Kamis, 22 Februari 2018

MENJEMPUT IMPIAN DI KEUKENHOF (3)



CAHAYA MATA  (3)

Anak yatim, itu gelarku. Semenjak lahir aku sudah tak mengenal Ayah, lidahku tak pernah terlatih untuk memanggil seorang lelaki dengan sebutan Ayah. Yang aku tahu dalam hidupku hanya Emak, sosok perempuan yang sama sekali tidak aku takuti. Emak hanya punya satu saudara laki-laki yang telah meninggal pula, Wak Junaedi namanya. Wak Junaedi meninggal kala usiaku lima tahun, masih dalam keadaan bujang karat yang otomatis tak punya keturunan. Tentang Ayahku, aku tak tahu banyak. Menurut cerita Emak, Ayah juga sebatang kara karena keturunan Ibu Bapaknya habis di bantai tentara sewaktu perang DI/TII di Aceh. Selanjutnya lagi, sisa keturunan yang lain habis di babat tentara saat DOM atau jikapun masih ada, mungkin sudah di hapus tsunami. Sebab itulah Emak tak bisa menggantungkan diri pada siapapun untuk membesarkan aku. Keringatnya adalah nafasku.
            Emak selalu mewanti-wanti, jika nanti aku dewasa dan punya keluarga. Anakku harus banyak, tak boleh kurang dari lima atau bila dapat aku harus punya anak dua belas. Aku melotot tercekik, perempuan mana nanti yang mau disuruh beranak dua belas? Bisa-bisa aku juga jadi bujang karat seperti Wak Junaedi yang mati sebelum merasakan pelukan perempuan. Tapi aku bisa maklum karena kepedihan yang dirasakan Emak yang tak punya saudara. Membesarkan aku seorang diri, tanpa ada tempat bercurah pendapat. Merasakan getirnya hidup dengan anak lelakinya yang nakal.
            Karena tak pernah mengenal sosok Ayah lah mungkin membuat hidupku agak timpang. Aku tak pernah takut pada Emak. Emak tak pernah marah atau berlaku kasar padaku, aku adalah permatanya. Jikapun aku berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi lagi kenakalan masa SMP ku, itu karena semata rasa sayang pada Emak. Sayang yang dalam dan luar biasa, tak dapat aku ungkapkan dengan kata-kata. Ini sangat terbukti, jika Emak sakit, badan dan jiwaku lumpuh layu. Penyakit akutku kambuh, aku terkencing-kencing karena stres. Jika Emak tiada, kemana aku? Bagaimana hidupku? aku pun ingin mati saja. Padahal Emak Cuma batuk karena terpaan angin dini hari di Pasar.
            Selepas kejadian besar memalukan memegang dada teman perempuanku, Emak semakin hati-hati menghadapiku. Jika sore datang, emak menyuruhku segera mandi dan pergi mengaji ke rumah ustadz Syafri. Sejak SD aku memang sudah mengaji di balai depan rumah ustadz Syafri. Tapi Emak biasanya tak terlalu menuntutku, kulakukan saja sesukaku. Jika aku ingin mengaji aku akan pergi, jika tidak aku akan di rumah saja menonton TV, membaca komik atau belajar. Kemarin aku memperhatikan Emak serius bercakap-cakap dengan ustadz muda itu. Aku yakin Emak pasti membicarakan kenakalanku, mimik ustadz Syafri berubah-ubah. Sesekali dia tersenyum, tertawa dan terkadang manggut-manggut sambil mengelus jenggotnya. Aku mencuri-curi pandang ke arah mereka, dadaku menggelegak karena malu dan takut.
            Ustadz Syafri berkulit putih dihiasi bibir merah jambu segar layaknya perempuan. Rambutnya hitam pekat, sehitam janggut tipis dan alisnya. Matanya dalam dan tajam, lidahnya fasih melantunkan ayat alqur’an, suaranya merdu dan punya tubuh tinggi atletis. Ustadz Syafri adalah alumni pasantren terkenal di Jawa dan masih kuliah di IAIN, orangnya tenang dan tak banyak bicara. Banyak Ibu-ibu tergila-gila padanya, menjodohkannya dengan anak gadis mereka. Ustadz Syafri bergeming, Ibu-ibu semakin penasaran. Setahuku, ada beberapa perempuan tak tahu malu mendekatinya dengan berlagak alim. Wulan dan Sari mendadak memakai jilbab dan rajin mengaji. Tapi tetap saja di rumah pakai celana pendek dan tertawa terkakak-kakak, bukankah ustadz Syafri bukan pemuda bodoh? Jiwa remajaku berpendapat, pasti ustadz Syafri mencari perempuan yang tepat untuk menjadi pasangan hidupnya kelak. Tentu saja bukan perempuan alim dadakan yang tak jelas. Berjilbab tapi masih menebar gosip, tertawa ngakak, duduk kangkang atau ngupil dan kentut di depan orang. Dia masih menunggu atau mengintip perempuan yang tepat.
            Itu terjadi ketika aku sudah duduk di SMA dan telah menjadi asistennya. Ustadz Syafri menikah dengan seorang perempuan anak pemilik pesantren terkenal di Langkat, anak seorang Kyai. Nama perempuan itu Syifa Annadwa, nama yang cantik. Postur fisiknya hampir sempurna dan sangat cocok berdampingan dengan ustadz Syafri. Yang membuat aku terkagum-kagum adalah tutur bahasanya yang santun, senyum yang selalu mengembang, mata yang sangat sejuk dan teduh. Mungkin itulah yang dinamakan dengan aura, kecantikan yang terpancar dari dalam itu luar biasa menghipnotis. Perempuan itu tepat menjadi pendamping hidup ustadz Syafri, baik semua nasabnya, kecantikannya, agama dan hartanya.
            “ Aku ingin punya istri seperti Umi Syifa....” kataku pada Emak, ketika disuatu malam purnama kami duduk di depan rumah memperhatikan anak-anak bermain di gang sepulang mereka mengaji sambil menikmati ubi rebus hangat.
            “ Ehhehe, setuju. Dimana nanti dapatmu? “
            “ Entahlah Mak, ada lagi enggak ya? Perempuan seperti Umi Syifa nanti untuk jadi istriku....” ucapanku mengambang, waktu itu aku duduk di kelas dua SMA. Emak terkekeh-kekeh.
            “ Masih jauh Tir.... Tuhan masih sempat mempersiapkannya untukmu “ Emak masuk kedalam rumah sambil terus membawa senyumnya. Bahasa Emak mendadak indah sekali, Tuhan masih sempat mempersiapkan untukku karena waktuku yang masih panjang. Ada-ada saja Emak, pikirku ikut tersenyum.
            “ Mak... perempuan cantik begitu, mau enggak ya? Beranak dua belas...? “ kususul Emak kedalam rumah. Tawa Emak semakin mengembang, sedikit membahana.
            “ Kawin dua atau tiga aja, biar anakmu banyak, hahaha “ Tawa Emak semakin keras, aku ikut tertawa. Beristri banyak? Ah... Emak, aku tak pernah memikirkannya.
            Awal kepulangan Ustadz Syafri dari pesantren dia mulai mengumpulkan anak-anak di sekitar rumah orangtuanya yang biasa kami panggil Wak Haji. Mungkin dia jengah melihat kami anak-anak bengal yang keliaran pada remang petang, sementara orangtua menjerit-jerit menyuruh kami pulang diabaikan. Awalnya hanya ada tujuh orang, termasuk aku salah satunya. Ustadz Syafri mengajarkan kami membaca Alqur’an, sholat dan ibadah lainnya. Yang menarik, setiap malam minggu Wak Haji menyiapkan kami kudapan. Ada jagung rebus, pisang rebus, singkong rebus atau roti kering. Maka, ramailah anak-anak datang mengaji sehingga terkadang Ustadz Syafri turun tangan. Ruangan keluarga yang digunakan untuk mengaji tak lagi muat, di buatlah balai-balai di depan rumah untuk menampung lima puluh anak.
            Kami libur mengaji hanya pada malam Jum’at karena Ustadz Syafri pergi wirid yasin. Malam minggu kami tetap mengaji di tambah lagi akan mendapatkan suguhan enak dari Wak Haji, maka ramailah balai itu dengan anak-anak bengal lapar yang seakan tak pernah di kasi makan oleh ibunya sendiri. Wak haji tersenyum menghadapi kami, mungkin dia suka melihat keramaian anak-anak atau karena suguhannya terasa bermakna, entahlah.
            Karena jumlah kami yang semakin banyak, kami belajar secara berkelompok dan masing-masing kelompok punya pembimbing sendiri. Siapa yang pintar, dia akan menjadi pembimbing kelompok. Aku belajar dari kelas enam SD dan mulai menjadi pembimbing kelompok ketika kelas tiga SMP, ketika suaraku sudah semakin berat dan mulai berjakun.  Aku benci pada suaraku sendiri yang terasa sulit sekali dikendalikan. Jika bicara, aku merasa itu bukanlah suaraku, seperti mendengar suara orang lain. Ustadz Syafri jarang bicara, kami sangat segan pada Ustadz muda ganteng itu. Suaranya berat tapi merdu, dia cukup berdehem untuk menenangkan kami, tak perlu merepet seperti Emak-Emak kami.
 Setelah pembicaraan dengan Emak selepas kejadian memalukan itu, Ustadz Syafri mulai banyak berkata-kata. Setiap selesai pengajian, beliau menyampaikan nasehat yang menyejukkan jiwa. Tak jarang sepulang mengaji kami akan menyalami orangtua kami sambil menangis, sujud dalam sholat kami menangis, sebagian kami menjadi anak yang baik. Gang Rukun mulai dihuni anak-anak yang baik, tak lagi berkeliaran pada remang petang atau pulang tengah malam karena asyik bermain. Jikapun ada yang masih bengal, itu adalah keturunan karena Ibu Bapaknya yang tak kalah bengal atau mungkin saja karena makan dari hasil uang tak jelas. Seperti si Ali, masih saja bercakap kotor dan menyumpah serapah pada ibunya. Sumpah serapah ibu dan anak itu bersahut-sahutan seperti irama musik rock, kabarnya Ayah si Ali adalah Polisi yang suka menilang tanpa sebab. Bisa saja uang yang dibelanjakan Ibunya adalah uang kutukan, di kutuk orang-orang yang marah diajak berdamai ditengah jalan, entahlah. Yang jelas, ibu-ibu dan anak gadisnya semakin gila pada Ustadz muda itu, kemudian patah hati ketika Ustadz idolanya menikah dengan seorang perempuan cantik solihah.
Semenjak aku tau karena usia kesadaranku, Emak tak pernah ada ketika aku bangun pagi. Yang membangunkanku adalah jam weker yang telah diatur sedemikian rupa, berdering memekakkan telinga. Setelah itu aku akan segera mandi, memakai seragam sekolah yang telah dipersiapkan Emak diatas sebuah meja kecil di sudut kamarku. Jika semua beres, aku akan mengunci pintu dan berjalan ke pasar yang berjarak limaratus meter dari rumah. Di sana aku akan disuguhi Emak sarapan nasi gurih dan segelas susu, aku makan sambil memperhatikan Emak yang berjualan sayur segar. Setelah itu, Emak akan memberiku uang saku, mengelus kepalaku dengan mata penuh harapan pada anak bujang semata wayang. Aku menyalami Emak, mencium tangan dan pipinya dengan takjim dan berangkat sekolah. Semua mata seakan memandangku, itulah yang kulakukan dari awal kesadaranku sampai aku kelas tiga SMP.
Aku selalu bertanya pada Emak, sejarah masa bayiku. Emak tak mau bercerita banyak, matanya seakan menyimpan sejarah pedih. Aku ingin tau, jika Emak berjualan di pasar aku di titip pada siapa? Ternyata cerita sejarah itu kudapat dari Ompung Purba, nenek centil berbibir merah karena sirih itu berjualan sayur di samping Emak. Mereka dekat ibarat saudara, tak pernah ada iri atau dengki. Padahal jenis yang di jual Emak dan Ompung Purba sama, mereka sangat sportif.
“ Dari bayi kau sudah dibawanya jualan...” Ompung Purba memulai sejarah itu, aku berdebar.
“ Habis melahirkan kau, waktu itu umurmu baru dua bulan. Emakmu pagi buta berjalan di pasar ini, tak punya tujuan. Ku tengok dia mondar-mandir tak punya arah, bukan mau belanja. Kau menangis dalam gendongannya, orang-orang mulai memperhatikan Emakmu “ Ompung Purba menarik nafas panjang, seakan mengumpulkan kekuatan untuk dapat menceritakan sejarah penting itu.
“ Mendengar suara bayi menangis, aku tak bisa menahan diri. Ku tanya keperluan Emakmu, dia malah menangis di hadapanku....” Ompung Purba membuang ludahnya yang merah sebelum melanjutkan cerita.
“ Dia bingung mau kerja apa untuk membiayai hidup kalian, dia janda dan tak punya apa-apa, juga tak punya saudara. Awalnya Emakmu mau mencari sayur yang tak dipakai atau sisa-sisa jualan untuk dibawa pulang dan di rebus. Tapi dia bingung untuk memulai dari mana, jadilah Emakmu berjalan tak tahu arah “
“ Akhirnya Ompung tawari Emakmu jualan sayur di sini, kebetulan di samping ompung ada tempat kosong. Awalnya, ompung yang modali Emakmu sampai dia bisa berdiri sendiri...” Ompung Purba menghapus matanya yang merah, mungkin dia teringat Emak dan bayinya waktu itu.
“ Waktu Emak mulai jualan, aku dititipkan dimana Pung?” tanyaku sedih bercampur penasaran.
“ Kau tetap dibawanya setiap subuh, kau tetap digendongnya supaya tetap hangat dan kau terus menyusu di balik kain gendonganmu yang rapat. Tak pernah kau ditinggalkannya sebentarpun. Kurasa... berak pun kau dibawanya!” Ompung Purba tersenyum, mencoba membuat lelucon. Aku sama sekali tak tersenyum, melainkan merasakan suatu kepedihan yang menyayat. Aku memang tak pernah duduk di bangku TK, karena aku masih di bawa Emak berjualan ke pasar. SD aku baru mulai melakukan rutinitas pagi seperti yang kuceritakan tadi. Keadaan agaknya membuatku mandiri, atau terpaksa mandiri.
Cinta dan sayangku pada Emak bertambah-tambah, betapa besar pengorbanan perempuan ini untukku, untuk masa depanku. Kenakalan kelas dua SMP ku kubur dalam-dalam, ku bakar tanpa sisa, kubuang semua. Aku tak boleh menambah airmata Emak jatuh, aku harus menjadi cahaya matanya yang dapat membahagiakannya. Selesai SMP ku yang bersejarah itu, aku mulai membantu Emak jualan di Pasar. Emak menolak karena takut aku akan terkantuk-kantuk di sekolah. Aku tak peduli, aku harus mampu meringankan bebannya. Sahabat percaya? Aku dapat bersekolah di  SMA Negeri favorit dan prestasi belajarku yang mengagumkan. Siswa kaya diantar orangtuanya naik mobil dan mengikuti les di tempat elite takluk kubuat! Itu semata karena semangat yang sangat dahsyat, semangat untuk membahagiakan Emak. Perempuan yang ingin kubuat matanya selalu bercahaya karena bahagia.
           

Rabu, 14 Februari 2018

MENJEMPUT IMPIAN DI KEUKENHOF (2)



SAHABAT BERANDAL (2)
            Sekolah SMP ku terdiri dari dua lantai. Sekolah yang sederhana dan bersendikan Islam, siswa perempuan di wajibkan berbusana muslim. Bangunan sekolah berleter U, di sebelah barat ada perpustakaan di lantai satu dan musala di lantai dua, bangunan ini masih terbuat dari papan. Hanya gedung belajar yang berdinding tembok dan punya langit-langit tinggi, jendela tidak terlalu besar seperti SD ku, tapi udara dapat mengalir dengan baik. Halaman yang digunakan untuk kegiatan olah raga dan upacara terletak di tengah, tidak begitu luas tapi cukup untuk menampung kami sekitar tiga ratus siswa yang terdiri dari unit SMP, MTs, MAS dan SMA. Sekolahku ini Yayasan Wakaf yang dikelola secara profesional, dikomandoi seorang ulama besar Ustadz H. Syihabuddin Syah. Beliau berasal dari Aceh yang lebih di kenal sebagai Teungku Syeh Keumala. Diantara unit-unit lain, SMP punya murid paling banyak sehingga nampak sangat menonjol. Itu informasi yang aku ketahui melalui kakak-kakak OSIS yang memberi ceramah saat MOS. Padahal, menurut pengamatanku mereka pasti sudah gagal menghafal sejarah itu, mereka masih melihat catatan.
            Jumlah kami sekelas ada tiga puluh empat  orang, jumlah berimbang antara siswa laki-laki dan perempuan. Kelas satu terdiri dari tiga kelas, aku masuk kedalam daftar kelas satu dua. Di kelas baru ini, tak satupun ada anak yang ku kenal sebelumnya, agaknya hanya aku sendiri dari siswa SD ku yang masuk kemari. Seragam sekolah ada tiga macam, Senin sampai Rabu memakai seragam biru putih lengkap dengan dasi biru yang melingkari leher berbentuk X. Kamis dan Jum’at seragam putih-putih, Sabtu memakai seragam Pramuka. Untuk kegiatan ekskul hari Minggu, kami boleh memilih antara Pramuka dan Inkado. Aku belum berpikir akan ikut ekskul yang mana, hari Minggu aku selalu menemani Emak ke pasar, berjualan sayur.
            Di kelas, sering terjadi keributan. Menurutku itu karena peralihan kebiasaan belajar waktu SD. Sedikit-sedikit mengadu kepada guru “ Bu..... rol saya di ambil si Anu “ atau “ Bu...si Anu nyontek punya saya...” atau “ Bu.... si Anu kentut !!”  Maka dari itu pula, guru masuk kelasku tak boleh malas, sedikit lengah maka kelas akan riuh rendah seperti ada konser boy band. Biasanya, guru rajin menerangkan sambil berjalan mengitari kelas, membumbui pelajaran dengan hal-hal konyol dan lucu. Suasana belajar sangat segar, kami sama sekali tidak mengantuk. Ada juga guru yang kerjanya hanya menyuruh kami mencatat, dia duduk tenang melamun dimejanya, menekan-nekan tombol kalkulator, entah apa yang di hitungnya. Tapi, untuk tahun pelajaran berikutnya dia sudah tak nampak lagi. Sekolah kami sangat ketat menyeleksi guru, seakan tembok memiliki mata. Aku bisa merasakan itu, guru yang tak kreatif dan malas pasti akan digantikan dengan yang lain, silih berganti. Yang berkualitas akan bertahan sampai tua dan mungkin juga sampai sakit dan mati.
            Diantara teman-teman, Willy dan Aji adalah anak yang paling ribut. Buku pelajaran yang dibawa tak pernah pas dan akurat dengan roster yang telah diberikan wali kelas. Jangan heran, empat pelajaran campur aduk dalam satu buku. Buku matematika berisi angka bercampur dengan aksara arab melayu yang hurufnya keriting merintil. Bukan main bingungnya buku si Aji menerima coretan yang tidak nyambung itu. Bertambah lagi bingungnya aku karena duduk sebangku dengan anak berandal itu. Aku juga kebagian akibat keberandalannya, meminjam pulpen setiap kali mencatat pelajaran atau menyontek latihan yang di tugaskan guru. Aku tak berdaya, tangannya yang besar mencengkeram pergelangan tanganku yang ringkih sehingga tulang terasa retak. Aku tak berani mengadu kepada guru, karena itu bukanlah tipe ku. Kubiarkan saja perlakuan itu sambil menyumpah serapah dalam hati, suatu saat aku akan membalasnya dengan lebih pedih dan sakit, awas!!
            Suatu kali, aku terlambat datang ke Sekolah, tanpa dasi pula. Emak mengeluarkan dasi yang persis seperti kacu pramuka putri itu dari dalam tasku dan mencucinya. Aku dan Emak lupa untuk memasukkan kembali kedalam tas, kebiasaanku memakai dasi X itu ketika aku  sampai di gerbang sekolah. Pintu gerbang sudah di tutup, kuintip dari sela-sela pagar, satpam hitam menyeramkan itu sedang berbicara dengan Pak Win, PKS tiga SMP ku yang juga tak kalah menyeramkan. Pak Win bertubuh tambun, berkulit hitam dengan mata yang kurang simetris. Suaranya menggelegar seperti namaku, Petir. Aku pernah merasakan sendiri kemarahannya sampai aku terkencing-kencing di celana dan aku di suruh pulang Bu Isra, guru BP yang cerewet minta ampun, kalau bicara seakan tak bisa berhenti, tapi ia sangat keibuan sekali.
            Waktu itu, aku lupa meminta Emak untuk menjahitkan simbol sekolah di baju seragamku yang baru. Padahal hari efektif sekolah sudah berjalan selama dua minggu. Aku dan beberapa siswa lain di giring ke lapangan sekolah, Willy dan Aji tidak termasuk. Mungkin mereka nakal dalam belajar saja, tapi atribut sekolah mereka lengkap. Aku pasrah menyeret kakiku yang layu, sebagai anak baru tentu saja aku takut luar biasa. Menghadapi lingkungan baru tidaklah mudah bagiku, ditambah lagi dengan disiplin yang ketat. Aku mulai merasakan kantung kemihku penuh buncah, kutahan saja, aku tak ingin menambah masalah dengan permisi ke kamar mandi.  
            Giliranku diinterogasi Pak Win, dimataku dia seperti algojo, menakutkan. Agaknya, dia siap untuk melumatku, menelanku bulat-bulat bersama sekalian daging dan tulang.
            “ Kenapa simbolnya belum di pasang ?” suaranya bergetar, kantung kemihku semakin padat, aku semakin takut.
            “ Lupa Pak...”
            “ Lupa? Sudah dua minggu masih lupa? lupa itu sehari dua hari boy...dua minggu itu bukan lagi lupa, tapi sengaja melupakan tau?” suara itu sama seperti namaku, Petir. Dia suka sekali menyelipkan kata boy di setiap akhir ucapannya. Belakangan aku tau bahwa Pak Win berasal sama dengan Andrea Hirata penulis hebat itu, dari daerah Bangka Belitung, pantas dia suka menyebut kami boy. Ketika suara Pak Win membahana layaknya suara orang pantai. aku  mendadak takut  dengan namaku sendiri. Kakiku bergetar, bibirku pucat menahan desakan dari perut dan cuuuurrrrr..... cairan kuning bening hangat itu meluncur tanpa kendali, aku kencing di celana.
            “ Haaa? Kenapa pula celanamu basah? Pengecut sekali rupanya kau boy... berani kau melanggar peraturan, tapi tak berani bertanggung jawab.” Suara itu agak melunak, temanku terkikik-kikik menahan tawa, bukan main malunya aku. Bu Isra muncul dari ruang BP, menatapku iba. Bukankah anda juga akan sangat iba melihat lelaki kecil yang ketakutan sampai terkencing di celana? Pak Win memberi isyarat kepada Bu Isra, aku tak paham apa maksudnya. Mataku mulai merah dan panas, aku ingin menangis.
            “ Besok, kau datang dengan atribut lengkap ya boy?... jangan kau ulangi lagi tingkah payahmu, jadi kerjaan kau...” pak Win beralih ke siswa lain, aku diserahkan kepada Bu Isra.
            “ Rumah mu dimana ? “ suara itu sangat iba, mata tajam teduh itu lekat menatapku.
            “ Di Kampung Lalang Bu....” airmataku mulai jatuh, air mata anak lelaki kelas satu SMP yang teramat sangat malang dan putus asa.
            “ Ibu akan membuat surat izin pulang, tapi besok kamu datang dengan atribut lengkap ya?” Bu Isra mengulangi perintah yang sama dengan perintah Pak Win yang seram itu. Aku mengangguk dalam, sedalam-dalamnya.
            Akhirnya aku pulang dengan celana basah, untunglah di angkot tidak banyak orang. Hanya beberapa orang dijalan yang memperhatikan celanaku yang basah, mungkin juga sudah mulai berbau pesing. Di pintu rumah, aku menghambur kepelukan Emak yang tak kalah baunya dari aku, Emak baru pulang dari pasar. Aku menangis sejadi-jadinya, menangisi kemalanganku, kelupaanku, juga kemaluanku, ma’af.... maksudnya rasa maluku. Emak mendengar sambil tersenyum, senyum renyah yang membuatku marah.
            Hiks..hiks  aku cerita sedih kenapa Emak senyam senyum?” Emak menjawab dengan senyumnya yang semakin lebar, aku kesal.
            “ Mak... emak suka aku malu? Takut sampe kencing di celana? Mak....!”
            “ Enggak, emak hanya heran, ternyata kamu penakut ya? Hehehe” Emak tertawa terkekeh-kekeh, aku merasa tak lucu. Perkataan Emak itu tentunya beralasan, karena selama ini aku adalah jagoannya. Aku satu-satunya lelaki di rumah dan Emak juga satu-satunya perempuan. Emak selalu minta perlindunganku untuk masalah-masalah kecil, meskipun aku juga anak kecil. Urusan pintu dan jendela, keamanan rumah sebelum tidur adalah tanggung jawabku, plus termasuk menemani Emak di malam buta menuju perigi di belakang rumah. Entah mengapa, sedari kecil Emak memposisikan aku sebagai lelaki yang bertanggung jawab. Ketika tangisku reda, Emak segera menyuruhku mandi, pakaian seragam putihku segera dibawanya ke Ajo tukang jahit yang berjarak seratus meter dari rumah.
            Kini, aku bermasalah lagi, terlambat dan tanpa dasi. Jika aku menerobos masuk, niscaya habislah aku menjadi mangsa Pak Win yang berdiri gagah di balik gerbang. Mungkin aku akan mengalami hal lebih parah dari masalah kencing di celana, bisa saja aku berak di celana. Dalam kebingungan, muncul si bengal Willy  yang melangkah tanpa beban dengan tangan dimasukkan ke saku celana, bersiul-siul bahagia. Dia melirikku ganjil, menyeringai seram layaknya jin, dengan gigi ginsulnya yang menyerupai taring.
            “ Enggak bisa masuk ya?” dia memanjangkan lehernya seakan ingin melihat situasi di balik gerbang yang rapat, kakinya berjinjit. Meski dia tinggi tentu saja dia tak dapat melihat kegiatan dibalik gerbang sekolah yang tinggi. Aku menyesali diri karena bangun kesiangan, ditambah lagi tadi di pasar disuruh Emak membeli kantong plastik di toko Asiong yang antri, Emak kehabisan kantong plastik untuk mengisi sayur belanjaan langganannya.
            “ Kita enggak bisa masuk Wil... ada satpam sama Pak Win, gimana ni?” aku mulai putus asa sekaligus heran melihat Willy yang senyum bahagia seakan tak ada beban.
            “ Kita ke rumahku aja, gimana?” usulnya nakal dan sangat berani.
            “ Di rumahku enggak ada orang, kita aman. Nanti jam pulang sekolah, kau bisa pulang. Emak mu enggak tau kan? Gimana? “ dia melirikku semakin jahat, aku tak punya pilihan lain dan mengikuti ajakannya. Daripada menghadapi Pak Win yang bersuara petir, pikirku. Sedikit banyak, aku trauma terhadap kasusku sebelumnya.
            Rumah Willy besar, gagah dan megah. Jaraknya tak jauh dari sekolah, hanya berkisar lima ratus meter. Halamannya cukup luas, ada beberapa permainan anak-anak di situ. Sebuah mobil bagus parkir di garasi, dia memang anak orang berada dan aku baru tahu. Penampilan fisiknya tidak menunjukkan dia orang yang berkelebihan, pakaiannya tak pernah rapi, acak-acakan seperti tak terurus. Hanya badannya saja yang besar, menunjukkan dia mendapatkan cukup gizi untuk pertumbuhannya. Rumah besar itu sepi, hanya ditunggui seorang perempuan setengah baya yang sibuk memasak dan seorang bapak yang sibuk menyiram tanaman. Willy mengajakku ke kamarnya yang juga luas, ada televisi besar yang bisa di gunakan untuk bermain PS, kasetnya banyak sekali. Kaleng biskuit bertumpuk-tumpuk, kelihatan sekali temanku ini suka ngemil.         
            Siang itu, aku menghabiskan waktu di rumah temanku yang bengal dan kaya raya. Aku pulang siang sebagaimana jam pulang sekolah, Emak pasti tak tahu. Malamnya, keasyikan itu terbawa tidur. Aku sangat menikmati hari kebolosanku, bermain PS sepuas hatiku, makan sekenyangku tanpa ada yang melarang ataupun tahu. Orangtua Willy keduanya bekerja dan selalu pulang ketika malam menjelang, sama seperti aku dia anak semata wayang. Pembantu di rumah tak punya kuasa atas semua perilakunya, mereka hanya pekerja yang hanya cukup memenuhi kewajiban tanpa harus tahu semua urusan. Willy adalah anak bebas, bebas dengan apa yang semua  ia miliki. Tentu saja aku adalah kebalikannya, menikmati hidupku dengan segala keterbatasan. Emak ku yang penjual sayur dan Ayah yang tak pernah ku kenal rupa wajahnya. Yang disimpan Emak hanya sebuah foto kusam saat mereka menikah, itupun sisa foto yang terseret banjir ketika usiaku empat tahun. Aku benar-benar tak tahu rupa ayahku.
            Aku mulai suka pada rutinitas kebolosanku, ke rumah Willy. Seakan itu adalah aktifitas dan minat utamaku, bukan belajar. Aku tak menyadari jika aku sudah masuk catatan hitam di sekolah, namaku berdampingan dengan nama Willy. Dosa kami sama, sehingga catatan itu berdampingan, kejar mengejar seakan berlomba membuat daftar dosa yang semakin lebar. Kenakalan sahabatku ini dan aku juga tentunya ternyata sangat mengerikan, dia pernah menawarkan aku rokok. Aku mencobanya dan batuk-batuk seakan dadaku mau pecah, bibirku serasa membesar perpuluh-puluh kali lipat. Tak sekali aku mencoba, tapi berkali-kali. Tetapi tubuh ringkihku menolak, aku tak pernah bisa merokok dan akhirnya aku menyerah. Menyadari keadaanku, Willy tak lagi membujuk dan merayu untuk mencoba, mungkin juga dia takut aku mati di kamarnya dan menjadi urusan. Sementara sahabatku ini, merokok seperti bapak-bapak, padahal pada waktu itu kami masih SMP kelas satu menjelang naik ke kelas dua. Jika pulang ke rumah, aku segera merendam pakaian seragamku yang berbau rokok agar Emak tak curiga, aku mendadak rajin mencuci pakaianku sendiri. Emak sumringah, mendapati anak lelakinya yang baik budi dan rupa-eh
            Surat itu kini ada dalam genggaman, aku gemetar takut. Itu adalah surat kedua, surat panggilan untuk orangtua yang beranak bengal dan berandal. Kini, aku ada dalam daftar itu, dan aku menjadi anak yang butuh perhatian khusus. Surat pertama tak pernah sampai ke tangan Emak. Sebelum sampai rumah, aku sudah terlebih dulu mencampakkannya ke tong sampah setelah kurobek-robek sedemikian rupa. Tentu saja Willy menyuruhku, karena ia melakukan hal yang sama. Kini surat kedua ada di tanganku, dengan kata-kata mutiara dari Bu Isra yang mendadak kejam
            “ Ibu tau, surat pertama tak pernah sampai ketangan Ibumu, kamu pasti sudah membuangnya. Jika surat ini tak sampai juga dan Ibumu tak datang, Ibu dan Pak Win akan menyusul kerumahmu”, Bu Isra mencondongkan wajahnya dengan mata mengancam, aku ciut. Pak Win tentu saja tidak main-main kepada anak yang tidak disiplin, apalagi kurang ajar sepertiku.
            Malam sebelum tidur, kuserahkan surat itu pada Emak dengan kegalauan yang luar biasa. Aku sudah siap-siap mendapati cerca dan sumpah serapahnya. Aku meringkuk di sudut ruangan yang remang, siap dipecut. Emak membaca surat itu dengan ekspresi kesedihan luar biasa, matanya merah. Tapi, cerca dan sumpah serapah itu tidak ada, Emak memang wanita yang tak pernah marah, hanya sedikit cerewet saja itupun kurasa karena pengaruh profesinya sebagai pedagang sayur di pasar yang bergaul dengan orang-orang kasar. Emak menangis, tidak bertanya apa-apa, juga tidak menyapaku yang meringkuk di sudut ruang. Emak beranjak ke perigi di belakang rumah, kembali dengan wajah basah. Emak membentang sajadah, sholat dan menangis tersedu-sedu  mengadu pada Allah. Aku ikut menangis pilu, menyesal.
            Emak terpaksa menghadap guru BP atas kenakalanku yang sering bolos. Emak nampak sedih dan tertekan, aku berjanji dalam hati untuk tidak lagi mengulangi kenakalanku. Willy agaknya belum bertobat, dia masih sering merayuku untuk ke rumahnya. Aku menolak tegas, membayangkan wajah Emak yang letih saja aku sudah cukup perih. Aku berjanji dalam hati untuk bertobat, tak lagi bolos sekolah dan belajar sungguh-sungguh, demi Emak dan masa depanku.
            Di kelas dua SMP, aku tentu saja memasuki dunia puber remaja. Aku mulai suka melihat teman perempuan, mengamati bentuk tubuh mereka secara diam-diam. Tuhan memang maha hebat, menciptakan perempuan dengan sedemikan rupa. Semua yang ada pada perempuan cantik, mulai dari wajah, tubuh sampai kepada suaranya. Aku sangat menyukai sahabat perempuan yang bersuara empuk. Kini, Aji yang membisik-bisikkan rayuan syetan. Katanya dia pernah memegang bokong siswi sekelas kami, ada sensasi di sana. Katanya lagi, bokong anak perempuan sintal dan padat, aku berdebar dan ingin mencobanya.
            Tentu saja aku tidak bodoh mencoba dengan terang-terangan. Ketika masuk jam istirahat dan teman-teman sibuk menuju kantin, aku akan mencuri kesempatan memegang bokong siswi yang paling bahenol sekelas. Dia terpekik tertahan, mencari sumber keisengan itu tapi ia tak mendapatinya karena semua berbaur. Jantungku berdebar keras, merasakan sensasi itu, merasakan bokong perempuan. Aku merasa aman, karena Cici tak tau siapa yang sudah berani memegang area belakangnya. Itu terjadi lebih dari dua kali, aku masih aman.
            Kini, kenakalan itu semakin menjalar. Aji semakin menghembuskan nafas syetannya, kami mulai mengamati dada yang tertutup jilbab itu. Kami ingin mencari momen yang tepat agar dapat menyentuhnya, seperti apa rasanya menyentuh gumpalan itu. Akhirnya itu terjadi, dan sialnya aku yang kena. Jam istirahat, seperti modus sebelumnya aku mencoba mendesak-desak teman perempuan. Tapi agaknya teman-teman perempuan sudah mulai awas, Pricilla menjerit keras ketika merasa ada yang sengaja menyentuh dadanya. Semua mata mengarah kepadaku, aku tertangkap basah dan tak berdaya. Bu Tri yang masih ada di kelas menggiringku ke kantor BP. Teman-teman berteriak huuuuuuuu.... membahana dan panjang, aku terpojok dalam lautan malu.
            Aku kembali di sidang di ruang BP, semua menyudutkanku, termasuk si Aji syetan begundal itu. Siswi-siswi perempuan yang menjadi korban beranggapan aku adalah satu-satunya siswa gatal yang sudah berani menyentuh tubuh mereka. Padahal Aji biang kerok juga, yang termasuk menghembuskan nafas syetannya padaku. Tapi aku terjepit dan tak bisa membela diri, aku pasrah dan diam, tunduk mengkerut seperti kucing di siram air.
            Suara Bu Isra melengking tinggi, tak ada lagi aura keibuan di wajahnya. Mungkin ia lelah menghadapi kenakalanku, atau mungkin juga dia membenciku. Anak berandal yang tak tau di untung, miskin tapi belagu. Sesekali jari telunjuknya menuding-nuding mukaku, jika bisa di makan, mungkin aku sudah ditelannya bulat-bulat tanpa di kunyah karena dagingku yang keras akibat kenakalan.
            “ Ada apa Bu Isra ? “ suara itu terdengar tegas. Aku melirik, Ibu Frida berdiri di depan pintu ruang BP, sedari tadi aku tak melihat Pak Win, mungkin dia tidak datang.
            “ Ini si Petir, dia memegang dada dan pantat teman sekelasnya, kurang ajar sekali, ini pelecehan seksual, ada hukumnya....”Bu Isra menerangkan dengan  emosi yang belum reda, aku merinding, jika bicara hukum berarti aku bisa berurusan dengan polisi.
            “ Udah... enggak apa-apa. Petir jadi urusan saya, yok... ke ruangan Ibu” Bu Frida merangkulku, mengajak berjalan menuju kantornya, di sebelah ruang BP. Aku tengggelam dalam rangkulannya, dia besar sekali untuk ukuran seorang perempuan.
            Bu Frida adalah guru IPS yang masuk ke kelasku juga. Beliau adalah PKS satu yang berurusan dengan kurikulum. Waktu mendaftar pertama masuk, beliaulah yang memyambutku, orang pertama seumur hidup yang mengatakan bahwa namaku bagus. Ibu ini sangat modis, walau terkadang terkesan norak. Hari itu, mata tajamnya tak di hiasi bulu mata lurus-lurus runcing. Tapi bulu mata itu nampak patah keatas, di kuatkan dengan cairan hitam maskara. Kelopak matanya berwarna abu-abu, sesuai dengan busana dan jilbab yang dikenakannya. Wajahnya bercahaya, nampak cantik.
            Aku duduk di seberang mejanya, terpacak di kursi biru dengan dudukan dan sandaran lembut, kursi itu memiliki roda dan bisa berputar. Aku pernah juga melihat kursi seperti ini di bank ketika Emak mengajakku untuk menabung, tapi kursi itu diduduki pegawai bank, bukan penunggu antrian. Bu Frida menatapku seperti tatapan seorang ibu.
            “ Kamu Petir kan? “
            “ Iya Bu...”
            “ Kamu memanggil Ibu mu apa, Ibu, Mama, Mami, Mamak, atau Bunda? “
            “ Emak bu....”
            “Oo....Emak, Emakmu berjualan sayur kan?“ aku menggangguk, sedikit bingung. Aku yang nakal kenapa pula Emak yang di tanya-tanya?
            “Ibu selalu belanja sayur di pasar di tempat Emakmu, Ibu sangat mengenal Emakmu....” Ibu Frida menarik nafas panjang. Nasehat itu mulai meluncur dari bibirnya yang diolesi lipstick merah jambu. Ia menjelaskan tentang puber, pengendalian diri, iman, cita-cita dan masa depan. Aku tak merasa digurui sama sekali, nafasku terasa sesak, aku menangis.
            “Kamu tak pernah mengenal Ayahmu, yang kamu punya hanya emakmu yang tubuhnya habis untuk menafkahimu. Mengapa kamu masih mengkhianatinya Tir? Dia tak punya siapa-siapa selain kamu anaknya. Kamu tau apa cita-cita emakmu? Dia ingin kelak kau akan menjadi sarjana, mengangkat harkat martabatnya yang seorang janda. Pernahkah kau disakiti emakmu sehingga kau mengkhianatinya?” aku menggeleng-menggeleng sambil tersedu. Ibu Frida membuka sebuah buku besar yang sempat kulirik tulisan besar di sampulnya, DKN.
            “Emakmu tak berlebihan menggantungkan cita-citanya padamu Tir, nilaimu semua bagus. Semua nilaimu diatas rata-rata, kamu anak cerdas. Jangan kamu ikuti teman-teman yang bodoh dan berkepala kosong itu, belajarlah dengan kesungguhan. Buktikan pada Emakmu bahwa kamu anak yang bisa di banggakannya.” Bu Frida menghampiriku yang tersedu, air mataku bercampur ingus yang turun naik. Ia menyentuh kepalaku, mengelusnya layak seorang Ibu pada anaknya, aku teringat Emak dan ingin memeluknya, aku ingin minta ma’af.
            “ Di rumah nanti kamu minta ma’af pada Emak ya?” Aku mengangguk, mencium tangan Ibu guruku yang baik ini. Ingus dan air mataku lengket di telapak  tangannya bagian atas, beliau tidak jijik atau mencoba mengusapnya. Dibiarkannya saja lendir itu menempel di tangannya.
            Itulah yang ingin kukatakan pada kalian sahabat, bahwa Bu Frida ini yang benar-benar berhasil meyentuh urat syaraf kesadaranku. Aku bertekad untuk membahagiakan Emak dan menjadi anak baik yang meninggalkan segala kenakalan masa puber yang terkadang liar tak terkendalikan. Di rumah, aku memeluk Emak dengan tersedu-sedu tapi tak berani menceritakan apa yang sudah terjadi. Aku malu pada Emak, atas tingkahku memegang bokong dan dada anak perempuan teman sekelasku. Emak hanya menikmati tangis dan pelukanku tanpa bertanya apa-apa. Bukankah esok pagi ia akan bisa bertanya pada Bu Frida langganannya, yang saban subuh muncul membeli sayur segar? Malam itu, aku tidur bersama Emak. Merasakan nafas hangat dan belaian halus tangannya.