Jumat, 27 Juli 2012

CERPEN "PESONA KERUPUK"

PESONA KERUPUK Rahimah Ib “Mama....laparr,” si bungsu mulai merengek. “Sebentar, ya sayang? Tuh ada permen, minum air putih aja dulu,” Annisa konsentrasi dibelakang stir. Annisa menarik nafas panjang, pukul empat sore, si bungsu memang punya selera makan yang sangat baik. Makan tak mengenal waktu, tubuhnyapun sangat subur. “Tapi Fari mau makan, Mama.Bukan mau minum.” “Kak Fa....masih ada roti?,” Annisa bertanya pada si sulung, yang mulai terganggu dengan rengekan adiknya. “Enggak ada, Ma. Habis,” “Mama....lapar,” “Sebentar sayang...orang sabar disayang Allah, ya?” Annisa mulai membujuk si bungsu yang mulai merajuk. “Rafi tuh Ma!. Makan aja yang dipikirin!, tadi di Sekolah jajannya juga udah banyak!,” Fara bersuara keras, jengkel. Suara mereka bersahut-sahutan. Suasana semakin tak nyaman, Annisa mencoba bersabar. Di lampu merah, mata Annisa tertumpu pada seorang pedagang kerupuk. “Kita beli kerupuk, ya? Kayaknya enak tuh, mau kan?,” cepat-cepat Fari mengangguk. Bibirnya ditarik tiga senti, tersenyum. Annisa menurunkan kaca jendela mobil, melambai kearah penjual kerupuk, lelaki itu mendekat. “Kerupuk, Ibu?,” suara yang sopan diiringi senyum yang luar biasa. Annisa tertegun. “Iya, Bang. Berapa?,” “Sepuluh ribu, Ibu. Untuk kebahagian pemuda kecil disamping Ibu,” senyum yang ramah dan ikhlas. Dia tersenyum kearah Fari, anak lelaki tujuh tahun itu tersenyum, seakan laparnya menguap naik keawan. Fari merasa bangga, disapa pemuda kecil. Suara dan bahasa lelaki penjuak kerupuk itu seharusnya diletakkan ditempat yang terhormat, suara dan senyum pesona berkelas. “Eh..iya, dua ya?,” Annisa menyerahkan uang dua puluh ribuan. Lelaki itu menerima dengan sopan dan senyum tetap mengembang. “Terimakasih,Ibu. Semoga selamat sampai rumah, dan kerupuk saya membawa berkah untuk pemuda kecil ini,” lelaki itu berlalu. Annisa masih tercenung, apa yang dikatakan lelaki itu adalah hal biasa yang tidak terlalu istimewa. Bukankah pedagang mencari simpati pelanggan?, itu sudah basi. Tapi tidak dengan lelaki yang ditemui hari ini, senyumnya penuh keikhlasan, cahaya matanya penuh dengan kehangatan, memandang Fari seperti pandangan seorang Ayah pada anaknya, tulus. “Mama!, lampunya sudah hijau!,” Fara berteriak dari jok belakang, Annisa tergeragap, klakson bertubi-tubi dari arah belakang, sopir angkot berteriak kasar. Annisa cepat-cepat menginjak gas, inilah Medan...batinnya. Semua orang tampak keras dan kasar, senyum si penjual kerupuk tadi terasa bagai embun muncul di siang hari. Langka, dan pasti tak pernah ada. Malam hari, senyum penjual kerupuk menjadi tema pembicaraan di kamar. Annisa berapi-api bercerita, suaminya yang tenang hanya senyum-senyum. “Sangat berkesan ya, Ma?,” “Iya, Pa. Gaya bicaranya seperti eksekutif, senyumnya tuluuus banget. Cocok jika dia berhadapan dengan costumer, semuanya pasti terkesan. Perusahaan beruntung punya karyawan seperti itu,” Annisa masih berapi-api. Ada juga harapan yang muncul tiba-tiba, siapa tahu suaminya ingin menolong lelaki itu. Mengangkatnya sebagai karyawan, bukankah lelaki itu punya pesona eksekutif?. Suaminya menutup buku yang sedang dibacanya, menatap dirinya dengan serius. “Itu tidak sesederhana yang Mama pikir. Bagaimana dengan pendidikannya? Pola pikirnya?. Yang Mama lihat itu hanya kulit luar, Mama kan ketemu di lampu merah, dalam hitungan detik saja. Jangan terlalu dipikirkan, nanti Papa enggak bisa tidur.” Suaminya mulai mengerling jenaka, Annisa melempar bantal dan terkekeh. Hari-hari berikutnya di lampu merah, kerupuk menjadi sajian spesial diperjalanan pulang. Padahal selama ini Annisa sangat selektif memilih makanan untuk anak-anaknya. Kerupuk adalah jenis makanan yang digoreng, bukankah minyak goreng sekarang sangat mengkhawatirkan?. Ada minyak goreng yang dibeningkan dengan plastik, agar minyak bekas yang berwarna gelap menjadi bening dan makanan yang digoreng garing. Atau minyak goreng yang dicampur lilin, agar makanan yang digoreng kelihatan cantik mengkilat. Annisa merinding, tapi pesona senyum sipenjual kerupuk telah mampu meluluh lantakkan prinsipnya. Senyum tulus, bahasa sopan yang membuat dirinya terharu setiap hari. Memandang si penjual kerupuk yang tak pernah merasa lelah, senyum tetap mengembang, seakan Allah menciptakannya hanya untuk tersenyum. Jika hari hujan, Annisa dan anak-anaknya akan kehilangan. Mencari-cari sipenjual kerupuk yang sedang berteduh di emperan pertokoan. Pernah juga mereka membeli kerupuk pada pedagang lain, tapi anak-anaknya protes karena kerupuknya tidak enak seperti kerupuk “oom jenggot”. Anak-anaknya menggelar lelaki itu dengan “Oom Jenggot” karena lelaki itu memang memiliki sedikit jenggot di dagunya. Annisa bingung mengapa rasa kerupuk itu bisa berbeda, Annisa sudah meneliti merek yang ada di plastik pembungkus. Sama saja. Kesimpulannya adalah lelaki itu menjual dengan ketulusan, senyum keikhlasan. Sama juga seperti makanan yang dihidangkan dengan senyum dan cinta, pasti berbeda dengan makanan yang dihidangkan dengan amarah atau cuek. Walau itu dari jenis yang sama. Satu kilometer menjelang lampu merah, jalanan macet parah. Annisa menarik nafas panjang, mencoba menenangkan dua anaknya yang sudah gelisah, berharap dapat segera menyapa “Oom jenggotnya”. Tapi kemacetan ini diluar kebiasaan, banyak orang berlarian kearah lampu traffic light, beberapa orang berbincang-bincang di pinggir jalan. Sepertinya ada yang tidak beres di depan sana, batin Annisa. “Ada apa, Dik?,” Annisa melongok keluar dari jendela mobil, bertanya kepada pemuda yang ingin menyeberang melintas dari depan mobilnya. “Kecelakaan, Bu!,” “Mobil atau sepeda motor, Dik?,” Annisa cemas, karena suaminya juga selalu melintasi jalan yang sama dengannya setiap hari. “Penjual kerupuk, Bu. Kakinya disambar truk..,” Annisa lunglai, ia lupa mengucapkan terimakasih pada pemuda yang sudah memberinya informasi. Pedagang kerupuk? Apakah lelaki yang punya senyum tulus dan membuat dia dan anak-anaknya jatuh hati?. Annisa terus berdo’a dalam hati, semoga bukan. Semoga Allah tidak lebih memberi cobaan pada lelaki itu, lelaki yang sangat ikhlas menjalani kehidupannya, keikhlasan yang terpancar dari senyumnya. Annisa tidak pernah lagi melihat si penjual kerupuk yang punya senyum ikhlas itu. Anak-anak kehilangan sosok “Oom Jenggot” yang tersenyum ramah menyapa, memanggil Rafi dengan “pemuda kecil”atau menyapa Fara dengan “gadis cantik”. Rutinitas membeli kerupuk pada perjalanan pulang tidak lagi dilakukan, anak-anak tidak mau kerupuk yang dijual pedagang lain. Jendela mobil tidak lagi dibuka pada Traffic Light, semua dingin. Sudah tiga bulan. Hati Annisa mengatakan, bahwa kecelakaan tempo hari telah menimpa “Oom Jenggot” anak-anaknya. Tapi dia sama sekali tidak tahu harus mencari kemana. Betapa Annisa merasakan kesia-siaan, ingin menolong tapi tidak menyegerakan, mengapa ia harus menunda untuk mengetahui tentang lelaki itu lebih banyak?. Bertanya sejenak tentang keluarganya, atau bertanya siapa namanya, atau dimana alamatnya?. Bukankah suaminya yang memiliki perusahaan besar mampu mempekerjakan lelaki tulus itu?. Mengapa menunda? Mengapa?. Lampu traffic light menyala merah, angka seratus dua puluh enam, Annisa menetralkan porsneling. Jendela mobil diketuk seseorang, Annisa menoleh dan segera menurunkan kaca jendela. “Assalamu’alaikumIbu,beli kerupuk?,” wajah berbingkai senyum tulus itu! Dia di sini!. “Oom Jenggot!! ,” Anak-anak berebut mencondongkan wajah ke kaca jendela depan, menyapa lelaki bersenyum tulus itu. Tapi Annisa ingin menangis, ada sesuatu yang berbeda. Lelaki itu menopang tubuhnya dengan tongkat diketiaknya, kakinya hanya satu yang sempurnamenopangtubuhnya. Sebelahkirihanyasebataspaha. “Oom... kaki Oom kenapa?,” Rafi merasa aneh terhadap pemandangan ini. “Ohh...sudah diambil Allah, karena Oom enggak hati-hati. Kamu pemuda kecil, harus hati-hati ya?.” Senyum itu tidak pernah berubah, walau lelaki itu sudah berkaki satu. Senyum tulus ikhlas tetap terpancar, membawa plastik berisi kerupuk dengan satu kaki bertopang kruk. Annisa meneteskan air mata, tak sepantasnya lelaki tulus itu disini. Ia harus menolongnya, segera! Tidak bisa lagi ditunda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar