Kamis, 12 April 2018

MENJEMPUT IMPIAN DI KEUKENHOOF (9)


EMAK SAKIT (9)
            Hujan masih terus mengguyur kotaku, seakan tak puas membasuh bumi yang penuh najis. Berangkat ke pasar dini hari tadi, gerimis sangat rapat. Aku sudah merayu Emak agar tak berjualan, rayuan yang selalu aku lancarkan jika hujan menderu. Tapi Emak selalu bergeming, tetap melangkah yakin dengan jaket dan mantelnya. Aku sebenarnya enggan bergerak dari tempat tidur, tapi tidak dengan Emak. Hujan, petir, badai sekalipun tak akan menyurutkan langkahnya menuju pasar, menunggu pembeli di bawah payung kertas terpal  bertiang bambu. Sayur yang dijual Emak juga masih dalam jumlah besar, aku tak begitu yakin karena pembeli pasti malas ke pasar karena hujan. Alasan Emak, kasihan pada penggalas sayur yang sudah nangkring menunggu penjual yang akan membeli hasil galasannya itu. Ada daun singkong, kangkung akar, bayam, genjer dan lainnya. Jika tomat dan sejenis itu kami biasa mengambilnya dari pedagang yang turun dari gunung, langganan bertahun-tahun.
            Jam enam pagi tubuh Emak menggigil, aku panik bercampur bingung. Ompung Purba menyembur sirihnya ke ubun-ubun Emak, rambut Emak memerah seakan kepalanya berdarah. Kata Ompung Purba, mungkin Emak kena sambet jin pasar. Tak lama, Emak bolak-balik ke kamar mandi umum yang ada di pasar. Tak lama kemudian Emak muntah-muntah. Penyakit akutku muncul, kantung kemihku penuh seakan mau muncrat keluar. Syukurlah, agaknya otot perutku semakin kuat, dalam kepanikan aku masih dapat menahannya. Fadly  yang menjual ayam potong cepat mengambil inisiatif memanggil becak mesin yang mangkal di pasar menunggu penumpang. Dagangan Emak kutitipkan pada Ompung Purba, becak meluncur ke rumah sakit terdekat. Emak masih muntah-muntah, tak kupikirkan lagi bajuku yang belepotan muntahnya yang kekuningan karena Emak belum makan. Kupeluk Emak kuat-kuat sambil terus berdo’a dalam hati agar Tuhan tak mengambilnya.
            Dokter jaga sudah menangani  Emak, perempuan yang kucintai sepenuh jiwa ini terserang munmen. Emak terbaring dengan wajah pucat, selang infus terpasang di lengan kirinya. Tak ada pilihan lain, Emak harus dirawat di Rumah Sakit. Dokter khawatir, emak akan mengalami dehidrasi jika tidak dibantu cairan infus. Tak pernah sekalipun Emak dan aku harus dirawat di Rumah Sakit karena suatu penyakit. Tapi situasi memang tak bisa diduga. 
  Aku tak mau memikirkan biaya yang memusingkan kepala, uang yang tak seberapa hasil berjualan tiga jam dipasar habis dalam hitungan menit karena aku harus menebus obat. Tapi syukurlah, setelah Emak di suntik muntah dan buang airnya berhenti. Biarlah semua berjalan dulu, yang penting Emak sehat. Emak di rawat di kamar berlorong panjang, satu kamar ada enam orang perempuan. Rumah Sakit bukanlah tempat yang nyaman, tapi aku harus selalu berada di samping Emak. Kini aku harus mengurusnya, seperti ketika aku kanak-kanak yang selalu bergantung padanya.
            “ Emak kok disini Tir?” Emak masih belum memahami situasi, mungkin tadi dia dalam keadaan setengah sadar.
            “ Emak kena munmen, harus di infus takut kekurangan cairan “ ku jelaskan pada Emak dengan rinci, Emak menarik nafas panjang.
            “ Kenapa Emak bisa munmen ya? “ Emak seolah bertanya pada dirinya sendiri, keningnya berkerut mencari sebab, tapi tak ditemukannya.
            “ Mungkin Emak masuk angin, dua hari ini kan hujan terus. Kita ke pasar perut kosong, udah... enggak usah Emak pikirin. Sarapan ya? “ ku sodorkan sendok yang berisi nasi bubur hangat ke mulut Emak. Karena kami masuk Rumah Sakit pagi sekali, Emak sempat mendapat jatah sarapan. Masuk angin adalah jawaban yang sangat awam tentang penyebab penyakit Emak ini. Mungkin saja secara medis di lambung Emak ada bakteri yang masuk melalui makanan. Ditambah kondisi imunitas Emak yang melemah karena pengaruh cuaca, siapa tahu?
            “ Nasinya bau obat Tir...” Emak mulai mengeluh.
            “ Namanya Rumah Sakit Mak, kalo bau kue ya di toko roti “ ku coba bercanda, Emak tersenyum. Senyum yang dapat meredakan kecemasanku.
            “ Biaya gimana ya? Kapan kita bisa pulang? “
            “ Emak tenang aja, semuanya aman. Emak sehat, kita langsung pulang”
            Emak adalah perempuan hebat dan kuat. Dua hari kami di Rumah Sakit, Emak sudah di perbolehkan pulang. Emak tak pernah mengeluh dan merepotkan. Jika aku tertidur dan ia ingin ke kamar mandi, Emak bangkit saja sambil mengangkat tabung infusnya. Hari pertama di rumah sakit, aku tertidur dengan menelungkupkan wajah di samping Emak yang terbaring. Emak ingin ke kamar mandi tapi tak membangunkan aku yang sangat kelelahan. Emak belum paham tentang tabung infus yang harus di angkat tinggi agar cairan dapat mengalir lancar.             Akhirnya hal yang mengkhawatirkan terjadi. Emak menenteng saja tabung infusnya sehingga darah segar naik memenuhi selang infus tadi. Perempuan gendut yang menjengkelkanku di sebelah tempat tidur Emak menjerit-jerit seakan melihat hantu, aku terbangun dan panik. Aku terbirit-birit memanggil perawat jaga, perawat marah-marah pada Emak. Aku juga kebagian repetan, tak peduli pada Emakku. Ingin rasanya aku meramas mulut perempuan judas itu, tapi aku diam saja. Bukankah aku juga kurang awas menjaga Emak? ah sudahlah.
            “Kok anaknya enggak di bangunkan Bu ?” suara perawat itu terdengar jengkel walau sudah nampak melunak.
            “Dia ketiduran...” jawab Emak lirih, gemetar melihat darahnya sendiri
            “Ibu kalo mau ke kamar mandi infusnya di angkat tinggi ya? Jangan ditinting aja kayak bawa dompet. Kalo darah Ibu naik kan jadi repot, nambah kerjaan aja” perawat itu masih mencoba menyuntik selang infus agar darah segar itu kembali masuk ke pembuluh Emak. Emak pasrah, aku diam saja.
Kini, wajah Emak berseri-seri, tak pucat lagi. Biaya perobatan aku tak mengeluarkan sepeserpun. Malam pertama Emak dirawat, teman-temannya sesama pedagang di pasar datang berombongan, ada sepuluh orang perwakilan. Kamar penuh dengan teman-teman Emak, bayangkan saja pedagang pasar berkumpul. Suara mereka riuh rendah menghibur dan menggoda Emak, tak peduli pada pasien sebelah tempat tidur Emak yang cemberut, mendehem dan terbatuk-batuk. Perawat tak ada yang berani menegur, karena postur dan tampang mereka sangar. Fadly membantai ayam sehari ratusan ekor, Nursal membantai sapi paling tidak dua ekor. Itu sangat berpengaruh pada karakter mereka yang berwajah agak seram bagi orang yang belum mengenal dengan dekat, padahal mereka adalah orang baik yang sangat sayang keluarga.
Aku pernah melihat kepala Fadly dipukul anaknya Beni dengan kayu, dia tak marah atau mengeluh, tapi merangkul anak itu sambil menggendongnya. Belum lagi Bang Togar dan Bou Siahaan yang suaranya membahana, atau Ompung Purba yang mulutnya merah berdarah-darah layak drakula. Jadilah malam itu Rumah Sakit seperti Pasar, penuh suara seperti orang yang menjajakan makanan. Riuh rendah bersahut-sahutan, berlomba-lomba berkata saling mendahului. Emak nampak senang mendengar suara teman-temannya, aku juga senang memperhatikan perempuan hitam gemuk disebelah tempat tidur Emak yang merepet tertahan. Sejak pertama masuk pagi tadi, perempuan ini terus mengeluh pada suaminya yang malang. Suaminya bingung harus menuruti semua permintaan istrinya yang semua salah. Di elus, salah, di pijit salah, entah sakit apa perempuan cerewet ini, batinku. Aku berdo’a dalam hati semoga Tuhanku yang penyayang tak memberi aku jodoh seperti perempuan ini.
            Sebelum beranjak pulang, Ompung menyerahkan plastik kresek hitam berisi uang.
            “ Hasil jualan sayurmu tadi, semua habis. Uangnya Ompung taruh di situ semua “ Ompung menepuk punggungku, aku mengucapkan terimakasih pada perempuan tua yang sangat penolong ini. Berikutnya, Fadly menyerahkan plastik kresek hitam yang lebih besar dan berat.
            “ Sumbangan dari kawan-kawan di pasar, mudah-mudahan cukup untuk biaya berobat Cik Laili “ Fadly melakukan hal yang sama, menepuk-nepuk punggungku. Aku mengangguk mengucapkan terimakasih pada sahabat-sahabat Emakku ini. Sahabat senasib, sama-sama mengais rezeki di pagi buta. Ternyata keadaan dan situasi yang selalu dialami bersamalah yang membuat orang semakin kompak. Aku begitu terharu menyaksikan kebersamaan ini, Emak pun sama, matanya memerah.
            Isi plastik itu berisi uang-uang lusuh hasil dagang di pasar, di ikat-ikat dengan jumlah yang sama. Setelah menghitung semua, aku dan Emak heran bercampur takjub. Bagaimana mereka bisa mengumpulkan uang yang jumlahnya hampir empat juta? Dengan jumlah itu, tentu saja kami bisa keluar rumah sakit dengan melenggang. Aku sudah mengancang-ancang biaya Rumah Sakit berdasarkan data yang aku dapat. Biaya kamar satu malam seratus lima puluh ribu karena itu adalah sal, obat Emak yang ku tebus di apotik tidaklah terlalu mahal karena obat generik. Jangan heran, Emak keluar Rumah Sakit,  tabungan kami bukannya berkurang, tapi semakin bertambah.
            “Bisa kaya kita Mak, kalo Emak sering sakit” kataku sambil tertawa lebar ketika kami pulang dengan menumpang beca motor.
            Hussyy....Petir suka lihat Emak sakit?” Emak membelalakkan matanya, pipinya sudah nampak memerah segar.
            “Ya enggaklah.... aku Cuma bercanda Mak, kawan-kawan di Pasar itu hebat. Bisa ngumpulin uang segitu, padahal mereka juga kan kesulitan”
            “Tir....orang susah lebih punya empati tinggi daripada orang kaya. Orang susah bisa merasakan kesusahan orang lain karena dia juga mengalaminya. Orang kaya tak pernah tau kesusahan karena ia juga tak pernah mengalaminya. Sederhana saja....”
Aku terpaku mendengar penjelasan Emak, darimana Emak mendapat bahasa secerdas itu?
            “Dari mana Emak dapat bahasa keren begitu? Pake empati segala...”
            “Emak membaca bukumu, hehehe”
            “Jadi, Emak suka membongkar kamarku ya?”
            “Ya...”
            “Kenapa?”
            “Emak takut kau macam-macam”
            “Misalnya?”
            “Ganja, narkoba...”
            “Mak.... aku merokok saja tidak, bagaimana bisa?”
“Tir...dunia sudah gila. Emak percaya padamu sepenuhnya, tapi tak pernah bisa percaya pada apa yang ada di sekitar kita. Paham?” Aku semakin memahami, aku adalah harapan Emak satu-satunya yang masih harus di jaganya hingga aku dewasa. Aku tak pernah di biarkannya sendirian, walau Emak dalam keadaan sakit sekalipun!
Beca motor sudah berhenti di depan rumah. Kupapah Emak turun, beberapa tetangga menyambut kami dan sudah menyiapkan makan siang. Aku bersyukur di kelilingi orang-orang baik yang peduli. Orang kampung di tengah kota, dengan kehidupan rata-rata yang kata Emak lebih bisa memahami kesusahan orang disekitanya. Empati kata Emak.
                                                                                                                            


           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar