HATI YANG BERDARAH (12)
Siang cerah. Aku masih terbaring di
tempat tidur beristirahat sepulang jualan. Angin sepoi masuk dari jendela
kamarku yang terbuka lebar, aku menguap ngantuk. Emak mengetuk pintu kamarku,
agak keras. Kubuka pintu, melongok keluar, wajah Emak nampak layu, cahaya
matanya suram.
“Ada apa Mak?” aku bertanya
penasaran.
“Undangan...” Emak menyerahkan
sepucuk surat undangan, warna merah marun berpita emas, cantik sekali. Kulihat
nama yang punya hajat disampul undangan, aku hampir tak bisa bernafas.
Jantungku terasa mau lepas, nafasku sesak, dadaku naik turun, keringat dingin
mengucur. Sesuatu yang aku khawatirkan akhirnya terjadi, Zahwa tak lagi
menungguku, dia sudah mendapatkan pelabuhan jiwanya. Aku ingin menangis di
depan Emak, menumpahkan segala kesakitan ini. Tapi itu tak boleh terjadi, aku
harus bisa bertahan, itu semua kemauanku menunda keinginan Zahwa untuk
bersanding denganku. Aku tentu harus bisa menerima konsekwensi dari idealisme
yang tak jelas. Idealisme tentang sebuah harga diri, yang kini sangat
menyakitkanku, merontokkan sendi jiwaku.
“Kamu harus kuat, nak...” bisikan
Emak terdengar seperti sebuah degungan di telingaku. Aku mengangguk dalam,
menyimpan kesedihan, Emak merengkuhku, paham akan kesakitan jiwaku.
“Aku kuat Mak, aku kuat....aku kuat”
aku berusaha meyakinkan diriku sendiri, bukan Emak. Aku tertunduk dalam,
sedalam laut yang semakin kelam ke dasar.
“Kelak Allah akan memberikan jodoh
yang pantas untukmu” Emak mengelus kepalaku dengan sayang. Hatiku menjerit, aku
sesungguhnya sangat mencintai Zahwa. Cinta yang tak pernah aku eksploi secara
fisik, cinta suci yang kujaga rapat dalam hati. Aku selalu berharap dia kelak
akan mengisi sebagian hidupku, menjadi ibu anak-anakku. Tapi kini semua hancur,
puzzle yang ingin ku susun
berantakan. Sempurnalah kehancuranku,
hatiku berdarah.
Malam ini, untuk pertama kali seumur
hidup, aku menangis karena perempuan. Mataku basah, aku malu pada Tuhan karena
jiwa yang rapuh. Dalam takbir mataku basah, dalam sujud aku terisak, dalam do’a
aku berharap. Sepanjang malam aku duduk di atas sajadah, sajadah biru pemberian
Zahwa setahun lalu. Semakin dalam aku sujud mencium sajadah, semakin parah
terasa luka di dada.
Tuhanku yang maha
perkasa
Luka terasa dalam dada
Mengiris jiwa yang
hampa
Kosong tiada daya
Dia semakin tak
tergapai
Kini harus rela
Melepas harap yang tak
jua dekat
Dini hari datang, aku
tak mampu bangkit dari sajadah. Emak pergi jualan sendirian, membiarkanku yang
terbujur tiada daya. Luluh lantak semua sendi dan hatiku, hancur harapanku.
Pekerjaan tak jua ku dapat, wanita idaman pun pergi ke pelabuhan lain. Aku teringat
tawaran Zeiny, aku akan menerimanya. Biarlah aku pergi jauh ke negeri orang,
jika itu memang sudah jalan hidupku. Aku harus berani meninggalkan Emak
sendirian demi masa depanku dan juga kebahagiannya. Aku harus kuat dan berani
mengambil resiko. Bukankah Belanda adalah negara yang sangat jauh? Emak tak
akan tahu pekerjaanku yang sebenarnya di sana, aku akan mengatakan kepada Emak
bahwa aku bekerja di KBRI sebagai transleter.
Emak pasti mengangguk saja, dan tak ada orang Medan yang tahu jika aku hanya seorang
pelayan restoran. Aku harus mampu menciptakan sebuah kebohongan, bohong putih
Minggu depan Zahwa menikah dengan
seorang sarjana ekonomi yang punya nama bagus, M. Shafwan SE. Pasti dia adalah
seorang lelaki gagah yang kaya, sehingga mudah saja masuk ke dalam kehidupan
Zahwa. Aku bukanlah pengecut, tapi aku tak ingin menghadiri pernikahan hebat di
gedung mewah itu. Aku harus segera menghubungi Zeiny dan menerima tawaran dari
paman Maulidya. Aku akan menjadi pelayan restoran Indonesia di Nederlands. Aku
harus mau melayani manusia berkulit merah itu makan, menerima gaji dan tip.
Akan kukais rezeki di negeri yang moyangnya pernah menjajah negeriku, dan kini
masa depanku juga dijajahnya. Sepertri kata Zeiny, aku akan menabung dan segera
membuka usaha di Indonesia. Tak bisa kuharap lagi untuk menjadi pegawai
berdasi.
“Assalamu’alaikum Zein....” aku
menelepon Zeiny selepas Magrib.
“Wa’alaikumsalam...apa khabar?”
“Baik... tawaran kemaren, masih
berlaku enggak ya?”
“Masih lah... tapi kalau kau mau,
sabtu depan harus berangkat. Gimana ya? Paspor kan belum ada, juga
urus surat-surat yang lain” suara Zeiny terdengar pesimis, aku mulai berdebar.
Aku juga belum mengatakan apa-apa pada Emak, apakah aku akan mendapat restunya?
Jika sabtu depan aku berangkat, berarti aku selamat dari menghadiri pernikahan
Zahwa. Aku masih terdiam di ujung hand
phone ku.
“O... gini aja, kata Lili ada yang
bisa mengurus surat-surat itu dengan cepat. Besok pagi kamu datangi aja pak
Rahmad di jalan Ahmad Yani. Sesuai dengan apa yang sudah kami katakan, jangan
keluarkan uang sesen pun. Biar beliau yang urus semua, kamu cukup ikuti
prosedur aja. Gimana?”
“Oke...”ku jawab pendek karena
mendadak asing mendengar instuksi dari Zeiny. Wajar saja, dia sudah menjadi
Kabag sekarang.
“Tir, udah bilang Emak belum?”
“Belum...”
“Lho... bicara dululah sama Emak,
nanti kalo enggak dapat restu, macet jalanmu..”
“Aku enggak berani bilang kalau aku
disana jadi pelayan, Zein...kasian Emak, masak dia banting tulang nyekolahkan
aku Cuma jadi pelayan..”
“Terserahlah Tir, mau gimana lagi?”
“Kalau ku bilang aku kerja di KBRI
gimana ya?”
“Maksudnya?”
“Ya.. bohong putihlah.. gimana?”
“Ya....terserahlah. Mana ada bohong yang putih, Tir. Aku
yakin sekali kau pulang nanti menjadi orang sukses di Medan, karena kau pekerja
keras” aku meng amini dalam hati.
“Zein.... kau tau?”
“Apa?”
“Zahwa akan menikah...”
“Haaa?? Kapan??”
“Minggu depan”
“Jadi, kau terima tawaran ini karena
patah hati?”
“Tidak juga, aku ingin memperbaiki
nasib. Aku udah kena pelet pajak, jadi enggak bisa kerja dimana-mana. Mungkin
harus keluar negeri ya?” aku berbohong, menutupi perasaan yang luka.
“Ah... udahlah. Nanti kau bawa
pulang lima gadis Belanda. Mereka semua tergila-gila sama pemuda Indonesia.
Apalagi macam kau. Oya.. malam ini juga kau minta izin Emak, besok pagi bisa
kau jumpai Pak Rahmad itu ya?” telepon ditutup setelah Zeiny mengucapkan salam.
Tinggallah aku termangu-mangu pada keputusanku, bagaimana mengatakannya pada
Emak?
Malam itu juga, dibawah rembulan,
aku duduk menggelayut pada Emak. Menceritakan cita-citaku, hatiku yang sakit,
cintaku padanya, cintaku pada Tuhan, harapan dan kenyataan. Aku juga berbohong
pertama sekali dalam hidupku pada orang yang kucintai ini, aku harus berangkat
ke Belanda untuk menjadi duta kuliner Indonesia. Aku akan menjadi duta untuk
mengenalkan makanan Indonesia di Belanda dengan memenuhi kontrak kerja pada
sebuah perusahaan kuliner. Dengan
penjelasan ini, kurasa aku tidaklah berbohong. Hanya bahasa saja yang
aku perhalus, semoga Emak memberiku izin yang sangat berharga.
Mata Emak berkaca-kaca, aku di
peluknya layak anak balita. Padahal tangannya saja tak muat lagi memelukku.
“Berapa lama kau pergi, Tir?”
“Belum tau Mak...”
“Apakah nanti masih bisa pulang
lihat Emak?” ada cahaya rindu dimata itu.
“Ya...aku pulang lihat Emak, aku
selalu rindu karena enggak pernah jauh dari Emak”
Aku
tak lagi sanggup berkata-kata. Kami adalah ibu dan anak yang malang, tak pernah
terpisah sebelumnya. Kini, ketika Emak mulai menua dan aku tak jua dapat
memenuhi harapannya, aku harus pergi jauh, membawa kepenatan yang tak juga
selesai.
“Pergilah..Emak akan selalu
mendo’akanmu. Jangan cemaskan Emak, kita masih punya tetangga yang baik.”
Mataku panas dan basah, kini aku semakin cengeng. Airmata yang memalukan, tak
layak ditumpahkan seorang pemuda yang telah dewasa. Tapi dua hari ini air itu
selalu ada, tak mampu lagi kubendung. Betapa cinta terkadang membuat kita lemah
dan tunduk di bawahnya.
Hari yang telah ditentukan, aku
menjumpai pak Rahmad. Sosok yang ramah dan menyenangkan, tubuhnya tambun, jidat
yang lapang dan berkumis tebal. Segala urusan cepat selesai, aku hanya perlu
mengikutinya keluar masuk kantor imigrasi. Mengurus administrasi di Konsulat
Belanda, menjawab beberapa pertanyaan, sidik jari, pas photo. Pak Rahmad sangat
cekatan, agaknya dia sudah terbiasa melakukan ini.
“Apa targetmu pergi kerja
jauh-jauh?” itu adalah pertanyaan pak Rahmad yang agak sulit ku jawab.
“Cari pengalaman, ngumpulin modal
usaha” jawabku sekenanya. Pak Rahmad mengangguk tersenyum.
“Bagus, saya setuju. Jangan pernah
berpikir untuk bekerja selamanya di sana. Walau bagaimanapun, jauh lebih enak
tinggal di negeri sendiri.” Aku mengangguk, pak Rahmad nampak bersahaja.
“Aku kenal cukup baik dengan
Mr.Lamek” Pak Rahmad mengisap rokoknya dalam-dalam, menghembuskan asapnya yang
pekat mengepul.
“Dia mencari orang-orang kerja di
restonya Indonesia asli. Kau pasti tak merasa asing disana.”
“Maksudnya?”
“Nanti kau akan tahu, yang jelas
Mr.Lamek adalah orang yang sangat baik. Nanti kau akan tahu, gunakan kesempatan
ini sebaik-baiknya, menabung sebanyak-banyaknya, pulanglah dengan sukses. Buat
target untuk empat sampai lima tahun.” Aku terdiam, empat sampai lima tahun?
Selama itukah untuk menabung? Bukankah mata uang disana tinggi?
Aku tak pernah menyangka, begitu besar
akibat yang ditimbulkan keputusanku ini kelak. Hanya dalam tempo empat hari
semua urusan dokumen selesai, aku tak mengeluarkan uang sesen pun seperti yang
dipesan Zeiny. Aku
mengantongi sebuah tiket pesawat menuju Netherlands, perjalanan yang cukup jauh.
Aku masih tak percaya, aku tak pernah mengunjungi tempat manapun di luar
sumatera. Tapi Sabtu nanti aku akan terbang ke negeri entah berantah yang jauh.
Kubayangkan Zeiny yang bahagia tidur di samping istrinya, sementara aku masih
harus mengembara. Mencari sesuatu yang baru saja aku mulai, Zeiny sudah
mencapainya setengah, aku baru nol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar