EMAK SAKIT (9)
Hujan masih terus mengguyur kotaku,
seakan tak puas membasuh bumi yang penuh najis. Berangkat ke pasar dini hari
tadi, gerimis sangat rapat. Aku sudah merayu Emak agar tak berjualan, rayuan
yang selalu aku lancarkan jika hujan menderu. Tapi Emak selalu bergeming, tetap
melangkah yakin dengan jaket dan mantelnya. Aku sebenarnya enggan bergerak dari
tempat tidur, tapi tidak dengan Emak. Hujan, petir, badai sekalipun tak akan
menyurutkan langkahnya menuju pasar, menunggu pembeli di bawah payung kertas
terpal bertiang bambu. Sayur yang dijual
Emak juga masih dalam jumlah besar, aku tak begitu yakin karena pembeli pasti
malas ke pasar karena hujan. Alasan Emak, kasihan pada penggalas sayur yang
sudah nangkring menunggu penjual yang akan membeli hasil galasannya itu. Ada
daun singkong, kangkung akar, bayam,
genjer dan lainnya. Jika tomat dan sejenis itu kami biasa mengambilnya dari
pedagang yang turun dari gunung, langganan bertahun-tahun.
Jam enam pagi tubuh Emak menggigil,
aku panik bercampur bingung. Ompung Purba menyembur sirihnya ke ubun-ubun Emak,
rambut Emak memerah seakan kepalanya berdarah. Kata Ompung Purba, mungkin Emak
kena sambet jin pasar. Tak lama, Emak
bolak-balik ke kamar mandi umum yang ada di pasar. Tak lama kemudian Emak
muntah-muntah. Penyakit akutku muncul, kantung kemihku penuh seakan mau muncrat
keluar. Syukurlah, agaknya otot perutku semakin kuat, dalam kepanikan aku masih
dapat menahannya. Fadly yang menjual
ayam potong cepat mengambil inisiatif memanggil becak mesin yang mangkal di pasar menunggu penumpang.
Dagangan Emak kutitipkan pada Ompung Purba, becak meluncur ke rumah sakit
terdekat. Emak masih muntah-muntah, tak kupikirkan lagi bajuku yang belepotan
muntahnya yang kekuningan karena Emak belum makan. Kupeluk Emak kuat-kuat
sambil terus berdo’a dalam hati agar Tuhan tak mengambilnya.
Dokter jaga sudah menangani Emak, perempuan yang kucintai sepenuh jiwa
ini terserang munmen. Emak terbaring dengan wajah pucat, selang infus terpasang
di lengan kirinya. Tak ada pilihan lain, Emak harus dirawat di Rumah Sakit.
Dokter khawatir, emak akan mengalami dehidrasi jika tidak dibantu cairan infus.
Tak pernah sekalipun Emak dan aku harus dirawat di Rumah Sakit karena suatu
penyakit. Tapi situasi memang tak bisa diduga.
Aku tak mau memikirkan biaya yang memusingkan
kepala, uang yang tak seberapa hasil berjualan tiga jam dipasar habis dalam
hitungan menit karena aku harus menebus obat. Tapi syukurlah, setelah Emak di
suntik muntah dan buang airnya berhenti. Biarlah semua berjalan dulu, yang
penting Emak sehat. Emak di rawat di kamar berlorong panjang, satu kamar ada
enam orang perempuan. Rumah Sakit bukanlah tempat yang nyaman, tapi aku harus
selalu berada di samping Emak. Kini aku harus mengurusnya, seperti ketika aku
kanak-kanak yang selalu bergantung padanya.
“ Emak kok disini Tir?” Emak masih
belum memahami situasi, mungkin tadi dia dalam keadaan setengah sadar.
“ Emak kena munmen, harus di infus
takut kekurangan cairan “ ku jelaskan pada Emak dengan rinci, Emak menarik
nafas panjang.
“ Kenapa Emak bisa munmen ya? “ Emak
seolah bertanya pada dirinya sendiri, keningnya berkerut mencari sebab, tapi
tak ditemukannya.
“ Mungkin Emak masuk angin, dua hari
ini kan hujan terus. Kita ke pasar perut kosong, udah... enggak usah Emak
pikirin. Sarapan ya? “ ku sodorkan sendok yang berisi nasi bubur hangat ke
mulut Emak. Karena kami masuk Rumah Sakit pagi sekali, Emak sempat mendapat
jatah sarapan. Masuk angin adalah jawaban yang sangat awam tentang penyebab
penyakit Emak ini. Mungkin saja secara medis di lambung Emak ada bakteri yang
masuk melalui makanan. Ditambah kondisi imunitas Emak yang melemah karena
pengaruh cuaca, siapa tahu?
“ Nasinya bau obat Tir...” Emak
mulai mengeluh.
“ Namanya Rumah Sakit Mak, kalo bau
kue ya di toko roti “ ku coba bercanda, Emak tersenyum. Senyum yang dapat
meredakan kecemasanku.
“ Biaya gimana ya? Kapan kita bisa
pulang? “
“ Emak tenang aja, semuanya aman.
Emak sehat, kita langsung pulang”
Emak adalah perempuan hebat dan
kuat. Dua hari kami di Rumah Sakit, Emak sudah di perbolehkan pulang. Emak tak
pernah mengeluh dan merepotkan. Jika aku tertidur dan ia ingin ke kamar mandi,
Emak bangkit saja sambil mengangkat tabung infusnya. Hari pertama di rumah
sakit, aku tertidur dengan menelungkupkan wajah di samping Emak yang terbaring.
Emak ingin ke kamar mandi tapi tak membangunkan aku yang sangat kelelahan. Emak
belum paham tentang tabung infus yang harus di angkat tinggi agar cairan dapat
mengalir lancar. Akhirnya hal
yang mengkhawatirkan terjadi. Emak menenteng saja tabung infusnya sehingga
darah segar naik memenuhi selang infus tadi. Perempuan gendut yang
menjengkelkanku di sebelah tempat tidur Emak menjerit-jerit seakan melihat
hantu, aku terbangun dan panik. Aku terbirit-birit memanggil perawat jaga,
perawat marah-marah pada Emak. Aku juga kebagian repetan, tak peduli pada
Emakku. Ingin rasanya aku meramas mulut perempuan judas itu, tapi aku diam
saja. Bukankah aku juga kurang awas menjaga Emak? ah sudahlah.
“Kok anaknya enggak di bangunkan Bu
?” suara perawat itu terdengar jengkel walau sudah nampak melunak.
“Dia ketiduran...” jawab Emak lirih,
gemetar melihat darahnya sendiri
“Ibu kalo mau ke kamar mandi
infusnya di angkat tinggi ya? Jangan ditinting aja kayak bawa dompet. Kalo
darah Ibu naik kan jadi repot, nambah kerjaan aja” perawat itu masih mencoba menyuntik
selang infus agar darah segar itu kembali masuk ke pembuluh Emak. Emak pasrah,
aku diam saja.
Kini,
wajah Emak berseri-seri, tak pucat lagi. Biaya perobatan aku tak mengeluarkan
sepeserpun. Malam pertama Emak dirawat, teman-temannya sesama pedagang di pasar
datang berombongan, ada sepuluh orang perwakilan. Kamar penuh dengan
teman-teman Emak, bayangkan saja pedagang pasar berkumpul. Suara mereka riuh
rendah menghibur dan menggoda Emak, tak peduli pada pasien sebelah tempat tidur
Emak yang cemberut, mendehem dan terbatuk-batuk. Perawat tak ada yang berani
menegur, karena postur dan tampang mereka sangar. Fadly membantai ayam sehari
ratusan ekor, Nursal membantai sapi paling tidak dua ekor. Itu sangat
berpengaruh pada karakter mereka yang berwajah agak seram bagi orang yang belum
mengenal dengan dekat, padahal mereka adalah orang baik yang sangat sayang
keluarga.
Aku
pernah melihat kepala Fadly dipukul
anaknya Beni dengan kayu, dia tak marah atau mengeluh, tapi merangkul anak itu
sambil menggendongnya. Belum lagi Bang Togar dan Bou Siahaan yang suaranya
membahana, atau Ompung Purba yang mulutnya merah berdarah-darah layak drakula.
Jadilah malam itu Rumah Sakit seperti Pasar, penuh suara seperti orang yang
menjajakan makanan. Riuh rendah bersahut-sahutan, berlomba-lomba berkata saling
mendahului. Emak nampak senang mendengar suara teman-temannya, aku juga senang
memperhatikan perempuan hitam gemuk disebelah tempat tidur Emak yang merepet
tertahan. Sejak pertama masuk pagi tadi, perempuan ini terus mengeluh pada
suaminya yang malang. Suaminya bingung harus menuruti semua permintaan istrinya
yang semua salah. Di elus, salah, di pijit salah, entah sakit apa perempuan cerewet ini, batinku. Aku
berdo’a dalam hati semoga Tuhanku yang penyayang tak memberi aku jodoh seperti
perempuan ini.
Sebelum beranjak pulang, Ompung
menyerahkan plastik kresek hitam berisi uang.
“ Hasil jualan sayurmu tadi, semua
habis. Uangnya Ompung taruh di situ semua “ Ompung menepuk punggungku, aku
mengucapkan terimakasih pada perempuan tua yang sangat penolong ini.
Berikutnya, Fadly menyerahkan plastik kresek hitam yang lebih besar dan berat.
“ Sumbangan dari kawan-kawan di
pasar, mudah-mudahan cukup untuk biaya berobat Cik Laili “ Fadly melakukan hal
yang sama, menepuk-nepuk punggungku. Aku mengangguk mengucapkan terimakasih
pada sahabat-sahabat Emakku ini. Sahabat senasib, sama-sama mengais rezeki di
pagi buta. Ternyata keadaan dan situasi yang selalu dialami bersamalah yang
membuat orang semakin kompak. Aku begitu terharu menyaksikan kebersamaan ini,
Emak pun sama, matanya memerah.
Isi plastik itu berisi uang-uang
lusuh hasil dagang di pasar, di ikat-ikat dengan jumlah yang sama. Setelah
menghitung semua, aku dan Emak heran bercampur takjub. Bagaimana mereka bisa
mengumpulkan uang yang jumlahnya hampir empat
juta? Dengan jumlah itu, tentu saja kami bisa keluar rumah sakit dengan
melenggang. Aku sudah mengancang-ancang biaya Rumah Sakit berdasarkan data yang
aku dapat. Biaya kamar satu malam seratus
lima puluh ribu karena itu adalah sal, obat Emak yang ku
tebus di apotik tidaklah terlalu mahal karena obat generik. Jangan heran, Emak
keluar Rumah Sakit, tabungan kami bukannya
berkurang, tapi semakin bertambah.
“Bisa kaya kita Mak, kalo Emak
sering sakit” kataku sambil tertawa lebar
ketika kami pulang dengan menumpang beca motor.
“Hussyy....Petir
suka lihat Emak sakit?” Emak membelalakkan matanya, pipinya sudah nampak
memerah segar.
“Ya enggaklah.... aku Cuma bercanda
Mak, kawan-kawan di Pasar itu hebat. Bisa ngumpulin uang segitu, padahal mereka
juga kan kesulitan”
“Tir....orang susah lebih punya
empati tinggi daripada orang kaya. Orang susah bisa merasakan kesusahan orang
lain karena dia juga mengalaminya. Orang kaya tak pernah tau kesusahan karena
ia juga tak pernah mengalaminya. Sederhana saja....”
Aku
terpaku mendengar penjelasan Emak, darimana Emak mendapat bahasa secerdas itu?
“Dari mana Emak dapat bahasa keren
begitu? Pake empati segala...”
“Emak membaca bukumu, hehehe”
“Jadi, Emak suka membongkar kamarku
ya?”
“Ya...”
“Kenapa?”
“Emak takut kau macam-macam”
“Emak takut kau macam-macam”
“Misalnya?”
“Ganja, narkoba...”
“Mak.... aku merokok saja tidak,
bagaimana bisa?”
“Tir...dunia
sudah gila. Emak percaya padamu sepenuhnya, tapi tak pernah bisa percaya pada
apa yang ada di sekitar kita. Paham?” Aku semakin memahami, aku adalah harapan
Emak satu-satunya yang masih harus di jaganya hingga aku dewasa. Aku tak pernah
di biarkannya sendirian, walau Emak dalam keadaan sakit sekalipun!
Beca
motor sudah berhenti di depan rumah. Kupapah Emak turun, beberapa tetangga
menyambut kami dan sudah menyiapkan makan siang. Aku bersyukur di kelilingi
orang-orang baik yang peduli. Orang kampung di tengah kota, dengan kehidupan
rata-rata yang kata Emak lebih bisa memahami kesusahan orang disekitanya. Empati kata Emak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar