Kamis, 05 April 2018

MENJEMPUT IMPIAN DI KEUKENHOF (8)


GADIS YANG MENJAUH (8)
            Angin berdesing melewati telinga, awan pekat menggumpal seakan mau tumpah. Aku berjalan pulang di sisi Emak, setelah merapikan sisa dagangan. Tak ada rencana untuk hari ini, aku benar-benar galau menata hati dan pikiran. Setelah apa yang dikatakan Zahwa malam itu. Bahkan, aku belum menyampaikan sesuatupun pada Emak perihal itu. Aku tak mampu berpikir, ungkapan tak masuk akal yang dilingkupi emosi sesaat. Bukankah Zahwa sedang limbung? Dia butuh tempat bersandar lalu ingin di nikahi? Tapi, mengapa harus aku? Lelaki malang yang miskin dan belum jelas masa depannya? Dunia sudah berubah, jika biasanya lelaki mengajak menikah, kini malah perempuan yang berinisiatif. Ku usap-usap wajah yang tak basah, galau.
            “Kenapa Tir? Sakit?” Emak tampak mencemaskanku, mungkin suasana hati merubah warna wajahku.
            “Enggak, Mak. Enggak apa-apa”
            “Mukamu pucat, besok kau enggak usah ikut Emak jualan ya?”
            “Aku enggak apa-apa Mak, Emak enggak usah cemas ya? Aku sehat kok, sehat walafiat tanpa kurang suatu apapun” Aku coba bercanda walau tak lucu, Emak berjinjit meraba jidatku, sejenak kecemasan itu hilang dari raut wajahnya. Memang, sesungguhnya aku tak sakit.
            Menikahi Zahwa? Itu hal paling gila! Aku tak sanggup! Walau jika ditanya dalam hati kecilku, aku menyukai perempuan itu. Lebih tepat lagi, akhir-akhir ini aku banyak memikirkannya, dia banyak mengisi ruang hati dan pikiranku. Ucapan Emak, Zeiny dan hatiku pun tak bisa berdusta, jika Zahwa menaruh hati padaku. Dan akupun akhirnya tak lagi dapat mengingkari kenyataan bahwa aku juga menyukainya, mencintainya. Tapi aku tak pernah berpikir untuk menjadi pacarnya atau malah menikahinya.
            Aku limbung, kawan. Apa yang aku andalkan di hadapan orangtuanya? Aku bukanlah orang yang membanggakan dan jauh dibawah kondisi normal. Itu hanya keinginan Zahwa saja, bukan atas persetujuan keluarga besarnya. Di depan keluarganya aku pasti tak berani mengangkat muka.  Berhadapan dengan bapaknya yang professor dan Ibunya yang seorang dokter terkenal? Belum sampai aku di pintu rumahnya aku sudah di tendang keluar! Mana harga diriku sebagai seorang lelaki? Aku tak ingin Emak menderita malu seumur hidup, atau aku di bawah kaki  mereka seumur hidup.
Jika kawan seperti aku, lelaki sehat dan normal lahir batin. Pasti berpikir untuk menerima ajakan menikah itu. Aku sangat ingin perempuan itu menemani aku dalam mengarungi hidup, tapi tunggu dulu, hingga aku bisa mengangkat muka di hadapan orangtuanya. Bukan masuk rumah mereka dengan kepala tertunduk, tak berdaya atau mungkin aku di tuding-tuding, tapi aku ingin masuk dengan kepala tegak! Apa yang harus kukatakan pada Zahwa?, duhai cinta… kini aku tak berdaya.
“Bagaimana menurut Emak jika aku menikah dengan Zahwa?” tanyaku malam itu, selepas sholat Isa berjama’ah dengan Emak. Emak tersenyum, matanya berbinar.
“Ya… Emak suka Zahwa. Dia Nampak sangat mencintaimu dan Emak juga tau kau menyukainya”
“Dia meminta aku menikahinya Mak.”
“Haaa? Kau apakan dia? Petir..!” Emak kaget luar biasa, nafasnya bergemuruh, diremasnya sajadah yang masih di dudukinya. Aku cepat-cepat menenangkan Emak.
“Enggak ada apa-apa Mak, aku tak pernah menyentuhnya, percayalah Mak”
“Jadi? Kenapa pula dia minta kau nikahi ha?” Emak masih tak percaya, nafasnya naik turun dengan cepat, aku menjadi takut.
Malam itu, aku menceritakan semua pada Emak, perempuan pertama dalam hidupku. Nafas Emak perlahan normal dan dia nampak tenang karena sudah bisa memahami ceritaku, hal yang di khawatirkannya ternyata tidak benar.
“Gimana menurut pendapat Emak?” aku ingin tahu jalan pikiran Emak, dia sangat menyayangi Zahwa.
“Emak rasa, suruh Zahwa tunggu dulu sampai kau  siap. Tak ada harga dirimu sekarang Tir, kau selesaikan kuliah dulu, kerja, baru kau menghadap orangtuanya.”
“Sepertinya Zahwa marah pada papanya dan ingin segera ku bawa pergi”
“Perkawinan itu menyatukan seluruh keluarga, bukan hanya kau dan Zahwa saja. Cukup yang kita rasakan sekarang Nak…. Emak tak punya siapa-siapa. Saudara Ayahmu saja Emak tak punya karena habis mati, begitu juga abang Emak yang Cuma satu. Emak ingin kita besar, ramai….”
“Zahwa juga anak satu-satunya Mak….”
“Nanti kau suruh dia beranak banyak” Emak mulai lagi, aku tersenyum kecut.
“Tapi dia sudah punya adik dari Ibunya yang lain..”
“Berarti dia bisa beranak banyak..” ah! Emaaaak.
Malam pekat, angin berdesis masuk kamar melalui celah jendela, udara dingin walau tak ada hujan. Aku masih terlentang di tempat tidurku yang berkasur tipis, menatap langit-langit kamar yang kekuningan akibat asap obat nyamuk bakar. Zahwa menari-nari dalam bayangan. Kawan, aku mencintai perempuan itu. Tapi untuk menikahinya sekarang sama saja aku harus masuk kedalam lingkaran tak  bertepi yang justru aku terhisap didalamnya. Andaikan aku orang berpunya, aku akan segera menangkapnya, memagutnya dalam pelukan karena dia sudah halal bagiku.
Atau, jika aku sudah bekerja walau tak kaya raya, aku berani melamar Zahwa. Karena untuk selanjutnya kami akan berjuang bersama, tertatih melayari hidup. Jika kini, untuk diri sendiri saja aku belum bisa berdiri tegak. Aku masih bertopang pada Emakku yang seorang janda, mengais rezeki demi anaknya di pagi buta. Jikapun aku menulis, itu bukanlah dapat dijadikan sandaran hidup untuk berdua. Malam semakin dingin, hatiku menggigil. Mataku tak jua mau terpejam, aku tersiksa dalam malam.
Duhai kelam
Peluklah aku dalam pekatmu
Hingga aku hilang melayang
Dalam lelap yang sangat
Agar esok
Ku dapat tegak
Menyerahkan bahuku
Sebagai sandaran Emak
***
Pagi buta sudah ku telepon Zahwa, suaranya yang mendayu membuatku semakin perih. Akankah nanti aku bisa memiliki gadis ini? memenuhi harapan Emak dan juga keinginan hatiku sendiri? entahlah, waktu akan menjawab semua. Aku berjanji akan menjumpainya siang ini, menjelaskan semua tentang keadaanku, keinginanku, cita-citaku, harapanku, semuanya…ya semuanya. Tak ada lagi yang harus aku sembunyikan, apapun kenyataan yang harus aku terima, aku  siap.
Zahwa memakai gaun biru muda, jilbab dan sepatunya senada. Wajahnya tak begitu bersemangat, masih buram.
“Assalamu’alaikum Wa…”
“Walaikum salam”
“Aku ingin membicarakan hal yang kemarin” Ku tegaskan suaraku, Zahwa tunduk, tersipu.
“Ma’af Tir..aku juga sebenarnya malu, aku juga maklum jika memang kamu tidak mau juga enggak apa-apa, lupakan saja ya?” wajah putih itu masih tertunduk, pipinya merah muda.
“Enggak apa-apa, tapi ada hal penting yang harus aku sampaikan ke kamu, bisa kita bicara?” Zahwa mengangguk.
“Kita enggak usah kemana-mana, di taman kampus aja ya?” ku usulkan suatu tempat yang biasanya siang begini agak sepi, taman utara kampus banyak pohon besar yang rindang. Zahwa kembali mengangguk, ah… dia mengangguk terus. Semakin anggun saja perempuan ini, kata hatiku.
“Apa yang kamu pikirkan tentang aku hingga kamu mengajakku menikah Wa?” itu hal pertama yang aku tanyakan. Zahwa menarik nafas panjang, aku bisa merasakan gemuruh dadanya yang sama dengan gemuruh dadaku.
“Sulit aku menjelaskannya Tir, kamu lelaki yang..yang lain daripada yang lain. Cara kamu menghormati dan menyayangi Emak menunjukkan kau sangat menyayangi dan menghormati perempuan. Kita sering bersama, kau tetap sopan, kau lelaki yang soleh. Kau juga pejuang Tir, aku kagum dengan perjuanganmu. Semua yang kau dapatkan penuh dengan kerja keras, bagiku kau sosok lelaki yang bisa diandalkan untuk menjadi imamku” sampai disitu, Zahwa menyeka matanya.
“Ma’af jika aku menjadi perempuan yang agresif. Aku tak ingin mendapati lelaki seperti sosok papaku sendiri yang tega menduakan mama. Aku ingin cepat keluar dari situasi ini, tak ada tempat aku berkeluh kesah. Tak ada bahu untuk bersandar, tak ada orang lain yang mencintai aku. Aku merasa sepi sendiri, kosong…”
“Tapi aku men…mencintaimu Wa..” ya Tuhan…kalimat itu keluar begitu saja, aku tak bisa mengontrol diriku sendiri. Zahwa mengangkat kepalanya, terdongak.
“Tapi… tetap kau tidak halal bagiku, sebelum kau menikahiku.” Tegas suara itu, aku terpacak kaku, menyerapahi diri sendiri. Ku kuatkan jiwa raga, giliranku berpendapat.
“Bagiku, kau perempuan yang nyaris sempurna, Wa. Emak menyayangimu dan kau juga tak pernah memandang status ekonomiku. Padahal, kita seperti langit dan bumi. Kau juga perempuan yang soleh, aku ingin kelak anak-anakku di didik oleh perempuan sepertimu. Tapi, aku belum bisa sekarang menghadap orangtuamu. Jika berkenan, tunggulah dulu aku selesai dan bekerja supaya aku tak terlalu senjang untukmu…” aku selesai untuk membuat alasan dari alam pikiranku sendiri, dadaku semakin panas berdegup.
Zahwa masih bisu, kini mata itu semakin basah. Aku benar-benar sakit dengan perasaanku sendiri, Zahwa juga.
“Bukankah semua bisa kita hadapi bersama? Aku tak pernah memandang kamu rendah. Harta bukanlah segalanya bagiku.”
“Aku tau Wa…sangat tau. Sikapmu padaku juga sudah membuktikan bahwa kamu bukanlah tipe seperti itu. Tapi dunia bukan milik kita berdua, masih banyak orang lain yang harus kita perhatikan pendapatnya. Orangtuamu yang paling utama. Jika kita menikah sekarang, kuliahmu belum selesai, jika orangtuamu marah dan menghentikan dana pendidikanmu yang tidak sedikit, bagaimana kau akan melanjutkannya? Apakah kau mengandalkan aku yang jalan sendiri aja terseok-seok? Pikiran kita harus jernih, Wa..”
Siang semakin terik, kami membisu. Daun akasia berguguran, bunganya yang kuning cerah hinggap di jilbab Zahwa, cantik sekali. Kami duduk berada dalam kesakitan perasaan, Zahwa mulai mengerti situasiku. Aku berharap, dia masih mau menunggu hingga semua sesuai rencana yang kurancang. Terkadang, jiwaku begitu apatis menghadapi jurang ini. Tapi, aku harus mampu menghadapi situasi dan memperjuangkannya. Masa depanku, masa depan Emakku, dan masa depan kami berdua tentunya. Tak kusadari nantinya, jika gadis ini semakin menjauh…







Tidak ada komentar:

Posting Komentar