TEMPAT
YANG ASING (13)
Pesawat mendarat mulus di bandara Schipol Amsterdam. Aku
mengikuti penumpang pesawat yang mulai berkemas dan turun. Jantungku berdebar
menginjak tangga pesawat, tak dapat kupungkiri bahwa ini adalah tempat yang
asing bagiku. Angin sejuk
menampar wajahku, menurut informasi di
pesawat tadi, Netherlands sedang musim semi, udara 30 derajat celcius. Udara lumayan hangat,
senang karena aku biasa hidup
di negara tropis dan tak terbiasa ber AC pula. Aku memasuki pemeriksaan
keimigrasian, cek dokumen dan paspor. Petugas Imigrasi menggunakan bahasa Inggris dan aku menjawab
dengan kemampuan bahasa yang lumayan. Berkali-kali mereka mencocokkan wajahku
dengan paspor, pemeriksaan sangat ketat.
Aku menjawab pertanyaan sesuai apa yang diajarkan Pak Rahmad, bahwa aku bekerja
atas jaminan perusahaan.
Setelah mengambil barangku yang tak
seberapa di rel bagasi, aku mengikuti orang-rang
yang mengambil jala keluar. Di tempat penjemputan aku celingak-celiguk, seorang
pemuda tinggi berkulit coklat tersenyum ke
arahku mengacungkan lengan tingi-tinggi, dia bukan
orang Belanda, tapi juga bukan wajah Indonesia, seperti orang Arab.
“Ma’af, Mr. Petir?” dia menyebut
namaku, aku mengangguk, sedikit kaget.
“Saya menjemput anda, Mr.Lamek
menyuruh saya” aku bertambah kaget karena
ia menggunakan bahasa Indonesia yang cukup baik.
“Kenapa anda yakin saya Petir? setahu saya biasanya
penjemput menggunakan papan nama,” aku bertanya sedikit tak percaya, aku harus
hati-hati, bukankah ini negara asing?
“Hmm..ya. Saya tak sempat membuat
papan nama anda, Mr.Lamek hanya menyebutkan nama anda, pesawat dan nomor
penerbangan. Saya pikir, tak akan susah mencari wajah Indonesia di sini,
makanya langsung saya menyapa anda.” Keterangan yang masuk akal, aku tersenyum,
pemuda itu mengulurkan tangannya.
“Saya Hafeed, karyawan di Indisschelatte resto. Anda akan
menjadi sahabat saya”
“Oya...saya senang mengenal anda”
Kami berjalan keluar bandara, gerbang atasnya lebar berwarna biru cerah dan jelas
tertulis SCHIPOL, kami bejalan menuju ke area parkir
yang luas. Aku terpesona pada jalan yang lebar dan hitam mengkilat, pada
tertibnya orang yang lalu lalang. Bangunan yang gagah perkasa dengan
pilar-pilar yang kokoh. Sepanjang jalan tak ada kutemukan sampah, malah tempat
sampah pun bersih, aku kagum. Aku adalah pemuda yang tak pernah menginjak ibu
kota negaraku sendiri,
aku hanya menginjak Jakarta ketika transit dan menunggu
penerbangan menuju Amsterdam. Aku melihat Jakarta dari udara, itupun ketika
pesawat belum begitu mencapai ketinggian yang sesungguhnya. Aku masih bisa
melihat pemukiman padat seperti kotak korek api yang tak beraturan, mobil dan
kendaraan bermotor seperti sampah menyumbat aliran sungai. Tapi
kini aku malah terdampar
di hempas nasib ke negara Belanda. Betapa jalan hidup tak pernah ada yang tahu.
Aku mengagumi apa yang kulihat,
sambil mendengarkan beberapa keterangan dari Hafeed.
“Mr. Lamek adalah orang yang baik,
anda akan senang bekerja disini”
“Anda sudah berapa lama disini?”
“Sejak usia saya enam belas tahun”
“Berapa usia anda sekarang?”
“Dua puluh tujuh”
“Sudah sebelas tahun”
“Ya...sudah sebelas tahun”
“Anda dari Arab? Atau India?”
“Saya dari Palestina...” Aku tercekat mendengar nama
Palestina, negeri yang terus berdarah. Apakah
Hafeed korban yang tercampak dari negaranya yang nestapa? Aku
tak berani bertanya lagi, pasti Hafeed punya cerita luka dari negerinya.
Bangunan induk rumah itu sangat
luas, bercat putih dengan pilar hitam pekat. Hafeed memarkir mobil di halaman
samping, seperti carport tapi
melebar, muat untuk parkir lima mobil. Hafeed membantu membawa tasku, salah
satu isinya adalah sambal teri kacang kering buatan Emak, AlQur’an saku dan sajadah biru pemberian Zahwa.
Kami melintasi taman yang dibelah oleh jalan kecil berkerikil putih, di ujung jalan
ini berdiri bangunan berupa kamar seperti kos-kosan. Berbeda dengan bangunan induk,
bangunan ini berwarna merah maron dengan bingkai jendela putih. Di depan
tiap-tiap kamar, ada lampu dinding yang berukiran cantik. Semua nampak bersih,
tertata rapi dan berkelas, jauh dengan rumahku di Medan sana.
Hafeed membuka salah satu kamar, mempersilahkanku
masuk dan meletakkan tasku yang dibawanya.
“Ini kamar kita, istirahatlah”
“Kita satu kamar?”
“Ya, itu tempat tidur anda,
sepreinya bersih, sudah saya ganti. Yang
putih itu lemari anda. Saya kembali ke resto, nanti jam
lima saya jemput anda. Oya.. itu di meja ada makanan, jangan sungkan. Assalamu’alaikum” Hafeed menutup pintu, kujawab salamnya, kini tinggallah
aku sendiri.
Kamar itu jauh lebih luas dari
kamarku, ada dua tempat tidur dengan kasur tebal. Dua lemari pakaian dengan warna berbeda, lemariku
putih sementara lemari Hafeed biru mengkilat. Di
atas meja terletak sebuah televisi flat, di sudut kamar ada perapian dan kamar
mandi lengkap dengan shower dan wastafel. Diantara tempat tidurku dan Hafeed
terletak sebuah meja kecil, disitu ada aneka makanan, roti, kentang dan kue
bulat-bulat coklat bertabur tepung gula dan sebotol limun. Belakangan aku tahu bahwa kue itu bernama olli bollen, kue khas Negara Belanda. Kulongok
keluar jendela, kamar-kamar di sebelah sepi, juga rumah induk yang besar di
depan sana.
Ku
coba untuk tidur, nanti aku dijemput Hafeed, aku belum punya gambaran tentang
apa pekerjaanku. Paling tidak, melihat apa yang ada di sekitarku sekarang, aku
yakin mendapat tempat yang baik dan pantas. Ini bukanlah sekadar kamar, tapi sebuah
rumah mungil. Aku ingin mengabari Emak, tapi belum tahu caranya, nanti aku akan
minta tolong pada Hafeed.
***
Jam
lima tepat Hafeed kembali ke kamar untk menjemputku, aku terkesan pada orang
yang tepat waktu. Untunglah aku sudah bersiap-siap sehingga tak memalukan jika
dia harus menungguku. Selama perjalanan, aku mencoba mencari keterangan dari
pemuda ini.
“Ma’af,
rumah besar di depan itu rumah siapa?” aku bertanya penasaran.
“Itu
rumah Mr.Lamek dan keluarganya, tapi beliau sedang tidak di sini”
“Pantas
rumah itu sepi”
“Ya…
selalu begitu. Anak Mr.Lamek sedang belajar di Australia, satu lagi di
Indonesia.”
“Anak
Mr.Lamek dua orang?”
“Ya,
sepasang. Yang besar perempuan kuliah di Australia, yang kecil duduk di Senior
High School Indonesia” pasti maksud Hafeed SMA.
“Di
Indonesia tepatnya dimana ya?”
“Saya
dengar di Aceh”
Mobil
masuk area parkir sebuah restoran yang cukup apik, disinikah aku akan bekerja?
Jarak dengan rumah mungil tadi memakan waktu hanya lima menit. Melewati taman
bermain, gedung dan rumah yang tinggi-tinggi. Kami memasuki restoran dari pintu
samping, ada beberapa sepeda di parkir disini. Hafeed mendorong pintu,
terdengar suara gemerincing pintu kaca berbingkai kayu putih yang kokoh. Di
dalam, aku terpana sesaat, memandang wajah-wajah yang terasa dekat dan tak
asing, wajah-wajah Indonesia.
“Di
restoran ini semua karyawannya orang Indonesia,” Hafeed memberi penjelasan,
seakan tahu isi hatiku.
“Anda?”
“Ya,
saya memang berbeda…” Hafeed tersenyum getir, aku menyesal, aku bermaksud bercanda. Tapi Hafeed tak merasakan aura canda
dalam kalimatku.
Mereka
menyalamiku satu persatu, seakan mengucapkan selamat datang. Ada Tarjo,
Suheimi, Chandra, dan Kurnia yang berasal dari Jawa. Ada juga Fadly, Zamzami
dan Rizal yang asal Aceh. Karyawan restoran ini sebagian besar laki-laki, hanya
ada Lenny yang asal Madura duduk di meja kasir. Semua tersenyum tulus
menyambutku, menyambut teman senasib tercampak dari negeri sendiri demi uang.
Paling tidak aku bersyukur, aku tak kesulitan berkomunikasi dengan mereka.
Tidak terasing karena perbedaan kulit dan bahasa.
“Semua
teman disini tinggal di flat kita tadi. Hanya Lenny yang tinggal bersama
suaminya”
“Lenny
sudah menikah?”
“Ya..
dengan seorang lelaki Belanda juga, berasal dari Utrecht” Hafeed duduk pada sebuah kursi di sudut dapur yang tidak
begitu sibuk.
“Kita
semua muslim disini, semua makanan halal. Jadi tak ada yang perlu anda
khawatirkan.” Aku mengangguk senang, bekerja disebuah restoran luar negeri
dengan jaminan halal tidaklah mudah.
***
Kawan,
kini aku tinggal di negeri Ratu Beatrix. Berbaur dengan beragam rupa penduduk
Rotterdam yang ramah dan terbuka. Penduduk yang sopan dan sangat menghargaiku
meski aku adalah seorang pelayan restoran. Aku menunduk mencatat pesanan menu
mereka, mereka santun dan selalu mengucapkan “danke sir” aku tersenyum dan membalas dengan ucapan yang sama.
Kawan, tak pernah aku mendapat perlakuan buruk, termasuk dari langganan
restoran orang Indonesia sendiri. Mereka orang-orang terpelajar yang santun,
aku terkesan.
Di
Negara kincir angin di Eropa bagian barat ini aku mengais rezeki, mencoba
melupakan Zahwa yang telah dimiliki orang lain. Aku sudah menelepon Emak
singkat saja mengingat biaya telepon yang mahal. Setiap pagi aku mengayuh
sepeda bersama teman-temanku senasib menuju restoran. Melewati taman bermain
dengan tulip terhampar, jalanan hitam mengkilat rata dan licin, rumah dan
gedung kokoh seakan tak ada yang mampu menggoyangnya. Masih musim semi, aku
menikmatinya walau hati belum sempurna
menerima.
Tiga bulan pertama, aku akan mendapat bayaran sebesar
644.96 euro per bulan. Jika dirupiahkan, itu setara dengan angka sembilan juta.
Aku tak menanggung biaya hidup kecuali untuk bersenang-senang. Untuk sementara,
aku lupakan dulu bersenang-senang. Aku ingin menabung sebanyak-banyaknya lalu pulang
ke Indonesia. Teman dan sahabat di restoran layak keluarga, kami saling menjaga
dan memperhatikan, termasuk Hafeed satu-satunya pria asing diantara kami.
Hafeed adalah manager restoran dan Fadly kepala koki. Aku, Tarjo,Chandra,
Zamzami dan Kurnia bertugas melayani tamu, sementara Rizal, Suheimi dan
Bachtiar bertugas di dapur dibawah komando Fadly.
Ternyata, menu yang disajikan restoran kami tidaklah
sepenuhnya makanan Indonesia, kecuali untuk makanan penutup. Aku terheran-heran
melihat manusia berkulit merah berambut jagung itu melahap pisang bakar maupun
pisang goreng sebagai penutup makan siangnya. Pudding juga dibuat ala
Indonesia, pudding jagung, pudding telur yang disiram fla gurih ditaburi keju.
Makanan Indonesia hadir pada week end,
segala macam makanan khas disiapkan. Mulai dari rendang, kari, terong balado,
semur ayam, sambal teri sampai kuah pliek pun ada. Biasanya, pada week end restoran menjadi tempat
berkumpul pelajar, mahasiswa ataupun pekerja Indonesia yang ada di Rotterdam.
Restoran akan penuh dengan wajah-wajah Indonesia, bercerita tentang kampong
halaman, tentang negeri yang sedang diduduki atau hal-hal remeh yang tak begitu
penting. Ada juga yang duduk sambil berdiskusi membuka laptop, ada yang
bernyanyi ditemani life music local yang
jago menyanyikan lagu Indonesia. Jika rindu Indonesia membuncah sampai
ubun-ubun, kami semua berdiri menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan khidmat,
kemudian bertepuk tangan sambil bersuit-suitan lalu berpelukan.
Kawan, ketika jauh dari negeri sendiri, nasionalisme
tercipta, rindu negeri meluap-luap. Tak ada lagi teman sekampung, yang ada
adalah saudara senegara. Padahal dulu
ketika SD sampai SMA aku tak pernah
merasakan ruh lagu Indonesia Raya. Upacara bendera setiap hari senin adalah
kegiatan yang menyiksa, berdiri dibawah matahari pagi, mendengar petuah Pembina
upacara, hormat bendera. Dalam barisan, ada saja kawan yang jahil, menarik
ujung baju, memijak sepatu atau menarik telinga bahkan menceritakan Pembina
upacara sambil berbisik-bisik. Yang diceritakan biasanya Pak Ahmad yang botak,
Pak Zein yang berkumis seperti Pak Raden dalam cerita si Unyil, Pak Usup yang
giginya agak maju, mereka akan terkikik-kikik dalam barisan sambil menutup
mulut. Kawan, ketika aku sudah keluar dari negaraku tercinta, aku baru dapat
menyadari semua, bahwa aku sangat mencintai Indonesiaku. Dengan segala
kelebihan dan kekurangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar