Selasa, 09 April 2019

TRAGEDI COMMONWEALTH BRIDGE (21)



            Autum di Canberra. Mata dimanjakan warna coklat dan orange, sepi hijau. Daun-daun berwarna kuning keemasan, berserak di sepanjang jalan dan taman. Pohon-pohon seakan berdiri mati, karena daun yang telah lepas dari dahannya. Batang-batang itu semakin indah dibawah pantulan matahari sore, siluet seni yang dalam. Angin terasa dingin menusuk tulang. Sore autumn, indah. Tinggal di Negara empat musim, sangat variatif dan menuntut daya tahan tubuh yang kuat. Negara tropis amatlah nyaman, tubuh tidak selalu terkejut menerima perubahan cuaca. Aku menyukai musim semi dan autum, sementara aku sangat membenci musim dingin. Bila musim dingin datang, jika keluar rumah gigiku terus menerus gemeretuk, bibir pecah-pecah dan terkadang darah segar keluar dari hidung. Putih salju sangat menyilaukan mata, sering aku sakit kepala. Syukurlah kacamata hitam banyak membantu. Agaknya, mataku mulai kehilangan daya lihat maksimal, sering berair dan melihat tidak focus.
            Pekerjaanku di Canberra semakin baik. Mr. Lamek mempercayakan aku sebagai manager divisi pengadaan barang. Hal ini membuat aku semakin banyak mengenal orang-orang dari manca Negara, terutama yang berhubungan dengan computer. Emak selalu menelepon dan meluapkan rindunya sambil sesekali mengomel. Mengatakan aku sudah lupa padanya, ia tak perlu uang tapi hanya ingin aku pulang. Ya, aku sudah lima tahun tidak menginjak Indonesia. Melewati lima Ramadhan dan lima lebaran di Negara asing. Aku ingin sekali pulang, tapi entahlah. Terkadang kepalaku selalu dipenuhi angka-angka. Yang aku pikirkan hanya menabung sebanyak-banyaknya. Aku sudah meminta Emak untuk mendaftar berangkat haji. Tapi emak ingin berangkat bersamaku, jadi ia masih menungguku. Aku ingin pulang, tapi aku masih menunggu waktu yang tepat. Aku ingin memeluk emak, tapi masih tertunda.
Aku masih mengatur strategi, untuk bisa menjadi bos bagi diri sendiri. Atau, aku juga harus mampu membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain yang membutuhkan. Seperti yang pernah dikatakan Audya, yang selalu memotivasi diriku. Perempuan yang mengagumkan, yang sebulan lalu menemuiku dengan geraian jilbab yang indah. Rambutnya yang coklat sudah tertutup, begitu juga lengan dan betisnya. Audya, menampakkan aura sebagai seorang muslimah yang cantik dan cerdas. Diam-diam, aku menyukainya. Aku pernah mengutarakannya, Audya tersenyum menampakkan sederet giginya yang putih, pipinya merona merah.
“Apakah saya pantas untuk orang shaleh seperti kamu?,” Audya menunduk, memainkan jari tangannya dengan gelisah. Aku terkekeh geli, dia menganggapku orang shaleh? Ah..
“Mengapa kamu memandang saya sebagai orang shaleh?,” aku memancingnya, untuk mengeluarkan pikirannya tentang aku.
Simple answer, karena kamu rajin sholat, puasa sunat, tidak berhubungan dengan perempuan, I think that enough.” Aku berdehem, terbatuk-batuk kecil sebagai cara menghentikan gemuruh yang berdentum di dada layaknya badai tornado.
“Kalau begitu, kamu mau menjadi istri saya?. Seorang pemuda miskin, yang tidak punya harta?,” aku nyaris tidak dapat mendengar suaraku sendiri, pelan sekali.
“Harta bukan segalanya, kepribadian itulah harta sesungguhnya. Mama selalu mengingatkan kami, bahwa harta itu bukan sumber kebahagiaan, hanya pendukung saja. Aku tidak pernah takut miskin, karena Papa tidak akan pernah membiarkannya,” Audya berkata mantap, tegas.
“Apakah Oom Lamek tidak keberatan jika aku menjadi suamimu?,”
“Berapa kali harus aku katakan, bahwa papa sangat mengagumimu, ha?,” Audya melotot lucu. Aku tersenyum mengangguk-angguk, hidungku kembang- kempis merasa tersanjung.
Aku, sudah mengatur rencana. Emak sudah aku telepon dan sangat senang, suaranya nyaring seperti orang bernyanyi.
“Kirim fotonya, ya?,” itulah kata-kata emak melalui telepon. Aku minta foto Audya yang memakai jilbab dan segera mengirimnya ke Medan. Emak menelepon lagi.
“Ya Allah…cantik sekali, Tir. Pasti nanti anakmu cantik seperti Ibunya. Cepat pulang, segera nikahi Audya, ya?,” suara Emak mendayu-dayu senang, seperti anak yang dapat permen.
“Sabar, Mak. Insya Allah aku pulang secepatnya, dua tahun lagi,”
“Tidak baik lama-lama, Tir. Segera nikahi Audya, bila perlu bulan depan,” aku tak lagi menjawab instruksi emak. Takut terlalu panjang, juga tak ingin membantah Emak. Emak benar, akan tetapi aku juga tidak salah. Aku harus mengatur rencana secara matang. Audya harus menyelesaikan studynya terlebih dahulu. Untuk kemudian mengajak Audya menikah dan kami akan pulang ke tanah air. Semua, sudah kutulis dalam agenda rencana, perfect!.
***
            Sore yang indah di musim gugur. Awan berarak kelabu dan dingin. Siang tadi aku sholat Jum’at di Canberra Mosque di empire circuit. Pagi  tadi, Audya minta aku menemaninya ke Lake Burley Griffin. Audya minta agar kami sampai sebelum jam empat sore untuk menyaksikan Water jet di tengah danau. Water jet di luncurkan pada pukul 11 siang dan pukul 4 sore. Jika ada matahari, air seberat enam ton yang ditembakkan ke udara itu akan menghadirkan pelangi. Tapi, itu biasanya muncul pada musim panas. Hari ini tidak ada matahari, tapi Audya ingin melihat water jet yang fantastis itu. Sambil memanjakan mata memandang danau buatan yang biru membentang.
            Lake Burley Griffin terletak di jantung kota Canberra. Danau yang dirancang ahli lanskap dari Amerika, Walter Burley Griffin memiliki luas 35 kilometer. Di bangun pada tahun 1963 dan menjadi kebanggaan masyarakat Canberra. Pada musim panas, danau ini menjadi pusat olahraga ski air. Di sekitar danau, ada jalanan tempat bersepeda untuk mengelilingi danau. Lake Burley Griffin adalah tempat favorit turis yang berkunjung ke Canberra. Rencananya, Audya yang akan menjemputku ke kantor di kawasan Pert Avenue.
            Di kantor, aku masih memeriksa laporan Barney tentang jumlah software yang masuk pada bulan Maret ini.
            “Assalamu’alaikum…,” kepala Audya yang ditutup jilbab merah maroon muncul dari balik pintu. Aku menjawab salam dan menyuruhnya masuk.
            “Kita langsung ke Burley Griffin?,” Audya masih memegang handle pintu.
            “Mengapa buru-buru?,”
            “Aku takut ketinggalan water jet,”
            “Aduuh, seperti baru pertama lihat aja,”
            “Entahlah, aku ingin cepat ke sana. Ayolah…nanti terlalu dingin. Sholat ashar kita nanti di Canberra Mosque, aku kepingin lihat anak-anak bermain di halaman mesjid.”
Aku memperhatikan aura wajah Audya yang aneh, cahaya mata yang tidak seperti biasanya. Apakah ia sakit?. Ah, tidak ada sesuatu yang pantas dipikirkan secara negative. Water jet tetap menarik sampai kapanpun, lake Burley Griffin juga layak menjadi pemandangan yang selalu ingin disaksikan. Begitu pula anak-anak yang bermain di halaman mesjid Canberra. Halaman mesjid Canberra dirancang seperti taman bermain. Yang cukup menarik lagi adalah, anak-anak dari berbagai Negara ada di sana. Lanskap kecil dunia muslim tampak di halaman mesjid. Ada anak-anak berkulit putih dari eropa, ada yang berkulit kuning dari asia atau lebih banyak lagi dari Afghanistan dan Turki. Bukankah itu sangat menarik?.
You drive,” Audya menyerahkan kunci mobil. Seperti biasa, aku tidak menolak. Bukankah etika timur seorang pria menjadi supir bagi seorang wanita?. Di manapun, aku masih lebih menghormati budayaku sendiri. Budaya timur yang santun.
            Prius putih membelah Pert Avenue di kawasan Yarralumla yang sedang lengang. Menuju ke utara, menyeberangi Commonwealth bridge yang membelah danau Burley Griffin sepanjang 1 mil. Audya membuka jendela mobil, katanya ingin menikmati angin. Di tangannya sekotak keripik kentang siap untuk disantap. Di dasbor mobil masih ada lagi sekotak coklat kacang, dan di jok belakang masih ada satu krat soda. Di setiap perjalanan, Audya tidak pernah lupa dengan makanan ringan. Dia akan terus mengunyah makanan sambil berbicara, sesekali tertawa. Jilbab maroon yang dikenakannya berkibar ditiup angin. Kecepatan mobil yang kukemudikan berkisar antara 70 km perjam. Angin berdesir-desir masuk melalui jendela mobil, suasana yang benar-benar santai. Audya bercerita tentang studinya yang hampir selesai. Tentang teman-temannya yang dapat menerima perubahan penampilannya. Tentang harapan dan cita-citanya. Aku, cukup menjadi pendengar yang baik, dengan mata yang sesekali menyipit.
            Memasuki Commonwealth bridge, aku mengurangi kecepatan. Jembatan panjang ini juga Nampak lengang. Di tengah jembatan, aku menambah kecepatan laju mobil. Sama sekali aku tidak memperhatikan, di depan kami sebuah container juga melaju dengan kecepatan tinggi. Mataku menyipit, ada cahaya menyilaukan yang memancar dari arah depan. Aku mengurangi kecepatan.
            Watchout!!..,” Audya menjerit panik. Tapi terlambat, sayap kiri container menyentuh kap depan mobil, Audya menjerit menyebut asma Allah. Prius putih yang aku kendarai membentur dinding jembatan dengan cukup keras, terseret dan mengeluarkan percikan api dari gesekan dinding jembatan. Mobil berhenti setelah terseret puluhan meter.
Aku masih sadar, terikat pada sabuk pengaman. Kakiku tidak merasakan apa-apa, kepalaku terasa hangat, mungkin ada rembesan darah, bibirku terus mengucapkan asma Allah. Aku memperhatikan Audya yang juga terikat sabuk pengaman, wajahnya penuh darah. Jilbabnya basah, Audya masih bergerak, tapi seperti orang kejang, menggeliat-geliat.
            “Audy…Audy..,” tak ada jawaban.
            “Audy…bangun, Audy..,” masih tak ada jawaban. Tiba-tiba dadaku sesak, seperti dihimpit ratusan ton beban berat. Lamat-lamat semua hitam, suara-suara riuh terdengar dari luar mobil, sangat jauh.
***
            Tragedi di Commonwealth bridge. Kaki kiriku patah, tepat pada tungkainya. Kepalaku hanya sedikit luka, tak ada luka lain, wajahku bersih. Tapi, Audya tidak. Dia mengalami luka fisik yang parah, kepalanya mengalami benturan berat dan wajahnya terkena serpihan kaca mobil. Dan, Allah telah menjemputnya. Audya tidak dapat tertolong, kami semua pasrah. Berserah diri sepenuhnya pada Allah.
            Mr. Lamek dan Tante Diana mendapat cobaan yang berat, aku juga. Rasa bersalah dan penyesalan menyusup dalam setiap aliran darahku. Bayangan wajah Audya tak pernah lepas dari pikiranku. Mengapa ini bisa terjadi?, mengapa aku mengantuk? mengapa tidak Audya saja yang menyetir? Mengapa tidak ke mesjid Canberra saja dulu, sehingga tidak berpapasan dengan container itu? Mengapa? Semua kata-kata mengapa mengisi kepalaku selama 24 jam. Allah adalah tempat aku berserah. Tapi aku juga manusia yang lemah, berharap semua berjalan sesuai rencanaku sebagai manusia yang ingin bahagia. Tapi kini semua sudah terenggut, Audya telah pergi selamanya. Semua rencana kandas sudah, tak berbekas apa-apa selain luka yang menganga.        
            Dua bulan aku harus mengistirahatkan kaki kiriku, pasca operasi. Bone tissue 35 dm dimasukkah ke sela-sela tungkai di dua tempat. Aku harus menggunakan tongkat dan selama dua bulan tidak oleh memijakkan kaki ke tanah. Hampir setiap hari Emak menelepon, menanyakan kondisiku. Setiap kali menelepon Emak tersedu, mengharap dirinya ada di dekatku. Menemaniku, menghiburku. Aku merindukannya, aku juga ingin ada di dekatnya, mencurahkan semua kedukaan, kehancuran perasaan dan harapan.
Dua kali dalam seminggu aku harus mengikuti terapi di Canberra hospital. Barley mengantarku dengan setia. Lelaki jangkung itu banyak menghiburku. Pada hari minggu ia membawa anak dan istrinya ke rumah. Barley memiliki seorang putri kecil berusia 4 tahun yang dipanggil Emily. Emily berambut pirang dan bibirnya merah seperti strawberry matang. Emily lucu dan cerdas, dia memanggilku Oom Pet. Panggilan aneh yang lucu, Pet? Ya…Pet!. Dan, ketika keluarga Barley pulang. Aku kembali dicekam perasaan kehilangan yang dalam. Harapan ke depan semakin terasa suram. Menggambarkan siluet-siluet yang panjang, luas dan tak memiliki tepi.



           

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar