Rabu, 18 April 2018

MENJEMPUT IMPIAN DI KEUKENHOF (10)


DAUN UBI TUMBUK DAN PLIEK U (10)
            Hari cerah, masih pukul sepuluh pagi. Tapi aku sudah dua jam duduk di depan ruang dosen, menunggu Pak Ritonga dosen pembimbingku. Novel  best seller yang baru kubeli berhalaman seratus empat puluh dua  sudah habis kulahap. Tadi aku sempat bertemu Pak Ritonga sebentar, tapi kemudian beliau pergi dari ruangannya karena ada pertemuan dengan Dekan. Aku masih sempat mengejar langkahnya yang panjang, langkah yang menunjukkan ciri-ciri orang sibuk, kata ustadz Syafri, guru mengajiku dulu.
            “Gimana Pak? saya mau setor bab empat dan lima Pak”
            “Nanti saja, saya ada pertemuan dengan Dekan”
            “Jam berapa selesai Pak? Biar saya tunggu”
            “Jam sepuluh ya?”
            “Iya pak, saya tunggu disini”
            “Oke.”
            Dan sekarang jam sudah menunjukkan  angka sepuluh lewat lima belas menit, tak ada tanda-tanda Pak Ritonga akan segera ke ruangannya. Aku mulai gelisah dan kesal dalam hati dengan situasi ini. Aku ingin pulang dan tidur, mataku terasa amat berat, cahaya mataku tinggal lima watt, redup. Tadi malam, aku hanya istirahat dua jam karena mengejar setoran skripsiku yang tinggal dua bab. Aku melangkah meninggalkan ruang dosen tanpa konfirmasi apa-apa, kepalaku berdengung-dengung. Sebenarnya aku berniat melangkah ke perpustakaan, mencari litelature tulisan yang berkenaan dengan skripsi  yang sedang aku kerjakan. Tapi niat itu urung di buat tubuh yang semakin melemah, aku ingin tidur dan kembali ke kampus pukul tiga sore. Perpustakaan tutup pukul lima sore, agaknya dua jam cukup untuk mencari catatan kaki. Yang penting, aku sudah tahu judul buku yang akan aku cari. Jika cepat selesai, aku segera mendaftar sidang dan segera wisuda.
            “ Tir... tunggu!!” aku menoleh kebelakang, Zeiny sibuk menyelaraskan langkahnya dengan langkahku.
            “Kenapa?”
            “Mau kemana?”
            “Pulang”
            “Kok cepat?”
            “Mau ngapain lagi? Aku ngantuk.”
            ”Aku ikut ya?” Aku menghentikan langkah, menatap sahabat baikku ini. Aku ingin tidur, bagaimana jika dia ikut? Aku pasti terganggu, aku pasti harus mendengar celotehannya yang seperti tiupan angin tak pernah berhenti, aku masih berfikir.
            “Ikut ya?” bujuknya lagi
            “Kenapa tak pulang ke kost mu aja Zein? Aku ngantuk kali, mau tidur, jam tiga nanti aku harus balik ke sini.”
            “Aku tak akan mengganggumu, kau tidur saja. Aku rindu Emak Tir. Trus nanti kita balek ke sini sama-sama. Kan lumayan, kau bisa ku bonceng, lebih hemat waktu dan uang, gimana?”
            “Ah! Nanti kau minta uang bensin, sama saja kan?”
            “Hei! mana mungkin aku minta uang bensin sama anak yatim, berdosalah aku, hehehe” Zeiny nyengir kambing, menunjukkan ginsul giginya.
Sebenarnya, Zeiny menawarkan solusi yang menarik, dia bawa sepeda motor dan itu lebih efektif. Jika dikatakannya dia rindu Emak itu memang beralasan, sahabatku ini memang sangat dekat dengan Emak. Dia sering ke rumah dan kami sering bersenda gurau dengan Emak, hanya saja kali ini aku sangat mengantuk, aku tak ingin bersenda gurau, di kepalaku hanya ada bayangan bantal dan kasur, ngantuk sekali. Semoga Zeiny tak menggangguku, sesuai dengan janjinya.
“Oke.. ingat syaratnya, kau tak boleh ganggu tidurku” sekali lagi kutekankan kalimat itu sambil mengacungkan jari telunjuk.
“Siap, Halilintar Perkasa Alam!” Zeiny meletakkan telapak tangannya di depan jidatnya yang lebar. Halilintar Perkasa Alam itu adalah namaku yang diciptakannya sendiri, di ucapkan ketika penting-penting saja. Zeiny bilang, sayang kami tak pernah jumpa ketika ibu kami mengandung. Jika kami bersahabat dari orok, dia akan membisikkan nama keren itu ke telinga Emakku. Zeyni suka sekali bercanda, hanya kadang dia jadi sinting dengan candanya sendiri.
            Zeiny mengambil motornya yang di parkir, motor matic. Aku senyum-senyum melihatnya, mengendarai motor dengan kakinya yang panjang. Dia sebenarnya lebih pantas mengendarai motor yang tinggi. Tapi katanya, uangnya hanya cukup untuk membeli motor matic, jadilah kakinya terlipat panjang jika mengendarainya. Motor keluar parkiran, menembus gerbang kampus menuju ke arah barat. Motor melaju membelah jalan Dokter Mansyur yang sedikit lengang, berbelok ke Setia Budi yang macet terus melesat ke jalan Binjai. Di boncengan, ku peluk pinggang sahabatku sambil menahan kantuk yang semakin    berat, aku terangguk-angguk di buai angin. Sejurus kemudian aku tak sadar, kepalaku jatuh di punggung sahabatku. Aku tertidur.
            Aku tersadar karena mendengar suara Zeiny merepet-repet. Kami sudah sampai di rumah, Zeiny marah karena kemeja kesayangannya kena air liurku yang tak terkontrol ketika ketiduran. Aku prihatin, tapi mau macam mana lagi? Aku kan tidak sadar. Emak muncul di depan pintu, tersenyum-senyum melihat Zeiny yang berang.
            “Kenapa Zein?”
            “Nih! Petir Mak, masak tidur di badanku sambil ngences lagi” Zeiny sibuk membenahi belakang kemeja petak-petak warna abu-abu yang konon baju kesayangannya. Menurut cerita Zeiny, itu hadiah dari Nana mantan pacarnya yang ternyata gemar selingkuh.
            “Udah... nanti kamu ganti pake baju Petir. Biar bajumu Emak cuci” Emak beranjak masuk, kami mengikuti dari belakang.
            “Tapi baju Petir samaku kedodoran Mak..”
            “Kalo mau pas, pergi sana beli yang baru” sambutku sedikit jengkel, Zeiny diam. Tentu saja bajuku sedikit longgar jika dipakainya. Zeiny kurus tinggi, bidang badannya sempit. Sementara aku tinggi besar dengan bidang badan lebar, pastilah bajuku kedodoran jika dipakainya.
            “Masak apa Mak?” aku melongok ke dapur.
            “Daun ubi tumbuk” Emak ke dapur, melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Aku senang bukan kepalang, itu adalah sayur kegemaranku. Kuperhatikan lumpang kayu yang terletak di samping kompor, Emak belum selesai menumbuk daun ubi alias daun singkong.
            “Bantu Emak numbuk daun ubi Zein... sesuai perjanjian, aku ingin tidur” ku lirik Zeiny yang sudah melepas kemejanya yang ternoda, dia mencibir kesal. Hehehe siapa suruh ikut, rasain! Kata hatiku. Aku melangkah menuju kamar, merebahkan diri yang lemah diserang kantuk. Di dapur, terdengar suara lumpang seperti alunan musik, diselingi suara Emak dan Zeiny yang sedang bersenda gurau. Suara itu semakin lama semakin menjauh, samar dan hilang. Aku lelap.
***
            Daun ubi tumbuk adalah jenis masakan khas Tapanuli Selatan, namun sudah membumi di kota Medan. Rasanya bukan main, mencium aromanya saja aku sudah menahan air liur. Emak sering membuatnya untuk menu makan kami, daun singkong, rimbang, kincong, cabe merah, bawang merah, jahe di tumbuk jadi satu menggunakan lumpang kayu. Setelah daun ubi ditumbuk agak kasar, selanjutnya di masak dengan santan kelapa dengan rencah teri atau ikan asin. Daun ubi tumbuk biasanya di lengkapi dengan ikan asin goreng dan sambal terasi, disajikan dengan nasi hangat. Biasanya, aku makan seperti orang yang gelap mata, satu kuali bisa tandas!
            Siang ini, gulai itu ada di hadapanku. Aku makan dengan lahap, Zeiny makan dengan mie instant saja. Dia tak mau makan daun ubi tumbuk, padahal aku sudah capek merayunya mengatakan bahwa sayur ini sangat enak dan menyuruhnya mencoba. Tapi Zeiny bergeming, tetap saja ia menolak.
            “Coba Zein, enak...”
            “Enggak!”
            “Coba kenapa? Halal kok, enggak pake rencah babi, hehehe”
            “Gila kau!” Zeiny melotot menanggapi candaku, mungkin pikirnya canda itu kelewatan dan kebablasan. Aku heran saja, apa anehnya daun ubi tumbuk? mengapa Zeiny tak bisa menerima daun ubi tumbuk? Bayangan suram menjijikkan itu tak pernah lepas dari kepalanya, sampai sekarang.
            Jawabannya keanehan Zeiny sebenarnya sudah kudapat ketika ia pernah mengajakku ke kampungnya. Keluarga besar Zeiny tinggal di sebuah kampung di Bireun, Aceh Utara. Kampung itu di tepi laut, Ujong Blang namanya. Berjarak empat kilometer dari pusat kota. Zeiny sering mengatai aku anak yatim, padahal gelarnya lebih lengkap dariku, Zeiny anak yatim piatu. Dia tinggal bersama makciknya yang dia panggil Bunda, adik ibunya yang tak jua menikah. Orangtua Zeiny meninggal karena kecelakaan, sepeda motor mereka di tubruk truk dan keduanya meninggal di tempat. Menurut Zeiny, bundanya yang belum menikah karena  kena guna-guna sehingga tak pernah bisa menikah. Jika ada orang yang melamarnya, Bunda akan lari seperti orang gila. Bunda Zeiny bukanlah Bunda yang biasa, ia seorang guru senior di sebuah SMA Negeri di kota Bireun. Karakter Bunda itu sangat kuat dalam mendidik, wajar saja Zeiny bisa seperti sekarang karena pengaruh pendidikan dari bundanya. Walau kost dan seorang laki-laki, Zeiny sangat rapi dan disiplin. Tak pernah kulihat kamar kostnya kotor atau berantakan, beda dengan kamarku. Zeiny sangat rapi, bersih dan soleh tentunya.
            Zeiny memiliki seorang adik perempuan yang manis dan duduk di SMA. Dek Yah namanya, gadis yang malu-malu jika di sapa dan selalu tunduk kepalanya. Dek Yah tiap sore mengaji di dayah dekat rumah, setiap selepas sholat Isya melantunkan ayat qur’an dengan suaranya yang sayub-sayub terdengar dari bilik kayu kamarnya. Aku sangat menyukai keluarga ini, damai sekali. Bunda Zeiny tak pernah merepet, jika tak suka cukup mata saja yang berbicara. Zeiny dan Dek Yah sudah tahu arti dari bahasa mata itu. Aku terkagum-kagum kepada Bunda yang sudah tiga kali menunaikan ibadah haji.
            Rumah yang di tempati Zeiny di kampung sangat sederhana, rumah papan yang sejuk. Di halaman yang luas tumbuh beberapa jenis pohon mangga, bunga-bunga, pohon sukun dan belimbing. Di sebelah utara halaman, di sudut belakang, ada kandang ayam, kandang bebek dan kandang lembu. Ada ruang halaman beberapa meter di tanami sawi dan bayam. Betapa bermakna tiap-tiap jengkal tanah mereka, sekali lagi, aku kagum. Takjub pada Dek Yah yang menyirami tanaman sawi dan bayam dengan mengenakan jilbab dan sarung. Takjub kepada Bunda yang menyuruh ternak-ternaknya masuk kandang ketika gelap datang. Bukan saja Zeiny dan Dek Yah yang patuh padanya, tapi lembu, ayam, bebek juga sama. Manut-manut pada Bunda yang hebat ini.
            Selama berada di kampung Zeiny, setiap pagi kami pergi ke laut. Duduk di pinggir laut sambil menikmati kopi panas dan pulut panggang hangat. Jika ada nelayan naik ke darat, kami minta ikan, bukan beli. Mereka senang saja memberinya beberapa ekor pada Zeiny yang tampak bak selebritis. Kami memanggang ikan di pinggir laut, membuat bara dari ranting-ranting kering yang ada. Bukan main nikmatnya, aku cinta tanah ini. Bukankah tanah ini juga tanah Ayahku? Tempat nenek moyangku? wajar jika aku jatuh cinta pada tanah ini, cinta sekali.
            “Sudah pernah makan kuah plik, Petir?” tanya bunda suatu pagi, hari ketiga aku berada di kampung Zeiny.
            “Belum, Bunda. Kuah plik itu apa Bunda?”
            “Itu sayuran khas orang Aceh, kalau Petir orang Aceh, Petir harus tahu kuah itu” Bunda menjelaskan dengan bahasa Indonesia yang baik, dia memang seorang guru yang profesional. Zeiny dan Dek Yah saja masih kental logat daerahnya, tapi Bunda tidak.
            Maka, siang itu terhidanglah kuah plik di meja makan, di lengkapi dengan ikan asin goreng. Aroma aneh itu meruap-ruap memenuhi rongga nafasku, kuamati gulai sayuran yang aneh berwarna moka. Keningku berkerut, Zeiny dan Bunda senyum-senyum.
            “Cobalah Tir, kau pasti ketagihan” kata Zeiny percaya diri. Aku tak menjawab dan mengambilnya sesendok. Ku cicipi dulu sedikit, agak aneh dan asing di lidahku. Tapi ketika suapan ketiga, aku mulai suka. Mulailah aku makan seperti orang gila, sama gilanya ketika aku makan daun ubi tumbuk. Padahal, jika kuamati segala macam jenis sayuran bersatu di situ, sayuran Bhineka Tunggal Ika. Genjer, kangkung, daun singkong, melinjo, daun melinjo, jipang, kacang panjang dan entah apa lagi. Kenapa bisa enak begini?
            “Zein, Bunda masak pake biji ganja ya?” aku berbisik ketelinga Zein, penasaran.
            “Gila!! Kau pikir semua orang Aceh pake ganja? dasar anak pajak!” Zein menepuk jidatku. Dia menyebutku anak pajak, karena aku membantu Emak jualan di pasar, pajak itu maksudnya pasar.
            “Kok enak?”
            “Ya... memang enak lah..” Zeiny membusungkan dada.
            “Aku suka sayur plik, kok kau enggak suka daun ubi tumbuk?” aku merasa Zeiny tidak adil.
            “Mau tau kenapa?”Zeiny membuatku penasaran, aku cepat-cepat mengangguk.
            “Karena daun ubi tumbuk seperti taik lembu...”Zeiny berbisik, matanya melotot jahat. Aku terlonjak mendengar jawabannya, benarkah? Maka esok paginya, aku mengamati kotoran sapi yang ada di kandang belakang tanpa setahu Zeiny. Aku tersenyum-senyum dengan hasil pengamatanku. Kotoran lembu tentu beda dengan daun ubi tumbuk, karena pencernaan sapi lebih canggih menggiling dari pada lumpang kayu. Maka dari itu, kotoran sapi ledih halus dan lumat di bandingkan daun ubi tumbuk. Aku tersenyum dan berjingkat kembali ke rumah. Zeiny masih bergulung di balik sarungnya, persis Trenggiling.

           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar