Senin, 09 Maret 2015

MISTERI MERAH DELIMA




                “Cincin ini untukmu, pakailah,” Pak Sutan menyerahkan sebuah cincin cantik bermata merah kepada Rara. Gadis yang belum genap dua puluh  tahun itu melongo, tak percaya.
                “Benar ini buat saya, Pak? Ini kan cincin mahal,” Rara masih tak percaya. Pak Sutan tersenyum tipis. Matanya menerawang ke langit-langit rumahnya yang kusam penuh misteri.
                “Bapak tak begitu yakin apa memang cincin ini mahal. Ini cincin batunya batu delima, sudah lama ada pada bapak, bahkan bapak lupa sejak kapan. Daripada enggak dipakai, jadi buat kamu aja, pakailah,” Rara menerima dengan ragu, memerhatikan dengan seksama cincin yang ada di telapak tangannya, menimang-nimang.
                “Terimakasih, Pak. Nanti saya pakai,”
                “Kenapa enggak dipakai sekarang?”
                “Enggak matching, Pak. Saya pake baju ijo, harusnya bapak kasi giok tadi, hehe,” Rara tertawa kecil, sebagai gadis kota yang modis, asesoris buatnya bukan sekadar pakai saja. Pak Sutan tersenyum tipis, menaikkan bahunya.
                “Saya permisi, Pak. Mau cari Ulis, entah kemana dia dari sore tadi,” Rara bangkit dari duduknya, merapikan baju dan roknya. Pak Sutan ikut berdiri.
                “Jangan bilang siapa-siapa ya? Kalau saya kasi kamu cincin itu,”
                “Oke Pak, siap! Terimakasih ya Pak?” Rara menyalami pak Sutan dan bergegas pergi.
***
                Batu, batu, batu! Itulah yang membuat Rara dan Ulis harus rela terjebak di kampung ini sejak seminggu lalu.  Menemani papa yang sibuk berburu batu akik, bio solar, bacan -dan entah apalagi sambil liburan. Memang benar, kampung ini cukup memberi hiburan. Kampung alami yang diapit bukit hijau dan birunya laut. Langit cerah, pohon yang rindang, laut bening dengan ombak yang tenang, siapa yang dapat memungkiri pesonanya? Tapi jika terlalu lama juga kedua anak itu pasti bosan, hidup tanpa gadget karena kampung ini tak bisa dijangkau sinyal.
                “Kak, cincin merah itu darimana?” wajah Ulis pucat, nafasnya memicu cepat, matanya merah.
                “Buat apa? Emang penting?” Rara menyipitkan matanya, membaca ada sesuatu yang tak beres.
                “Serius lho, Kak. Kamu dapat darimana? Kalo enggak aku kasi tau papa!” Ulis mengancam, matanya semakin merah. Rara semakin menyipit, darimana adiknya tahu dia memiliki cincin merah?
                “Aku dapat di meja kakak, trus aku pake” Ulis menjelaskan tanpa ditanya.
                “Ada aura aneh di cincin itu, Kak. Makanya aku Tanya kakak dapat darimana,”
                “Lis. Aura aneh gimana? Kamu juga harus ingat pesan papa, kita enggak boleh syirik karena batu, tau?” kini Rara melotot, takut juga melihat adiknya ini, kok tiba-tiba aneh? Papa yang suka koleksi batu aja enggak pernah ngomong aura-aura gini.
                “Aduh Kak Ra, pokoknya jangan dipake! J A N G A N!” Ulis menekankan kata ‘jangan’ dengan mengeja keras-keras. Rara mengibaskan tangannya dan pergi. Memang dua malam ini dia selalu mimpi buruk, tapi mana ada hubungannya dengan batu?
                “Kita cari udang yok! Besok kita pulang. Pasti kangen laut..” Rara menarik lengan kurus adiknya, berlari ke arah laut yang berjarak lima puluh meter dari penginapan. Sejenak kemudian mereka sudah tenggelam dengan keasyikan, lupa pada warna kulit yang hitam terbakar. Dan papa juga sibuk packing aneka jenis batu buruannya. Sebagian besar masih dalam bentuk bongkahan.  
***
                Hujan turun dengan deras, halilintar menggelegar sambung menyambung di langit. Bayangan di jendela kamar timbul tenggelam, berupa kilatan cahaya seperti blitz kamera. Rara meringkuk di balik selimut, ia sendirian di rumah. Mama dan Ulis mungkin terjebak hujan di supermarket, papa belum pulang kantor. Rara tidak pernah mengalami suasana mencekam seperti ini sebelumnya, ia seorang gadis pemberani. Tapi, ia tidak mengerti kecemasan dan kegelisahan yang sedari pagi menghantuinya. Gelisah dan cemas tanpa alasan yang jelas. Rara tercekat ketika secara perlahan matanya menangkap bayangan kilat yang berubah-ubah. Awalnya berupa asap, seperti sisa pembakaran sampah yang masuk melalui celah jendela. Berikutnya bayangan itu perlahan berubah menjadi wajah dengan seulas senyum ramah, aroma aneh mulai menusuk hidungnya, Rara gemetar. Bayangan wajah itu terus berubah-ubah dalam hitungan detik, tersenyum, sedih, menangis dan akhirnya marah dengan mata merah menyala-nyala. Rara membaca ayat Al Qur’an yang dihafalnya dengan panik, dia semakin tersudut di pojok tempat tidur dengan selimut yang bergulung. Bayangan itu belum mau pergi dan matanya semakin merah dengan aroma aneh yang semakin tajam. Warna merah mata itu mengingatkan Rara pada cincin yang dipakainya. Dalam hitungan detik Rara melepas cincinnya dan melemparkan kearah bayangan yang menakutkan itu. Blusss…. Bayangan itu lenyap dalam sekejab tak berbekas seperti uap yang pergi tak pernah berjejak.
 Rara menghapus wajahnya yang basah dengan keringat dingin. Seumur hidup baru kali ini ia merasakan hal mistis seperti ini. Dia kembali teringat apa yang dikatakan Ulis beberapa hari lalu agar ia jangan memakai cincin itu, apakah Ulis merasakan hal yang sama? Mengapa adiknya itu tidak menceritakan apa yang dialaminya? Atau Rara yang tak percaya? Dengan sisa ketakutan dan dada yang masih berdebar kencang seperti habis lari marathon, Rara menuju kamar mandi. Rara berwudhuk dan sholat sunah dua raka’at, berlindung kepada Allah, semoga batu itu tidak membawa kesyirikan, percaya selain daripada Allah azza wajalla. Bell rumah berdenting beberapa kali, mungkin mama dan Ulis, atau juga papa sudah pulang.

#Siapa Pak Sutan? Kok cincin batu delima merahnya dikasi ke Rara ya?

#Musim batu, kembali ke zaman batu, apa kamu juga punya batu? Hihihihi….