Kamis, 26 Juli 2012

CERITA RAMADHAN 2

PEMANDANGAN MIRIS Ramadhan mulia, selalu membawa cerita. Selepas subuh, matahari belum muncul. Aku dan suami bergerak untuk silaturrahim ke rumah teman sekaligus membicarakan beberapa urusan. Langit masih pucat, udara sejuk, angin semilir terasa nikmat di bulan Ramadhan. Belum jauh dari rumah, pemandangan tak sedap sudah menghadang mata, kucoba beristighfar dalam hati, semoga Allah menguatkan aku untuk tidak membahas pemandangan itu. Ah..beberapa pasang insan berkendaraan motor berpelukan tanpa beban, adduhh..bagaimana puasanya?. Jarak beberapa kilometer, kembali ditemukan tiga orang ABG berkendaraan motor memakai celana pendek yang ketika dia duduk nyaris seperti memakai celana dalam. Ya..Allah, gejala apa ini?. Kepalaku berdenyut-denyut, suami hanya berdecap sambil menggeleng-gelengkan kepala. Seingatku, ketika aku remaja, memang ada istilah “Asbuh” alias Asmara Subuh. Selepas sholat subuh, kami masih sempat tadarus di Mesjid. Kemudian kami jalan-jalan bersama teman, masih memakai sarung dan mukena. Memang laki-laki bersama kaumnya, dan perempuan begitu juga. Jika ada yang naksir, pakai ‘mak comblang’. Tapi, kawan…tak ada istilah boncengan, apalagi berpelukan pinggang layaknya suami istri. Ya Allah…zaman apa ini? Aku hanya bisa berdo’a semoga Allah melindungi anak dan generasiku dari kerendahan moral. Entahlah… Menjelang siang, kami pergi berbelanja, karena Alhamdulillah ada sedikit rezeki yang bisa dibelanjakan untuk keperluan lebaran anak-anak. Kami mendiskusikan tempat belanja, Ayah berpendapat kami sebaiknya berbelanja di Mall saja. Karena tempatnya nyaman, sehingga diharapkan anak-anak (terutama si bungsu) tidak tergoda puasanya karena haus dan lapar. Baiklah, mobil meluncur ke sebuah pusat perbelanjaan besar di kotaku. Sebelumnya kami singgah dulu ke Mesjid besar sekitar pusat perbelanjaan, menunaikan sholat Zuhur. Setelah itu kami kembali bergerak menuju Pusat Perbelanjaan yang dimaksud. Duhai…apa yang terjadi? Masih berjarak beberapa meter dari pintu masuk, aroma makanan sudah menyergap. Aroma kentang dan ayam di goreng, roti yang baru keluar dari oven sudah menyergap dan menari-nari di depan hidung. Betul, si bungsu sudah mendengus-dengus, tapi tak berani berkata apa-apa. Kami memaklumi saja dan pura-pura tidak tahu. Di dalam, food court juga tak berpengaruh pada suasana Ramadhan, resto-resto penuh, si bungsu mulai mengeluh, ah..beratnya. Di Departmen Store, lain lagi. Harga baju selangit, modelnya juga tidak terlalu bagus walau dari segi kualitas memang baik. Selera gadis remajaku memang ‘mengerikan’ aku harus mengeluarkan uang lima ratus ribu hanya untuk tiga potong atasan, peeuhh. Baiklah, tak mungkin diteruskan, ini bukan area kita. Tanpa basa-basi aku mengajak suami beralih saja ke pasar tradisional, aku harus logis untuk memenuhi kebutuhan empat anakku. Untuk menjaga keamanan puasa si bungsu, hanya aku dan kakak-kakaknya saja yang turun belanja, sementara si bungsu dan Ayahnya kembali ke Mesjid. Mesjid, adalah tempat yang sejuk dan nyaman untuk ibadah sekaligus beristirahat, si bungsu diajak menyimak ayahnya membaca Alquran. Alhamdulillah, di pasar tradisional semua didapat dengan murah dan kualitas yang bagus dan layak. Semua kebagian keperluan lebaran, syukurlah. Anak-anakpun menjadi senang dan tak mengeluhkan capek mutar-mutar pasar karena mamanya cerewet menawar harga (hihihi penyakit emak-emak).yOOK...nanti ada cerita Ramadhan lainnya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar