penting itu. Aku maklum, karena sudah tahu latar belakang kehidupan Hafeed.
Teman-teman minta aku terus berbaring sampai beberapa lama untuk menghentikan pendarahan, sama seperti yang disarankan Emak ketika aku mimisan dulu. Aku sebenarnya tak enak hati melihat teman-temanku sibuk, tapi apa daya? lima belas menit berbaring sudah cukup, aku bangkit dan segera bergabung dalam kesibukan. Menu utama musim dingin adalah Stamppot, kentang yang dihancurkan dan dicampur dengan aneka sayuran, dimakan dengan daging sapi asap. Untuk makanan Indonesia kami menyiapkan aneka sup dan wedang jahe. Meskipun musim dingin orang belanda suka minum wine, Indeschelatte tidak menyiapkannya. Aku kagum pada Mr. Lamek pemilik restoran yang belum pernah bertatap muka denganku. Ia sanggup memegang prinsip halal ditengah kaum mayoritas non muslim, tanpa takut restoran ini menjadi sepi. Yang aku saksikan malah sebaliknya, Indeschelatte restoran selalu ramai. Menurut Hafeed, musim dingin ini Mr. Lamek akan menghabiskan waktu di Rotterdam. Aku ingin sekali berjumpa.
Menjelang makan siang, aku, Tarjo, Chandra dan Kurnia melayani tamu. Zamzami ada urusan di kampusnya sehingga dia off. Zamzami keponakan Mr. Lamek yang kuliah bisnis di Erasmus University, Zamzami sepupu Maulidya istri Zeiny. Tampang Zamzami lebih Indonesia, tak mewarisi darah neneknya yang Belanda. Kalian tahu? dari semua karyawan di Indeshelatte restoran, tiga diantara kami adalah sarjana. Fadly si kepala dapur alias bos koki sarjana Tadris IAIN Arraniry Banda Aceh. Kurniawan sarjana Matematika Unpad, nasib kami sama, tak diterima negeri tercinta. Tapi rasa kami kini sama, bahagia bisa bekerja di benua Eropa dengan nilai mata uang yang tinggi. Visi dan misi nyaris sama, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dan buka bisnis di Indonesia. Kami sudah merasakan susahnya kerja dengan mengandalkan Ijazah walau dengan IPK mendekati  cumlaude sekalipun. Cita-cita kami, kamilah yang akan menciptakan lapangan kerja itu.
Ternyata tak mudah untuk menjalani hidup di Negara orang, jika kita tak memiliki karakter kepribadian yang kuat. Seorang muslim hidup dalam kaum minoritas itu berat, hanya kita yang tahu kapan masuk waktu sholat. Tak ada suara azan berkumandang seperti di Indonesia ketika masuk jam sholat. Tak ada masjid yang siap sedia menampung jama’ah untuk sholat lima waktu. Pakaian perempuan yang terbuka pada musim panas, membeli makanan tak bisa sembarangan karena ragu akan kehalalannya.
Setiap Jum’at, hanya aku, Hafeed, Fadly dan Kurniawan yang ke masjid ISR melaksanakan sholat Jum’at. Sesekali kami ke Mesjid Assalaam di Polderlaen 84, tapi di masjid Assalaam, khatib mengunakan bahasa Belanda. Menurut Hafeed, itu baik bagiku agar lebih cepat menguasai bahasa Belanda. Tapi tetap saja aku lebih suka sholat di Mesjid ISR, karena banyak menjumpai kawan se Negara dan Khatib khutbah menggunakan bahasa Indonesia. Lenny lain lagi, dia agaknya sudah beradabtasi dengan budaya Belanda. Aku sering kikuk melihatnya mencium suaminya di depan kami, berangkulan atau menunjukkan kemesraan yang berlebihan. Tapi aku mencoba berpikir positif, itukan suaminya, halal dan sah saja. Cuma budaya yang berbeda, bagaimana  cara menunjukkan rasa cinta dan sayang. Jika Indonesia malu-malu, maka Eropa malu-maluin.
            Pintu depan restoran berbunyi gemerincing, seorang lelaki bertopi masuk dengan coat yang terkena serpihan salju. Sejenak dia menepiskan salju yang menempel, membuka topi dan coat yang kemudian disampirkan ke tangan. Lenny bangkit dari balik meja kasirnya menghampiri, mengambil coat lelaki itu kemudian menyalami, persis seperti seorang anak yang menyalami orangtuanya. Tarjo yang sedang melayani tamu mengangguk hormat, pria itu membalas dengan tersenyum hangat. Pria itu menatapku sesaat, aku bingung tak mengerti, seingatku dia lelaki asing yang belum pernah menginjak Indeschelatte. Tapi, mengapa semua Nampak hormat padanya?
            “Itu Mr. Lamek, Mas…” Tarjo berbisik ditelingaku, ketika aku melewatinya ingin mengambil pesanan tamu. Aku tiba-tiba kaku, malu karena telah mengabaikannya, padahal aku ingin sekali berjumpa dengannya, ini waktu yang sudah kutunggu. Tanpa pikir panjang, aku berbalik haluan, tapi Mr. lamek sudah ke dapur. Bagaimana aku harus mengatakannya pada kalian? Mr. lamek yang kubayangkan jauh dari apa yang aku lihat sekarang. Pria itu mungkin berumur sekitar lima puluhan, tidak tinggi dan tubuhnya standart Indonesia. Kulitnya tidak putih, hanya karena lebih lama tinggal di Negara empat musim, kulit itu Nampak pucat. Mata  dan rambutnya  coklat, hidung tidak terlalu mancung. Secara fisik, dia biasa saja. Aku ingin sekali mengucapkan terimakasih.
            Setelah restoran lengang, barulah kesempatan itu ada. Mr. Lamek duduk diantara kami, mengelilingi satu meja besar yang biasa digunakan mahasiswa dan pelajar Indonesia kumpul pada saat weekend. Mr. Lamek  berdialog secara kekeluargaan, bagaimana keadaan kami, bagaimana keadaan restoran dan hal-hal remeh lainya. Aku terpaku atas sikap kepemimpinannya, kami semua di panggil “Nak” dengan tutur bahasa yang halus dan lembut untuk ukuran seorang lelaki. Satu lagi yang aku baru tahu, teman-teman semua memanggilnya “Oom”, bukan Mister.
            “Petir, bagaimana Rotterdam dan Indeschelatte, suka disini?” aku tergeragap mendengar pertanyaan Mr.Lamek, dia tau namaku seakan sudah akrab sekali.
            “Suka Oom, Alhamdulillah…”
            “Tapi awalnya karena patah hati kan? Bukan karena kepingin kesini…” aku kena skak, teman-teman saling berpandangan. Mukaku merah padam.
            “Enggak juga Oom, udah dilupakan kok…” aku menunduk, jengkel pada Zeiny. Pasti dia sudah menceritakan macam-macam tentangku pada Mr. Lamek, kalau tidak darimana orang asing ini  bisa tahu?
            “Ya… lupakanlah. Nanti kau pulang jadi orang sukses, semua perempuan akan mendekatimu,” Mr. lamek menghiburku, aku tersenyum mengangguk walau semua tahu senyum itu hambar.
            “Oya… bagaimana dengan musim dingin? Suka salju?”
            “Apa yang suka Oom, saya udah mau beku”
            “Tadi Petir mimisan Oom…” Tarjo menimpali, Mr. Lamek hanya tersenyum. Senyum hangat seorang Ayah, aku terharu.
            “Itu salam perkenalan, enggak apa-apa. Oya….Hafeed, saya disini agak lama. Musim semi akan datang Audia akan pulang ke Rotterdam. Kita semua akan liburan ke Kaukenhof,
            “ Restoran Oom?”
            “Udah, tutup aja. Sehari kita bersenang-senang. Hafeed, kamu bisa atur waktunya ya?. Cari waktu yang tepat saat parade bunga. Audia dan Fikar akan ada disini bersama kita.”
            Restoran yang lengang dari tamu kini ramai oleh tepuk tangan kami, semua senang membayangkan musim semi yang akan datang kami akan ke Kaukenhof. Kaukenhof adalah taman bunga yang terletak di Lisse, satu setengah jam perjalanan dari Rotterdam. Lenny sering menceritakan keindahan taman ini, warna-warni tulip yang terhampar sampai keindahan Bunga sakura ada di taman ini. Mr. Lamek berbaik hati mentraktir kami jalan-jalan, sekaligus ingin menyatukan keluarga yang terpisah jauh. Audia di Adelaide sementara Fikar di Banda Aceh, Mr. Lamek dan istrinya sering menghabiskan waktu di Negara yang berbeda.
            Perjalanan pulang kembali ke flat lebih menyiksa, udara semakin turun drastis, sudah mencapai minus enam derajat celcius. Chandra, Rizal dan Kurniawan lebih memilih tinggal di restoran. Aku, Hafeed dan teman lain memilih pulang. Aku ingin menulis agenda harianku yang tak boleh tertinggal seharipun, karena aku bisa lupa. Agenda harian, itulah kini yang bisa kutulis setiap hari. Untuk membaca, aku tak punya buku baru. Aku hanya bisa meminjam buku Zamzami yang berisikan teori ilmu bisnis. Setiap membaca bukunya, mataku berair. Agaknya, mataku sudah mulai bermasalah, atau memang aku tak paham isi bukunya.
            Ku kayuh sepeda semampunya, menembus hamparan putih yang menyilaukan. Kukenakan kacamata ski pemberian Koopmaan di pasar Blaak kemarin. Angin berdesing-desing melewati telinga, aku benci dingin, tapi mencoba untuk menikmatinya.
            “Chan…kamu kan bawa kamera, photo aku ya?” tiba-tiba pikiran itu melintas begitu saja.
            “Dimana?”
            “Di sini aja” kami turun dari sepeda, aku memilih tempat dengan gundukan salju yang tinggi, dibelakangnya ada bangunan gagah berwarna coklat, Eropa sekali. Chandra siaga dengan kameranya, aku berpose. Yang lain ikut sesi foto, kami terkekeh-kekeh, pose pun tak terarah dengan baik, tapi hasilnya sangat natural. Dingin seakan mencair karena senang, aku akan mengirimkan photo ini untuk Emak. Akan kuberi judul “MUSIM DINGIN PERTAMA DI ROTTERDAM.”



           

           

           


Kamis, 24 Mei 2018

MENJEMPUT IM{IAN DI KEUKENHOF (15)


DAUN UBI TUMBUK TOPPING KEJU (15)
            Pulang sholat Jum’at di mesjid ISR, Fadly nampak uring-uringan. Beberapa jenis bumbu masakan Indonesia habis, besok adalah hari  sabtu, jadwal masakan Indonesia disiapkan untuk pelanggan. Dia mulai memberi instruksi pada Tarjo agar segera berbelanja ke Wah Nam Hong di west Kruiskade. Disana bisa didapat aneka bahan makanan Asia, termasuk bumbu dan sayuran khas yang biasa digunakan di Indonesia. Tarjo mengajakku untuk menemaninya, sekaligus ingin mengenalkanku pada  kota Rotterdam, Tarjo mengajakku  naik Tram.
            Di Wah Nam Hong aku seperti berada di Supermarket Indonesia. Aneka sayuran berjejer dalam rak-rak yang rapi. Ada kangkung, kacang panjang, timun, pete dan daun singkong. Aku tersenyum dalam hati memperhatikan pete yang berjejer dikemas rapi di atas rak sayuran. Di Medan sewaktu aku berjualan sayuran, aku menarik minat pembeli dengan menyebutkan pete sebagai “tablet selera makan”. Ternyata, di Belanda orang juga keranjingan pete. Mataku kembali ke tumpukan daun singkong, aku mulai berpikir, bagaimana jika aku buat daun ubi tumbuk seperti yang dibuat Emak? Kutarik dua ikat kecil daun singkong, memasukkan ke dalam trolli belanja.
            “Daun singkong enggak masuk daftar belanja, Mas” Tarjo mulai protes kecil.
            “Enggak apa-apa, aku punya resep nenek moyang yang mau kucoba jual disini.” Sekenanya saja kujawab. Padahal aku hanya ingin sekali makan daun ubi tumbuk, bukan malah menjualnya atau memasukkannya sebagai menu di restoran. Tarjo tersenyum mengangguk, pemuda asal Pasuruan ini masih sangat muda, sembilan belas tahun. Wajahnya innocent, postur tubuhnya kecil, dia karyawan paling muda di restoran Indeschelatte. Tak heran, kami semua dipanggilnya Mas, termasuk Hafeed mendapat panggilan terhormat “Mas Hafeed”. Aku mulai kebingungan mencari cempokak dan kecombrang. Tarjo mengajakku ke bagian bumbu, ada terasi, kunyit, jahe, lengkuas. Akhirnya aku menemukan kecombrang tapi tidak dengan cempokak. Trolli belanja sudah penuh, semua daftar belanja sudah dibeli, mudah mendapatkan makanan Indonesia disini. Bahkan ada yang sudah dimasukkan ke dalam besek yang siap dimakan setelah dipanaskan dengan microwafe. Tapi menurut Tarjo, rasanya tidak begitu enak karena sudah diadaptasi dengan lidah Belanda.
            Kami sampai restoran menjelang sore, Tarjo mengajakku berkeliling dengan tram. Sampai di restoran aku kembali bingung, bagaimana caranya aku menumbuk daun ubi? Lumpang tak ada, yang ada hanya cobek batu yang biasa digunakan untuk membuat sambal terasi dalam jumlah kecil.
            “Pake food processor aja Mas” Tarjo memberi solusi, di perjalanan aku sudah menceritakan tentang daun ubi tumbuk padanya, dia tertarik. Aku masih awam dengan food processor.
            “Gimana caranya?”
            “Sesuaikan aja kasar halusnya, Mas” Tarjo memberikan usul, teman-teman yang ada di dapur celingak-celinguk tak mengerti topik pembicaraan kami.
            “Kenapa nih?” Fadly bertanya penasaran.
            “Nih Mas, Mas Petir mau buat daun singkong tumbuk resep khas daerahnya. Cuma masih bingung prosesnya gimana. Karena biasa di Indo pake lumpang kayu, disinikan enggak ada.” Tarjo menjelaskan, Fadly mengangguk seakan  mengerti. Hafeed tidak tahu pembicaraan kami, ia sedang duduk di depan, dia sering melayani tamu bercakap-cakap akrab dengan suasana kekeluargaan. Itu, jika ada tamu yang ingin tahu Indonesia. Hafeed dapat menjelaskan dengan baik dan rinci karena sudah beberapa kali ia ke Indonesia mendampingi Mr. Lamek. Bisnis Mr. Lamek di Indonesia adalah perkebunan kepala sawit yang ada di Meulaboh, Aceh barat.
            “Kamu ingat resepnya Tir?”
            “Ingat”
            “Oke, besok kita coba. Sekarang tugas kalian di depan, menjelang makan malam, sebentar lagi banyak tamu”  
            Malam ini, aku melayani tamu dengan gembira. Daun ubi tumbuk idaman ada dalam bayangan. Besok, aku akan menikmatinya bersama ikan asin dan nasi hangat. Aku  akan segera menelepon Emak, mengabarkan bahwa aku bisa membuat daun ubi tumbuk di Belanda. Aku tersenyum bahagia, Lenny ikut nyeloteh dari balik meja kasirnya.
            “Udah ketemu cewek Belanda ya? Senyum-senyum sendiri, cepet juga ya ketemunya. Emang sih.. katanya cowok Medan playboy” suara cempreng Lenny menyerang gendang telingaku. Aku melotot kearahnya, dia tersenyum senang seakan berhasil menggoda. Benarkah lelaki Medan play boy seperti kata Lenny? Aku diam saja tak menanggapi teorinya yang tak terbukti, Lenny semakin penasaran. Dasar, memangnya aku suka pada perempuan Belanda seperti dirinya yang berjodoh dengan lelaki Belanda? Tidak, aku akan mendapatkan jodohku di Indonesia. Aku berkata dalam hati, kata hati sendiri yang menyayat perih. Siapa yang akan mampu mengisi ruang kosong dalam hatiku setelah ruang itu ditinggal Zahwa? Entahlah.
***
            Pagi sekali, aku sudah di dapur restoran dengan teman yang lain. Mereka ikut penasaran, bagaimana rupa daun singkong tumbuk andalan nenek moyangku? Rizal membantu melumatkan daun singkong, kecombrang, cabe merah, bawang merah dan bawang putih dengan food processor. Hasilnya lumayan, persis seperti hasil tumbukan lumpang Emak, tapi agak kering. Kemudian,  aku masukkan dalam panci bersama cocoa milk dengan kekentalan sedang. Sesudah masak, semua mencicipi dan mengangguk setuju jika daun singkong tumbuk itu lezat. Tapi aku merasa tak sempurna, rasanya tak seenak daun ubi tumbuk buatan Emak.
            Daun ubi tumbuk tandas oleh kami semua, termasuk Lenny dan Hafeed ikut  makan. Hafeed berdecap-decap menyesuaikan rasa yang asing, sejurus kemudian mengangguk-angguk, setuju jika daun singkong tumbuk itu lezat.  Sorenya, aku dan Tarjo meluncur lagi ke Wah Nam Hong mencari daun singkong. Saran Fadly, beli dalam jumlah banyak. Dia yakin sekali menu ini akan ramai dibicarakan langganan kami yang berasal dari negeri sendiri. Ternyata perkiraan Fadly benar. Hari Minggu pertama  dalam hidupku di Rotterdam aku menyaksikan seorang Mahasiswa botak lompat-lompat gembira sambil menjerit “Daun ubii tumbuuukkkk..... I miss youuuu.” Kawan, ternyata pemuda itu bermarga Pane, asal Tapanuli Selatan. Ketika tahu bahwa itu adalah resepku, aku dipeluknya kuat-kuat, matanya berkaca-kaca.
            “Terimakasih kawan, aku merasa sedang berada di kampung sendiri” dia menepuk-nepuk punggungku. Aku merasa begitu berharga, bisa menghadirkan suasana kampung si Pane di Belanda yang jauh. Setelah itu, aku dan Pane bersahabat. Bertukar cerita tentang Medan, menyimak bahasa Indonesianya dengan dialek daerah Mandailing yang kental. Kebanyakan Mahasiswa dan pelajar di Rotterdam berasal dari Jakarta, Semarang dan Bandung. Hanya Pane yang berasal dari Sumatera Utara, dari Ibukota Tapanuli Selatan, Padang Sidempuan.
            Langit Rotterdam pekat sore ini. Aku dan Kurniawan mendapat giliran pulang duluan, Kami bebas tugas malam. Kami mengayuh sepeda dengan kecepatan sedang, karena jarak flat dan restoran yang tak jauh.
            “Sepertinya akan ada salju” terdengar suara Kurniawan dibawa angin yang tiba-tiba terasa dingin.
            “Apa sudah tiba musim dingin?”
            “Sekarang salju sering muncul tiba-tiba, tak bisa di prediksi”
            Global warming?
            “Ya!!”
            Kami mengayuh sepeda semakin cepat, angin berdesing-desing melewati telinga. Aku sedikit pias, aku belum mempersiapkan diri untuk menghadapi musim dingin. Bajuku hanya sweater dan jacket. Aku berharap musim dingin bergeser saja, jangan sekarang. Perkiraan Kurniawan benar, salju turun tipis saja, tak membekas di jalan atau genteng flat, mencair. Pagi kembali cerah, rumput masih hijau, cuaca kacau tidak saja terjadi di Indonesia, benua Eropa juga mengalami hal yang sama. Pemanasan global semakin parah. Aku tidur dengan lelap, terbawa mimpi lezatnya daun ubi tumbuk buatan Emak. Menurut Hafeed, cuaca masih bersahabat, tak perlu menghidupkan pemanas atau perapian.
            Kawan, Fadly si kepala dapur memasukkan menu daun singkong tumbuk itu kedalam daftar menu yang dapat di pesan tamu. Lebih dahsyat lagi, dia berinovasi menyesuaikan dengan selera Belanda. Aku tak begitu yakin, Fadly memberi nama “ Cassava Verlat Fijn”. Percobaan pertama, kami akan menghidangkan gratis pada Frederick, langganan restoran yang setiap hari muncul untuk menikmati makan siangnya. Frederick memang memiliki selera makan yang aneh menurutku, dia suka makan nasi rawon pakai kentang, stup wortel dan keju. Penutup makannya dia sering pesan pisang bakar diberi saos gula jawa, kadang-kadang pisang goreng bertabur keju parut. Setiap sabtu dan minggu, Frederick makan nasi soto atau nasi rendang, teman-temannya sering mentertawakan wajahnya yang merah padam seperti terbakar. Frederick senang saja, dia mengatakan Indeschelatte adalah restoran terseksi di dunia!
            Siang tiba, Frederick muncul dengan kemeja biru muda. Aku heran melihat pemuda yang tak pernah bosan makan di Indeschelatte ini. Frederick duduk manis, karena aku tak bisa berbahasa Belanda, Tarjo melayaninya dan aku melayani tamu yang lain. Sebentar mereka bercakap-cakap, Frederick mengangguk-angguk, mungkin dia ingin mencicipi resep baru kami. Tarjo meluncur ke dapur, Fadly sudah siap dengan inovasi barunya yang langsung disambar Tarjo dan dihidangkan di meja Frederick.
            Kawan, aku terpana. Piring putih itu diisi dengan potongan roti, berlumur daun singkong tumbuk, bertabur keju cheddar parut. Di pinggir piring di isi dengan kentang goreng mentega, stup wortel dan sepotong bistik sapi. Sebelum mencoba, Frederick masih mengamati isi piring itu, Tarjo setia menunggu. Perlahan Frederick memasukkan sendok kemulutnya, mengunyah pelan-pelan seakan meresapi rasanya. Pada suapan ketiga, Frederick makan dengan  cepat sambil mengangguk-angguk sambil berkali-kali berkata Hmm lekker....lekker
            Chandra mengambil foto Frederick dengan piring daun singkong tumbuk yang hampir habis. Tradisi Indischeelatte restoran, memajang foto pelanggan yang puas pada menu baru sebagai ajang promosi. Beberapa tamu lain ingin mencoba karena melihat tingkah Frederick, siang itu, satu panci daun  singkong tumbuk habis. Kami semua senang, melihat bule makan daun singkong tumbuk dengan topping keju. Fadly sukses, aku juga tentunya. Emak pasti bahagia, ya.


           

Jumat, 18 Mei 2018

MENJEMPUT IMPIAN DI KEUKENHOF (14)


HAFEED PEMUDA PALESTINA (14)

            Pria itu tinggi, lebih tinggi dariku yang memiliki tinggi badan 178 cm. Berkulit coklat, rambut ikal tebal, hidung mancung sedikit bengkok, mata dalam dengan pancaran tajam layak Elang dibingkai alis hitam tebal nyaris bertaut. Dagu dan pipinya kebiru-biruan menandakan bulu lebat yang biasanya tumbuh disitu selalu dicukur bersih. Suaranya berat, ramah, peduli pada sesama dan sering termenung. Hafeed adalah pemuda saleh yang nyaris lupa bercanda. Sering ketika aku terbangun malam, dia duduk di atas sajadahnya, menunduk, menekur khusyu’. Tak ada airmata, yang ada hanya nafas yang memburu cepat seiring putaran tasbih ditangannya.
            Sebelumnya, Hafeed adalah pemuda yang tertutup. Tak sekalipun dia bercerita tentang keluarganya seperti yang sering kami lakukan bersama teman-teman lain. Seiring waktu, dia kini tampak lebih terbuka padaku. Biasanya, sebelum tidur sambil berbaring di tempat tidur masing-masing kami bertukar cerita. Menikmati kopi dan sepiring  pattat* berlumur mayonaise lezat, Hafeed bercerita sambil sesekali menyeruput kopi dan menghisap rokoknya.
            “Anda tahu cerita negaraku?”  Hafeed memulai kisahnya.
            “Tidak banyak, yang aku tahu hanya rakyat tertindas karena kesombongan dan kerakusan Israel” kucoba sedikit berpendapat, Hafeed menarik nafas panjang lalu menghempaskannya dengan kuat hingga mengeluarkan suara lenguhan.
            “Lebih dari itu. Semua milik kami dirampas Israel keparat, termasuk harga diri dan kehormatan.” Hafeed diam, matanya menerawang.
            “Kakak perempuanku masih berusia dua belas tahun diperkosa tentara Israel, seminggu kemudian dia dibunuh. Kami seperti orang gila, benar-benar tak berdaya. Usia sebelas tahun aku dikirim orangtuaku kesini untuk sekolah dan menyelamatkan nyawa dan masa depanku. Saat kuliah, bisnis ayah digarap Israel, ayah dan ibu dibunuh dengan keji, tinggallah aku sendiri disini.”  Aku tercekat, tiba-tiba hatiku perih, mendengar cerita Hafeed yang teramat sangat malang. Aku jauh lebih beruntung darinya, meskipun aku tak pernah mengenal ayahku tapi ada Emak yang selalu memperhatikanku, ah! Aku jadi rindu Emak.
            “Kami terbiasa hidup dibawah desingan peluru, suara senjata ibarat musik pengantar tidur. Jika suara tembakan tak terdengar kami malah bertanya-tanya kenapa?” Hafeed menghisap rokoknya dalam-dalam.
            “Aku juga pernah minum kencing tentara Israel syetan jadah itu, hanya karena kesalahan kecil”
            “Maksudnya?” aku membenahi posisi dudukku yang melorot, tegak.
        “Aku dan teman sedang bermain bola kaki, didekat kami ada tentara Israel yang sedang beristirahat dengan senjata siaga. Bola kaki kami menggelinding ke arah mereka, tak satupun kawan yang berani mengambilnya. Aku memberanikan diri mengambil bola itu, tapi akibatnya aku disuruh minum kencing yang ditampung di dalam botol wiski. Mereka tertawa-tawa gembira, aku menangis sambil minum air kencing dibawah todongan senjata syetan laknat itu.” Hafeed menghisap rokok lagi, sebelum melanjutkan ceritanya.
            “Teman-temanku berlarian pulang dan melapor pada orangtuaku, Ayahku sangat marah dan segera ingin melepaskanku dari perlakuan mereka. Tapi apa yang terjadi? Gagang senjata hinggap dikepala Ayahku. Kepala Ayah berlumuran darah, tawa mereka tambah keras.”
Hafeed mengambil sesuatu dari laci lemarinya, selembar foto.
            “Inilah yang tersisa untukku, tak ada yang lain” Hafeed menyerahkan foto usang itu. Kuperhatikan foto itu lekat-lekat. Foto Hafeed kecil bersama kakak dan kedua orangtuanya.
            “Kalian tidak melawan?” kuajukan pertanyaan bodoh itu, Hafeed tersenyum kecut.
            “Melawan pakai apa? Batu? Batu melawan peluru? sama saja bunuh diri. Dimata Israel, rakyat Palestina itu ibarat binatang, tak berharga sama sekali. Kami adalah boneka tak bernyawa bagi mereka, dipermainkan sesuka hati seakan kami tak merasa kesakitan.”
            “Anda tau? Kawanku pernah melawan, mereka memukulnya sampai kawanku terkencing-kencing,  mereka tertawa bahagia. Ah, semoga Allah melindungi negeriku dan memasukkan keluargaku ke syurga” Hafeed menghapus wajahnya yang basah karena keringat, keringat dingin karena emosi yang meluap-luap. Wajah dan matanya merah padam, betapa ia hidup dalam kemarahan.
            Cerita Hafeed sangat melekat di kepalaku. Aku terpengaruh pada emosi sahabatku. Aku yang biasa tak terlalu peduli pada konflik negara yang tak jua selesai, kini ikut merasa kacaunya. Benci begitu melekat dalam hati. Malam berikut Hafeed kembali bercerita bagaimana perjuangan hidupnya di Belanda setelah orangtuanya mati dibunuh tentara Israel. Dia berjuang sendirian, terdampar di emperan. Dikejar-kejar polisi imigrasi, jadi gelandangan. Dia pernah bekerja sebagai pelayan di restoran, memasak Ertwensoep**danSlavinken***. Tinggal dan tidur di dapur dengan tumpukan tulang-tulang babi. Menderita kelaparan dimusim dingin membuatnya terpaksa makan Slavinken karena tak ada menu lain. Hafeed harus keluar setiap sore untuk membasuh najis yang melekat di tubuhnya. Tak tahu cara bagaimana menyamak lambungnya, Hafeed pasrah pada kuasa Tuhan semata. Bahwa ia harus bertahan hidup, ia belum sanggup jika harus diminta untuk menyusul kakak dan ayah ibunya dialam sana.
            Hafeed bertemu Mr. Lamek di Mesjid ISR Rotterdam ketika mereka mengikuti pengajian yang diadakan setiap sabtu malam. Mr.Lamek terpikat pada penampilan Hafeed yang lusuh, pancaran mata yang layu dan tampang berbeda dari jama’ah Indonesia lainnya. Seusai pengajian, Mr. Lamek menghampiri Hafeed, mengadakan wawancara ringan. Mr. Lamek jatuh hati sekaligus iba pada pemuda Palestina ini dan mengajaknya untuk bekerja di restorannya. Esok pagi, Hafeed langsung meninggalkan dapur restoran tempat dia bekerja selama ini. Naik tram****, membelah kota Rotterdam menuju Polderstraat.
            Awal bergabung di Indischelatte restoran. Hafeed bertugas mencuci piring kotor, bersih-bersih lantai. Seiring waktu, dia perlahan naik “jabatan” sampai kini memenejeri restoran bergengsi di Rotterdam ini. Hafeed adalah orang yang bijaksana, berwibawa dan memperlakukan kami semua dengan adil. Kami segan sekali kepada pemuda Palestina yang fasih berbahasa Indonesia ini, ditambah lagi ia tak pandai bercanda dan jarang tersenyum. Mr. Lamek sering menghabiskan musim dingin di Rotterdam, musim semi di Australia dan terkadang ke Indonesia. Dia mempercayakan penuh Hafeed untuk mengelola restoran ini, Hafeed sangat profesional karena ia pernah kuliah ekonomi di Erasmus University Rotterdam. Hanya nasib tak berpihak padanya, akibat polah tingkah Israel yang rakus dan sombong yang memporak porandakan negeri dan masa depannya.
            Kawan, aku malu pada Tuhan. Malu karena diriku terus berkeluh kesah seakan aku adalah manusia paling malang dimuka bumi ini. Aku yang tak diterima oleh negeriku sendiri, yang harus terpisah dari Emak yang kucintai justru dimasa tuanya. Terhempas dari harapan berdampingan dengan Zahwa, memupus harapan Emak mendapatkan anaknya ke kantor berdasi dan dia akan mengasuh anak-anakku. Dalam hening malam aku bersujud diatas sajadah biru pemberian Zahwa, mohon ampun atas semua kepongahanku. Atas semua protesku padaNya, karena aku hidup mengejar cita-cita yang  lari dari skenario rencana yang telah kurancang dengan sombong.
            Bukankah aku adalah manusia yang jauh lebih beruntung dari pada Hafeed? Hidupku jauh lebih bahagia dibandingkan pemuda Palestina yang berhati luka itu. Hafeed tak pernah mengajukan protes pada Tuhan, walau hidupnya kacau ibarat ikan hidup di sungai beracun. Hafeed harus terus memelihara borok yang bernanah dalam hatinya, luka itu tak akan pernah sembuh, ia tak mampu lagi marah dan menangis karena airmata yang sudah mengering. Aku tak mampu membayangkan ketika ia hidup menjadi gelandangan di Rotterdam, sembunyi di stasiun bawah tanah. Bekerja di restoran yang sebagian besar menunya adalah babi yang diharamkan agama kami. Hafeed yang harus keluar untuk menyamak tubuhnya, menangis membayangkan dirinya bergumul dengan benda haram. Hafeed yang malang tapi hidup penuh keikhlasan.
            Kini, aku banyak bersyukur atas segala kesempatan yang ada. Bekerja dan tinggal di benua barat Eropa tanpa mengeluarkan biaya apa-apa. Tinggal di kota terbesar kedua setelah Amsterdam, kota Rotterdam yang memiliki populasi 588.500 jiwa. Memiliki saudara senegara yang saling mengasihi dan melindungi. Punya waktu libur yang diatur berdasarkan shift. Bisa pergi mengaji di mesjid ISR (Indonesische Sticting Rotterdam) setiap sabtu malam bersama teman ketika off tentu saja. Aku juga bisa merasakan suasana pasar Blaak*****yang ramai setiap Selasa dan Sabtu, menyaksikan orang setempat makan ikan haring****** dengan sekali tarik saja. Aku juga jadi tahu bahwa banyak petai di Belanda!
            Aku percaya bahwa ada rahasia Tuhan dibalik perjalanan hidupku sekarang. Kuyakini sepenuhnya nanti Allah Tuhanku akan memberi seribu hikmah dan nikmatNya untukku. Kini aku bisa mengirimkan uang untuk Emak, menyisihkan beberapa Euro untuk kebutuhanku sendiri. Kunikmati jalanan kota Rotterdam dengan sepeda, menyaksikan orang yang berlariann naik bus atau tram. Berkumpul dengan orang sebangsa setiap weekend, aku kini bisa memandang hidup dengan sisi bahagia. Hafeed sudah membuka mata sadarku.
* Kentang goreng khas Belanda
**Sup khas Belanda terbuat dari tulang babi
*** Sup khas Belanda terbuat dari tulang babi biasa disajikan pada musim dingin
**** Kereta api
***** Pasar loak di Rotterdam, ada dihari Selasa dan Sabtu
****** Ikan mentah ditaburi irisan bawang Bombay, makanan khas Belanda.