Selasa, 09 April 2019

PERTEMUAN TAK TERDUGA (23)



            Hari beranjak siang. Pusat perbelanjaan semakin ramai pengunjung. Perutku mulai bernyanyi. Biasanya, aku lebih memilih makan di luar gedung pusat perbelanjaan. Bagiku, tiga bulan sekembalinya dari Canberra, belumlah cukup untuk memuaskan lidah terhadap masakan local. Di luar gedung, banyak bertebaran rumah makan dengan masakan Padang yang pedas menggoda, sementara di dalam gedung lebih banyak restoran cepat saji dan makanan berbau Eropa dan terasa kurang menggigit. Jika pun ada food court, tetap saja masakan warung terasa lebih nikmat.
            Kuperhatikan tiga orang karyawanku yang sibuk. Mereka semua adalah mahasiswa yang bergantian secara sift membantuku menjaga toko. Aku lebih memilih mereka sebagai karyawanku, karena mereka adalah anak-anak muda ulet yang butuh biaya kuliah karena keterbatasan ekonomi orangtua. Sama seperti ketika aku kuliah dulu, harus bekerja keras.
            “Kalian, sudah makan?”
            “Sisi bawa bekal, Pak. Tadi Reza yang keluar, beli makan siang,” Sisi menjelaskan, sambil tangannya sibuk mengutak-atik laptop.
            “Saya keluar dulu, ya?” Aku mulai ingin mengayun langkah menuju pintu kaca depan. Tapi Reza muncul dengan pakaian setengah basah dan mencegahku keluar.
            “Bapak mau kemana?”
            “Mau makan siang, Za. Kenapa?”
            “Di luar hujan deras, Pak. Sebaiknya Bapak makan di food court aja,” wajah Reza Nampak serius, dia sibuk menepis-nepis baju kemejanya yang basah. Aku teringat pada payung, tapi benda itu ada di mobil. Apa aku harus ke tempat parkir dulu? ah..repot sekali. Benar juga kata Reza, ada baiknya aku sekali-sekali makan di food court.
            “Oke, saya ke food court aja. Eh..makannya  bergantian ya?” kutepuk bahu Reza, anak muda itu tersenyum mengangguk. Bagiku, waktu makan mereka adalah special. Bagi mereka yang sedang makan, jangan sambil bekerja atau melayani pembeli. Maka dari itu aku minta mereka makan siang bergantian.
            Aku mulai menyisir lantai yang banyak menyajikan makanan cepat saji. Tapi, aku sama sekali tidak tertarik. Rindu makanan Indonesia belumlah usai. Di food court juga aku belum menemukan makanan yang menggugah selera. Aku berjalan pelan-pelan, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana, menikmati apa yang aku lihat, mencari tempat di mana aku akan menemukan sesuatu yang menggugah selera makan siangku.
            Tiba di depan sebuah restoran, aku memandang sebuah leaflet yang berdiri di depan pintu masuk. Ada menu yang aku rindukan, kari kambing. Agaknya nikmat sekali, dan aku teringat pada Zeyni yang sangat gemar menu ini. Dengan langkah pasti aku melangkah masuk, harum kuah kari terasa sudah sampai ke ubun-ubun. Air liur pun terasa sulit dibendung, aku menelan ludah. Tidak banyak pengunjung restoran ini, mungkin orang lebih memilih makanan cepat saji dari pada makanan tradisional.
            Aku mencari tempat di sudut ruangan, yang disediakan untuk dua orang. Ada sofa merah yang empuk, agaknya enak juga duduk sambil beristirahat, pikirku. Suara saxophone Kenny G meraung-raung syahdu. Lampu spotlight menari-nari romantic, seluruh ruangan restoran di tata rapi, dengan sudut-sudut yang hijau dihiasi tanaman sintetis yang bersih. Aku tersenyum teringat Indescheelatte Restaurant tempat aku bekerja di Rotterdam. Nuansanya hampir sama, hanya beda tata letak dan warna cat dinding. Indescheelatte Restaurant memilih dinding dengan wall paper berwarna maroon, sementara restaurant ini berhiaskan dinding dengan polesan cat berwarna hijau segar.
            Pelayan datang dan aku segera memesan makanan yang sangat aku inginkan, kari kambing, nasi putih dan jus belimbing. Tiba-tiba mataku tertumpu pada sosok perempuan di sudut ruangan sebelah timur. Duduk sendirian, wajah menunduk dan ia Nampak sedang menikmati makan siangnya. Dadaku berdebar cepat, aku menaikkan kacamata untuk meyakinkan pandanganku. Aku sangat mengenal perempuan berbaju ungu itu. Dia perempuan yang pernah hadir dalam hidupku, dalam hari-hariku di Rotterdam, dalam mimpi dan harapan. Aku ingin bangkit menghampirinya, tapi kaki ini terasa sangat kaku, sulit digerakkan. Sementara dadaku terus bergemuruh sulit diajak kompromi, aku sibuk menguasai diri.
            Hampir sepuluh menit aku layak orang bodoh, melongo hingga lupa jika pesananku sudah datang. Ku usap-usap wajahku, sekali lagi mencoba bangkit dan menghampiri perempuan itu.
            “Assalamu’alaikum, Zahwa?” suaraku pelan, menyapanya yang masih menekur. Alhamdulillah, aku berhasil menguasai diri. Kini, Zahwa yang terlongo, berhenti menyuap makanan. Matanya membulat, ekspresi wajahnya luar biasa terkejut.
            “Wa’alaikumsalam, Petir??” Zahwa meletakkan sendok yang urung  masuk mulutnya.
            “Ya Allah, apa kabar? Di mana selama ini?” Zahwa memberi isyarat mempersilahkan aku duduk di kursi yang ada di depannya.
            “Ceritanya panjang, kamu bagaimana?”
            “Sehat, Alhamdulillah,” jawab Zahwa pendek.
            “Kok sendirian? Suamimu mana?”
            “Biasa, makan siang masing-masing. Kebetulan aku tadi mencari keperluan Sasha, jadi sekalian makan siang,” aku mengangguk-angguk sok mengerti. Suasana tiba-tiba hening, hanya suara alunan saxophone Kenny G yang masih meraung-raung. Aku mendadak bisu, apa tema pembicaraan berikutnya, ya? Pikirku mereka-reka dalam kebingungan.
            “Kamu tidak makan?” suara Zahwa memecah kebisuan.
            “Oya, ya. Makananku di sana, sebentar aku ambil dulu,”
            “Enggak usah, kamu duduk aja. Biar waitress yang ambil,” Zahwa memanggil seorang pelayan perempuan dan meminta agar makananku dipindahkan ke meja yang sedang kami tempati.
            “Kelihatannya, kamu sangat sehat,” Zahwa tersenyum, tapi entah mengapa aku melihat mata itu begitu kosong.
            “Alhamdulillah..,”
            “Kamu juga Nampak lebih putih. Kata Zeyni, kamu bekerja di Canberra,” Zahwa mencecarku. Aku tercekat, berarti dia tahu banyak tentang aku selama ini melalui Zeyni. Artinya, masih ada kontak diantara mereka, benarkah?
            Tiba-tiba telepon seluler Zahwa berdering. Dia Nampak berbicara dengan serius, sepertinya ada sesuatu yang sangat penting.
            “Ma’af, Tir. Aku harus kembali ke Rumah Sakit, ada pasien emergency yang harus menjalani operasi sekarang juga. Sekali lagi ma’af…,” Zahwa berdiri, merapikan baju dan isi tasnya. Aku duduk dengan linglung, tak tahu harus berbuat apa-apa. Zahwa berjalan keluar restoran aku masih duduk bengong. Tiba-tiba terasa ada yang mendorongku untuk mengejarnya, Zahwa sudah menuju lift.
            “Waaa….tunggu!” aku berteriak tak terkendali. Beberapa orang pengunjung pusat perbelanjaan memandangku aneh, aku tak perduli, who care? Zahwa menoleh kebelakang, aku memberi isyarat sedang mengangkat telepon. Zahwa mengerti dan menghentikan langkahnya, membuka tas dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Aku mempercepat langkah, mengejarnya.
            “Ini, kartu namaku. Ma’af ya? Aku buru-buru, Assalamu’alaikum,” Zahwa menyodorkan sebuah kartu berwarna biru dan langsung  berbalik arah dan setengah berlari menuju pintu lift yang terbuka. Kujawab salam hanya berupa desisan halus, kecewa. Aku kembali ke restoran dengan langkah lunglai. Selera makan mendadak hilang entah kemana, kuah kari yang menguap panas terasa seperti rebusan tak bergaram. Aku masih duduk tercenung di sofa merah, menunduk meredakan sedih. Mengapa aku harus bertemu lagi dengan Zahwa? dengan cara seperti ini pula. Aku benar-benar tersiksa, aku juga kembali teringat Audia.
            “Bungkus, Mas. Makanannya saya bawa pulang aja,”  aku melongsorkan tubuh yang lunglai, pelayan hanya mengangguk. Suara saxophone Kenny G bukan lagi terasa merdu, tapi persis seperti suara harimau lapar menjerit-jerit tanpa irama.
            Siang ini, aku sama sekali tak menyentuh makanan apapun. Entah mengapa pula, perutku berhenti berteriak seakan maklum suasana hatiku. Makanan yang aku pesan di Restoran tadi aku serahkan pada Sisi yang tersenyum-senyum senang. Selebihnya, aku duduk tanpa daya di mejaku dan keluar lagi. Seperti remaja putus cinta, galau. Kuperhatikan kartu nama Zahwa. Dia sudah berhasil  meraih cita-citanya menjadi dokter specialis kandungan. Tinggal di sebuah kompleks perumahan elit di kota Medan. Zahwa secara fisik masih sama seperti Zahwa yang dulu, tidak banyak perubahan. Hanya saja Zahwa Nampak lebih dewasa, tenang dan matang. Mungkin karena ia juga adalah seorang istri pejabat penting di kota ini.
            Aku memilih melaksanakan Zuhur di mesjid pusat perbelanjaan. Duduk merenung, menekur wajah hingga 80 derajat, berzikir, menenangkan diri. Berharap Allah akan memberiku makna sebuah pertemuan yang tak terduga. Bertemu dengan Zahwa, perempuan yang sudah merubah jalan hidupku. Perempuan yang sudah aku lupakan dan aku sudah menemukan Audia. Tapi kini, Audia juga sudah pergi. Aku berharap, Allah memberi hikmah di balik semua ini, ada rahasia di balik rahasia.


           
           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar