Jumat, 18 Mei 2018

MENJEMPUT IMPIAN DI KEUKENHOF (14)


HAFEED PEMUDA PALESTINA (14)

            Pria itu tinggi, lebih tinggi dariku yang memiliki tinggi badan 178 cm. Berkulit coklat, rambut ikal tebal, hidung mancung sedikit bengkok, mata dalam dengan pancaran tajam layak Elang dibingkai alis hitam tebal nyaris bertaut. Dagu dan pipinya kebiru-biruan menandakan bulu lebat yang biasanya tumbuh disitu selalu dicukur bersih. Suaranya berat, ramah, peduli pada sesama dan sering termenung. Hafeed adalah pemuda saleh yang nyaris lupa bercanda. Sering ketika aku terbangun malam, dia duduk di atas sajadahnya, menunduk, menekur khusyu’. Tak ada airmata, yang ada hanya nafas yang memburu cepat seiring putaran tasbih ditangannya.
            Sebelumnya, Hafeed adalah pemuda yang tertutup. Tak sekalipun dia bercerita tentang keluarganya seperti yang sering kami lakukan bersama teman-teman lain. Seiring waktu, dia kini tampak lebih terbuka padaku. Biasanya, sebelum tidur sambil berbaring di tempat tidur masing-masing kami bertukar cerita. Menikmati kopi dan sepiring  pattat* berlumur mayonaise lezat, Hafeed bercerita sambil sesekali menyeruput kopi dan menghisap rokoknya.
            “Anda tahu cerita negaraku?”  Hafeed memulai kisahnya.
            “Tidak banyak, yang aku tahu hanya rakyat tertindas karena kesombongan dan kerakusan Israel” kucoba sedikit berpendapat, Hafeed menarik nafas panjang lalu menghempaskannya dengan kuat hingga mengeluarkan suara lenguhan.
            “Lebih dari itu. Semua milik kami dirampas Israel keparat, termasuk harga diri dan kehormatan.” Hafeed diam, matanya menerawang.
            “Kakak perempuanku masih berusia dua belas tahun diperkosa tentara Israel, seminggu kemudian dia dibunuh. Kami seperti orang gila, benar-benar tak berdaya. Usia sebelas tahun aku dikirim orangtuaku kesini untuk sekolah dan menyelamatkan nyawa dan masa depanku. Saat kuliah, bisnis ayah digarap Israel, ayah dan ibu dibunuh dengan keji, tinggallah aku sendiri disini.”  Aku tercekat, tiba-tiba hatiku perih, mendengar cerita Hafeed yang teramat sangat malang. Aku jauh lebih beruntung darinya, meskipun aku tak pernah mengenal ayahku tapi ada Emak yang selalu memperhatikanku, ah! Aku jadi rindu Emak.
            “Kami terbiasa hidup dibawah desingan peluru, suara senjata ibarat musik pengantar tidur. Jika suara tembakan tak terdengar kami malah bertanya-tanya kenapa?” Hafeed menghisap rokoknya dalam-dalam.
            “Aku juga pernah minum kencing tentara Israel syetan jadah itu, hanya karena kesalahan kecil”
            “Maksudnya?” aku membenahi posisi dudukku yang melorot, tegak.
        “Aku dan teman sedang bermain bola kaki, didekat kami ada tentara Israel yang sedang beristirahat dengan senjata siaga. Bola kaki kami menggelinding ke arah mereka, tak satupun kawan yang berani mengambilnya. Aku memberanikan diri mengambil bola itu, tapi akibatnya aku disuruh minum kencing yang ditampung di dalam botol wiski. Mereka tertawa-tawa gembira, aku menangis sambil minum air kencing dibawah todongan senjata syetan laknat itu.” Hafeed menghisap rokok lagi, sebelum melanjutkan ceritanya.
            “Teman-temanku berlarian pulang dan melapor pada orangtuaku, Ayahku sangat marah dan segera ingin melepaskanku dari perlakuan mereka. Tapi apa yang terjadi? Gagang senjata hinggap dikepala Ayahku. Kepala Ayah berlumuran darah, tawa mereka tambah keras.”
Hafeed mengambil sesuatu dari laci lemarinya, selembar foto.
            “Inilah yang tersisa untukku, tak ada yang lain” Hafeed menyerahkan foto usang itu. Kuperhatikan foto itu lekat-lekat. Foto Hafeed kecil bersama kakak dan kedua orangtuanya.
            “Kalian tidak melawan?” kuajukan pertanyaan bodoh itu, Hafeed tersenyum kecut.
            “Melawan pakai apa? Batu? Batu melawan peluru? sama saja bunuh diri. Dimata Israel, rakyat Palestina itu ibarat binatang, tak berharga sama sekali. Kami adalah boneka tak bernyawa bagi mereka, dipermainkan sesuka hati seakan kami tak merasa kesakitan.”
            “Anda tau? Kawanku pernah melawan, mereka memukulnya sampai kawanku terkencing-kencing,  mereka tertawa bahagia. Ah, semoga Allah melindungi negeriku dan memasukkan keluargaku ke syurga” Hafeed menghapus wajahnya yang basah karena keringat, keringat dingin karena emosi yang meluap-luap. Wajah dan matanya merah padam, betapa ia hidup dalam kemarahan.
            Cerita Hafeed sangat melekat di kepalaku. Aku terpengaruh pada emosi sahabatku. Aku yang biasa tak terlalu peduli pada konflik negara yang tak jua selesai, kini ikut merasa kacaunya. Benci begitu melekat dalam hati. Malam berikut Hafeed kembali bercerita bagaimana perjuangan hidupnya di Belanda setelah orangtuanya mati dibunuh tentara Israel. Dia berjuang sendirian, terdampar di emperan. Dikejar-kejar polisi imigrasi, jadi gelandangan. Dia pernah bekerja sebagai pelayan di restoran, memasak Ertwensoep**danSlavinken***. Tinggal dan tidur di dapur dengan tumpukan tulang-tulang babi. Menderita kelaparan dimusim dingin membuatnya terpaksa makan Slavinken karena tak ada menu lain. Hafeed harus keluar setiap sore untuk membasuh najis yang melekat di tubuhnya. Tak tahu cara bagaimana menyamak lambungnya, Hafeed pasrah pada kuasa Tuhan semata. Bahwa ia harus bertahan hidup, ia belum sanggup jika harus diminta untuk menyusul kakak dan ayah ibunya dialam sana.
            Hafeed bertemu Mr. Lamek di Mesjid ISR Rotterdam ketika mereka mengikuti pengajian yang diadakan setiap sabtu malam. Mr.Lamek terpikat pada penampilan Hafeed yang lusuh, pancaran mata yang layu dan tampang berbeda dari jama’ah Indonesia lainnya. Seusai pengajian, Mr. Lamek menghampiri Hafeed, mengadakan wawancara ringan. Mr. Lamek jatuh hati sekaligus iba pada pemuda Palestina ini dan mengajaknya untuk bekerja di restorannya. Esok pagi, Hafeed langsung meninggalkan dapur restoran tempat dia bekerja selama ini. Naik tram****, membelah kota Rotterdam menuju Polderstraat.
            Awal bergabung di Indischelatte restoran. Hafeed bertugas mencuci piring kotor, bersih-bersih lantai. Seiring waktu, dia perlahan naik “jabatan” sampai kini memenejeri restoran bergengsi di Rotterdam ini. Hafeed adalah orang yang bijaksana, berwibawa dan memperlakukan kami semua dengan adil. Kami segan sekali kepada pemuda Palestina yang fasih berbahasa Indonesia ini, ditambah lagi ia tak pandai bercanda dan jarang tersenyum. Mr. Lamek sering menghabiskan musim dingin di Rotterdam, musim semi di Australia dan terkadang ke Indonesia. Dia mempercayakan penuh Hafeed untuk mengelola restoran ini, Hafeed sangat profesional karena ia pernah kuliah ekonomi di Erasmus University Rotterdam. Hanya nasib tak berpihak padanya, akibat polah tingkah Israel yang rakus dan sombong yang memporak porandakan negeri dan masa depannya.
            Kawan, aku malu pada Tuhan. Malu karena diriku terus berkeluh kesah seakan aku adalah manusia paling malang dimuka bumi ini. Aku yang tak diterima oleh negeriku sendiri, yang harus terpisah dari Emak yang kucintai justru dimasa tuanya. Terhempas dari harapan berdampingan dengan Zahwa, memupus harapan Emak mendapatkan anaknya ke kantor berdasi dan dia akan mengasuh anak-anakku. Dalam hening malam aku bersujud diatas sajadah biru pemberian Zahwa, mohon ampun atas semua kepongahanku. Atas semua protesku padaNya, karena aku hidup mengejar cita-cita yang  lari dari skenario rencana yang telah kurancang dengan sombong.
            Bukankah aku adalah manusia yang jauh lebih beruntung dari pada Hafeed? Hidupku jauh lebih bahagia dibandingkan pemuda Palestina yang berhati luka itu. Hafeed tak pernah mengajukan protes pada Tuhan, walau hidupnya kacau ibarat ikan hidup di sungai beracun. Hafeed harus terus memelihara borok yang bernanah dalam hatinya, luka itu tak akan pernah sembuh, ia tak mampu lagi marah dan menangis karena airmata yang sudah mengering. Aku tak mampu membayangkan ketika ia hidup menjadi gelandangan di Rotterdam, sembunyi di stasiun bawah tanah. Bekerja di restoran yang sebagian besar menunya adalah babi yang diharamkan agama kami. Hafeed yang harus keluar untuk menyamak tubuhnya, menangis membayangkan dirinya bergumul dengan benda haram. Hafeed yang malang tapi hidup penuh keikhlasan.
            Kini, aku banyak bersyukur atas segala kesempatan yang ada. Bekerja dan tinggal di benua barat Eropa tanpa mengeluarkan biaya apa-apa. Tinggal di kota terbesar kedua setelah Amsterdam, kota Rotterdam yang memiliki populasi 588.500 jiwa. Memiliki saudara senegara yang saling mengasihi dan melindungi. Punya waktu libur yang diatur berdasarkan shift. Bisa pergi mengaji di mesjid ISR (Indonesische Sticting Rotterdam) setiap sabtu malam bersama teman ketika off tentu saja. Aku juga bisa merasakan suasana pasar Blaak*****yang ramai setiap Selasa dan Sabtu, menyaksikan orang setempat makan ikan haring****** dengan sekali tarik saja. Aku juga jadi tahu bahwa banyak petai di Belanda!
            Aku percaya bahwa ada rahasia Tuhan dibalik perjalanan hidupku sekarang. Kuyakini sepenuhnya nanti Allah Tuhanku akan memberi seribu hikmah dan nikmatNya untukku. Kini aku bisa mengirimkan uang untuk Emak, menyisihkan beberapa Euro untuk kebutuhanku sendiri. Kunikmati jalanan kota Rotterdam dengan sepeda, menyaksikan orang yang berlariann naik bus atau tram. Berkumpul dengan orang sebangsa setiap weekend, aku kini bisa memandang hidup dengan sisi bahagia. Hafeed sudah membuka mata sadarku.
* Kentang goreng khas Belanda
**Sup khas Belanda terbuat dari tulang babi
*** Sup khas Belanda terbuat dari tulang babi biasa disajikan pada musim dingin
**** Kereta api
***** Pasar loak di Rotterdam, ada dihari Selasa dan Sabtu
****** Ikan mentah ditaburi irisan bawang Bombay, makanan khas Belanda.       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar