Rabu, 30 Mei 2018

MENJEMPUT IMPIAN DI KEUKENHOF (16)


MUSIM DINGIN PERTAMA  (16)
            Langit buram, angin bersuit-suit ditelinga. Daun yang menggantung pada pohon eik bergoyang liar. Kurniawan benar, cuaca di Rotterdam agaknya sama dengan belahan dunia yang lain, kacau balau. Di negeri ini, prakiraan cuaca wajib di ikuti dari Televisi atau didengar melalui siaran radio Netherlands setiap hari. Terkadang, dikatakan panas tapi bisa tiba-tiba hujan atau malah turun salju. Teman-teman selalu siaga, sarung tangan, topi kupluk dan kacamata hitam selalu ada di dalam tas ransel. Sementara aku sama sekali belum terbiasa siaga, karena aku datang di musim semi dengan pancaran matahari yang hangat.
            Atas saran Hafeed dan teman yang lain, aku harus menyiapkan beberapa coat, menambah jacket, sarung tangan, topi dan kacamata hitam dan kaos kaki tentu saja. Bersama Kurniawan kami bersepeda ke pasar Blaak, kami memilih pasar Blaak karena sisini banyak dijual barang second hand dengan kondisi baik dan harga terjangkau. Belanda adalah Negara makmur, ada hari yang dinamakan “Hari Ratu”, karena memperingati ulang tahun Ratu Beatrix. Pada hari itu orang akan menjual barang yang dianggap tidak perlu lagi dengan harga murah dengan kondisi yang sangat baik. Aku dan Kurniawan akan memburu barang murah itu.
            Pasar Blaak ada setiap Selasa dan Sabtu. Kalau di kampung-kampung Indonesia  itu disebut “Pekan”. Tapi tentu saja pasar Blaak berbeda dengan Pekan di kampung Indonesia. Pekan di Indonesia kumuh, berbau tak sedap, sama seperti di pasar tempat aku dan Emak berjualan sayuran. Pasar Blaak bersih, rapi dan koopman yang tertib.
            Barang yang kami cari cukup banyak mode dan rupanya. Ada coat merah bata, hijau, atau coat yang berasesoris atau berbulu halus. Aku yang tak mengerti kebingungan, untunglah Kurniawan membantu untuk mencari apa yang kubutuhkan. Kami berdiskusi panjang hanya untuk membeli coat dan perlengkapan musim dingin lainnya, si pedagang bingung mendengar bahasa kami.
            Where are you come from?” tanyanya dengan bahasa Inggris logat Belanda
            “From Indonesia, do you know Indonesia?” Kurnia menjawab dengan ramah.
            “No” si koopman menggeleng.
            “Do you know Kartinistraat?”
            “Yes, I know”
            Kartini from Indonesia, Hindia Belanda. Same place with our country” si koopman mengangguk-angguk tersenyum. Dia melayani kami dengan antusias dan ramah, kalau belanja di pajak Sambu mungkin kami sudah dimaki-maki. Lebih lama memilih dan menawar, sulit mengambil keputusan, tentu membuat pedagang jengkel. Koopman jatuh cinta pada kami karena kami satu Negara dengan R.A Kartini. Belanda masih memakai nama-nama pejuang Indonesia sebagai nama jalan. Jangan heran, jika di Utrech tempat suami Lenny berasal ada jalan Kartinistraat, di daerah pemukiman elit. Agaknya, Indonesia kakak adik dengan Belanda. Atau mungkin saja mereka mengingat Indonesia yang sudah mereka ambil hasil alamnya, sebagai tanda penghargaan, mengingat jasa, mungkin.
            Hari itu, aku dan Kurniawan menjadi orang yang paling bahagia. Aku bisa mendapatkan perlengkapan musim dingin yang terdiri dari dua potong coat, jacket, sweater, sarung tangan dan topi kupluk seharga 10 euro. Si koopman yang baik menghadiahi aku kacamata hitam ski, dengan karet lentur yang nyaman dipakai. Harga yang kami bayar cukup murah, mengingat harga daun ubi tumbuk tooping keju di Indeschhelatte restoran saja seharga 12 euro, belum makanan penutup dan minum. Menurut Kurniawan, harga normal satu potong coat premium biasanya di bandrol dengan harga 30 sampai 40 euro. Belum lagi jika coat keluaran merek ternama, jauh lebih mahal. Aku berpikir, aku tak akan pernah bisa beli baju disini. Bayangkan saja, 40 euro itu sama dengan limaratus ribu!
            Salju turun, menurut siaran radio Netherlands cuaca mencapai -1 derajat celcius pada siang hari. Cuaca pada malam hari bisa mencapai -7 derajat celcius. Aku seperti berada di dalam kulkas, gigiku gemeretuk. Musim dingin ternyata sangat menyiksa, tak seperti kukira. Sebelumnya aku berpikir salju itu menyenangkan, putih terhampar, membuat boneka dan bermain bola salju. Tapi kini aku malah menggigil tak berdaya. Semua jacket kupakai, aku malah sulit bergerak karena sudah seperti robot. Hafeed memberiku penutup telinga, seperti headsheet yang bisa menutup telinga agar tak membeku karena tubuh yang belum terbiasa. Syukurlah, pemanas ruangan dapat membantu.
            Seperti biasanya, pagi kami berangkat ke Indescheelatte restoran dengan mengendarai sepeda. Melewati jalanan bersalju yang sudah di keruk oleh mobil pengeruk salju, pemandangan yang Nampak di depan mata adalah gundukan es ditepi jalan. Aku agak kesulitan mengayuh sepeda, kakiku terasa kaku. Memasuki restoran, aku merasa cairan hangat keluar dari hidungku. Tarjo Nampak kaget dan cepat-cepat mencari tissue.
            “Kamu mimisan Mas…” aku meraba hidungku, cairan darah segar mengalir. Aku mencoba tenang, aku pernah mengalami hal ini sebelumnya. Seingatku, aku pernah mengalami hal yang sama ketika SD dan SMP. Ketika aku main bola sambil mandi hujan, pulang kerumah, aku mimisan dan hidungku di sumbat Emak pakai daun sirih. Tapi disini mana ada daun sirih? aku bingung.
            “Berbaring, cepat!” Kurniawan memberi instruksi, aku berbaring di kursi panjang yang ada di dapur. Jacket dan segala macam rupa yang kupakai dilepas, karena pemanas ruangan sudah bekerja. Aku terharu melihat teman-teman yang perhatian, Chandra menyiapkan coklat panas dan Kurniawan  ikut menggulung daun mint dan menyumbat hidungku. Aku tak tahu apakah manfaat daun mint sama dengan daun sirih. Tapi sepertinya darah itu berhenti.
            “Tubuhmu masih belum bisa beradaptasi, ini biasa terjadi.” Hafeed berjalan mundar-mandir, sepertinya dia gelisah.
            “Kenapa Feed? kenapa kamu gelisah? Apa aku mengalamai sesuatu yang fatal?” aku mulai cemas. Chandra, Kurniawan dan teman yang lain menggeleng-gelengkan kepala.
            “Enggak Mas, Mas Hafeed trauma lihat darah” Tarjo memberi informasi penting itu. Aku maklum, karena sudah tahu latar belakang kehidupan Hafeed.
Teman-teman minta aku terus berbaring sampai beberapa lama untuk menghentikan pendarahan, sama seperti yang disarankan Emak ketika aku mimisan dulu. Aku sebenarnya tak enak hati melihat teman-temanku sibuk, tapi apa daya? lima belas menit berbaring sudah cukup, aku bangkit dan segera bergabung dalam kesibukan. Menu utama musim dingin adalah Stamppot, kentang yang dihancurkan dan dicampur dengan aneka sayuran, dimakan dengan daging sapi asap. Untuk makanan Indonesia kami menyiapkan aneka sup dan wedang jahe. Meskipun musim dingin orang belanda suka minum wine, Indeschelatte tidak menyiapkannya. Aku kagum pada Mr. Lamek pemilik restoran yang belum pernah bertatap muka denganku. Ia sanggup memegang prinsip halal ditengah kaum mayoritas non muslim, tanpa takut restoran ini menjadi sepi. Yang aku saksikan malah sebaliknya, Indeschelatte restoran selalu ramai. Menurut Hafeed, musim dingin ini Mr. Lamek akan menghabiskan waktu di Rotterdam. Aku ingin sekali berjumpa.
Menjelang makan siang, aku, Tarjo, Chandra dan Kurnia melayani tamu. Zamzami ada urusan di kampusnya sehingga dia off. Zamzami keponakan Mr. Lamek yang kuliah bisnis di Erasmus University, Zamzami sepupu Maulidya istri Zeiny. Tampang Zamzami lebih Indonesia, tak mewarisi darah neneknya yang Belanda. Kalian tahu? dari semua karyawan di Indeshelatte restoran, tiga diantara kami adalah sarjana. Fadly si kepala dapur alias bos koki sarjana Tadris IAIN Arraniry Banda Aceh. Kurniawan sarjana Matematika Unpad, nasib kami sama, tak diterima negeri tercinta. Tapi rasa kami kini sama, bahagia bisa bekerja di benua Eropa dengan nilai mata uang yang tinggi. Visi dan misi nyaris sama, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dan buka bisnis di Indonesia. Kami sudah merasakan susahnya kerja dengan mengandalkan Ijazah walau dengan IPK mendekati  cumlaude sekalipun. Cita-cita kami, kamilah yang akan menciptakan lapangan kerja itu.
Ternyata tak mudah untuk menjalani hidup di Negara orang, jika kita tak memiliki karakter kepribadian yang kuat. Seorang muslim hidup dalam kaum minoritas itu berat, hanya kita yang tahu kapan masuk waktu sholat. Tak ada suara azan berkumandang seperti di Indonesia ketika masuk jam sholat. Tak ada masjid yang siap sedia menampung jama’ah untuk sholat lima waktu. Pakaian perempuan yang terbuka pada musim panas, membeli makanan tak bisa sembarangan karena ragu akan kehalalannya.
Setiap Jum’at, hanya aku, Hafeed, Fadly dan Kurniawan yang ke masjid ISR melaksanakan sholat Jum’at. Sesekali kami ke Mesjid Assalaam di Polderlaen 84, tapi di masjid Assalaam, khatib mengunakan bahasa Belanda. Menurut Hafeed, itu baik bagiku agar lebih cepat menguasai bahasa Belanda. Tapi tetap saja aku lebih suka sholat di Mesjid ISR, karena banyak menjumpai kawan se Negara dan Khatib khutbah menggunakan bahasa Indonesia. Lenny lain lagi, dia agaknya sudah beradabtasi dengan budaya Belanda. Aku sering kikuk melihatnya mencium suaminya di depan kami, berangkulan atau menunjukkan kemesraan yang berlebihan. Tapi aku mencoba berpikir positif, itukan suaminya, halal dan sah saja. Cuma budaya yang berbeda, bagaimana  cara menunjukkan rasa cinta dan sayang. Jika Indonesia malu-malu, maka Eropa malu-maluin.
            Pintu depan restoran berbunyi gemerincing, seorang lelaki bertopi masuk dengan coat yang terkena serpihan salju. Sejenak dia menepiskan salju yang menempel, membuka topi dan coat yang kemudian disampirkan ke tangan. Lenny bangkit dari balik meja kasirnya menghampiri, mengambil coat lelaki itu kemudian menyalami, persis seperti seorang anak yang menyalami orangtuanya. Tarjo yang sedang melayani tamu mengangguk hormat, pria itu membalas dengan tersenyum hangat. Pria itu menatapku sesaat, aku bingung tak mengerti, seingatku dia lelaki asing yang belum pernah menginjak Indeschelatte. Tapi, mengapa semua Nampak hormat padanya?
            “Itu Mr. Lamek, Mas…” Tarjo berbisik ditelingaku, ketika aku melewatinya ingin mengambil pesanan tamu. Aku tiba-tiba kaku, malu karena telah mengabaikannya, padahal aku ingin sekali berjumpa dengannya, ini waktu yang sudah kutunggu. Tanpa pikir panjang, aku berbalik haluan, tapi Mr. lamek sudah ke dapur. Bagaimana aku harus mengatakannya pada kalian? Mr. lamek yang kubayangkan jauh dari apa yang aku lihat sekarang. Pria itu mungkin berumur sekitar lima puluhan, tidak tinggi dan tubuhnya standart Indonesia. Kulitnya tidak putih, hanya karena lebih lama tinggal di Negara empat musim, kulit itu Nampak pucat. Mata  dan rambutnya  coklat, hidung tidak terlalu mancung. Secara fisik, dia biasa saja. Aku ingin sekali mengucapkan terimakasih.
            Setelah restoran lengang, barulah kesempatan itu ada. Mr. Lamek duduk diantara kami, mengelilingi satu meja besar yang biasa digunakan mahasiswa dan pelajar Indonesia kumpul pada saat weekend. Mr. Lamek  berdialog secara kekeluargaan, bagaimana keadaan kami, bagaimana keadaan restoran dan hal-hal remeh lainya. Aku terpaku atas sikap kepemimpinannya, kami semua di panggil “Nak” dengan tutur bahasa yang halus dan lembut untuk ukuran seorang lelaki. Satu lagi yang aku baru tahu, teman-teman semua memanggilnya “Oom”, bukan Mister.
            “Petir, bagaimana Rotterdam dan Indeschelatte, suka disini?” aku tergeragap mendengar pertanyaan Mr.Lamek, dia tau namaku seakan sudah akrab sekali.
            “Suka Oom, Alhamdulillah…”
            “Tapi awalnya karena patah hati kan? Bukan karena kepingin kesini…” aku kena skak, teman-teman saling berpandangan. Mukaku merah padam.
            “Enggak juga Oom, udah dilupakan kok…” aku menunduk, jengkel pada Zeiny. Pasti dia sudah menceritakan macam-macam tentangku pada Mr. Lamek, kalau tidak darimana orang asing ini  bisa tahu?
            “Ya… lupakanlah. Nanti kau pulang jadi orang sukses, semua perempuan akan mendekatimu,” Mr. lamek menghiburku, aku tersenyum mengangguk walau semua tahu senyum itu hambar.
            “Oya… bagaimana dengan musim dingin? Suka salju?”
            “Apa yang suka Oom, saya udah mau beku”
            “Tadi Petir mimisan Oom…” Tarjo menimpali, Mr. Lamek hanya tersenyum. Senyum hangat seorang Ayah, aku terharu.
            “Itu salam perkenalan, enggak apa-apa. Oya….Hafeed, saya disini agak lama. Musim semi akan datang Audia akan pulang ke Rotterdam. Kita semua akan liburan ke Kaukenhof,
            “ Restoran Oom?”
            “Udah, tutup aja. Sehari kita bersenang-senang. Hafeed, kamu bisa atur waktunya ya?. Cari waktu yang tepat saat parade bunga. Audia dan Fikar akan ada disini bersama kita.”
            Restoran yang lengang dari tamu kini ramai oleh tepuk tangan kami, semua senang membayangkan musim semi yang akan datang kami akan ke Kaukenhof. Kaukenhof adalah taman bunga yang terletak di Lisse, satu setengah jam perjalanan dari Rotterdam. Lenny sering menceritakan keindahan taman ini, warna-warni tulip yang terhampar sampai keindahan Bunga sakura ada di taman ini. Mr. Lamek berbaik hati mentraktir kami jalan-jalan, sekaligus ingin menyatukan keluarga yang terpisah jauh. Audia di Adelaide sementara Fikar di Banda Aceh, Mr. Lamek dan istrinya sering menghabiskan waktu di Negara yang berbeda.
            Perjalanan pulang kembali ke flat lebih menyiksa, udara semakin turun drastis, sudah mencapai minus enam derajat celcius. Chandra, Rizal dan Kurniawan lebih memilih tinggal di restoran. Aku, Hafeed dan teman lain memilih pulang. Aku ingin menulis agenda harianku yang tak boleh tertinggal seharipun, karena aku bisa lupa. Agenda harian, itulah kini yang bisa kutulis setiap hari. Untuk membaca, aku tak punya buku baru. Aku hanya bisa meminjam buku Zamzami yang berisikan teori ilmu bisnis. Setiap membaca bukunya, mataku berair. Agaknya, mataku sudah mulai bermasalah, atau memang aku tak paham isi bukunya.
            Ku kayuh sepeda semampunya, menembus hamparan putih yang menyilaukan. Kukenakan kacamata ski pemberian Koopmaan di pasar Blaak kemarin. Angin berdesing-desing melewati telinga, aku benci dingin, tapi mencoba untuk menikmatinya.
            “Chan…kamu kan bawa kamera, photo aku ya?” tiba-tiba pikiran itu melintas begitu saja.
            “Dimana?”
            “Di sini aja” kami turun dari sepeda, aku memilih tempat dengan gundukan salju yang tinggi, dibelakangnya ada bangunan gagah berwarna coklat, Eropa sekali. Chandra siaga dengan kameranya, aku berpose. Yang lain ikut sesi foto, kami terkekeh-kekeh, pose pun tak terarah dengan baik, tapi hasilnya sangat natural. Dingin seakan mencair karena senang, aku akan mengirimkan photo ini untuk Emak. Akan kuberi judul “MUSIM DINGIN PERTAMA DI ROTTERDAM.”



           

           

           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar