Selasa, 09 April 2019

PULANG (22)



            Pintu-pintu rumah tertutup rapat di musim dingin. Udara di luar mencapai minus sepuluh derajat celcius, salju tebal menutupi jalanan Canberra. Pohon-pohon dan atap rumah memutih. Siaran radio dan TV cabel sudah mengumumkan akan terjadi badai, diharapkan warga Caanberra tidak meninggalkan rumah. Kantor-kantor  pemerintahan tutup, sementara hanya beberapa kantor yang tetap beroperasional seperti biasa. Sekolah-sekolah sudah terlebih dahulu diliburkan. Aku, memilih tinggal di rumah. Tinggal di rumah jauh lebih hangat, karena mesin penghangat sangat membantu.
            Siang ini, aku memilih duduk di pinggir jendela kaca yang bingkainya sudah diselimuti es. Truk-truk pengeruk es bekerja keras mengeruk salju di jalan yang tebal. Sementara angin kencang bersuit-suit, pohon-pohon berselimut es bergeming. Aku memperhatikan terjadi kekacauan di jalan depan rumah. Antara pintu rumah dan jalan berjarak lima meter, setelah melewati halaman rumah yang jika musim semi atau musim panas berwarna hijau. Rumah-rumah di Canberra pada umumnya memiliki halaman dan tidak berpagar. Kini, halaman itu memutih oleh gundukan-gundukan salju yang beku.
            Aku memerhatikan petugas pengeruk es itu keluar dari mobil pengeruk dan terjatuh, mungkin karena bobot pakaiannya yang berat atau angin yang kencang. Seorang temannya keluar ingin menolongnya, memapah temannya dengan kesulitan karena angin yang kencang.
Mereka tampak kebingungan memperhatikan pintu-pintu rumah yang tertutup. Agaknya mereka butuh pertolongan. Tanpa pikir panjang aku membuka pintu rumah, berteriak ke arah mereka, lupa pada pakaianku yang hanya memakai sweater satu lapis. Suaraku melawan angin, dan aku langsung merasa membeku. Syukurlah, petugas pengeruk itu segera menghampiri rumah dengan langkah yang tertatih-tatih.
            Thankyou..I need toilet, please...,” itulah ucapan pertama yang kudengar dari petugas itu. Aku tersenyum dalam hati, ternyata ia perlu kamar mandi, mungkin mau pup ya? Pikirku lucu. Aku pikir ada sesuatu yang lebih serius dari itu, ah...temannya cengar-cengir. Bagiku, petugas-petugas ini seperti pinguin, yang hidup di es. Ekspresi wajahnya memang kedinginan tapi tidak menggigil sama sekali, sementara aku yang baru saja membuka pintu rumah sudah hampir beku seperti ikan di dalam freezer.
Aku menunjuk arah kamar mandi kepada petugas yang ramah itu. Wajahnya sangat bersahabat, apalagi setelah kami mengobrol sambil menikmati secangkir coklat panas.
            “Do you have some wine, maybe...’”
            “Oh, sorry. I am a muslim, I don’t have wine.” Jawabku pasti
            “Oooh...sorry, thankyou for a cup of chocholate,”  mereka dengan ramah menyalamiku, setelah lima belas menit menghangatkan diri. Petugas yang akhirnya aku tahu bernama Steven dan William itu asli penduduk Canberra, yang neneknya dari suku aborigin. Aku memperhatikan mereka kembali dari bingkai jendela yang memutih, baru lima belas menit mereka meninggalkan mobil mesin pengeruk, tapi salju sudah menutupi sebagian mobil dan jalan kembali menebal oleh gundukan putih itu. Aku menyeruput coklat panas sambil menarik nafas panjang, untuk pertama kali aku menikmati salju dan pemandangan ini, juga badai dan angin yang tak bersahabat di luar sana. Karena, ini adalah musim dingin terakhir aku berada di negeri asing, aku akan segera pulang ke Indonesia.             
****
            Menghabiskan waktu dua tahun setelah wafatnya Audia di Canberra bukanlah perkara mudah. Bayangan perempuan cantik dan baik itu terus menghantui, sementara rasa bersalahpun terus mendera. Sering ketika selepas sholat malam, aku seperti melihat Audia yang berdarah dan kejang seperti hendak melepas nyawa. Baru saja kami bercakap-cakap, Audia yanng ceria sambil menikmati keripik kentangnya, dengan jilbabnya yang berkibar. Namun tiba-tiba semua musnah begitu saja, Audia meninggal. Aku bisa merasakan betapa tipisnya batas antara hidup dan mati. Mr. Lamek dan tante Diana tidak pernah menyudutkanku, atau menganggapku sebagai sebab kematian putri tercintanya. Tapi tetap saja aku merasa bersalah, entah sampai kapan. Padahal aku adalah orang yang menyandarkan semua kepada takdir dan kuasa Allah, tapi untuk hal ini tetap saja terasa sulit.
            Alhamdulillah, kakiku tak pernah mengalami masalah serius. Tungkai sudah dapat dilipat dengan sempurna. Perasaan ngilu terkadang muncul pada waktu tertentu, tapi tidaklah serius. Buatan manusia tetap saja tidak pernah mampu menggantikan apa yang telah Allah ciptakan. Perusahaan Mr. Lamek semakin maju pesat dan aku semakin paham banyak hal tentang seluk beluk software dan pemasarannya. Dan tekad sudah bulat bahwa aku akan segera pulang ke Indonesia dan membangun kerajaanku sendiri di sana. Mr. Lamek sudah setuju, setelah aku banyak berkonsultasi kepada Bapak yang baik ini. Semua tugasku akan di alihkan ke Zamzami, yang setelah kematian Audia langsung pindah ke Canberra.
            Orang pertama yang paling bahagia mendengar aku akan pulang adalah Emak. Hampir setiap minggu Emak telepon, dengan alasan takut aku merubah pikiran. Wajar saja, karena selama dua tahun di Rotterdam dan lima tahun di Canberra aku tak pernah pulang. Melepas rindu hanya melalui surat dan telepon, merasakan pelukan emak hanya dari jauh. Atau mendengar emak yang mengeluh dan marah dari jauh, ah! Betapa aku merindukan emak, perempuan yang sudah menyediakan rahimnya sebagai tempat aku bersarang selama sembilan bulan.
            Orang kedua yang aku kabarkan adalah Zeiny. Lelaki yang sudah dianugerahkan anak tiga itu juga tak kalah antusias. Yang membuat aku tersenyum kecut adalah ucapannya.
            “Segera cari istri, jangan jadi bujang lapok! Kalau payah kali, nanti aku carikan perempuan aceh yang sesuai seleramu,” ah!..Zeiny ada saja. Memang perempuan itu makanan? Sehingga dikatakan sesuai selera? Ada-ada saja.          Bibirku tetap menyungging senyum, walau hati terasa perih. Untuk urusan perjodohan, agaknya aku memiliki jodoh yang jauh. Ternyata tak mudah menemukan tulang rusuk yang hilang itu. Atau, memang Allah ingin aku benar-benar menjadi pejuang dalam kehidupan? Berjuang melewati masa kecil yang sulit tanpa seorang ayah. Berjuang melewati masa sekolah yang pahit karena miskin, begitu juga masa kuliah yang suram atau masa dimana menjadi pengangguran. Setelah itu, berjuang di negara asing dengan musim dingin yang menggigit sampai tulang, dan sekarang...berjuang memulai bisnis dan satu lagi, berjuang mencari istri.
            Benar, life is fight. Hidup adalah perjuangan, selama kita hidup dan masih bernafas maka perjuangan belumlah usai. Jika tak ingin berjuang mencapai apa yang kita inginkan dalam hidup, sebaiknya berhenti saja hidup. Percayalah, memang begitu adanya. Pulang nanti, aku akan memulai bisnis baru dalam penjualan perangkat lunak. Aku ingin yang simple saja, buka toko. Aku ingin semua berlangsung cepat dan tak ingin menjadi pengangguran sekembalinya ke tanah air tercinta. Lagi-lagi aku butuh pertolongan Zeiny, mencari tempat yang tepat untuk penjualan hardware dan software lengkap. Aku tidak punya kerabat di Medan, hanya Zeiny yang terdekat. Aku hanya bantu dengan browsing, dan Zeiny akan membuktikan secara reel. Dan, sahabat baikku itu sengaja mengambil cuti kerja demi kepentingan ini. Zeiny, memang melebihi saudara kandung sendiri bagiku yang tak memiliki siapa-siapa selain emak.
            Musim semi, 23 Agustus aku meninggalkan Canberra. Pulang ke tanah air untuk menjemput impian dan masa depanku. Menemui emak yang kucinta dengan sepenuh rindu. Jika harus berkata jujur, sebenarnya perasaan hatiku bercampur aduk antara sedih dan bahagia. Ada perasaan sedih meninggalkan Canberra dan pekerjaan yang sudah terlanjur nyaman dan kusenangi. Sedih meninggalkan oom Lamek dan tante Diana yang hangat dan telah pula aku “kecewakan” (entah mengapa, selalu aku merasa seperti itu). Tapi, sisi bahagia lebih dominan, bahagia akan segera menjejakkan kaki di bumi Indonesia yang hangat. Bahagia akan segera berjumpa Emak.
            “Jalanilah bisnis seperti yang pernah engkau dapat di sini, jadilah raja bagi diri sendiri,” pesan Oom Lamek sebelum aku berangkat pulang.
            “Terimakasih, Oom. Atas semua kesempatan yang telah oom berikan kepada saya. Sekali lagi saya mohon ma’af atas semuanya,” ada sesuatu yang sangkut d tenggorokannku, sakit sekali.
            “Tidak ada yang perlu saya ma’afkan, Tir. Allah maha tahu segalanya, jangan pernah berpikir yang bukan-bukan. Kamu tahu mengapa saya sangat ikhlas melepas Audia? Karena ia dijemput Allah dalam puncak keimanannya. Dia berhijab, dia sholat, dia selalu bermunajat malam dan puasa sunah dan dia selalu berzikir dalam diamnya. Saya yakin, dia penghuni syurga di sisi Allah. Itulah, saya sangat ikhlas, sangat ikhlas,” mata Oom Lamek nampak berkaca-kaca. Aku tak dapat menahan diri, airmataku jatuh dan oom Lamek memelukku dengan hangat dan dada yang berguncang, dia menangis.
            “Pulanglah, jumpai Ibumu. Jika ada waktu, jumpai saya lagi,” Oom Lamek melepaskan pelukannya dan menepuk bahuku, aku mengangguk
“Ya, Oom. Saya akan selalu berkirim kabar. Do’akan saya ya, Oom?” aku menyalami Oom Lamek dengan takzim dan mencium tangannya.
            Pesawat Qantas air line membelah langit canberra yang cerah. Mengantarku pulang kepada Emak. Mendengar perkataan Oom Lamek yang ikhlas karena Audia di syurga membuatku bisa tersenyum. Ya, aku juga sudah ikhlas, karena oom Lamek benar, dia dijemput Allah dalam puncak keimanannya. Aku menarik nafas lega, melihat bayangan Audia tersenyum manis. Aku siap kembali ke tanah airku, untuk kembali berjuang menjempput mimpiku. Karena life is fight, hidup adalah perjuangan. Ketika Allah masih memberiku oksigen, maka perjuangan belum selesai.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar