Pintu-pintu rumah tertutup rapat di
musim dingin. Udara di luar mencapai minus sepuluh derajat celcius, salju tebal
menutupi jalanan Canberra. Pohon-pohon dan atap rumah memutih. Siaran radio dan
TV cabel sudah mengumumkan akan terjadi badai, diharapkan warga Caanberra tidak
meninggalkan rumah. Kantor-kantor
pemerintahan tutup, sementara hanya beberapa kantor yang tetap
beroperasional seperti biasa. Sekolah-sekolah sudah terlebih dahulu diliburkan.
Aku, memilih tinggal di rumah. Tinggal di rumah jauh lebih hangat, karena mesin
penghangat sangat membantu.
Siang ini, aku memilih duduk di
pinggir jendela kaca yang bingkainya sudah diselimuti es. Truk-truk pengeruk es
bekerja keras mengeruk salju di jalan yang tebal. Sementara angin kencang
bersuit-suit, pohon-pohon berselimut es bergeming. Aku memperhatikan terjadi
kekacauan di jalan depan rumah. Antara pintu rumah dan jalan berjarak lima
meter, setelah melewati halaman rumah yang jika musim semi atau musim panas
berwarna hijau. Rumah-rumah di Canberra pada umumnya memiliki halaman dan tidak
berpagar. Kini, halaman itu memutih oleh gundukan-gundukan salju yang beku.
Aku memerhatikan petugas pengeruk es
itu keluar dari mobil pengeruk dan terjatuh, mungkin karena bobot pakaiannya
yang berat atau angin yang kencang. Seorang temannya keluar ingin menolongnya,
memapah temannya dengan kesulitan karena angin yang kencang.
Mereka
tampak kebingungan memperhatikan pintu-pintu rumah yang tertutup. Agaknya
mereka butuh pertolongan. Tanpa pikir panjang aku membuka pintu rumah,
berteriak ke arah mereka, lupa pada pakaianku yang hanya memakai sweater satu
lapis. Suaraku melawan angin, dan aku langsung merasa membeku. Syukurlah,
petugas pengeruk itu segera menghampiri rumah dengan langkah yang
tertatih-tatih.
“Thankyou..I
need toilet, please...,” itulah ucapan pertama yang kudengar dari petugas
itu. Aku tersenyum dalam hati, ternyata ia perlu kamar mandi, mungkin mau pup
ya? Pikirku lucu. Aku pikir ada sesuatu yang lebih serius dari itu, ah...temannya
cengar-cengir. Bagiku, petugas-petugas ini seperti pinguin, yang hidup di es.
Ekspresi wajahnya memang kedinginan tapi tidak menggigil sama sekali, sementara
aku yang baru saja membuka pintu rumah sudah hampir beku seperti ikan di dalam
freezer.
Aku
menunjuk arah kamar mandi kepada petugas yang ramah itu. Wajahnya sangat
bersahabat, apalagi setelah kami mengobrol sambil menikmati secangkir coklat
panas.
“Do you have some wine, maybe...’”
“Oh, sorry. I am a muslim, I don’t have wine.” Jawabku
pasti
“Oooh...sorry, thankyou for a cup of chocholate,” mereka dengan ramah menyalamiku, setelah lima
belas menit menghangatkan diri. Petugas yang akhirnya aku tahu bernama Steven
dan William itu asli penduduk Canberra, yang neneknya dari suku aborigin. Aku
memperhatikan mereka kembali dari bingkai jendela yang memutih, baru lima belas
menit mereka meninggalkan mobil mesin pengeruk, tapi salju sudah menutupi
sebagian mobil dan jalan kembali menebal oleh gundukan putih itu. Aku
menyeruput coklat panas sambil menarik nafas panjang, untuk pertama kali aku
menikmati salju dan pemandangan ini, juga badai dan angin yang tak bersahabat
di luar sana. Karena, ini adalah musim dingin terakhir aku berada di negeri
asing, aku akan segera pulang ke Indonesia.
****
Menghabiskan waktu dua tahun setelah
wafatnya Audia di Canberra bukanlah perkara mudah. Bayangan perempuan cantik
dan baik itu terus menghantui, sementara rasa bersalahpun terus mendera. Sering
ketika selepas sholat malam, aku seperti melihat Audia yang berdarah dan kejang
seperti hendak melepas nyawa. Baru saja kami bercakap-cakap, Audia yanng ceria
sambil menikmati keripik kentangnya, dengan jilbabnya yang berkibar. Namun
tiba-tiba semua musnah begitu saja, Audia meninggal. Aku bisa merasakan betapa
tipisnya batas antara hidup dan mati. Mr. Lamek dan tante Diana tidak pernah
menyudutkanku, atau menganggapku sebagai sebab kematian putri tercintanya. Tapi
tetap saja aku merasa bersalah, entah sampai kapan. Padahal aku adalah orang
yang menyandarkan semua kepada takdir dan kuasa Allah, tapi untuk hal ini tetap
saja terasa sulit.
Alhamdulillah, kakiku tak pernah
mengalami masalah serius. Tungkai sudah dapat dilipat dengan sempurna. Perasaan
ngilu terkadang muncul pada waktu tertentu, tapi tidaklah serius. Buatan
manusia tetap saja tidak pernah mampu menggantikan apa yang telah Allah
ciptakan. Perusahaan Mr. Lamek semakin maju pesat dan aku semakin paham banyak
hal tentang seluk beluk software dan pemasarannya. Dan tekad sudah bulat bahwa
aku akan segera pulang ke Indonesia dan membangun kerajaanku sendiri di sana.
Mr. Lamek sudah setuju, setelah aku banyak berkonsultasi kepada Bapak yang baik
ini. Semua tugasku akan di alihkan ke Zamzami, yang setelah kematian Audia
langsung pindah ke Canberra.
Orang pertama yang paling bahagia
mendengar aku akan pulang adalah Emak. Hampir setiap minggu Emak telepon,
dengan alasan takut aku merubah pikiran. Wajar saja, karena selama dua tahun di
Rotterdam dan lima tahun di Canberra aku tak pernah pulang. Melepas rindu hanya
melalui surat dan telepon, merasakan pelukan emak hanya dari jauh. Atau
mendengar emak yang mengeluh dan marah dari jauh, ah! Betapa aku merindukan
emak, perempuan yang sudah menyediakan rahimnya sebagai tempat aku bersarang
selama sembilan bulan.
Orang kedua yang aku kabarkan adalah
Zeiny. Lelaki yang sudah dianugerahkan anak tiga itu juga tak kalah antusias.
Yang membuat aku tersenyum kecut adalah ucapannya.
“Segera cari istri, jangan jadi
bujang lapok! Kalau payah kali, nanti aku carikan perempuan aceh yang sesuai
seleramu,” ah!..Zeiny ada saja. Memang perempuan itu makanan? Sehingga
dikatakan sesuai selera? Ada-ada saja. Bibirku
tetap menyungging senyum, walau hati terasa perih. Untuk urusan perjodohan,
agaknya aku memiliki jodoh yang jauh. Ternyata tak mudah menemukan tulang rusuk
yang hilang itu. Atau, memang Allah ingin aku benar-benar menjadi pejuang dalam
kehidupan? Berjuang melewati masa kecil yang sulit tanpa seorang ayah. Berjuang
melewati masa sekolah yang pahit karena miskin, begitu juga masa kuliah yang
suram atau masa dimana menjadi pengangguran. Setelah itu, berjuang di negara
asing dengan musim dingin yang menggigit sampai tulang, dan sekarang...berjuang
memulai bisnis dan satu lagi, berjuang mencari istri.
Benar, life is fight. Hidup adalah perjuangan, selama kita hidup dan masih
bernafas maka perjuangan belumlah usai. Jika tak ingin berjuang mencapai apa
yang kita inginkan dalam hidup, sebaiknya berhenti saja hidup. Percayalah,
memang begitu adanya. Pulang nanti, aku akan memulai bisnis baru dalam
penjualan perangkat lunak. Aku ingin yang simple saja, buka toko. Aku ingin
semua berlangsung cepat dan tak ingin menjadi pengangguran sekembalinya ke
tanah air tercinta. Lagi-lagi aku butuh pertolongan Zeiny, mencari tempat yang
tepat untuk penjualan hardware dan software lengkap. Aku tidak punya kerabat di
Medan, hanya Zeiny yang terdekat. Aku hanya bantu dengan browsing, dan Zeiny
akan membuktikan secara reel. Dan, sahabat baikku itu sengaja mengambil cuti
kerja demi kepentingan ini. Zeiny, memang melebihi saudara kandung sendiri
bagiku yang tak memiliki siapa-siapa selain emak.
Musim semi, 23 Agustus aku
meninggalkan Canberra. Pulang ke tanah air untuk menjemput impian dan masa
depanku. Menemui emak yang kucinta dengan sepenuh rindu. Jika harus berkata
jujur, sebenarnya perasaan hatiku bercampur aduk antara sedih dan bahagia. Ada
perasaan sedih meninggalkan Canberra dan pekerjaan yang sudah terlanjur nyaman
dan kusenangi. Sedih meninggalkan oom Lamek dan tante Diana yang hangat dan
telah pula aku “kecewakan” (entah mengapa, selalu aku merasa seperti itu).
Tapi, sisi bahagia lebih dominan, bahagia akan segera menjejakkan kaki di bumi
Indonesia yang hangat. Bahagia akan segera berjumpa Emak.
“Jalanilah bisnis seperti yang
pernah engkau dapat di sini, jadilah raja bagi diri sendiri,” pesan Oom Lamek
sebelum aku berangkat pulang.
“Terimakasih, Oom. Atas semua
kesempatan yang telah oom berikan kepada saya. Sekali lagi saya mohon ma’af
atas semuanya,” ada sesuatu yang sangkut d tenggorokannku, sakit sekali.
“Tidak ada yang perlu saya ma’afkan,
Tir. Allah maha tahu segalanya, jangan pernah berpikir yang bukan-bukan. Kamu
tahu mengapa saya sangat ikhlas melepas Audia? Karena ia dijemput Allah dalam
puncak keimanannya. Dia berhijab, dia sholat, dia selalu bermunajat malam dan
puasa sunah dan dia selalu berzikir dalam diamnya. Saya yakin, dia penghuni
syurga di sisi Allah. Itulah, saya sangat ikhlas, sangat ikhlas,” mata Oom
Lamek nampak berkaca-kaca. Aku tak dapat menahan diri, airmataku jatuh dan oom
Lamek memelukku dengan hangat dan dada yang berguncang, dia menangis.
“Pulanglah, jumpai Ibumu. Jika ada
waktu, jumpai saya lagi,” Oom Lamek melepaskan pelukannya dan menepuk bahuku,
aku mengangguk
“Ya,
Oom. Saya akan selalu berkirim kabar. Do’akan saya ya, Oom?” aku menyalami Oom
Lamek dengan takzim dan mencium tangannya.
Pesawat Qantas air line membelah
langit canberra yang cerah. Mengantarku pulang kepada Emak. Mendengar perkataan
Oom Lamek yang ikhlas karena Audia di syurga membuatku bisa tersenyum. Ya, aku
juga sudah ikhlas, karena oom Lamek benar, dia dijemput Allah dalam puncak
keimanannya. Aku menarik nafas lega, melihat bayangan Audia tersenyum manis.
Aku siap kembali ke tanah airku, untuk kembali berjuang menjempput mimpiku.
Karena life is fight, hidup adalah
perjuangan. Ketika Allah masih memberiku oksigen, maka perjuangan belum
selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar