CAHAYA MATA (3)
Anak
yatim, itu gelarku. Semenjak lahir aku sudah tak mengenal Ayah, lidahku tak
pernah terlatih untuk memanggil seorang lelaki dengan sebutan Ayah. Yang aku
tahu dalam hidupku hanya Emak, sosok perempuan yang sama sekali tidak aku
takuti. Emak hanya punya satu saudara laki-laki yang telah meninggal pula, Wak
Junaedi namanya. Wak Junaedi meninggal kala usiaku lima tahun, masih dalam
keadaan bujang karat yang otomatis tak punya keturunan. Tentang Ayahku, aku tak
tahu banyak. Menurut cerita Emak, Ayah juga sebatang kara karena keturunan Ibu
Bapaknya habis di bantai tentara sewaktu perang DI/TII di Aceh. Selanjutnya
lagi, sisa keturunan yang lain habis di babat tentara saat DOM atau jikapun
masih ada, mungkin sudah di hapus tsunami. Sebab itulah Emak tak bisa
menggantungkan diri pada siapapun untuk membesarkan aku. Keringatnya adalah
nafasku.
Emak selalu mewanti-wanti, jika
nanti aku dewasa dan punya keluarga. Anakku harus banyak, tak boleh kurang dari
lima atau bila dapat aku harus punya anak dua belas. Aku melotot tercekik,
perempuan mana nanti yang mau disuruh beranak dua belas? Bisa-bisa aku juga
jadi bujang karat seperti Wak Junaedi yang mati sebelum merasakan pelukan
perempuan. Tapi aku bisa maklum karena kepedihan yang dirasakan Emak yang tak
punya saudara. Membesarkan aku seorang diri, tanpa ada tempat bercurah
pendapat. Merasakan getirnya hidup dengan anak lelakinya yang nakal.
Karena tak pernah mengenal sosok
Ayah lah mungkin membuat hidupku agak timpang. Aku tak pernah takut pada Emak.
Emak tak pernah marah atau berlaku kasar padaku, aku adalah permatanya. Jikapun
aku berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi lagi kenakalan masa SMP
ku, itu karena semata rasa sayang pada Emak. Sayang yang dalam dan luar biasa,
tak dapat aku ungkapkan dengan kata-kata. Ini sangat terbukti, jika Emak sakit,
badan dan jiwaku lumpuh layu. Penyakit akutku kambuh, aku terkencing-kencing
karena stres. Jika Emak tiada, kemana aku? Bagaimana hidupku? aku pun ingin
mati saja. Padahal Emak Cuma batuk karena terpaan angin dini hari di Pasar.
Selepas kejadian besar memalukan
memegang dada teman perempuanku, Emak semakin hati-hati menghadapiku. Jika sore
datang, emak menyuruhku segera mandi dan pergi mengaji ke rumah ustadz Syafri.
Sejak SD aku memang sudah mengaji di balai depan rumah ustadz Syafri. Tapi Emak
biasanya tak terlalu menuntutku, kulakukan saja sesukaku. Jika aku ingin
mengaji aku akan pergi, jika tidak aku akan di rumah saja menonton TV, membaca
komik atau belajar. Kemarin aku memperhatikan Emak serius bercakap-cakap dengan
ustadz muda itu. Aku yakin Emak pasti membicarakan kenakalanku, mimik ustadz
Syafri berubah-ubah. Sesekali dia tersenyum, tertawa dan terkadang
manggut-manggut sambil mengelus jenggotnya. Aku mencuri-curi pandang ke arah
mereka, dadaku menggelegak karena malu dan takut.
Ustadz Syafri berkulit putih dihiasi
bibir merah jambu segar layaknya perempuan. Rambutnya hitam pekat, sehitam
janggut tipis dan alisnya. Matanya dalam dan tajam, lidahnya fasih melantunkan
ayat alqur’an, suaranya merdu dan punya tubuh tinggi atletis. Ustadz Syafri
adalah alumni pasantren terkenal di Jawa dan masih kuliah di IAIN, orangnya
tenang dan tak banyak bicara. Banyak Ibu-ibu tergila-gila padanya,
menjodohkannya dengan anak gadis mereka. Ustadz Syafri bergeming, Ibu-ibu
semakin penasaran. Setahuku, ada beberapa perempuan tak tahu malu mendekatinya
dengan berlagak alim. Wulan dan Sari mendadak memakai jilbab dan rajin mengaji.
Tapi tetap saja di rumah pakai celana pendek dan tertawa terkakak-kakak, bukankah
ustadz Syafri bukan pemuda bodoh? Jiwa remajaku berpendapat, pasti ustadz
Syafri mencari perempuan yang tepat untuk menjadi pasangan hidupnya kelak.
Tentu saja bukan perempuan alim dadakan yang tak jelas. Berjilbab tapi masih
menebar gosip, tertawa ngakak, duduk kangkang atau ngupil dan kentut di depan
orang. Dia masih menunggu atau mengintip
perempuan yang tepat.
Itu terjadi ketika aku sudah duduk
di SMA dan telah menjadi asistennya. Ustadz Syafri menikah dengan seorang
perempuan anak pemilik pesantren terkenal di Langkat, anak seorang Kyai. Nama
perempuan itu Syifa Annadwa, nama yang cantik. Postur fisiknya hampir sempurna
dan sangat cocok berdampingan dengan ustadz Syafri. Yang membuat aku
terkagum-kagum adalah tutur bahasanya yang santun, senyum yang selalu
mengembang, mata yang sangat sejuk dan teduh. Mungkin itulah yang dinamakan
dengan aura, kecantikan yang terpancar dari dalam itu luar biasa menghipnotis.
Perempuan itu tepat menjadi pendamping hidup ustadz Syafri, baik semua
nasabnya, kecantikannya, agama dan hartanya.
“ Aku ingin punya istri seperti Umi
Syifa....” kataku pada Emak, ketika disuatu malam purnama kami duduk di depan
rumah memperhatikan anak-anak bermain di gang sepulang mereka mengaji sambil
menikmati ubi rebus hangat.
“ Ehhehe, setuju. Dimana nanti
dapatmu? “
“ Entahlah Mak, ada lagi enggak ya?
Perempuan seperti Umi Syifa nanti untuk jadi istriku....” ucapanku mengambang,
waktu itu aku duduk di kelas dua SMA. Emak terkekeh-kekeh.
“ Masih jauh Tir.... Tuhan masih
sempat mempersiapkannya untukmu “ Emak masuk kedalam rumah sambil terus membawa
senyumnya. Bahasa Emak mendadak indah sekali, Tuhan masih sempat mempersiapkan
untukku karena waktuku yang masih panjang. Ada-ada saja Emak, pikirku ikut
tersenyum.
“ Mak... perempuan cantik begitu,
mau enggak ya? Beranak dua belas...? “ kususul Emak kedalam rumah. Tawa Emak
semakin mengembang, sedikit membahana.
“ Kawin dua atau tiga aja, biar
anakmu banyak, hahaha “ Tawa Emak semakin keras, aku ikut tertawa. Beristri
banyak? Ah... Emak, aku tak pernah memikirkannya.
Awal kepulangan Ustadz Syafri dari
pesantren dia mulai mengumpulkan anak-anak di sekitar rumah orangtuanya yang
biasa kami panggil Wak Haji. Mungkin dia jengah melihat kami anak-anak bengal
yang keliaran pada remang petang, sementara orangtua menjerit-jerit menyuruh
kami pulang diabaikan. Awalnya hanya ada tujuh orang, termasuk aku salah
satunya. Ustadz Syafri mengajarkan kami membaca Alqur’an, sholat dan ibadah
lainnya. Yang menarik, setiap malam minggu Wak Haji menyiapkan kami kudapan.
Ada jagung rebus, pisang rebus, singkong rebus atau roti kering. Maka, ramailah
anak-anak datang mengaji sehingga terkadang Ustadz Syafri turun tangan.
Ruangan keluarga yang digunakan untuk mengaji tak lagi muat, di buatlah
balai-balai di depan rumah untuk menampung lima puluh anak.
Kami libur mengaji hanya pada malam
Jum’at karena Ustadz Syafri pergi wirid yasin. Malam minggu kami tetap mengaji
di tambah lagi akan mendapatkan suguhan enak dari Wak Haji, maka ramailah balai
itu dengan anak-anak bengal lapar yang seakan tak pernah di kasi makan oleh
ibunya sendiri. Wak haji tersenyum menghadapi kami, mungkin dia suka melihat
keramaian anak-anak atau karena suguhannya terasa bermakna, entahlah.
Karena jumlah kami yang semakin
banyak, kami belajar secara berkelompok dan masing-masing kelompok punya
pembimbing sendiri. Siapa yang pintar, dia akan menjadi pembimbing kelompok.
Aku belajar dari kelas enam SD dan mulai menjadi pembimbing kelompok ketika
kelas tiga SMP, ketika suaraku sudah semakin berat dan mulai berjakun. Aku benci pada suaraku sendiri yang terasa
sulit sekali dikendalikan. Jika bicara, aku merasa itu bukanlah suaraku,
seperti mendengar suara orang lain. Ustadz Syafri jarang bicara, kami sangat
segan pada Ustadz muda ganteng itu. Suaranya berat tapi merdu, dia cukup
berdehem untuk menenangkan kami, tak perlu merepet seperti Emak-Emak kami.
Setelah pembicaraan dengan Emak selepas
kejadian memalukan itu, Ustadz Syafri mulai banyak berkata-kata. Setiap selesai
pengajian, beliau menyampaikan nasehat yang menyejukkan jiwa. Tak jarang
sepulang mengaji kami akan menyalami orangtua kami sambil menangis, sujud dalam
sholat kami menangis, sebagian kami menjadi anak yang baik. Gang Rukun mulai
dihuni anak-anak yang baik, tak lagi berkeliaran pada remang petang atau pulang
tengah malam karena asyik bermain. Jikapun ada yang masih bengal, itu adalah
keturunan karena Ibu Bapaknya yang tak kalah bengal atau mungkin saja karena
makan dari hasil uang tak jelas. Seperti si Ali, masih saja bercakap kotor dan
menyumpah serapah pada ibunya. Sumpah serapah ibu dan anak itu bersahut-sahutan
seperti irama musik rock, kabarnya Ayah si Ali adalah Polisi yang suka menilang
tanpa sebab. Bisa saja uang yang dibelanjakan Ibunya adalah uang kutukan, di
kutuk orang-orang yang marah diajak berdamai ditengah jalan, entahlah. Yang
jelas, ibu-ibu dan anak gadisnya semakin gila pada Ustadz muda itu, kemudian
patah hati ketika Ustadz idolanya menikah dengan seorang perempuan cantik
solihah.
Semenjak
aku tau karena usia kesadaranku, Emak tak pernah ada ketika aku bangun pagi.
Yang membangunkanku adalah jam weker yang telah diatur sedemikian rupa,
berdering memekakkan telinga. Setelah itu aku akan segera mandi, memakai
seragam sekolah yang telah dipersiapkan Emak diatas sebuah meja kecil di sudut
kamarku. Jika semua beres, aku akan mengunci pintu dan berjalan ke pasar yang
berjarak limaratus meter dari rumah. Di sana aku akan disuguhi Emak sarapan
nasi gurih dan segelas susu, aku makan sambil memperhatikan Emak yang berjualan
sayur segar. Setelah itu, Emak akan memberiku uang saku, mengelus kepalaku
dengan mata penuh harapan pada anak bujang semata wayang. Aku menyalami Emak,
mencium tangan dan pipinya dengan takjim dan berangkat sekolah. Semua mata
seakan memandangku, itulah yang kulakukan dari awal kesadaranku sampai aku
kelas tiga SMP.
Aku
selalu bertanya pada Emak, sejarah masa bayiku. Emak tak mau bercerita banyak,
matanya seakan menyimpan sejarah pedih. Aku ingin tau, jika Emak berjualan di
pasar aku di titip pada siapa? Ternyata cerita sejarah itu kudapat dari Ompung Purba, nenek centil berbibir
merah karena sirih itu berjualan sayur di samping Emak. Mereka dekat ibarat
saudara, tak pernah ada iri atau dengki. Padahal jenis yang di jual Emak dan
Ompung Purba sama, mereka sangat sportif.
“ Dari
bayi kau sudah dibawanya jualan...” Ompung Purba memulai sejarah itu, aku
berdebar.
“ Habis
melahirkan kau, waktu itu umurmu baru dua bulan. Emakmu pagi buta berjalan di
pasar ini, tak punya tujuan. Ku tengok dia mondar-mandir tak punya arah, bukan
mau belanja. Kau menangis dalam gendongannya, orang-orang mulai memperhatikan
Emakmu “ Ompung Purba menarik nafas panjang, seakan mengumpulkan kekuatan untuk
dapat menceritakan sejarah penting itu.
“
Mendengar suara bayi menangis, aku tak bisa menahan diri. Ku tanya keperluan
Emakmu, dia malah menangis di hadapanku....” Ompung Purba membuang ludahnya
yang merah sebelum melanjutkan cerita.
“ Dia
bingung mau kerja apa untuk membiayai hidup kalian, dia janda dan tak punya
apa-apa, juga tak punya saudara. Awalnya Emakmu mau mencari sayur yang tak
dipakai atau sisa-sisa jualan untuk dibawa pulang dan di rebus. Tapi dia
bingung untuk memulai dari mana, jadilah Emakmu berjalan tak tahu arah “
“
Akhirnya Ompung tawari Emakmu jualan sayur di sini, kebetulan di samping ompung
ada tempat kosong. Awalnya, ompung yang modali Emakmu sampai dia bisa berdiri
sendiri...” Ompung Purba menghapus matanya yang merah, mungkin dia teringat
Emak dan bayinya waktu itu.
“ Waktu
Emak mulai jualan, aku dititipkan dimana Pung?” tanyaku sedih bercampur penasaran.
“ Kau
tetap dibawanya setiap subuh, kau tetap digendongnya supaya tetap hangat dan
kau terus menyusu di balik kain gendonganmu yang rapat. Tak pernah kau
ditinggalkannya sebentarpun. Kurasa... berak pun kau dibawanya!” Ompung Purba
tersenyum, mencoba membuat lelucon. Aku sama sekali tak tersenyum, melainkan
merasakan suatu kepedihan yang menyayat. Aku memang tak pernah duduk di bangku
TK, karena aku masih di bawa Emak berjualan ke pasar. SD aku baru mulai
melakukan rutinitas pagi seperti yang kuceritakan tadi. Keadaan agaknya
membuatku mandiri, atau terpaksa mandiri.
Cinta
dan sayangku pada Emak bertambah-tambah, betapa besar pengorbanan perempuan ini
untukku, untuk masa depanku. Kenakalan kelas dua SMP ku kubur dalam-dalam, ku
bakar tanpa sisa, kubuang semua. Aku tak boleh menambah airmata Emak jatuh, aku
harus menjadi cahaya matanya yang dapat membahagiakannya. Selesai SMP ku yang
bersejarah itu, aku mulai membantu Emak jualan di Pasar. Emak menolak karena
takut aku akan terkantuk-kantuk di sekolah. Aku tak peduli, aku harus mampu
meringankan bebannya. Sahabat percaya? Aku dapat bersekolah di SMA Negeri favorit dan prestasi belajarku
yang mengagumkan. Siswa kaya diantar orangtuanya naik mobil dan mengikuti les
di tempat elite takluk kubuat! Itu semata karena semangat yang sangat dahsyat,
semangat untuk membahagiakan Emak. Perempuan yang ingin kubuat matanya selalu
bercahaya karena bahagia.