Kamis, 22 Februari 2018

MENJEMPUT IMPIAN DI KEUKENHOF (3)



CAHAYA MATA  (3)

Anak yatim, itu gelarku. Semenjak lahir aku sudah tak mengenal Ayah, lidahku tak pernah terlatih untuk memanggil seorang lelaki dengan sebutan Ayah. Yang aku tahu dalam hidupku hanya Emak, sosok perempuan yang sama sekali tidak aku takuti. Emak hanya punya satu saudara laki-laki yang telah meninggal pula, Wak Junaedi namanya. Wak Junaedi meninggal kala usiaku lima tahun, masih dalam keadaan bujang karat yang otomatis tak punya keturunan. Tentang Ayahku, aku tak tahu banyak. Menurut cerita Emak, Ayah juga sebatang kara karena keturunan Ibu Bapaknya habis di bantai tentara sewaktu perang DI/TII di Aceh. Selanjutnya lagi, sisa keturunan yang lain habis di babat tentara saat DOM atau jikapun masih ada, mungkin sudah di hapus tsunami. Sebab itulah Emak tak bisa menggantungkan diri pada siapapun untuk membesarkan aku. Keringatnya adalah nafasku.
            Emak selalu mewanti-wanti, jika nanti aku dewasa dan punya keluarga. Anakku harus banyak, tak boleh kurang dari lima atau bila dapat aku harus punya anak dua belas. Aku melotot tercekik, perempuan mana nanti yang mau disuruh beranak dua belas? Bisa-bisa aku juga jadi bujang karat seperti Wak Junaedi yang mati sebelum merasakan pelukan perempuan. Tapi aku bisa maklum karena kepedihan yang dirasakan Emak yang tak punya saudara. Membesarkan aku seorang diri, tanpa ada tempat bercurah pendapat. Merasakan getirnya hidup dengan anak lelakinya yang nakal.
            Karena tak pernah mengenal sosok Ayah lah mungkin membuat hidupku agak timpang. Aku tak pernah takut pada Emak. Emak tak pernah marah atau berlaku kasar padaku, aku adalah permatanya. Jikapun aku berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi lagi kenakalan masa SMP ku, itu karena semata rasa sayang pada Emak. Sayang yang dalam dan luar biasa, tak dapat aku ungkapkan dengan kata-kata. Ini sangat terbukti, jika Emak sakit, badan dan jiwaku lumpuh layu. Penyakit akutku kambuh, aku terkencing-kencing karena stres. Jika Emak tiada, kemana aku? Bagaimana hidupku? aku pun ingin mati saja. Padahal Emak Cuma batuk karena terpaan angin dini hari di Pasar.
            Selepas kejadian besar memalukan memegang dada teman perempuanku, Emak semakin hati-hati menghadapiku. Jika sore datang, emak menyuruhku segera mandi dan pergi mengaji ke rumah ustadz Syafri. Sejak SD aku memang sudah mengaji di balai depan rumah ustadz Syafri. Tapi Emak biasanya tak terlalu menuntutku, kulakukan saja sesukaku. Jika aku ingin mengaji aku akan pergi, jika tidak aku akan di rumah saja menonton TV, membaca komik atau belajar. Kemarin aku memperhatikan Emak serius bercakap-cakap dengan ustadz muda itu. Aku yakin Emak pasti membicarakan kenakalanku, mimik ustadz Syafri berubah-ubah. Sesekali dia tersenyum, tertawa dan terkadang manggut-manggut sambil mengelus jenggotnya. Aku mencuri-curi pandang ke arah mereka, dadaku menggelegak karena malu dan takut.
            Ustadz Syafri berkulit putih dihiasi bibir merah jambu segar layaknya perempuan. Rambutnya hitam pekat, sehitam janggut tipis dan alisnya. Matanya dalam dan tajam, lidahnya fasih melantunkan ayat alqur’an, suaranya merdu dan punya tubuh tinggi atletis. Ustadz Syafri adalah alumni pasantren terkenal di Jawa dan masih kuliah di IAIN, orangnya tenang dan tak banyak bicara. Banyak Ibu-ibu tergila-gila padanya, menjodohkannya dengan anak gadis mereka. Ustadz Syafri bergeming, Ibu-ibu semakin penasaran. Setahuku, ada beberapa perempuan tak tahu malu mendekatinya dengan berlagak alim. Wulan dan Sari mendadak memakai jilbab dan rajin mengaji. Tapi tetap saja di rumah pakai celana pendek dan tertawa terkakak-kakak, bukankah ustadz Syafri bukan pemuda bodoh? Jiwa remajaku berpendapat, pasti ustadz Syafri mencari perempuan yang tepat untuk menjadi pasangan hidupnya kelak. Tentu saja bukan perempuan alim dadakan yang tak jelas. Berjilbab tapi masih menebar gosip, tertawa ngakak, duduk kangkang atau ngupil dan kentut di depan orang. Dia masih menunggu atau mengintip perempuan yang tepat.
            Itu terjadi ketika aku sudah duduk di SMA dan telah menjadi asistennya. Ustadz Syafri menikah dengan seorang perempuan anak pemilik pesantren terkenal di Langkat, anak seorang Kyai. Nama perempuan itu Syifa Annadwa, nama yang cantik. Postur fisiknya hampir sempurna dan sangat cocok berdampingan dengan ustadz Syafri. Yang membuat aku terkagum-kagum adalah tutur bahasanya yang santun, senyum yang selalu mengembang, mata yang sangat sejuk dan teduh. Mungkin itulah yang dinamakan dengan aura, kecantikan yang terpancar dari dalam itu luar biasa menghipnotis. Perempuan itu tepat menjadi pendamping hidup ustadz Syafri, baik semua nasabnya, kecantikannya, agama dan hartanya.
            “ Aku ingin punya istri seperti Umi Syifa....” kataku pada Emak, ketika disuatu malam purnama kami duduk di depan rumah memperhatikan anak-anak bermain di gang sepulang mereka mengaji sambil menikmati ubi rebus hangat.
            “ Ehhehe, setuju. Dimana nanti dapatmu? “
            “ Entahlah Mak, ada lagi enggak ya? Perempuan seperti Umi Syifa nanti untuk jadi istriku....” ucapanku mengambang, waktu itu aku duduk di kelas dua SMA. Emak terkekeh-kekeh.
            “ Masih jauh Tir.... Tuhan masih sempat mempersiapkannya untukmu “ Emak masuk kedalam rumah sambil terus membawa senyumnya. Bahasa Emak mendadak indah sekali, Tuhan masih sempat mempersiapkan untukku karena waktuku yang masih panjang. Ada-ada saja Emak, pikirku ikut tersenyum.
            “ Mak... perempuan cantik begitu, mau enggak ya? Beranak dua belas...? “ kususul Emak kedalam rumah. Tawa Emak semakin mengembang, sedikit membahana.
            “ Kawin dua atau tiga aja, biar anakmu banyak, hahaha “ Tawa Emak semakin keras, aku ikut tertawa. Beristri banyak? Ah... Emak, aku tak pernah memikirkannya.
            Awal kepulangan Ustadz Syafri dari pesantren dia mulai mengumpulkan anak-anak di sekitar rumah orangtuanya yang biasa kami panggil Wak Haji. Mungkin dia jengah melihat kami anak-anak bengal yang keliaran pada remang petang, sementara orangtua menjerit-jerit menyuruh kami pulang diabaikan. Awalnya hanya ada tujuh orang, termasuk aku salah satunya. Ustadz Syafri mengajarkan kami membaca Alqur’an, sholat dan ibadah lainnya. Yang menarik, setiap malam minggu Wak Haji menyiapkan kami kudapan. Ada jagung rebus, pisang rebus, singkong rebus atau roti kering. Maka, ramailah anak-anak datang mengaji sehingga terkadang Ustadz Syafri turun tangan. Ruangan keluarga yang digunakan untuk mengaji tak lagi muat, di buatlah balai-balai di depan rumah untuk menampung lima puluh anak.
            Kami libur mengaji hanya pada malam Jum’at karena Ustadz Syafri pergi wirid yasin. Malam minggu kami tetap mengaji di tambah lagi akan mendapatkan suguhan enak dari Wak Haji, maka ramailah balai itu dengan anak-anak bengal lapar yang seakan tak pernah di kasi makan oleh ibunya sendiri. Wak haji tersenyum menghadapi kami, mungkin dia suka melihat keramaian anak-anak atau karena suguhannya terasa bermakna, entahlah.
            Karena jumlah kami yang semakin banyak, kami belajar secara berkelompok dan masing-masing kelompok punya pembimbing sendiri. Siapa yang pintar, dia akan menjadi pembimbing kelompok. Aku belajar dari kelas enam SD dan mulai menjadi pembimbing kelompok ketika kelas tiga SMP, ketika suaraku sudah semakin berat dan mulai berjakun.  Aku benci pada suaraku sendiri yang terasa sulit sekali dikendalikan. Jika bicara, aku merasa itu bukanlah suaraku, seperti mendengar suara orang lain. Ustadz Syafri jarang bicara, kami sangat segan pada Ustadz muda ganteng itu. Suaranya berat tapi merdu, dia cukup berdehem untuk menenangkan kami, tak perlu merepet seperti Emak-Emak kami.
 Setelah pembicaraan dengan Emak selepas kejadian memalukan itu, Ustadz Syafri mulai banyak berkata-kata. Setiap selesai pengajian, beliau menyampaikan nasehat yang menyejukkan jiwa. Tak jarang sepulang mengaji kami akan menyalami orangtua kami sambil menangis, sujud dalam sholat kami menangis, sebagian kami menjadi anak yang baik. Gang Rukun mulai dihuni anak-anak yang baik, tak lagi berkeliaran pada remang petang atau pulang tengah malam karena asyik bermain. Jikapun ada yang masih bengal, itu adalah keturunan karena Ibu Bapaknya yang tak kalah bengal atau mungkin saja karena makan dari hasil uang tak jelas. Seperti si Ali, masih saja bercakap kotor dan menyumpah serapah pada ibunya. Sumpah serapah ibu dan anak itu bersahut-sahutan seperti irama musik rock, kabarnya Ayah si Ali adalah Polisi yang suka menilang tanpa sebab. Bisa saja uang yang dibelanjakan Ibunya adalah uang kutukan, di kutuk orang-orang yang marah diajak berdamai ditengah jalan, entahlah. Yang jelas, ibu-ibu dan anak gadisnya semakin gila pada Ustadz muda itu, kemudian patah hati ketika Ustadz idolanya menikah dengan seorang perempuan cantik solihah.
Semenjak aku tau karena usia kesadaranku, Emak tak pernah ada ketika aku bangun pagi. Yang membangunkanku adalah jam weker yang telah diatur sedemikian rupa, berdering memekakkan telinga. Setelah itu aku akan segera mandi, memakai seragam sekolah yang telah dipersiapkan Emak diatas sebuah meja kecil di sudut kamarku. Jika semua beres, aku akan mengunci pintu dan berjalan ke pasar yang berjarak limaratus meter dari rumah. Di sana aku akan disuguhi Emak sarapan nasi gurih dan segelas susu, aku makan sambil memperhatikan Emak yang berjualan sayur segar. Setelah itu, Emak akan memberiku uang saku, mengelus kepalaku dengan mata penuh harapan pada anak bujang semata wayang. Aku menyalami Emak, mencium tangan dan pipinya dengan takjim dan berangkat sekolah. Semua mata seakan memandangku, itulah yang kulakukan dari awal kesadaranku sampai aku kelas tiga SMP.
Aku selalu bertanya pada Emak, sejarah masa bayiku. Emak tak mau bercerita banyak, matanya seakan menyimpan sejarah pedih. Aku ingin tau, jika Emak berjualan di pasar aku di titip pada siapa? Ternyata cerita sejarah itu kudapat dari Ompung Purba, nenek centil berbibir merah karena sirih itu berjualan sayur di samping Emak. Mereka dekat ibarat saudara, tak pernah ada iri atau dengki. Padahal jenis yang di jual Emak dan Ompung Purba sama, mereka sangat sportif.
“ Dari bayi kau sudah dibawanya jualan...” Ompung Purba memulai sejarah itu, aku berdebar.
“ Habis melahirkan kau, waktu itu umurmu baru dua bulan. Emakmu pagi buta berjalan di pasar ini, tak punya tujuan. Ku tengok dia mondar-mandir tak punya arah, bukan mau belanja. Kau menangis dalam gendongannya, orang-orang mulai memperhatikan Emakmu “ Ompung Purba menarik nafas panjang, seakan mengumpulkan kekuatan untuk dapat menceritakan sejarah penting itu.
“ Mendengar suara bayi menangis, aku tak bisa menahan diri. Ku tanya keperluan Emakmu, dia malah menangis di hadapanku....” Ompung Purba membuang ludahnya yang merah sebelum melanjutkan cerita.
“ Dia bingung mau kerja apa untuk membiayai hidup kalian, dia janda dan tak punya apa-apa, juga tak punya saudara. Awalnya Emakmu mau mencari sayur yang tak dipakai atau sisa-sisa jualan untuk dibawa pulang dan di rebus. Tapi dia bingung untuk memulai dari mana, jadilah Emakmu berjalan tak tahu arah “
“ Akhirnya Ompung tawari Emakmu jualan sayur di sini, kebetulan di samping ompung ada tempat kosong. Awalnya, ompung yang modali Emakmu sampai dia bisa berdiri sendiri...” Ompung Purba menghapus matanya yang merah, mungkin dia teringat Emak dan bayinya waktu itu.
“ Waktu Emak mulai jualan, aku dititipkan dimana Pung?” tanyaku sedih bercampur penasaran.
“ Kau tetap dibawanya setiap subuh, kau tetap digendongnya supaya tetap hangat dan kau terus menyusu di balik kain gendonganmu yang rapat. Tak pernah kau ditinggalkannya sebentarpun. Kurasa... berak pun kau dibawanya!” Ompung Purba tersenyum, mencoba membuat lelucon. Aku sama sekali tak tersenyum, melainkan merasakan suatu kepedihan yang menyayat. Aku memang tak pernah duduk di bangku TK, karena aku masih di bawa Emak berjualan ke pasar. SD aku baru mulai melakukan rutinitas pagi seperti yang kuceritakan tadi. Keadaan agaknya membuatku mandiri, atau terpaksa mandiri.
Cinta dan sayangku pada Emak bertambah-tambah, betapa besar pengorbanan perempuan ini untukku, untuk masa depanku. Kenakalan kelas dua SMP ku kubur dalam-dalam, ku bakar tanpa sisa, kubuang semua. Aku tak boleh menambah airmata Emak jatuh, aku harus menjadi cahaya matanya yang dapat membahagiakannya. Selesai SMP ku yang bersejarah itu, aku mulai membantu Emak jualan di Pasar. Emak menolak karena takut aku akan terkantuk-kantuk di sekolah. Aku tak peduli, aku harus mampu meringankan bebannya. Sahabat percaya? Aku dapat bersekolah di  SMA Negeri favorit dan prestasi belajarku yang mengagumkan. Siswa kaya diantar orangtuanya naik mobil dan mengikuti les di tempat elite takluk kubuat! Itu semata karena semangat yang sangat dahsyat, semangat untuk membahagiakan Emak. Perempuan yang ingin kubuat matanya selalu bercahaya karena bahagia.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar