Bagian 1:
Emak, The Best Woman in The Word
Tentang Petir
PETIR untuk sebuah nama? Sangat aneh, janggal dan asing. Tapi itu adalah
namaku, tanpa embel-embel apa pun. Jika pun nanti
aku
menyelesaikan studiku, bertambah sedikitlah embel-embel itu menjadi Petir,
S.H. Nama ini
sudah menimbulkan banyak masalah
bagiku, masalah ma- sa
kanak-kanak yang tak tertanggungkan. Aku adalah umpan olok-olok teman sebaya atas
keanehan namaku itu. Tak jarang
aku menangis, tersedu-sedu sambil meredakan kesal akan tingkah temanku yang kurasa keterlaluan. Anak
lain yang ingin mengolok-olok temannya biasanya mencari tahu siapa nama ayah temannya itu. Di sela-sela bermain, mereka akan menyebut nama ayah temannya sebagai bahan olok-olok. Pertempuran akan tumpah, sumpah serapah terjadi, terkadang bila emosi memuncak dan mereka sudah sahut menyahut menyebutkan nama ayahnya, terjadilah
baku hantam. Tapi
itu adalah masa kanak-kanak, esoknya
kami akan kembali bermain
seakan tak pernah
terjadi apapun di hari sebelumnya.
Khusus untukku, mereka
tentu saja tak perlu
mencari tahu nama ayahku. Karena
ayah sudah lama beristirahat di rumah Tuhan yang lebih mencin-
tainya. Menurut keterangan Badrul sahabat kecilku, orang yang sudah meninggal tak boleh di
sebut- sebut apalagi di olok-olok. Arwahnya
akan bangkit dan menyapa orang yang menyebut-nyebut
namanya, makanya sahabatku ini ketakutan. Lagi pula, tanpa harus
tahu nama ayahku,
namaku sudah cukup memuaskan nafsu mereka untuk mengejek ku setiap waktu. Jika hujan datang, mereka
akan menjerit “Awas petirrrr!” Jika panas menderu-deru mereka juga berteriak “Awas petirrrrr!” Petir akan
selalu hadir dalam
panas dan hujan.
Tapi memang begitulah keadaannya, aku ada dalam
panas maupun hujan.
Perihal nama itu, aku pernah bertanya pada emak.
“Mak, mengapa namaku Petir?“
“Kau lahir ketika hujan turun dengan deras dan
petir sambar-menyambar.”
“Lalu, Emak memberiku nama Petir? “ “Ya.”
“Mengapa Emak tidak memberiku nama Guruh atau Guntur? Artinya
kan sama? “
“Tidak Tir, Emak tak mau namamu sama dengan anak lain. Biarlah namamu Petir, tidak umum.“
“Ah, Emak. Aku selalu jadi bahan olok-olok, Mak. Tiap hari sakit
hatiku.“
“Kelak, kau bersyukur dengan namamu. Percayalah.”
Itu adalah dialogku dan emak pada saat aku masih SD. Aku selalu protes
atas kemalangan akibat nama itu. Aku sama sekali
tak percaya diri,
tubuh kecilku semakin mengerut.
Aku selalu menyesali diri, ketika jongkok di kamar mandi
sampai tidur pun aku merasa orang yang malang.
Emak selalu meyakinkanku tentang
nama yang sudah
melekat itu,
bahwa namaku sangat
hebat. Aku ingin marah,
apa hebatnya petir?
Bikin takut saja. Suara petir sangat menakutkan, membuat
orang merinding dan sakit jantung sampai terkencing-kencing.
Belum lagi petir dengan kejam menyambar orang di la- pangan terbuka dan berdiri di ketinggian sampai hangus dan mati. Bukankah petir
itu kejam dan menakutkan?
Di daerahku, ada satu suku yang suka memberi
nama anak sesuai
apa yang terjadi
pada waktu kelahirannya. Ketika anaknya lahir dia
memegang sendok, maka Sendok lah namanya. Ketika
anaknya lahir dalam keadaan
aman, maka Aman lah namanya.
Ketika anaknya lahir seiring dengan lembu
yang
lahir juga, maka
Lembu lah namanya.
Ini sudah berlaku
sejak zaman nenek
moyang mereka. Ketika zaman sudah modern seperti sekarang, hal itu sudah mulai berkurang. Kecuali orang yang masih berpegang teguh pada tradisi dan keras
kepala yang masih
dianutnya. Tapi, mereka
adalah petarung yang sukses.
Punya anak keturunan yang berhasil dalam
bisnis, politik maupun
pendidikan.
Tapi, aku bukanlah
dari suku itu.
Emakku Melayu Deli
dan ayahku Aceh
tulen, mengapa mereka menuruti tradisi yang bukan dianut nenek moyangku sendiri? Lagi-lagi menurut
cerita emak, itu adalah andil
si dukun beranak. Ketika aku lahir,
disambutnya aku sambil
latah ketika petir
menyambar “Petiiirrr” itu dia sebut berulang-ulang. Lalu dengan seenaknya dia bilang “ Udah
Laili, nama anakmu Petir saja, dia pasti akan jadi anak hebat
dan kuat.” Begitu lancang mulutnya mengatur emak, seakan dia yang sudah
melahirkanku dan berhak memberiku nama. Justru
yang lebih malang adalah emak mengangguk terpengaruh oleh dukun beranak yang mulutnya merah karena sirih dan tembakau itu. Kata emak, dia
ingin aku menjadi anak hebat dan kuat seperti apa yang dikatakan dukun beranak itu. Ah, Emak. Bukankah banyak nama hebat lain? Mengapa
harus Petir? Ahhh...
Memasuki SMP, aku mendaftar di Sekolah
Swasta. Aku mendaftar di sebuah SMP Swasta berbasis perguruan Islam. Emak
berharap, aku menjadi anak yang saleh
dan mampu hidup
melawan arus yang katanya
semakin gila. Hari
pendaftaran, aku duduk di meja pendaftaran yang panjang. Seorang Ibu menyodorkanku formulir, wajahnya tampak
tak begitu ramah, badannya tinggi besar, matanya tajam dengan bulu mata runcing-runcing lurus,
kulitnya kuning langsat.
“Formulirnya isi sendiri, ya?“ sapanya padaku mencoba ramah. Aku hanya mengangguk, mengambil lembar itu dan mulai mengisinya. Banyak se- kali pertanyaan yang aku ajukan
berkenaan dengan formulir itu, dia tak sabar dan langsung
merenggutnya dariku.
“Ibu aja yang ngisi, kamu cukup jawab pertanyaan
Ibu, ya?” Lagi-lagi aku mengangguk. Ibu yang bertubuh
besar itu sedikit
tercengang memer- hatikan formulir yang
sempat kuisi dengan
namaku, Petir.
“Nama
kamu, Petir?” Dia bertanya bingung.
“Ya Bu, nama saya,
Petir.“
Si Ibu masih tak percaya. Aku pun merasa aneh jika namaku Muhammad Petir atau Petir Kusuma, namaku tak layak disandingkan dengan nama lain. Namaku sangat egois dan sombong, dia ingin berdiri sendiri saja, layak hantu yang tak berkawan.
“Petir aja Bu.... enggak
ada yang lain.“
Aku menjawab pasrah, seperti biasa siap
untuk di olok- olok.
“Nama yang bagus,
semoga kamu ambil positif
dari petir.” Si Ibu tersenyum ramah dan manis,
menampakkan gigi depannya yang agak terselip. Aku lega sekaligus heran, apa maksudnya positif dari petir?
Kali pertama seumur
hidup ada manusia
aneh yang mengatakan namaku bagus, apakah
itu sekadar
basa-basi? Siapa peduli?
Yang penting aku senang dan masih punya harapan
bahwa namaku tak seratus persen buruk dan menjadi sarang
empuk bagi manusia yang kerjanya hanya
mengolok-olok orang lain. Kebahagiaan mendaftar di SMP itu
sampai terbawa tidur.
Wajah ibu yang mengatakan
namaku bagus itu terus terbayang, suaranya renyah
dengan logat melayu yang kental.
Badannya besar, matanya tajam
dengan bulu mata yang lancip
lurus, hidungnya bangir dengan bidang kening yang sempit tertutup
jilbab. Kesan pertama
duduk di meja
panjang itu sangat
tak mengenakkan, tapi semua
mencair ketika matanya menatapku dan mulai berbicara. Kelak, ibu inilah yang mengubah seratus persen jalan hidupku,
cita-citaku dan pandanganku kepada Emak, perempuan yang telah melahirkan dan membesarkanku.
ni baru pembukaan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar