Senin, 08 April 2019

GADIS ADELAIDE ( 20 )



            Langit kelam, awan gelap memayungi lekat kota Canberra. Aku baru saja menjejakkan kaki di pintu rumah, hujan turun diiringi guntur hadir dengan luar biasa. Kuletakkah jaket di sofa hijau tua yang terbuat dari kayu onix, melangkah menuju dapur yang berdinding  putih susu, mengambil minuman dari lemari es dan menenggaknya habis. Hari ini memang hari yang cukup melelahkan, separuh energiku terasa pergi, raib. Mr. Lamek memintaku menemui Mr. Osswort, lelaki bertubuh tinggi besar yang baru datang dari New York. Tugasku adalah memberi pelayanan terbaik untuk Mr. Osswort mengitari Canberra, makan di tempat yang enak sambil membicarakan beberapa hal yang berhubungan dengan bisnis.Yang membuat aku bingung adalah, lelaki itu seperti banteng yang tak pernah lelah. Seharian mengelilingi Canberra dengan pertanyaan yang tak kunjung selesai, sementara aku punya keterbatasan untuk menjawab. Belanja seperti perempuan, bukankah itu hal yang menyiksa? Menjawab sesuatu yang kita juga tidak tahu dan membawa tas belanjanya yang minta ampun.  Satu-satunya cara aku bisa beristirahat adalah ketika melaksanakan sholat Zuhur dan Asar. Itupun aku harus menjelaskan dengan panjang lebar bahwa aku seorang muslim yang punya kewajiban lima waktu. Syukurlah, walau Mr. Osswort tidak begitu memahami, paling tidak ia bisa memaklumi.
Sebenarnya ini adalah tugas Rolf, untuk mengantar tamu-tamu di perusahaan. Tetapi ia sedang mengunjungi ibunya yang sakit di Queensland. Jadilah tugas itu menjadi tanggung jawabku, seorang pemuda Indonesia yang baru setahun di Canberra. Ah…kutarik nafas panjang, melongsorkan badan yang penat, serasa tulang seakan lesap dari tubuh. Di luar, hujan semakin garang saja, Guntur mendentum-dentum seperti gendang raksasa yang ditabuh di atas langit. Aku merebahkan tubuh di sofa, aku  tidak berniat tidur, karena sebentar lagi masuk waktu magrib. Cukuplah sekadar berbaring, melepas penat. Ada kecemasan di hati, jika aku tertidur aku tidak akan terbangun untuk melaksanakan sholat magrib. Tidak ada suara azan di Canberra, seperti suara azan yang selalu menyejukkan jiwa ketika dia di kampung halaman, Indonesia belahan barat. Sholat, adalah benar-benar ritual yang dilaksanakan semata-mata karena iman. Jika tidak, tinggallah semua. Itulah kehidupan di negeri asing, muslimnya minoritas, berjalan sendirian dan agak menakutkan.
Kehidupan di Canberra lebih baik, itu benar. Canberra adalah kota yang nyaman sebagai tempat tinggal, tidak terlalu padat penduduk. Kehidupan orang-orang Nampak makmur, Canberra adalah kota tempat pusat pemerintahan Australia berlangsung. Di sini, aku menempati rumah Mr. Lamek yang nyaman, sendirian. Gajiku lebih besar daripada sewaktu aku di Rotterdam, akupun kerja di kantor yang nyaman, setiap hari berdasi dan bersih. Hanya saja, aku di sini tak berkawan. Tidak ada keluarga seperti teman-teman sewaktu di Rotterdam, sahabatku hanya perempuan dan lelaki berambut pirang. Mr. lamek menjanjikan Zamzami akan segera ditarik ke Canberra, tapi Zamzami belum juga menyelesaikan studinya.
Baru  saja aku meluruskan tubuh di sofa, bel berdenting tiga kali. Kutarik  nafas panjang dan enggan untuk bangkit. Siapa pula yang datang pada saat hujan begini? Biasanya, orang-orang lebih suka berdiam di rumah, ditambah lagi waktu merangkak gelap. Canberra adalah kota yang damai, kota elegan, semuanya saling menghormati. Aku  mencoba mengabaikannya, tapi bel semakin kencang berdenting. Mau tak mau aku bangkit, menarik nafas panjang dengan malas dan dongkol. Kuseret  kaki yang lelah dengan paksa, terseok-seok. Kuintip  dari kaca kecil yang ada di daun pintu, aku terperangah kaget, seorang perempuan cantik menggigil kedinginan di depan pintu rumah. Aku membuka pintu, dengan perasaan yang tidak menentu.
“Assalamu’alaikum…,” sapa perempuan itu yang ternyata Audia, putri Mr. Lamek.
“Wa’alaikum salam. Ada apa, Audi? Kok hujan-hujan begini datang, dengan siapa?” bertubi-tubi pertanyaan itu berhamburan dari mulutku yang kebingungan.
“Enggak, Bang. Saya sendiri, memang rencananya saya mau kesini, tapi hujan menyambut saya.”
“Ada apa?”
“Enggak apa-apa, ada tugas dari papa yang harus saya kerjakan disini.” Audi masih berdiri di depan pintu, aku belum menyuruhnya masuk.
“Oya..mari masuk,” mendadak aku sadar akan kebingunganku. Bukankah rumah yang kutempati sekarang ini adalah rumah Mr. Lamek, selain ada juga rumah lain yang lebih besar dan berhalaman luas. Biasanya, rumah yang besar itu tempat mereka beristirahat jika sedang berkunjung ke Canberra. Tapi, petang ini, mengapa Audya singgah ke sini?
Aku buru-buru menyerahkan handuk, Audya mengangguk dan tersenyum.
“Terimakasih, Bang. Saya hanya magrib di sini, nanti saya langsung ke big house.”
“Mengapa tadi tidak langsung saja ke big house?
“Entahlah, saya takut petir. Saya minta supir taxi mengantar ke mari, di sana saya tidak ada teman,” wajah Audia Nampak ketakutan. Aku baru menyadari bahwa gadis ini takut petir, itu yang pernah aku dengar dari Zamzami.
“Ma’af, saya merepotkan. Nanti selepas magrib saya pulang,”
“Kalau hujan belum reda, bagaimana?” kulontarkan juga pertanyaan bodoh itu. Aku sendiri bingung, tidak mungkin kami berdua di rumah ini. Sangat tidak layak dan mengganggu pikiran. Audya tidak menjawab, kepalanya menunduk, rambutnya yang basah tergerai ke depan, menutupi sebahagian wajahnya yang putih.
“Sebentar, aku siapkan kamar untukmu,” aku bangkit, mencoba berbasa-basi.
“Enggak usah, Bang. Saya ke big house aja,”
“Yakin?, berani?”
“Insya Allah, saya berani. Enggak pantas saya di sini, Bang,” hmm..seorang Audya berkata seperti itu? Siapa sebenarnya gadis cantik ini? Jantungku berdegup penasaran.
Malam ini, pandanganku tentang seorang Audia benar-benar berubah. Dia bukan seperti gadis yang aku pikirkan, gadis Eropa yang modern. Busana yang selalu dikenakannya sangat bertolak belakang dengan apa yang aku saksikan malam ini. Seorang  gadis yang dibesarkan di Negara asing melaksanakan shalat magrib. Selepas magrib melantunkan ayat suci Al Qur’an, lancar dan berirama merdu, bulu kudukku berdiri. Tapi, mengapa ia tidak sekalian berhijab? menyempurnakan ibadahnya sebagai seorang muslimah?
Aku harus mengantar Audya pulang ke big house, hujan sudah mulai reda. Jalan hitam di depan rumah berkilauan disinari lampu neon jalanan. Di sini, tidak ada genangan air meskipun hujan lebat turun, atau ketika salju mencair. Tata kota tertib dan rapi, semua dilaksanakan secara sistematis dan terencana, Canberra benar-benar kota yang elegan.
“Kita makan dulu, ya?” suaraku terdengar memecah keheningan, ketika kami berjalan mencari taxi.
“Boleh, aku juga lapar.” Audya tersenyum, dan melanjutkan.
“Pernah makan di Sanur restoran?”
“Belum, ada yang istimewa?” jawabku sambil memasukkan tangan ke kantong jacket, hujan menyisakan udara dingin, lebih dingin dari habis hujan di Indonesia.
Sure, oke..kita ke sana,”
Sanur  restoran yang ada di Shop 1 The Boardwalk Nampak sepi, hanya beberapa meja terisi. Menurut cerita Audya,  biasanya  restoran ramai ketika dinner. Tapi malam ini hanya Nampak beberapa pasangan yang sedang menyantap makan malam. Aku dan Audya mengambil  tempat di sudut ruangan, di sebuah sofa merah yang nyaman. Seorang waitres menghampiri kami, Audya memesan nasi ulam bali dengan jukut urab. Aku lebih memilih nasi goreng. Menurut pengalamanku di negeri asing, apapun namanya makanan di sini tidak akan pernah sama rasanya dengan di Indonesia, lidah tetap asing menerimanya. Sama seperti sewaktu aku di Rotterdam, masakan Indonesia tetap saja disesuaikan dengan lidah asing, agar layak jual. Aku tersenyum sendiri, mengingat daun ubi tumbuk yang ditaburi keju. Menu ‘aneh’ yang pernah aku buat di Indesyelatte Restaurant sewaktu di Rotterdam.
“Apa yang kamu dapatkan setelah di Canberra?” Audya membuka pembicaraan. Suara music instrumental terdengar sangat memanjakan telinga. Aku semakin ngantuk saja, tapi aku harus menemani putri Mr. Lamek ini. Yang, entah mengapa pula aku mulai memperhatikannya dan ingin tahu lebih banyak tentang gadis ini. Gadis Indonesia yang besar di Negara asing, gadis Adelaide yang sholat maghrib dan membaca alqur’an saku.
“Hmm..apa ya?” aku berpura-pura bingung. Pura-pura bingung? Ah…sesungguhnya aku memang bingung. Apa yang aku dapat di Canberra?
“Maksudku…ilmu, pengalaman, atau..apalah…,” Audya lebih menegaskan, setelah  mengucapkan terimakasih kepada waitres yang telah mengantarkan pesanan kami. Harum aroma urap menusuk tajam hidung. Kuperhatikan piring Audya, memang urap terdiri dari aneka sayuran. Tapi apakah rasanya sama dengan urap yang selalu dibuat Emak? Aku sangat rindu pada wanita yang telah memberikan aku kehidupan di rahimnya.
“Kamu kenapa, Bang?” Audya memandangku aneh.
“Ah..enggak, aku jadi ingat Rotterdam. Di sana lebih mudah mendapatkan makanan Indonesia daripada di sini.”
So? Aku harus bilang kepada papa supaya buka restoran Indonesia disini?” Audya cepat menyambar dari sisi bisnis.
“Oiya, kenapa Oom Lamek enggak buka restoran Indonesia di sini ya?” aku mulai mempertanyakannya. Audya tersenyum, menyeruput strawberry milk pelan.
“Papa bisnisnya gado-gado, aku juga enggak ngerti,” aku mengerti maksud Audya, bisnis Mr. Lamek memang campur-campur. Perkebunan di Indonesia, restoran di Belanda, perangkat computer di Australia dan entah apa lagi yang mungkin saja aku tidak tahu.
“Kamu besar di sini, di luar Indonesia. Apa tidak berpengaruh terhadap sikap dan moral?”
Pertanyan bodoh, aku merutuki diri sendiri. Mengapa pertanyaan itu yang keluar dari mulutku? Audya tersenyum, urung menyuap nasi ke mulutnya.
            “Siapa bilang tidak terpengaruh? aku terpengaruh sekali,”
            “Oya? Tapi kamu melaksanakan sholat, di tasmu ada mukena dan Al qur’an. Bukankah itu pemandangan aneh di sini?” aku masih belum mengerti.
            “Aku sampai SMP masih  di Indonesia. Senior High School baru aku ke Brisbane. Bayangkan saja usia segitu aku dihadapkan pada perbedaan budaya yang sangat mencolok. Aku sempat gamang, terikut pola hidup barat. Tapi, syukurlah. Orangtuaku sangat ketat beragama, biar hidup di belahan dunia manapun agama tetap dijaga, termasuk ibadah rutin,” Audya mengunyah makanannya pelan, aku masih menyimak sambil menikmati nasi goreng sea food yang lezat.
            “Aku pernah meninggalkan sholat dalam waktu yang lama,” Audya berhenti sebentar, menarik nafas panjang. Kemudian melanjutkan.
            “Aku bingung, waktu jam-jam sholat sama sekali tidak ada. Tempat juga tidak ada, pernah aku sholat di ruang ganti, aku kemudian di panggil head master. Diwawancarai hampir beberapa jam, setelah itu aku ketakutan, dan tak berani lagi sholat di sekolah.”
            “Lalu?” aku penasaran.
            “Ya…gitu. Sholat di depan orangtua aja. Membaca Al Qur’an juga tidak pernah lagi. Mengikuti teman party, pernah mencicipi wine. Pernah beberapa kali pacaran dengan teman sekelas. Tapi semua mengerikan!”
            “Maksudnya?” aku semakin penasaran dan menggebu.
            “Kau mengerti maksudku, di sini adalah dunia bebas. Semua halal, termasuk pergaulan lawan jenis. Sentuhan fisik itu biasa, tidak melanggar norma. Di sinilah kemudiam timbul masalah, membuat aku kembali kepada agama, tak perduli pada lingkungan yang mencemooh dan memandangku aneh,” Audya menyeruput minumannya dengan cepat, seakan emosional.
            “Pacaran disini, sama dengan zina dalam agama kita. Aku menolak itu, dan mereka memandangku aneh. Aku selalu ingat pesan Mama agar menjaga kesucian yang agung. Akhirnya, aku kembali sholat dan membaca Al Qur’an. Itulah yang dapat menuntun kita di sini. Aku mulai mendapat kembali ketenangan hidup, yang sebelumnya hilang.”
            “Mengapa tidak sekalian mengenakan hijab?” ah…pertanyaanku.
            “Hmm..keinginan ada, tapi aku belum mampu,”
            “Mengapa?”
            “Aku sudah cukup dipandang aneh. Jika memakai jilbab, semakin aneh nanti,”
            “Ya, sudah…sekalian saja. Biar sempurna anehnya,” aku tersenyum, Audya tersenyum.
            “Iya, ya? Di kampus ada yang memaki jilbab, dia mahasiswi dari Afghanistan.”
            So? Why you don’t do that?”
            Yes..you are right. I will think about it before. Mama juga bilang begitu, tapi entahlah, hati belum tergerak.” Audya menghabiskan nasinya. Kupandang gadis ini dengan ekor mataku. Gadis yang menarik, pribadi yang menarik, cerita yang menarik.
            How about you? Sepertinya kamu menyimpan banyak cerita. Kamu juga lelaki teguh beragama, aku ingin nanti pendamping hidupku orang seperti kamu. Mampu menjadi imam, itu yang selalu dikatakan papa.” Ups! Sepotong cumi seakan sangkut di tenggorokanku, gadis yang sangat terbuka. Inilah sisi barat Audya, sangat terbuka bila berbicara, tanpa konotasi.
            “Aku? Aku bukan siapa-siapa, Audy. Aku lelaki yang dihempas nasib sampai di sini. Aku lelaki miskin, yatim. Sarjana pengangguran, anak tukang sayur. Zeiny yang menawarkan aku ke Rotterdam dan papamu mengantarkan aku sampai di sini, tempat yang tidak pernah aku bayangkan sama sekali.” Bayangan Emak melintas dalam bayangan, seakan tersenyum.
            “Tapi, kepribadian kamu mencuri perhatian papa. Kamu memiliki pribadi pemenang, tangguh.” Audya mampu membuat hidungku kembang, aku cepat beristighfar.
            “Tangguh apaan? Aku cengeng lho. Suka rindu dengan Emak, rindu Indonesia, ah..aku enggak seperti yang engkau bayangkan, semua serba enggak jelas,”
            “Jika begitu, mulai sekarang harus kamu perjelas. Susun terus rencana hidup mulai sekarang, menabung dan pulang. Buka usaha di Indonesia, jadi Bos. Simple kan?” Audya mencondongkan wajahnya ke depan, seakan memberi penegasan. Aku tersenyum, memang itulah sebenarnya yang aku rencanakan. Apakah Audya bisa membaca pikiranku?  Audya menyodorkan telapak tangannya mengajak tos. Kutepukkan telapak tanganku, menimbulkan bunyi, kami tertawa.
            Malam yang indah, serasa sedikit beban lepas. Lelah yang tadi menggelayuti sendi, entah mengapa hilang menguap begitu saja. Aku mengantar Audya sampai pintu rumah besar yang sering kami sebut big house. Sebuah rumah besar bercat putih, yang ditunggui seorang perempuan hitam bernama Presdo. Perempuan yang ditemukan Mr. Lamek di pinggiran jalan Canberra, perempuan yang hidup sebatang kara. Lelaki penolong yang luar biasa, memiliki seorang putri yang juga luar biasa. Taxi menembus malam menuju rumah yang aku huni selama di Canberra. Gadis Adelaide itu masih tersisa dalam pikiran, walau ia kini tidak nampak di depan mata. Kutarik nafas panjang, menghempasnya dengan sejuta harapan. Allahu Akbar!









           
           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar