Kamis, 08 Februari 2018

MENJEMPUT IMPIAN DI KEUKENHOF -MIK (1)



            Bagian 1:

                            

                                 Emak, The Best Woman in The Word

 Tentang Petir

         



PETIR untuk sebuah nama? Sangat aneh, janggal dan asing. Tapi itu adalah namaku, tanpa embel-embel apa pun. Jika pun nanti
aku menyelesaikan studiku, bertambah sedikitlah embel-embel itu menjadi Petir, S.H. Nama ini sudah menimbulkan banyak masalah bagiku, masalah ma- sa kanak-kanak yang tak tertanggungkan. Aku adalah umpan olok-olok teman sebaya atas keanehan namaku itu. Tak jarang aku menangis, tersedu-sedu sambil meredakan kesal akan tingkah temanku yang kurasa keterlaluan. Anak lain yang ingin mengolok-olok temannya biasanya mencari tahu siapa nama ayah temannya itu. Di sela-sela bermain, mereka akan menyebut nama ayah temannya sebagai bahan olok-olok. Pertempuran akan tumpah, sumpah serapah terjadi, terkadang bila emosi memuncak dan mereka sudah sahut menyahut menyebutkan nama ayahnya, terjadilah baku hantam. Tapi itu adalah masa kanak-kanak, esoknya kami akan kembali bermain seakan tak pernah terjadi apapun di hari sebelumnya.
 
Khusus untukku, mereka tentu saja tak perlu mencari tahu nama ayahku. Karena ayah sudah lama beristirahat di rumah Tuhan yang lebih mencin- tainya. Menurut keterangan Badrul sahabat kecilku, orang yang sudah meninggal tak boleh di sebut- sebut apalagi di olok-olok. Arwahnya akan bangkit dan menyapa orang yang menyebut-nyebut namanya, makanya sahabatku ini ketakutan. Lagi pula, tanpa harus tahu nama ayahku, namaku sudah cukup memuaskan nafsu mereka untuk mengejek ku setiap waktu. Jika hujan datang, mereka akan menjerit “Awas petirrrr!” Jika panas menderu-deru mereka juga berteriak “Awas petirrrrr!” Petir akan selalu hadir dalam panas dan hujan. Tapi memang begitulah keadaannya, aku ada dalam panas maupun hujan.
Perihal nama itu, aku pernah bertanya pada emak.
“Mak, mengapa namaku Petir?“
“Kau lahir ketika hujan turun dengan deras dan petir sambar-menyambar.”
“Lalu, Emak memberiku nama Petir? “Ya.”
“Mengapa Emak tidak memberiku nama Guruh atau Guntur? Artinya kan sama?
“Tidak Tir, Emak tak mau namamu sama dengan anak lain. Biarlah namamu Petir, tidak umum.“
“Ah, Emak. Aku selalu jadi bahan olok-olok, Mak. Tiap hari sakit hatiku.“
“Kelak, kau bersyukur dengan namamu. Percayalah.”
Itu adalah dialogku dan emak pada saat aku masih SD. Aku selalu protes atas kemalangan akibat nama itu. Aku sama sekali tak percaya diri, tubuh kecilku semakin mengerut. Aku selalu menyesali diri, ketika jongkok di kamar mandi sampai tidur pun aku merasa orang yang malang. Emak selalu meyakinkanku tentang nama yang sudah melekat itu, bahwa namaku sangat hebat. Aku ingin marah, apa hebatnya petir? Bikin takut saja. Suara petir sangat menakutkan, membuat orang merinding dan sakit jantung sampai terkencing-kencing. Belum lagi petir dengan kejam menyambar orang di la- pangan terbuka dan berdiri di ketinggian sampai hangus dan mati. Bukankah petir itu kejam dan menakutkan?
Di daerahku, ada satu suku yang suka memberi nama anak sesuai apa yang terjadi pada waktu kelahirannya. Ketika anaknya lahir dia memegang sendok, maka Sendok lah namanya. Ketika anaknya lahir dalam keadaan aman, maka Aman lah namanya. Ketika anaknya lahir seiring dengan lembu yang lahir juga, maka Lembu lah namanya. Ini sudah berlaku sejak zaman nenek moyang mereka. Ketika zaman sudah modern seperti sekarang, hal itu sudah mulai berkurang. Kecuali orang yang masih berpegang teguh pada tradisi dan keras kepala yang masih dianutnya. Tapi, mereka adalah petarung yang sukses. Punya anak keturunan yang berhasil  dalam  bisnis,  politik  maupun  pendidikan.
Tapi, aku bukanlah dari suku itu. Emakku Melayu Deli  dan  ayahku Aceh tulen,  mengapa mereka menuruti tradisi yang bukan dianut nenek moyangku sendiri? Lagi-lagi menurut cerita emak, itu adalah andil si dukun beranak. Ketika aku lahir, disambutnya aku sambil latah ketika petir menyambar “Petiiirrr” itu dia sebut berulang-ulang. Lalu dengan seenaknya dia bilang “ Udah Laili, nama anakmu Petir saja, dia pasti akan jadi anak hebat dan kuat.” Begitu lancang mulutnya mengatur emak, seakan dia yang sudah melahirkanku dan berhak memberiku nama. Justru yang lebih malang adalah emak mengangguk terpengaruh oleh dukun beranak yang mulutnya merah karena sirih dan tembakau itu. Kata emak, dia ingin aku menjadi anak hebat dan kuat seperti apa yang dikatakan dukun beranak itu. Ah, Emak. Bukankah banyak nama hebat lain? Mengapa harus Petir? Ahhh...
Memasuki SMP, aku mendaftar di Sekolah Swasta. Aku mendaftar di sebuah SMP Swasta berbasis perguruan Islam. Emak berharap, aku menjadi anak yang saleh dan mampu hidup melawan arus yang katanya semakin gila. Hari pendaftaran, aku duduk di meja pendaftaran yang panjang. Seorang Ibu menyodorkanku formulir, wajahnya tampak tak begitu ramah, badannya tinggi besar, matanya tajam dengan bulu mata runcing-runcing lurus, kulitnya kuning langsat.
“Formulirnya isi sendiri, ya?“ sapanya padaku mencoba ramah. Aku hanya mengangguk, mengambil lembar itu dan mulai mengisinya. Banyak se- kali pertanyaan yang aku ajukan berkenaan dengan formulir itu, dia tak sabar dan langsung merenggutnya dariku.
“Ibu aja yang ngisi, kamu cukup jawab  pertanyaan Ibu, ya?” Lagi-lagi aku mengangguk. Ibu yang bertubuh besar itu sedikit tercengang memer- hatikan formulir yang sempat kuisi dengan namaku, Petir.
“Nama kamu, Petir?” Dia bertanya bingung. 
 “Ya Bu, nama saya, Petir.“
                    “Hanya Petir? Enggak ada yang lain? Misalnya Muhammad Petir atau Petir Kusuma?” 
                 Si Ibu masih tak percaya. Aku pun merasa aneh jika namaku Muhammad Petir atau Petir      Kusuma, namaku tak layak disandingkan dengan nama lain. Namaku sangat egois dan sombong, dia ingin berdiri sendiri saja, layak hantu yang tak berkawan.
“Petir aja Bu.... enggak ada yang lain.“ Aku menjawab pasrah, seperti biasa siap untuk di olok- olok.
“Nama yang bagus, semoga kamu ambil positif dari petir.” Si Ibu tersenyum ramah dan manis, menampakkan gigi depannya yang agak terselip. Aku lega sekaligus heran, apa maksudnya positif dari petir?
Kali pertama seumur hidup ada manusia aneh yang mengatakan namaku bagus, apakah itu sekadar basa-basi? Siapa peduli? Yang penting aku senang dan masih  punya  harapan  bahwa  namaku  tak seratus persen buruk dan menjadi sarang empuk bagi manusia yang kerjanya hanya mengolok-olok orang lain. Kebahagiaan mendaftar di SMP itu sampai terbawa tidur. Wajah ibu yang mengatakan namaku bagus itu terus terbayang, suaranya renyah dengan logat melayu yang kental. Badannya besar, matanya tajam dengan bulu mata yang lancip lurus, hidungnya bangir dengan bidang kening yang sempit tertutup jilbab. Kesan pertama duduk di meja panjang itu sangat tak mengenakkan, tapi semua mencair ketika matanya menatapku dan mulai berbicara. Kelak, ibu inilah yang mengubah seratus persen jalan hidupku, cita-citaku dan pandanganku kepada Emak, perempuan yang telah melahirkan dan membesarkanku.

Bersambung ya pren... :)
ni baru pembukaan... 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar