Kamis, 24 Mei 2018

MENJEMPUT IM{IAN DI KEUKENHOF (15)


DAUN UBI TUMBUK TOPPING KEJU (15)
            Pulang sholat Jum’at di mesjid ISR, Fadly nampak uring-uringan. Beberapa jenis bumbu masakan Indonesia habis, besok adalah hari  sabtu, jadwal masakan Indonesia disiapkan untuk pelanggan. Dia mulai memberi instruksi pada Tarjo agar segera berbelanja ke Wah Nam Hong di west Kruiskade. Disana bisa didapat aneka bahan makanan Asia, termasuk bumbu dan sayuran khas yang biasa digunakan di Indonesia. Tarjo mengajakku untuk menemaninya, sekaligus ingin mengenalkanku pada  kota Rotterdam, Tarjo mengajakku  naik Tram.
            Di Wah Nam Hong aku seperti berada di Supermarket Indonesia. Aneka sayuran berjejer dalam rak-rak yang rapi. Ada kangkung, kacang panjang, timun, pete dan daun singkong. Aku tersenyum dalam hati memperhatikan pete yang berjejer dikemas rapi di atas rak sayuran. Di Medan sewaktu aku berjualan sayuran, aku menarik minat pembeli dengan menyebutkan pete sebagai “tablet selera makan”. Ternyata, di Belanda orang juga keranjingan pete. Mataku kembali ke tumpukan daun singkong, aku mulai berpikir, bagaimana jika aku buat daun ubi tumbuk seperti yang dibuat Emak? Kutarik dua ikat kecil daun singkong, memasukkan ke dalam trolli belanja.
            “Daun singkong enggak masuk daftar belanja, Mas” Tarjo mulai protes kecil.
            “Enggak apa-apa, aku punya resep nenek moyang yang mau kucoba jual disini.” Sekenanya saja kujawab. Padahal aku hanya ingin sekali makan daun ubi tumbuk, bukan malah menjualnya atau memasukkannya sebagai menu di restoran. Tarjo tersenyum mengangguk, pemuda asal Pasuruan ini masih sangat muda, sembilan belas tahun. Wajahnya innocent, postur tubuhnya kecil, dia karyawan paling muda di restoran Indeschelatte. Tak heran, kami semua dipanggilnya Mas, termasuk Hafeed mendapat panggilan terhormat “Mas Hafeed”. Aku mulai kebingungan mencari cempokak dan kecombrang. Tarjo mengajakku ke bagian bumbu, ada terasi, kunyit, jahe, lengkuas. Akhirnya aku menemukan kecombrang tapi tidak dengan cempokak. Trolli belanja sudah penuh, semua daftar belanja sudah dibeli, mudah mendapatkan makanan Indonesia disini. Bahkan ada yang sudah dimasukkan ke dalam besek yang siap dimakan setelah dipanaskan dengan microwafe. Tapi menurut Tarjo, rasanya tidak begitu enak karena sudah diadaptasi dengan lidah Belanda.
            Kami sampai restoran menjelang sore, Tarjo mengajakku berkeliling dengan tram. Sampai di restoran aku kembali bingung, bagaimana caranya aku menumbuk daun ubi? Lumpang tak ada, yang ada hanya cobek batu yang biasa digunakan untuk membuat sambal terasi dalam jumlah kecil.
            “Pake food processor aja Mas” Tarjo memberi solusi, di perjalanan aku sudah menceritakan tentang daun ubi tumbuk padanya, dia tertarik. Aku masih awam dengan food processor.
            “Gimana caranya?”
            “Sesuaikan aja kasar halusnya, Mas” Tarjo memberikan usul, teman-teman yang ada di dapur celingak-celinguk tak mengerti topik pembicaraan kami.
            “Kenapa nih?” Fadly bertanya penasaran.
            “Nih Mas, Mas Petir mau buat daun singkong tumbuk resep khas daerahnya. Cuma masih bingung prosesnya gimana. Karena biasa di Indo pake lumpang kayu, disinikan enggak ada.” Tarjo menjelaskan, Fadly mengangguk seakan  mengerti. Hafeed tidak tahu pembicaraan kami, ia sedang duduk di depan, dia sering melayani tamu bercakap-cakap akrab dengan suasana kekeluargaan. Itu, jika ada tamu yang ingin tahu Indonesia. Hafeed dapat menjelaskan dengan baik dan rinci karena sudah beberapa kali ia ke Indonesia mendampingi Mr. Lamek. Bisnis Mr. Lamek di Indonesia adalah perkebunan kepala sawit yang ada di Meulaboh, Aceh barat.
            “Kamu ingat resepnya Tir?”
            “Ingat”
            “Oke, besok kita coba. Sekarang tugas kalian di depan, menjelang makan malam, sebentar lagi banyak tamu”  
            Malam ini, aku melayani tamu dengan gembira. Daun ubi tumbuk idaman ada dalam bayangan. Besok, aku akan menikmatinya bersama ikan asin dan nasi hangat. Aku  akan segera menelepon Emak, mengabarkan bahwa aku bisa membuat daun ubi tumbuk di Belanda. Aku tersenyum bahagia, Lenny ikut nyeloteh dari balik meja kasirnya.
            “Udah ketemu cewek Belanda ya? Senyum-senyum sendiri, cepet juga ya ketemunya. Emang sih.. katanya cowok Medan playboy” suara cempreng Lenny menyerang gendang telingaku. Aku melotot kearahnya, dia tersenyum senang seakan berhasil menggoda. Benarkah lelaki Medan play boy seperti kata Lenny? Aku diam saja tak menanggapi teorinya yang tak terbukti, Lenny semakin penasaran. Dasar, memangnya aku suka pada perempuan Belanda seperti dirinya yang berjodoh dengan lelaki Belanda? Tidak, aku akan mendapatkan jodohku di Indonesia. Aku berkata dalam hati, kata hati sendiri yang menyayat perih. Siapa yang akan mampu mengisi ruang kosong dalam hatiku setelah ruang itu ditinggal Zahwa? Entahlah.
***
            Pagi sekali, aku sudah di dapur restoran dengan teman yang lain. Mereka ikut penasaran, bagaimana rupa daun singkong tumbuk andalan nenek moyangku? Rizal membantu melumatkan daun singkong, kecombrang, cabe merah, bawang merah dan bawang putih dengan food processor. Hasilnya lumayan, persis seperti hasil tumbukan lumpang Emak, tapi agak kering. Kemudian,  aku masukkan dalam panci bersama cocoa milk dengan kekentalan sedang. Sesudah masak, semua mencicipi dan mengangguk setuju jika daun singkong tumbuk itu lezat. Tapi aku merasa tak sempurna, rasanya tak seenak daun ubi tumbuk buatan Emak.
            Daun ubi tumbuk tandas oleh kami semua, termasuk Lenny dan Hafeed ikut  makan. Hafeed berdecap-decap menyesuaikan rasa yang asing, sejurus kemudian mengangguk-angguk, setuju jika daun singkong tumbuk itu lezat.  Sorenya, aku dan Tarjo meluncur lagi ke Wah Nam Hong mencari daun singkong. Saran Fadly, beli dalam jumlah banyak. Dia yakin sekali menu ini akan ramai dibicarakan langganan kami yang berasal dari negeri sendiri. Ternyata perkiraan Fadly benar. Hari Minggu pertama  dalam hidupku di Rotterdam aku menyaksikan seorang Mahasiswa botak lompat-lompat gembira sambil menjerit “Daun ubii tumbuuukkkk..... I miss youuuu.” Kawan, ternyata pemuda itu bermarga Pane, asal Tapanuli Selatan. Ketika tahu bahwa itu adalah resepku, aku dipeluknya kuat-kuat, matanya berkaca-kaca.
            “Terimakasih kawan, aku merasa sedang berada di kampung sendiri” dia menepuk-nepuk punggungku. Aku merasa begitu berharga, bisa menghadirkan suasana kampung si Pane di Belanda yang jauh. Setelah itu, aku dan Pane bersahabat. Bertukar cerita tentang Medan, menyimak bahasa Indonesianya dengan dialek daerah Mandailing yang kental. Kebanyakan Mahasiswa dan pelajar di Rotterdam berasal dari Jakarta, Semarang dan Bandung. Hanya Pane yang berasal dari Sumatera Utara, dari Ibukota Tapanuli Selatan, Padang Sidempuan.
            Langit Rotterdam pekat sore ini. Aku dan Kurniawan mendapat giliran pulang duluan, Kami bebas tugas malam. Kami mengayuh sepeda dengan kecepatan sedang, karena jarak flat dan restoran yang tak jauh.
            “Sepertinya akan ada salju” terdengar suara Kurniawan dibawa angin yang tiba-tiba terasa dingin.
            “Apa sudah tiba musim dingin?”
            “Sekarang salju sering muncul tiba-tiba, tak bisa di prediksi”
            Global warming?
            “Ya!!”
            Kami mengayuh sepeda semakin cepat, angin berdesing-desing melewati telinga. Aku sedikit pias, aku belum mempersiapkan diri untuk menghadapi musim dingin. Bajuku hanya sweater dan jacket. Aku berharap musim dingin bergeser saja, jangan sekarang. Perkiraan Kurniawan benar, salju turun tipis saja, tak membekas di jalan atau genteng flat, mencair. Pagi kembali cerah, rumput masih hijau, cuaca kacau tidak saja terjadi di Indonesia, benua Eropa juga mengalami hal yang sama. Pemanasan global semakin parah. Aku tidur dengan lelap, terbawa mimpi lezatnya daun ubi tumbuk buatan Emak. Menurut Hafeed, cuaca masih bersahabat, tak perlu menghidupkan pemanas atau perapian.
            Kawan, Fadly si kepala dapur memasukkan menu daun singkong tumbuk itu kedalam daftar menu yang dapat di pesan tamu. Lebih dahsyat lagi, dia berinovasi menyesuaikan dengan selera Belanda. Aku tak begitu yakin, Fadly memberi nama “ Cassava Verlat Fijn”. Percobaan pertama, kami akan menghidangkan gratis pada Frederick, langganan restoran yang setiap hari muncul untuk menikmati makan siangnya. Frederick memang memiliki selera makan yang aneh menurutku, dia suka makan nasi rawon pakai kentang, stup wortel dan keju. Penutup makannya dia sering pesan pisang bakar diberi saos gula jawa, kadang-kadang pisang goreng bertabur keju parut. Setiap sabtu dan minggu, Frederick makan nasi soto atau nasi rendang, teman-temannya sering mentertawakan wajahnya yang merah padam seperti terbakar. Frederick senang saja, dia mengatakan Indeschelatte adalah restoran terseksi di dunia!
            Siang tiba, Frederick muncul dengan kemeja biru muda. Aku heran melihat pemuda yang tak pernah bosan makan di Indeschelatte ini. Frederick duduk manis, karena aku tak bisa berbahasa Belanda, Tarjo melayaninya dan aku melayani tamu yang lain. Sebentar mereka bercakap-cakap, Frederick mengangguk-angguk, mungkin dia ingin mencicipi resep baru kami. Tarjo meluncur ke dapur, Fadly sudah siap dengan inovasi barunya yang langsung disambar Tarjo dan dihidangkan di meja Frederick.
            Kawan, aku terpana. Piring putih itu diisi dengan potongan roti, berlumur daun singkong tumbuk, bertabur keju cheddar parut. Di pinggir piring di isi dengan kentang goreng mentega, stup wortel dan sepotong bistik sapi. Sebelum mencoba, Frederick masih mengamati isi piring itu, Tarjo setia menunggu. Perlahan Frederick memasukkan sendok kemulutnya, mengunyah pelan-pelan seakan meresapi rasanya. Pada suapan ketiga, Frederick makan dengan  cepat sambil mengangguk-angguk sambil berkali-kali berkata Hmm lekker....lekker
            Chandra mengambil foto Frederick dengan piring daun singkong tumbuk yang hampir habis. Tradisi Indischeelatte restoran, memajang foto pelanggan yang puas pada menu baru sebagai ajang promosi. Beberapa tamu lain ingin mencoba karena melihat tingkah Frederick, siang itu, satu panci daun  singkong tumbuk habis. Kami semua senang, melihat bule makan daun singkong tumbuk dengan topping keju. Fadly sukses, aku juga tentunya. Emak pasti bahagia, ya.


           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar