HAFEED PEMUDA PALESTINA (14)
Pria itu tinggi, lebih tinggi dariku
yang memiliki tinggi badan 178 cm. Berkulit coklat, rambut ikal tebal, hidung
mancung sedikit bengkok, mata dalam dengan pancaran tajam layak Elang dibingkai
alis hitam tebal nyaris bertaut. Dagu dan pipinya kebiru-biruan menandakan bulu
lebat yang biasanya tumbuh disitu selalu dicukur bersih. Suaranya berat, ramah,
peduli pada sesama dan sering termenung. Hafeed adalah pemuda saleh yang nyaris
lupa bercanda. Sering ketika aku terbangun malam, dia duduk di atas sajadahnya,
menunduk, menekur khusyu’. Tak ada airmata, yang ada hanya nafas yang memburu
cepat seiring putaran tasbih ditangannya.
Sebelumnya, Hafeed adalah pemuda
yang tertutup. Tak sekalipun dia bercerita tentang keluarganya seperti yang
sering kami lakukan bersama teman-teman lain. Seiring waktu, dia kini tampak
lebih terbuka padaku. Biasanya, sebelum tidur sambil berbaring di tempat tidur
masing-masing kami bertukar cerita.
Menikmati kopi dan sepiring pattat* berlumur mayonaise lezat, Hafeed bercerita sambil
sesekali menyeruput kopi dan menghisap rokoknya.
“Anda tahu cerita negaraku?” Hafeed memulai kisahnya.
“Tidak banyak, yang aku tahu hanya
rakyat tertindas karena kesombongan dan kerakusan Israel” kucoba sedikit
berpendapat, Hafeed menarik nafas panjang lalu menghempaskannya dengan kuat
hingga mengeluarkan suara lenguhan.
“Lebih dari itu. Semua milik kami
dirampas Israel keparat, termasuk harga diri dan kehormatan.” Hafeed diam,
matanya menerawang.
“Kakak perempuanku masih berusia dua
belas tahun diperkosa tentara Israel, seminggu kemudian dia dibunuh. Kami
seperti orang gila, benar-benar tak berdaya. Usia sebelas tahun aku dikirim
orangtuaku kesini untuk sekolah dan menyelamatkan nyawa dan masa depanku. Saat
kuliah, bisnis ayah digarap Israel, ayah dan ibu dibunuh dengan keji,
tinggallah aku sendiri disini.” Aku tercekat,
tiba-tiba hatiku perih, mendengar cerita Hafeed yang teramat sangat malang. Aku
jauh lebih beruntung darinya, meskipun aku tak pernah mengenal ayahku tapi ada
Emak yang selalu memperhatikanku, ah! Aku jadi rindu Emak.
“Kami
terbiasa hidup dibawah desingan peluru, suara senjata ibarat musik pengantar
tidur. Jika suara tembakan tak terdengar kami malah bertanya-tanya kenapa?”
Hafeed menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Aku
juga pernah minum kencing tentara Israel syetan jadah itu, hanya karena
kesalahan kecil”
“Maksudnya?”
aku membenahi posisi dudukku yang melorot, tegak.
“Aku dan
teman sedang bermain bola kaki, didekat kami ada tentara Israel yang sedang
beristirahat dengan senjata siaga. Bola kaki kami menggelinding ke
arah mereka, tak satupun kawan yang berani mengambilnya.
Aku memberanikan diri mengambil bola itu, tapi akibatnya aku disuruh minum
kencing yang ditampung di dalam botol wiski. Mereka tertawa-tawa gembira, aku
menangis sambil minum air kencing dibawah todongan senjata syetan laknat itu.”
Hafeed menghisap rokok lagi, sebelum melanjutkan ceritanya.
“Teman-temanku
berlarian pulang dan melapor pada orangtuaku, Ayahku sangat marah dan segera ingin melepaskanku dari
perlakuan mereka. Tapi apa yang terjadi? Gagang senjata hinggap dikepala
Ayahku. Kepala Ayah berlumuran darah, tawa mereka tambah keras.”
Hafeed mengambil sesuatu dari laci lemarinya, selembar
foto.
“Inilah
yang tersisa untukku, tak ada yang lain” Hafeed menyerahkan foto usang itu.
Kuperhatikan foto itu lekat-lekat. Foto Hafeed kecil bersama kakak dan kedua
orangtuanya.
“Kalian
tidak melawan?”
kuajukan pertanyaan bodoh itu, Hafeed tersenyum kecut.
“Melawan
pakai apa? Batu? Batu melawan peluru? sama saja bunuh diri. Dimata Israel,
rakyat Palestina itu ibarat binatang, tak berharga sama sekali. Kami adalah
boneka tak bernyawa bagi mereka, dipermainkan sesuka hati seakan kami tak
merasa kesakitan.”
“Anda
tau? Kawanku pernah melawan, mereka memukulnya sampai kawanku
terkencing-kencing, mereka tertawa bahagia. Ah, semoga Allah melindungi negeriku dan
memasukkan keluargaku ke syurga” Hafeed menghapus wajahnya yang basah karena
keringat, keringat dingin karena emosi yang meluap-luap. Wajah dan matanya merah padam, betapa ia hidup dalam
kemarahan.
Cerita
Hafeed sangat melekat di kepalaku. Aku terpengaruh pada emosi sahabatku. Aku
yang biasa tak terlalu peduli pada konflik negara yang tak jua selesai, kini
ikut merasa kacaunya. Benci begitu melekat dalam hati. Malam berikut Hafeed
kembali bercerita bagaimana perjuangan hidupnya di Belanda setelah orangtuanya
mati dibunuh tentara Israel. Dia berjuang sendirian, terdampar di emperan.
Dikejar-kejar polisi imigrasi, jadi gelandangan. Dia pernah bekerja sebagai
pelayan di restoran, memasak Ertwensoep**danSlavinken***. Tinggal dan tidur di dapur dengan tumpukan
tulang-tulang babi. Menderita kelaparan dimusim dingin membuatnya terpaksa makan Slavinken karena tak ada menu lain. Hafeed harus keluar setiap sore untuk
membasuh najis yang melekat di tubuhnya. Tak tahu cara bagaimana menyamak lambungnya, Hafeed pasrah pada
kuasa Tuhan semata. Bahwa ia harus bertahan hidup, ia belum sanggup jika harus
diminta untuk menyusul kakak dan ayah ibunya dialam sana.
Hafeed
bertemu Mr. Lamek di Mesjid ISR Rotterdam ketika mereka mengikuti pengajian
yang diadakan setiap sabtu malam. Mr.Lamek terpikat pada penampilan Hafeed yang
lusuh, pancaran mata yang layu dan tampang berbeda dari jama’ah Indonesia
lainnya. Seusai pengajian, Mr. Lamek menghampiri Hafeed, mengadakan wawancara
ringan. Mr. Lamek jatuh hati sekaligus iba pada pemuda Palestina ini dan
mengajaknya untuk bekerja di restorannya. Esok pagi, Hafeed langsung
meninggalkan dapur restoran tempat dia bekerja selama ini. Naik tram****, membelah kota Rotterdam menuju Polderstraat.
Awal
bergabung di Indischelatte restoran. Hafeed bertugas mencuci piring kotor, bersih-bersih lantai.
Seiring waktu, dia perlahan naik “jabatan” sampai kini memenejeri restoran
bergengsi di Rotterdam ini. Hafeed adalah orang yang bijaksana, berwibawa dan
memperlakukan kami semua dengan adil. Kami segan sekali kepada pemuda Palestina
yang fasih berbahasa Indonesia ini, ditambah lagi ia tak pandai bercanda dan
jarang tersenyum. Mr. Lamek sering menghabiskan musim dingin di Rotterdam,
musim semi di Australia dan terkadang ke Indonesia. Dia mempercayakan penuh
Hafeed untuk mengelola restoran ini, Hafeed sangat profesional karena ia pernah
kuliah ekonomi di Erasmus University Rotterdam. Hanya nasib tak berpihak
padanya, akibat polah tingkah Israel yang rakus dan sombong yang memporak
porandakan negeri dan masa depannya.
Kawan,
aku malu pada Tuhan. Malu karena diriku terus berkeluh kesah seakan aku adalah
manusia paling malang dimuka bumi ini. Aku yang tak diterima oleh negeriku
sendiri, yang harus terpisah dari Emak yang kucintai justru dimasa tuanya.
Terhempas dari harapan berdampingan dengan Zahwa, memupus harapan Emak
mendapatkan anaknya ke kantor berdasi dan dia akan mengasuh anak-anakku. Dalam
hening malam aku bersujud diatas sajadah biru pemberian Zahwa, mohon ampun atas
semua kepongahanku. Atas semua protesku padaNya, karena aku hidup mengejar
cita-cita yang lari dari skenario rencana
yang telah kurancang dengan sombong.
Bukankah
aku adalah manusia yang jauh lebih beruntung dari pada Hafeed? Hidupku jauh
lebih bahagia dibandingkan pemuda Palestina yang berhati luka itu. Hafeed tak
pernah mengajukan protes pada Tuhan, walau hidupnya kacau ibarat ikan hidup di
sungai beracun. Hafeed harus terus memelihara borok yang bernanah dalam
hatinya, luka itu tak akan pernah sembuh, ia tak mampu lagi marah dan menangis
karena airmata yang sudah mengering. Aku tak mampu membayangkan ketika ia hidup
menjadi gelandangan di Rotterdam, sembunyi di stasiun bawah tanah. Bekerja di
restoran yang sebagian besar menunya adalah babi yang diharamkan agama kami.
Hafeed yang harus keluar untuk menyamak tubuhnya, menangis membayangkan dirinya
bergumul dengan benda haram. Hafeed yang malang tapi hidup penuh keikhlasan.
Kini,
aku banyak bersyukur atas segala kesempatan yang ada. Bekerja dan tinggal di
benua barat Eropa tanpa mengeluarkan biaya apa-apa. Tinggal di kota terbesar
kedua setelah Amsterdam, kota Rotterdam yang memiliki populasi 588.500 jiwa.
Memiliki saudara senegara yang saling mengasihi dan melindungi. Punya waktu
libur yang diatur berdasarkan shift. Bisa pergi mengaji di mesjid ISR (Indonesische Sticting Rotterdam) setiap
sabtu malam bersama teman ketika off tentu
saja. Aku juga bisa merasakan suasana pasar Blaak*****yang ramai setiap Selasa dan Sabtu, menyaksikan orang
setempat makan ikan haring****** dengan sekali tarik saja. Aku juga jadi tahu bahwa
banyak petai
di Belanda!
Aku
percaya bahwa ada rahasia Tuhan dibalik perjalanan hidupku sekarang. Kuyakini
sepenuhnya nanti Allah Tuhanku akan memberi seribu hikmah dan nikmatNya
untukku. Kini aku bisa mengirimkan uang untuk Emak, menyisihkan beberapa Euro
untuk kebutuhanku sendiri. Kunikmati jalanan kota Rotterdam dengan sepeda,
menyaksikan orang yang berlariann naik bus atau tram. Berkumpul dengan orang sebangsa setiap weekend, aku kini bisa memandang hidup dengan sisi bahagia. Hafeed
sudah membuka mata sadarku.
*
Kentang goreng khas Belanda
**Sup khas Belanda
terbuat dari tulang babi
***
Sup khas Belanda terbuat dari tulang babi biasa disajikan pada musim dingin
**** Kereta api
***** Pasar loak di Rotterdam, ada
dihari Selasa dan Sabtu
****** Ikan mentah ditaburi irisan
bawang Bombay, makanan khas Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar