DAUN UBI TUMBUK DAN PLIEK U (10)
Hari cerah, masih pukul sepuluh
pagi. Tapi aku sudah dua jam duduk di depan ruang dosen, menunggu Pak Ritonga dosen pembimbingku. Novel
best seller yang baru kubeli berhalaman seratus empat puluh dua sudah habis kulahap. Tadi aku sempat bertemu Pak
Ritonga sebentar,
tapi kemudian beliau
pergi dari ruangannya karena ada pertemuan dengan Dekan. Aku masih sempat
mengejar langkahnya yang panjang, langkah yang menunjukkan ciri-ciri orang
sibuk, kata ustadz Syafri, guru mengajiku dulu.
“Gimana Pak? saya mau setor bab
empat dan lima Pak”
“Nanti saja, saya ada pertemuan
dengan Dekan”
“Jam berapa selesai Pak? Biar saya
tunggu”
“Jam sepuluh ya?”
“Iya pak, saya tunggu disini”
“Oke.”
Dan sekarang jam sudah menunjukkan angka sepuluh lewat lima belas menit, tak ada
tanda-tanda Pak Ritonga
akan segera ke ruangannya.
Aku mulai gelisah dan kesal dalam hati dengan situasi ini. Aku ingin pulang dan
tidur, mataku terasa amat berat, cahaya mataku tinggal lima watt, redup. Tadi malam, aku hanya
istirahat dua jam karena mengejar setoran skripsiku yang tinggal dua bab. Aku
melangkah meninggalkan ruang dosen tanpa konfirmasi apa-apa, kepalaku
berdengung-dengung. Sebenarnya aku berniat melangkah ke perpustakaan, mencari litelature tulisan yang berkenaan dengan
skripsi yang sedang aku kerjakan. Tapi
niat itu urung di buat tubuh yang semakin melemah, aku ingin tidur dan kembali
ke kampus pukul tiga sore. Perpustakaan tutup pukul lima sore, agaknya dua jam
cukup untuk mencari catatan kaki. Yang penting, aku sudah tahu judul buku yang
akan aku cari. Jika cepat selesai, aku segera mendaftar sidang dan segera
wisuda.
“ Tir... tunggu!!” aku menoleh
kebelakang, Zeiny sibuk menyelaraskan langkahnya dengan langkahku.
“Kenapa?”
“Mau kemana?”
“Pulang”
“Kok cepat?”
“Mau ngapain lagi? Aku ngantuk.”
”Aku ikut ya?” Aku menghentikan
langkah, menatap sahabat baikku ini. Aku ingin tidur, bagaimana jika dia ikut?
Aku pasti terganggu, aku pasti harus mendengar celotehannya yang seperti tiupan
angin tak pernah berhenti, aku masih berfikir.
“Ikut ya?” bujuknya lagi
“Kenapa tak pulang ke kost mu aja Zein? Aku ngantuk kali, mau
tidur, jam tiga nanti aku harus balik ke sini.”
“Aku tak akan mengganggumu, kau
tidur saja. Aku rindu Emak Tir. Trus nanti kita balek ke sini sama-sama. Kan
lumayan, kau bisa ku bonceng, lebih hemat waktu dan uang, gimana?”
“Ah! Nanti kau minta uang bensin, sama saja kan?”
“Hei! mana mungkin aku minta uang bensin sama anak yatim,
berdosalah aku, hehehe” Zeiny nyengir kambing, menunjukkan ginsul giginya.
Sebenarnya,
Zeiny menawarkan solusi yang menarik, dia bawa sepeda motor dan itu lebih
efektif. Jika dikatakannya dia rindu Emak itu memang beralasan, sahabatku ini
memang sangat dekat dengan Emak. Dia sering ke rumah dan kami sering bersenda
gurau dengan Emak, hanya saja kali ini aku sangat mengantuk, aku tak ingin
bersenda gurau, di kepalaku hanya ada bayangan bantal dan kasur, ngantuk
sekali. Semoga Zeiny tak menggangguku, sesuai dengan janjinya.
“Oke..
ingat syaratnya, kau tak boleh ganggu tidurku” sekali lagi kutekankan kalimat
itu sambil mengacungkan jari telunjuk.
“Siap,
Halilintar Perkasa Alam!” Zeiny meletakkan telapak tangannya di depan jidatnya
yang lebar. Halilintar Perkasa Alam itu adalah namaku yang diciptakannya sendiri,
di ucapkan ketika penting-penting saja. Zeiny bilang, sayang kami
tak pernah jumpa ketika ibu kami mengandung. Jika kami bersahabat dari orok,
dia akan membisikkan nama keren itu ke telinga Emakku. Zeyni suka sekali
bercanda, hanya kadang dia jadi sinting dengan candanya sendiri.
Zeiny mengambil motornya yang di
parkir, motor matic. Aku senyum-senyum melihatnya, mengendarai motor dengan
kakinya yang panjang. Dia sebenarnya lebih pantas mengendarai motor yang
tinggi. Tapi katanya, uangnya hanya cukup untuk membeli motor matic, jadilah
kakinya terlipat panjang jika mengendarainya. Motor keluar parkiran, menembus
gerbang kampus menuju ke arah barat. Motor melaju membelah jalan Dokter Mansyur
yang sedikit lengang, berbelok ke Setia Budi yang macet terus melesat ke jalan
Binjai. Di boncengan, ku peluk pinggang sahabatku sambil menahan kantuk yang
semakin berat,
aku terangguk-angguk di buai angin. Sejurus kemudian aku tak sadar, kepalaku
jatuh di punggung sahabatku. Aku tertidur.
Aku tersadar karena mendengar suara
Zeiny merepet-repet. Kami sudah sampai di rumah, Zeiny marah karena kemeja
kesayangannya kena air liurku yang tak terkontrol ketika ketiduran. Aku
prihatin, tapi mau macam mana lagi? Aku kan tidak sadar. Emak muncul di depan
pintu, tersenyum-senyum melihat Zeiny yang berang.
“Kenapa Zein?”
“Nih! Petir Mak, masak tidur di
badanku sambil ngences lagi” Zeiny
sibuk membenahi belakang kemeja petak-petak warna abu-abu yang konon baju
kesayangannya. Menurut cerita Zeiny, itu hadiah dari Nana mantan pacarnya yang
ternyata gemar selingkuh.
“Udah... nanti kamu ganti pake baju
Petir. Biar bajumu Emak cuci” Emak beranjak masuk, kami mengikuti dari
belakang.
“Tapi baju Petir samaku kedodoran
Mak..”
“Kalo mau pas, pergi sana beli yang
baru” sambutku sedikit jengkel, Zeiny diam. Tentu saja bajuku sedikit longgar
jika dipakainya. Zeiny kurus tinggi, bidang badannya sempit. Sementara aku
tinggi besar dengan bidang badan lebar, pastilah bajuku kedodoran jika
dipakainya.
“Masak apa Mak?” aku melongok ke
dapur.
“Daun ubi tumbuk” Emak ke dapur,
melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Aku senang bukan kepalang, itu adalah
sayur kegemaranku. Kuperhatikan lumpang kayu yang terletak di samping kompor,
Emak belum selesai menumbuk daun ubi
alias daun singkong.
“Bantu Emak numbuk daun ubi Zein...
sesuai perjanjian, aku ingin tidur” ku lirik Zeiny yang sudah melepas kemejanya
yang ternoda, dia mencibir kesal. Hehehe
siapa suruh ikut, rasain! Kata hatiku. Aku melangkah menuju kamar,
merebahkan diri yang lemah diserang kantuk. Di dapur, terdengar suara lumpang
seperti alunan musik, diselingi suara Emak dan Zeiny yang sedang bersenda
gurau. Suara itu semakin lama semakin menjauh, samar dan hilang. Aku lelap.
***
Daun ubi tumbuk adalah jenis masakan
khas Tapanuli Selatan, namun sudah membumi di kota Medan. Rasanya bukan main,
mencium aromanya saja aku sudah menahan air liur. Emak sering membuatnya untuk
menu makan kami, daun singkong,
rimbang, kincong,
cabe merah, bawang merah, jahe di tumbuk jadi satu
menggunakan lumpang kayu. Setelah daun ubi ditumbuk agak kasar, selanjutnya di
masak dengan santan kelapa dengan rencah teri atau ikan asin. Daun ubi tumbuk
biasanya di lengkapi dengan ikan asin goreng dan sambal terasi, disajikan
dengan nasi hangat. Biasanya, aku makan seperti orang yang gelap mata, satu
kuali bisa tandas!
Siang ini, gulai itu ada di
hadapanku. Aku makan dengan lahap, Zeiny makan dengan mie instant saja. Dia tak
mau makan daun ubi tumbuk, padahal aku sudah capek merayunya mengatakan bahwa
sayur ini sangat enak dan menyuruhnya mencoba. Tapi Zeiny bergeming, tetap saja
ia menolak.
“Coba Zein, enak...”
“Enggak!”
“Coba kenapa? Halal kok, enggak pake
rencah babi, hehehe”
“Gila kau!” Zeiny melotot menanggapi
candaku, mungkin pikirnya canda itu kelewatan dan kebablasan. Aku heran saja,
apa anehnya daun ubi tumbuk? mengapa Zeiny tak bisa menerima daun ubi tumbuk?
Bayangan suram menjijikkan itu tak pernah lepas dari kepalanya, sampai
sekarang.
Jawabannya keanehan Zeiny sebenarnya
sudah kudapat ketika ia pernah mengajakku ke kampungnya. Keluarga besar Zeiny
tinggal di sebuah kampung di Bireun, Aceh Utara. Kampung itu di tepi laut,
Ujong Blang namanya. Berjarak empat kilometer dari pusat kota. Zeiny sering
mengatai aku anak yatim, padahal gelarnya lebih lengkap dariku, Zeiny anak yatim
piatu. Dia tinggal bersama makciknya yang dia panggil Bunda, adik ibunya yang
tak jua menikah. Orangtua Zeiny meninggal karena kecelakaan, sepeda motor
mereka di tubruk truk dan keduanya meninggal di tempat. Menurut Zeiny, bundanya
yang belum menikah karena kena guna-guna
sehingga tak pernah bisa menikah. Jika ada orang yang melamarnya, Bunda akan
lari seperti orang gila. Bunda Zeiny bukanlah Bunda yang biasa, ia seorang guru
senior di sebuah SMA Negeri di kota Bireun. Karakter Bunda itu sangat kuat
dalam mendidik, wajar saja Zeiny bisa seperti sekarang karena pengaruh
pendidikan dari bundanya. Walau kost dan seorang laki-laki, Zeiny sangat rapi
dan disiplin. Tak pernah kulihat kamar kostnya kotor atau berantakan, beda
dengan kamarku. Zeiny sangat rapi, bersih dan soleh tentunya.
Zeiny memiliki seorang adik
perempuan yang manis dan duduk di SMA. Dek Yah namanya, gadis yang malu-malu
jika di sapa dan selalu tunduk kepalanya. Dek Yah tiap sore mengaji di dayah
dekat rumah, setiap selepas sholat Isya melantunkan ayat qur’an dengan suaranya
yang sayub-sayub terdengar dari bilik kayu kamarnya. Aku sangat menyukai
keluarga ini, damai sekali. Bunda Zeiny tak pernah merepet, jika tak suka cukup
mata saja yang berbicara. Zeiny dan Dek Yah sudah tahu arti dari bahasa mata
itu. Aku terkagum-kagum kepada Bunda yang sudah tiga kali menunaikan ibadah
haji.
Rumah yang di tempati Zeiny di
kampung sangat sederhana, rumah papan yang sejuk. Di halaman yang luas tumbuh
beberapa jenis pohon mangga, bunga-bunga, pohon sukun dan belimbing. Di sebelah
utara halaman, di sudut belakang, ada kandang ayam, kandang bebek dan kandang
lembu. Ada ruang halaman beberapa meter di tanami sawi dan bayam. Betapa
bermakna tiap-tiap jengkal tanah mereka, sekali lagi, aku kagum. Takjub pada
Dek Yah yang menyirami tanaman sawi dan bayam dengan mengenakan jilbab dan
sarung. Takjub kepada Bunda yang menyuruh ternak-ternaknya masuk kandang ketika
gelap datang. Bukan saja Zeiny dan Dek Yah yang patuh padanya, tapi lembu,
ayam, bebek juga sama. Manut-manut pada Bunda yang hebat ini.
Selama berada di kampung Zeiny,
setiap pagi kami pergi ke laut. Duduk di pinggir laut sambil menikmati kopi
panas dan pulut panggang hangat. Jika ada nelayan naik ke darat, kami minta
ikan, bukan beli. Mereka senang saja memberinya beberapa ekor pada Zeiny yang
tampak bak selebritis. Kami memanggang ikan di pinggir laut, membuat bara dari
ranting-ranting kering yang ada. Bukan main nikmatnya, aku cinta tanah ini.
Bukankah tanah ini juga tanah Ayahku? Tempat nenek moyangku? wajar jika aku jatuh
cinta pada tanah ini, cinta sekali.
“Sudah pernah makan kuah plik,
Petir?” tanya bunda suatu pagi, hari ketiga aku berada di kampung Zeiny.
“Belum, Bunda. Kuah plik itu apa
Bunda?”
“Itu sayuran khas orang Aceh, kalau
Petir orang Aceh, Petir harus tahu kuah itu” Bunda menjelaskan dengan bahasa
Indonesia yang baik, dia memang seorang guru yang profesional. Zeiny dan Dek
Yah saja masih kental logat daerahnya, tapi Bunda tidak.
Maka, siang itu terhidanglah kuah
plik di meja makan, di lengkapi dengan ikan asin goreng. Aroma aneh itu
meruap-ruap memenuhi rongga nafasku, kuamati gulai sayuran yang aneh berwarna
moka. Keningku berkerut, Zeiny dan Bunda senyum-senyum.
“Cobalah Tir, kau pasti ketagihan”
kata Zeiny percaya diri. Aku tak menjawab dan mengambilnya sesendok. Ku cicipi
dulu sedikit, agak aneh dan asing di lidahku. Tapi ketika suapan ketiga, aku
mulai suka. Mulailah aku makan seperti orang gila, sama gilanya ketika aku
makan daun ubi tumbuk. Padahal, jika kuamati segala macam jenis sayuran bersatu
di situ, sayuran Bhineka Tunggal Ika. Genjer, kangkung, daun singkong, melinjo, daun
melinjo, jipang, kacang panjang dan entah apa lagi. Kenapa bisa enak begini?
“Zein, Bunda masak pake biji ganja
ya?” aku berbisik ketelinga Zein, penasaran.
“Gila!! Kau pikir semua orang Aceh
pake ganja? dasar anak pajak!” Zein menepuk jidatku. Dia menyebutku anak pajak,
karena aku membantu Emak jualan di pasar, pajak itu maksudnya pasar.
“Kok enak?”
“Ya... memang enak lah..” Zeiny
membusungkan dada.
“Aku suka sayur plik, kok kau enggak
suka daun ubi tumbuk?” aku merasa Zeiny tidak adil.
“Mau tau kenapa?”Zeiny membuatku
penasaran, aku cepat-cepat mengangguk.
“Karena daun ubi tumbuk seperti taik
lembu...”Zeiny berbisik, matanya melotot jahat. Aku terlonjak mendengar
jawabannya, benarkah? Maka esok paginya, aku mengamati kotoran sapi yang ada di kandang
belakang tanpa setahu Zeiny. Aku tersenyum-senyum
dengan hasil pengamatanku. Kotoran
lembu tentu beda dengan daun ubi tumbuk, karena pencernaan sapi lebih canggih menggiling
dari pada lumpang kayu. Maka dari itu, kotoran
sapi ledih halus dan lumat di bandingkan daun ubi
tumbuk. Aku tersenyum dan berjingkat kembali ke rumah. Zeiny masih
bergulung di balik sarungnya, persis Trenggiling.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar