Senin, 27 April 2015

BATU AKIK PENYEBAB KEHILANGAN KESADARAN





            Farhat menyeka keringat yang mengucur deras di pelipisnya, matanya nanar memandang jalan yang terasa masih sangat panjang. Jalan hitam tampak berkilau diterpa cahaya matahari yang tepat berada di atas puncak kepala. Farhat menyipit sejenak, alam bawah sadarnya membisikkan “black jack” jalan hitam itu berubah menjadi akik hitam besar dengan berat ber ton-ton. Farhat menggeleng-gelengkan kepala, menepis bayang imajinasinya. Keringat meleleh ke tengkuknya yang bercampur dengan minyak rambut. Farhat mengusap wajahnya, melenguh sekerasnya tapi bara matahari benar-benar tak bisa berdamai.
            “Akik sialan!” jerit Farhat dalam hati. Demam akik sudah membuatnya cukup merana, seperti hari ini contohnya. Ia diusir dari kelas karena belum menyelesaikan SPP tiga bulan. Bidang keuangan sudah memintanya untuk memanggil orangtua untuk konfirmasi. Biasanya, jika itu memang masalah ekonomi pihak sekolah masih sangat toleransi. Orangtua perlu diajak bicara untuk menggali informasi ada apa gerangan dengan SPP anaknya? Hal ini untuk menghindari anak-anak nakal yang suka menyalah gunakan kepercayaan orangtua dan Farhat sudah melakukannya dan dia masuk kategori itu sekarang. Ya! FARHAT MENGGUNAKAN UANG SPP UNTUK MEMBELI BATU AKIK.  Jleb!
            Setiap pergi dan pulang sekolah, Farhat selalu melewati kerumunan orang-orang mengasah batu akik dan membuatnya menjadi cincin. Awalnya Farhat hanya melihat saja, tapi lama kelamaan tergoda dan ingin memilikinya. Awalnya ia punya satu, tapi ia dengar bisik-bisik bahwa batu akik itu bisa dijadikan investasi. Dengan kata lain beli saja banyak-banyak dan jual lagi dengan harga tinggi, seperti emas gitu…dan Farhat melakukannya diam-diam tanpa setahu ayah dan ibu. Ada beberapa batu akik yang laku dibeli temannya, tapi kemudian uang itu ia belikan lagi batu akik yang baru, ada jenis bio solar, bacan, panca warna, giok aceh, black jack, merah delima, kecubung kasih, belimbing dan… dan… total sekarang ia punya lima puluh lima batu cincin. Duhai… jari tangan saja jumlahnya sepuluh, okelaaah tambah cari kaki jadi dua puluh, masih lebih banyak batu cincinnya ya? Daripada jumlah jari Farhat. Baiklaah.. katanya kan buat dijual lagi, hmmm… mari kita maklumi.
            Hampir setengah jam Farhat berlari, akhirnya ia sampai ke rumahnya yang bercat hijau, di halaman tumbuh aneka  pohon buah-buahan. Pohon mangga, jambu air, jambu biji hingga sawi dan bayam hijau memesona. Di sudut-sudut pagar ibu menanamnya dengan pohon ubi, pohon kari, jeruk purut dan rumpun sere. Ibu yang hebat, setiap kali memasak ia cukup memetik di halaman rumah, sayuran segar yang diolah menjadi santapan lezat setiap hari ada di meja makan. Tapi, hari ini Nampak sayuran itu sudah dicabut habis, Dari luar, Farhat mendengar suara music dangdut diset sangat keras, diiringi dengan suara-suara tidak jelas. Farhat membuka pintu rumah, ayahnya duduk di kursi sambil mengepulkan asap tebal dari sebatang rokok. Jari jemarinya dipenuhi cincin batu akik, lengkap pula dengan kalung berbandul batu akik yang besar menggantung di lehernya. Farhat mendelik kaget, ia tak pernah melihat ayah seperti ini. Di dapur, ibu menceracau seperti orang kesurupan, daster lusuhnya semakin lusuh, rambutnya naik ke atas, alisnya semakin tinggi dan bibir tipisnya bergerak kesana kemari tak jelas. Dan… mata ibu memerah, tangannya gemetar, dadanya bergemuruh turun naik penuh emosi.
            “Aku gak mau tau, Yah… hutangku di warung semakin banyak. Aku sudah malu belanja, aku sudah berjuang sebulan ini, menunggu janji Ayah. Tapi apa yang kudapat haa? Apa mungkin aku ngasi anak-anak makan hanya pakai garam! Pakai minyak jelanta! Bodoh nanti anakmu, Yaaahh!” Ibu menjerit tertahan. Ayah kembali mengepulkan asap.
            “Sabarlah, Bu. Besok kalau batu ini laku sampai lima juta kan kau juga yang senang,” jawab ayah dengan tenang, cool..
            “Apa? Sampai batu itu laku? Sampai kapan? Nunggu rambutku putih? Nunggu aku mati kelaparan?” ibu duduk di samping ayah, Farhat masih beku di depan pintu.
            “Aku enggak mau tau, Yah. Pergi sekarang, jual semua cincinmu. Kasi aku uang belanja hari ini, beras sudah habis,” ibu menggeram, ayah masih duduk tenang menghisap rokoknya, asap kerusuhan semakin tebal. Ibu bangkit, menarik jemari ayah dengan paksa, persis seperti perampok amatir. Ibu mencabut semua cincin yang melekat di tangan ayah, menarik kalungnya, masuk ke kamar dan mengeluarkan satu kotak besar aneka bebatuan. Bola mata Farhat membulat, lidahnya semakin beku, hawa kematiannya semakin dekat.
            “Mau kemana?” Ayah bangkit, matanya begitu garang.
            “Mau aku jual sekarang,” ibu menjawab gemetar.
            “Jangan sembarangan! Itu nilainya puluhan juta!” Ayah mulai keras, ibu terduduk lemah.
            “Ayah, aku sudah puluhan tahun menjadi istrimu. Aku tak pernah minta uang puluhan juta atau juta-juta yang lain,” air mata ibu jatuh.
            “Aku hanya ingin kita, anak-anak bisa makan yang layak, yang sehat. Mereka bisa sekolah dengan baik, jadi orang.” Airmata ibu semakin deras.
            “Ayah lihat aku? Aku tak ingin baju bagus atau tas dan sepatu mahal. Aku menanam sayur di halaman rumah, supaya kita bisa hidup hemat dan anak-anak makan makanan yang sehat. Semua aku pertaruhkan untuk keluarga kita, anak-anak kita. Aku mohon, Yah. Berhenti bermimpi dengan batu-batu itu. jika Ayah mau, pakailah satu atau dua cincin. Jangan mengorbankan uang belanja untuk membeli batu yang tak jelas kapan lakunya, tolonglah Yah,” ahh… ibu semakin terisak. Dalam usia perkawinan ayah ibunya yang sudah menjelang dua puluh tahun, Farhat tak pernah melihat suasana serusuh ini. Ayah Ibu selalu bahagia… lihatlah! Ayah membantu ibu berdiri, mengusap airmatanya, membenahi rambutnya.
            “Ma’af, Bu. Ayah akan menjualnya hari ini, Ibu tunggu saja di rumah ya?” Ayah mencium kening ibu, tersenyum dan mereka berpelukan. Sepertinya, suasana membuat mereka tak menyadari kehadiran Farhat, yang sudah menyaksikan episode demi episode yang membuatnya nyaris mati.
            “Kamu kenapa, Nak?” tiba-tiba saja ayah sudah menegurnya, menyadari kehadiran Farhat yang kakinya sedari tadi terpacak di muka pintu.
            “Ma’afkan Ayah ya? Ayah sudah khilaf sampai membuat ibu menangis,” sambung ayah yang membuat Farhat semakin gamang nyaris pingsan.
            “Kamu sakit, Nak?” kembali ibu yang meraba keningnya penuh kasih sayang, keningnya yang penuh keringat dingin. Farhat tak tahu harus berbuat apa, kakinya gemetar, giginya gemeretuk, semua pandangan hitam dan dia ambruk…

#episode zaman batu