Langit
kelam, awan gelap memayungi lekat kota Canberra. Aku baru saja menjejakkan kaki
di pintu rumah, hujan turun diiringi guntur hadir dengan luar biasa. Kuletakkah
jaket di sofa hijau tua yang terbuat dari kayu onix, melangkah menuju dapur
yang berdinding putih susu, mengambil minuman
dari lemari es dan menenggaknya habis. Hari ini memang hari yang cukup melelahkan,
separuh energiku terasa pergi, raib. Mr. Lamek memintaku menemui Mr. Osswort,
lelaki bertubuh tinggi besar yang baru datang dari New York. Tugasku adalah memberi pelayanan terbaik
untuk Mr. Osswort mengitari Canberra, makan di tempat yang enak sambil membicarakan
beberapa hal yang berhubungan dengan bisnis.Yang membuat aku bingung adalah,
lelaki itu seperti banteng yang tak pernah lelah. Seharian mengelilingi
Canberra dengan pertanyaan yang tak kunjung selesai, sementara aku punya keterbatasan
untuk menjawab. Belanja seperti perempuan, bukankah itu hal yang menyiksa? Menjawab
sesuatu yang kita juga tidak tahu dan membawa tas belanjanya yang minta ampun. Satu-satunya cara aku bisa beristirahat adalah
ketika melaksanakan sholat Zuhur dan Asar. Itupun aku harus menjelaskan dengan panjang
lebar bahwa aku seorang muslim yang punya kewajiban lima waktu. Syukurlah,
walau Mr. Osswort tidak begitu memahami, paling tidak ia bisa memaklumi.
Sebenarnya
ini adalah tugas Rolf, untuk mengantar tamu-tamu di perusahaan. Tetapi ia sedang
mengunjungi ibunya yang sakit di Queensland. Jadilah tugas itu menjadi tanggung
jawabku, seorang pemuda Indonesia yang baru setahun di Canberra. Ah…kutarik nafas
panjang, melongsorkan badan yang penat, serasa tulang seakan lesap dari tubuh. Di
luar, hujan semakin garang saja, Guntur mendentum-dentum seperti gendang raksasa
yang ditabuh di atas langit. Aku merebahkan tubuh di sofa, aku tidak berniat tidur, karena sebentar lagi masuk
waktu magrib. Cukuplah sekadar berbaring, melepas penat. Ada kecemasan di hati,
jika aku tertidur aku tidak akan terbangun untuk melaksanakan sholat magrib.
Tidak ada suara azan di Canberra, seperti suara azan yang selalu menyejukkan
jiwa ketika dia di kampung halaman, Indonesia belahan barat. Sholat, adalah
benar-benar ritual yang dilaksanakan semata-mata karena iman. Jika tidak,
tinggallah semua. Itulah kehidupan di negeri asing, muslimnya minoritas, berjalan
sendirian dan agak menakutkan.
Kehidupan
di Canberra lebih baik, itu benar. Canberra adalah kota yang nyaman sebagai
tempat tinggal, tidak terlalu padat penduduk. Kehidupan orang-orang Nampak
makmur, Canberra adalah kota tempat pusat pemerintahan Australia berlangsung.
Di sini, aku menempati rumah Mr. Lamek yang nyaman, sendirian. Gajiku lebih
besar daripada sewaktu aku di Rotterdam, akupun kerja di kantor yang nyaman,
setiap hari berdasi dan bersih. Hanya saja, aku di sini tak berkawan. Tidak ada
keluarga seperti teman-teman sewaktu di Rotterdam, sahabatku hanya perempuan
dan lelaki berambut pirang. Mr. lamek menjanjikan Zamzami akan segera ditarik
ke Canberra, tapi Zamzami belum juga menyelesaikan studinya.
Baru
saja aku meluruskan tubuh di sofa, bel
berdenting tiga kali. Kutarik nafas
panjang dan enggan untuk bangkit. Siapa pula yang datang pada saat hujan
begini? Biasanya, orang-orang lebih suka berdiam di rumah, ditambah lagi waktu
merangkak gelap. Canberra adalah kota yang damai, kota elegan, semuanya saling
menghormati. Aku mencoba mengabaikannya,
tapi bel semakin kencang berdenting. Mau tak mau aku bangkit, menarik nafas
panjang dengan malas dan dongkol. Kuseret kaki yang lelah dengan paksa, terseok-seok. Kuintip
dari kaca kecil yang ada di daun pintu, aku
terperangah kaget, seorang perempuan cantik menggigil kedinginan di depan pintu
rumah. Aku membuka pintu, dengan perasaan yang tidak menentu.
“Assalamu’alaikum…,”
sapa perempuan itu yang ternyata Audia, putri Mr. Lamek.
“Wa’alaikum
salam. Ada apa, Audi? Kok hujan-hujan begini datang, dengan siapa?”
bertubi-tubi pertanyaan itu berhamburan dari mulutku yang kebingungan.
“Enggak,
Bang. Saya sendiri, memang rencananya saya mau kesini, tapi hujan menyambut
saya.”
“Ada
apa?”
“Enggak
apa-apa, ada tugas dari papa yang harus saya kerjakan disini.” Audi masih
berdiri di depan pintu, aku belum menyuruhnya masuk.
“Oya..mari
masuk,” mendadak aku sadar akan kebingunganku. Bukankah rumah yang kutempati
sekarang ini adalah rumah Mr. Lamek, selain ada juga rumah lain yang lebih
besar dan berhalaman luas. Biasanya, rumah yang besar itu tempat mereka
beristirahat jika sedang berkunjung ke Canberra. Tapi, petang ini, mengapa
Audya singgah ke sini?
Aku
buru-buru menyerahkan handuk, Audya mengangguk dan tersenyum.
“Terimakasih,
Bang. Saya hanya magrib di sini, nanti saya langsung ke big house.”
“Mengapa
tadi tidak langsung saja ke big house?”
“Entahlah,
saya takut petir. Saya minta supir taxi mengantar ke mari, di sana saya tidak
ada teman,” wajah Audia Nampak ketakutan. Aku baru menyadari bahwa gadis ini
takut petir, itu yang pernah aku dengar dari Zamzami.
“Ma’af,
saya merepotkan. Nanti selepas magrib saya pulang,”
“Kalau
hujan belum reda, bagaimana?” kulontarkan juga pertanyaan bodoh itu. Aku
sendiri bingung, tidak mungkin kami berdua di rumah ini. Sangat tidak layak dan
mengganggu pikiran. Audya tidak menjawab, kepalanya menunduk, rambutnya yang
basah tergerai ke depan, menutupi sebahagian wajahnya yang putih.
“Sebentar,
aku siapkan kamar untukmu,” aku bangkit, mencoba berbasa-basi.
“Enggak
usah, Bang. Saya ke big house aja,”
“Yakin?,
berani?”
“Insya
Allah, saya berani. Enggak pantas saya di sini, Bang,” hmm..seorang Audya
berkata seperti itu? Siapa sebenarnya gadis cantik ini? Jantungku berdegup
penasaran.
Malam
ini, pandanganku tentang seorang Audia benar-benar berubah. Dia bukan seperti
gadis yang aku pikirkan, gadis Eropa yang modern. Busana yang selalu
dikenakannya sangat bertolak belakang dengan apa yang aku saksikan malam ini.
Seorang gadis yang dibesarkan di Negara
asing melaksanakan shalat magrib. Selepas magrib melantunkan ayat suci Al
Qur’an, lancar dan berirama
merdu,
bulu kudukku berdiri. Tapi, mengapa ia tidak sekalian berhijab? menyempurnakan
ibadahnya sebagai seorang muslimah?
Aku
harus mengantar Audya pulang ke big house,
hujan sudah mulai reda. Jalan hitam di depan rumah berkilauan disinari lampu
neon jalanan. Di sini, tidak ada genangan air meskipun hujan lebat turun, atau
ketika salju mencair. Tata kota tertib dan rapi, semua dilaksanakan secara
sistematis dan terencana, Canberra benar-benar kota yang elegan.
“Kita
makan dulu, ya?” suaraku terdengar memecah keheningan, ketika kami berjalan
mencari taxi.
“Boleh,
aku juga lapar.” Audya tersenyum, dan melanjutkan.
“Pernah
makan di Sanur restoran?”
“Belum,
ada yang istimewa?” jawabku sambil memasukkan tangan ke kantong jacket, hujan
menyisakan udara dingin, lebih dingin dari habis hujan di Indonesia.
“Sure, oke..kita ke sana,”
Sanur restoran yang ada di Shop 1 The Boardwalk
Nampak sepi, hanya beberapa meja terisi. Menurut cerita Audya, biasanya restoran ramai ketika dinner. Tapi malam ini hanya Nampak beberapa pasangan yang sedang menyantap
makan malam. Aku dan Audya mengambil
tempat di sudut ruangan, di sebuah sofa merah yang nyaman. Seorang
waitres menghampiri kami, Audya memesan nasi ulam bali dengan jukut urab. Aku
lebih memilih nasi goreng. Menurut pengalamanku di negeri asing, apapun namanya
makanan di sini tidak akan pernah sama rasanya dengan di Indonesia, lidah tetap
asing menerimanya. Sama seperti sewaktu aku di Rotterdam, masakan Indonesia
tetap saja disesuaikan dengan lidah asing, agar layak jual. Aku tersenyum
sendiri, mengingat daun ubi tumbuk yang ditaburi keju. Menu ‘aneh’ yang pernah
aku buat di Indesyelatte Restaurant sewaktu di Rotterdam.
“Apa yang kamu
dapatkan setelah di Canberra?” Audya membuka pembicaraan. Suara music
instrumental terdengar sangat memanjakan telinga. Aku semakin ngantuk saja,
tapi aku harus menemani putri Mr. Lamek ini. Yang, entah mengapa pula aku mulai
memperhatikannya dan ingin tahu lebih banyak tentang gadis ini. Gadis Indonesia
yang besar di Negara asing, gadis Adelaide yang sholat maghrib dan membaca
alqur’an saku.
“Hmm..apa ya?” aku
berpura-pura bingung. Pura-pura bingung? Ah…sesungguhnya aku memang bingung.
Apa yang aku dapat di Canberra?
“Maksudku…ilmu,
pengalaman, atau..apalah…,” Audya lebih menegaskan, setelah mengucapkan terimakasih kepada waitres yang telah mengantarkan pesanan
kami. Harum aroma urap menusuk tajam hidung. Kuperhatikan piring Audya, memang
urap terdiri dari aneka sayuran. Tapi apakah rasanya sama dengan urap yang
selalu dibuat Emak? Aku sangat rindu pada wanita yang telah memberikan aku
kehidupan di rahimnya.
“Kamu kenapa, Bang?” Audya memandangku aneh.
“Ah..enggak, aku jadi
ingat Rotterdam. Di sana lebih mudah mendapatkan makanan Indonesia daripada di
sini.”
“So? Aku harus bilang kepada papa supaya buka restoran Indonesia
disini?” Audya cepat menyambar dari sisi bisnis.
“Oiya, kenapa Oom
Lamek enggak buka restoran Indonesia di sini ya?” aku mulai mempertanyakannya.
Audya tersenyum, menyeruput strawberry milk pelan.
“Papa bisnisnya
gado-gado, aku juga enggak ngerti,” aku mengerti maksud Audya, bisnis Mr. Lamek
memang campur-campur. Perkebunan di Indonesia, restoran di Belanda, perangkat
computer di Australia dan entah apa lagi yang mungkin saja aku tidak tahu.
“Kamu besar di sini,
di luar Indonesia. Apa tidak berpengaruh terhadap sikap dan moral?”
Pertanyan bodoh, aku merutuki
diri sendiri. Mengapa pertanyaan itu yang keluar dari mulutku? Audya tersenyum,
urung menyuap nasi ke mulutnya.
“Siapa
bilang tidak terpengaruh? aku terpengaruh sekali,”
“Oya?
Tapi kamu melaksanakan sholat, di tasmu ada mukena dan Al qur’an. Bukankah itu
pemandangan aneh di sini?” aku masih belum mengerti.
“Aku
sampai SMP masih di Indonesia. Senior
High School baru aku ke Brisbane. Bayangkan saja usia segitu aku dihadapkan
pada perbedaan budaya yang sangat mencolok. Aku sempat gamang, terikut pola
hidup barat. Tapi, syukurlah. Orangtuaku sangat ketat beragama, biar hidup di
belahan dunia manapun agama tetap dijaga, termasuk ibadah rutin,” Audya
mengunyah makanannya pelan, aku masih menyimak sambil menikmati nasi goreng sea
food yang lezat.
“Aku
pernah meninggalkan sholat dalam waktu yang lama,” Audya berhenti sebentar,
menarik nafas panjang. Kemudian melanjutkan.
“Aku
bingung, waktu jam-jam sholat sama sekali tidak ada. Tempat juga tidak ada,
pernah aku sholat di ruang ganti, aku kemudian di panggil head master. Diwawancarai hampir beberapa jam, setelah itu aku
ketakutan, dan tak berani lagi sholat di sekolah.”
“Lalu?”
aku penasaran.
“Ya…gitu.
Sholat di depan orangtua aja. Membaca Al Qur’an juga tidak pernah lagi. Mengikuti
teman party, pernah mencicipi wine. Pernah beberapa kali pacaran
dengan teman sekelas. Tapi semua mengerikan!”
“Maksudnya?”
aku semakin penasaran dan menggebu.
“Kau
mengerti maksudku, di sini adalah dunia bebas. Semua halal, termasuk pergaulan lawan
jenis. Sentuhan fisik itu biasa, tidak melanggar norma. Di sinilah kemudiam
timbul masalah, membuat aku kembali kepada agama, tak perduli pada lingkungan
yang mencemooh dan memandangku aneh,” Audya menyeruput minumannya dengan cepat,
seakan emosional.
“Pacaran
disini, sama dengan zina dalam agama kita. Aku menolak itu, dan mereka
memandangku aneh. Aku selalu ingat pesan Mama agar menjaga kesucian yang agung.
Akhirnya, aku kembali sholat dan membaca Al Qur’an. Itulah yang dapat menuntun
kita di sini. Aku mulai mendapat kembali ketenangan hidup, yang sebelumnya
hilang.”
“Mengapa
tidak sekalian mengenakan hijab?” ah…pertanyaanku.
“Hmm..keinginan
ada, tapi aku belum mampu,”
“Mengapa?”
“Aku
sudah cukup dipandang aneh. Jika memakai jilbab, semakin aneh nanti,”
“Ya,
sudah…sekalian saja. Biar sempurna anehnya,” aku tersenyum, Audya tersenyum.
“Iya,
ya? Di kampus ada yang memaki jilbab, dia mahasiswi dari Afghanistan.”
“So? Why you don’t do that?”
“Yes..you are right. I will think about it
before. Mama juga bilang begitu, tapi entahlah, hati belum tergerak.” Audya
menghabiskan nasinya. Kupandang gadis ini dengan ekor mataku. Gadis yang
menarik, pribadi yang menarik, cerita yang menarik.
“How about you? Sepertinya kamu menyimpan
banyak cerita. Kamu juga lelaki teguh beragama, aku ingin nanti pendamping
hidupku orang seperti kamu. Mampu menjadi imam, itu yang selalu dikatakan
papa.” Ups! Sepotong cumi seakan sangkut di tenggorokanku, gadis yang sangat
terbuka. Inilah sisi barat Audya, sangat terbuka bila berbicara, tanpa
konotasi.
“Aku?
Aku bukan siapa-siapa, Audy. Aku lelaki yang dihempas nasib sampai di sini. Aku
lelaki miskin, yatim. Sarjana pengangguran, anak tukang sayur. Zeiny yang
menawarkan aku ke Rotterdam dan papamu mengantarkan aku sampai di sini, tempat
yang tidak pernah aku bayangkan sama sekali.” Bayangan Emak melintas dalam
bayangan, seakan tersenyum.
“Tapi,
kepribadian kamu mencuri perhatian papa. Kamu memiliki pribadi pemenang,
tangguh.” Audya mampu membuat hidungku kembang, aku cepat beristighfar.
“Tangguh
apaan? Aku cengeng lho. Suka rindu dengan Emak, rindu Indonesia, ah..aku enggak
seperti yang engkau bayangkan, semua serba enggak jelas,”
“Jika
begitu, mulai sekarang harus kamu perjelas. Susun terus rencana hidup mulai
sekarang, menabung dan pulang. Buka usaha di Indonesia, jadi Bos. Simple kan?” Audya mencondongkan
wajahnya ke depan, seakan memberi penegasan. Aku tersenyum, memang itulah
sebenarnya yang aku rencanakan. Apakah Audya bisa membaca pikiranku? Audya menyodorkan telapak tangannya mengajak
tos. Kutepukkan telapak tanganku, menimbulkan bunyi, kami tertawa.
Malam
yang indah, serasa sedikit beban lepas. Lelah yang tadi menggelayuti sendi,
entah mengapa hilang menguap begitu saja. Aku mengantar Audya sampai pintu
rumah besar yang sering kami sebut big
house. Sebuah rumah besar bercat putih, yang ditunggui seorang perempuan
hitam bernama Presdo. Perempuan yang ditemukan Mr. Lamek di pinggiran jalan
Canberra, perempuan yang hidup sebatang kara. Lelaki penolong yang luar biasa,
memiliki seorang putri yang juga luar biasa. Taxi menembus malam menuju rumah
yang aku huni selama di Canberra. Gadis Adelaide itu masih tersisa dalam
pikiran, walau ia kini tidak nampak di depan mata. Kutarik nafas panjang,
menghempasnya dengan sejuta harapan. Allahu Akbar!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar