Aku,
Hafeed, Tarjo dan Kurniawan baru saja memarkir sepeda di samping belakang Indescheelatte Restoran. Lenny menyambut kami dengan tergopoh-gopoh, wajahnya cerah memerah.
“Kita jadi ke Kaukenhof,
Mr.Lamek udah telepon,
besok dia nyampe dari Ausi”
Lenny terengah-engah, Hafeed mengernyitkan alis.
“Kok, enggak telepon saya ya?”
“Tadi, barusan aja beliau telepon, mungkin mau kasi kejutan” Hafeed melirik jam tangannya, jam tujuh pagi, artinya di Ausi jam dua siang.
“Aduuh…enggak sabar lihat hamparan Tulip”
“Katanya Mba Lenny udah sering tuh ke Kaukenhof,
masih maruk aja..” Tarjo nyeletuk ringan,
Lenny melotot.
“Ampe kapanpun,
aku tetap maruk. Itu taman
paling indah di dunia tau? Itu tempat favoritku dan Evan tiap musim semi”
“Iya..iya…trus suami dibawa juga..”
“Always…dia enggak boleh tinggal!”
“Lho Mba..enggak boleh bawa pasangan” Tarjo menimpali, sedikit mencibir.
“Emang
kenapa?”
“Khusus
buat kita aja, Evan enggak termasuk”
“Masa
sih?”
“Iya,
kami suka risih lihat Mba kayak bule beneran, cium-cium, peluk-peluk” Tarjo
pura-pura serius, Lenny cemberut.
“Evan
kan suamiku Jo, kalo orang lain ya...enggak akan. Masa mesra ama suami
dilarang?” Lenny menjelaskan alasannya. Kami terdiam dan saling berpandangan,
memang benar apa yang dikatakan Lenny, apa salahnya mesra dengan suami sendiri?
Hanya kami orang Indonesia asli, pemegang budaya yang kuat, budaya malu.
Hari
itu, gaung Kaukenhoof diantara kami semakin terasa membahana. Aku diam-diam
semakin penasaran, seperti apakah taman bunga yang dihebohkan itu?
****
Sore
cerah, angin semilir bertiup sejuk. Aku dan Chandra mendapat giliran pulang
cepat. Kami mengayuh sepeda dengan santai, menikmati sore, melewati jalanan yang lebar, memperhatikan anak-anak
bermain di lapangan bola kecil. Anak-anak itu bermain diatas rumput hijau, jika
musim gugur mereka menggunakan rumput sintetik. Di sekeliling lapangan kecil itu sebagian anak bermain skate board, tertawa riang. Ada juga
yang berselisih pendapat, saling memukul dan memaki, kemudian menangis. Aku
tersenyum sendiri, ternyata anak-anak dibelahan dunia manapun tetap sama. Bermain,
beradu urat leher,
tak berdaya kemudian menangis, selanjutnya berteman lagi,
melupakan semua kalimat buruk
yang sudah diucapkan. Kulirik Chandra, dia juga tersenyum, agaknya
pikirannya sama dengan pikiranku.
Di depan
rumah induk yang besar itu aku tercekat, aku hampir jatuh dari sepeda,
untunglah aku cepat menguasai diri. Aku berdiri tegak bagai batu, kaki dan
tanganku kaku. Benarkah apa yang kulihat di depan mataku ini adalah suatu
kenyataan? Kukedip-kedipkan mata, pandangan itu tetap tak berubah. Lelaki gagah
itu berjalan kearahku, merentangkan tangannya, ingin memelukku.
“Assalamu’alaikum Halilintar Perkasa
Alam, apa kabar sohib?” betul! Itu Zeiny! Ya Tuhan...Zeiny datang! Menempuh
jalan melintasi benua, duduk diam lima belas jam di angkasa raya, menemuiku
yang dibalut rindu! Kupeluk Zeiny kuat-kuat, menumpahkan rindu yang dalam,
Zeiny sudah cukup mewakili semua, Emak, Medan, Indonesia, atau istri orang itu,
Zahwa.
“Ya
Allah...Zeiny, ngapain kemari? Wah... udah banyak duit nampaknya”
“Enggak
juga, aku nemani Fikar liburan, semua gratis lah..” katanya dengan senyum
sumringah.
“Maulidya?”
“Dia
enggak bisa ikut, bayi kami belum bisa dibawa”
“Oya?
Waah... aku sudah punya ponakan, perempuan?”
“Enggak,
laki-laki, baru dua bulan”
“Siapa
namanya?”
“Halilintar”
“Lho...?”
“Kenapa?
Aneh?”
“Memang
enggak ada nama lain?”
“Sudahlah,
itu nama yang baik, sama seperti nama oomnya, Petir.” Zeiny mengedipkan
matanya, aku masih belum mengerti.
Malam,
aku menghabiskan waktu disalah satu kamar dirumah besar Mr.Lamek bersama Zeiny.
Cerita seakan tak ada habisnya, sebelum berangkat ke Rotterdam Zeiny menyempatkan diri menemui Emak. Zeiny menceritakan
suasana baru disekitar rumahku, Emak menitipkan sambal teri kacang yang enak.
Sambal teri, kacang dan tempe berwarna merah cerah, lezat dinikmati bersama
nasi hangat. Zeiny menyerahkan sepucuk surat, surat dari Emak.
“Buka
suratnya, Tir. Aku juga mau tau apa yang ditulis Emak” Zeiny menyuruhku untuk
membuka surat itu. Kusobek ujung amplop surat perlahan, kubuka. Aku tersenyum
memperhatikan tulisan Emak, tak beraturan dengan huruf kapital diletakkan
secara acak tak berkaedah bahasa. Seingatku, Emak hanya pernah sekali menulis
surat sakit ketika aku SD, setelah itu tidak lagi.
anakku
petir
alhamdulillah
nak, eMak Sehat. Semoga Kau juga sehat selalu diBawah linDungan allah.
Anakku,
emak kini tidak Lagi sendirian di rumah kita. Kau Ingat si saidah? gadis bisu
yang rumahnya dibelakang Rumah kiTa itu, anak wak udin? Yang tukang galas
pisang? Dia sekarang tinggal dirumah kita, karena ayahnya sudah meninggal dan
dia sendirian, saudaranya tak ada yang mau menerima. Emak pikir, biarlah dia
tinggal dirumah kita menjadi teman emak agar tak sendirian. Ternyata si saidah
itu rajin sekali, dia juga mau menemani emak jualan ke pajak. Cuman emak agak
susah bercakap, karena dia tuli dan bisu,
tapi tak apa karena emak lama-lama jadi pandai bahasa isyarat.
Anakku,
kabar lainnya. Wak sahara yang tinggal didepan gang rumah kita mau jual rumah,
dia tawarkan kepada emak. Rumah itu katanya rumah warisan, uang penjualan akan
dibagi rata, takut anaknya nanti berantam katanya. Kata pak kepling, ambil saja
karena rumah itu bukan rumah sengketa dan bagus jika ingin berjualan. Bagaimana
nak? Masalah uang, alhamdulillah tabungan kita cukup. Uang yang kau kirim tak
pernah emak gunakan untuk apapun, hasil keringatmu semua emak simpan. Emak juga
punya tabungan, karena emak hanya menghidupi diri emak sendiri dan sekarang
baru ada saiDah. Tapi nak, rasanya lebih lengkap lagi hidup emak jika kau punya
istri dan anak.
Anakku,
nanti kalau Zeiny pulang. Tulislah juga surat untuk emak, kirimkan fotomu,
kirimkan juga bajumu yang belum kau cuci, emak sangat rindu. Kalau kontrak
kerjamu selesai, pulanglah cepat dan segera menikah, emak merindukan cucu.
Nanti kau tulis juga pendapatmu tentang rumah itu ya? emak tunggu. Oya..emak
hanya sempat masak sambal teri kacang karena Zeiny datang tiba-tiba dan
tergesa. Semoga masakan emak bisa menjadi pengobat rindu.
saLam
riNdu
Emak
Mataku
panas, terasa sekali kerinduan Emak akan diriku, sama seperti yang aku rasakan.
Ucapan Emak melalui surat, memintaku menitipkan pakaian kotor berbau keringat
untuknya. Mengapa Emak tak melakukan yang sama? Menitipkan bajunya yang berbau
pajak untukku? Untuk kupeluk dan selalu merasakan kehadirannya? Mengapa pula
aku menjadi cengeng? Ahh...seperti gadis saja.
“Emak
masih yakin, kau punya kontrak kerja” Zeiny bersuara, nyaris berdeis. Aku
menunduk, berusaha menguasai hati dan mata yang terasa panas.
“Ya..aku
mengontrak diriku sendiri”aku bergumam sendiri.
“Aku
akan pulang, secepatnya, paling tidak, Emak sudah bisa membeli rumah”
“Hanya
rumah?” Zeiny mendongak, tajam menatapku. Aku diam
“Jangan
cengeng, pulang nanti kau harus punya bisnis, jaminan masa depan”
“Ya...
itu memang targetku Zein. Kau pikir aku cengeng? Aku kan pejuang, masa gini aja
cengeng?”aku bangkit,
menunjukkan semangat pada sahabatku ini.
“Masa?
Si Zahwa gimana?” aku tercekat, diam, kerongkonganku terasa kering.
“Sudahlah,
jangan dibahas ya? Itu masa lalu, dia sekarang sudah menikah”
Malam
beranjak larut, aku dan Zeiny berbagi ranjang, persis seperti yang pernah kami
jalani semasa kuliah dulu. Tapi tentu saja kini semua berbeda. Kamar ini sangat
mewah dibandingkan kamarku yang kusam, Zeiny telah menjadi seorang ayah yang
berbahagia, dan kami kini berada jauh dari Indonesia. Tak mampu aku memejamkan
mata, walau tubuh bergelayut lelah. Semua berkelabat dikepala, huruf-huruf yang
terburai tak berketentuan aku kutip satu persatu. Kucoba rangkai menjadi kata
BAGAIMANA PERJALANAN HIDUPKU SELANJUTNYA?
***
Selepas
sholat subuh aku kembali ke flat. Hafeed masih memakai gamis sholatnya,
wajahnya segar dibasuh wudhu’.
“Sudah
melepas rindu dengan sahabat?” Hafeed tersenyum, aku mengangguk.
“Alhamdulillah, aku bisa merasakan
kebahagiaanmu”
“Terimakasih,Feed”
“Aku bahkan lupa wajah sahabatku, aku hanya punya sahabat waktu kecil” wajah Hafeed suram, matanya menerawang.
“Aku bahkan lupa wajah sahabatku, aku hanya punya sahabat waktu kecil” wajah Hafeed suram, matanya menerawang.
“Sudahlah
Feed, enggak perlu berpikir macam-macam. Kami semua sahabatmu, saudaramu”
kutepuk bahu Hafeed, dia kembali tersenyum, wajahnya kembali cerah.
“Oya...
hari ini resto tutup, kita jadi ke Kaukenhoof. Siap melihat Tulip?”
“Bagaimana
rupanya?”
“Lihat
saja nanti, oke?”
Pagi
yang sibuk, lebih sibuk dari biasanya. Baru kali ini aku berjumpa dengan Tante
Diana, istri Mr. Lamek yang cantik. Perempuan paruh baya itu nampak cerah,
busananya membuatku terkejut, dia berhijab. Putrinya Audia membuatku lebih
terkejut lagi, berambut coklat gelombang, memakai tanktop hijau tua dan celana
bermuda berwarna moka. Audia berkulit putih, berhidung mancung dan bermata
biru. Sekilas, air mukanya mirip Maulidya istri Zeiny. Zulfikar? Sangat
berbeda, berkulit dan bermata coklat, bertubuh sedang seperti Mr. Lamek.
Mungkin saja warna kulit itu pengaruh daerah tempat tinggal, bukankah Zulfikar
tinggal di Aceh?
Aku
pernah mendengar cerita dari Hafeed. Mr.Lamek dan tante Diana ini sudah
berkali-kali melaksanakan ibadah haji. Hanya, haji di Belanda tak sama dengan
haji di Indonesia. Dengan kata lain, tak menggunakan gelar. Ada juga yang
menggunakannya, tapi tak banyak karena tak menjadi tradisi. Sesungguhnya,
Mr.Lamek sangat mencintai budaya dan tradisi Indonesia. Tapi bisnisnya membuat
dia harus terbang ke berbagai negara. Audia, putri sulungnya lebih cenderung
mengikuti pola hidup Eropa. Dia kuliah di Adelaide, Australia. Karena kekhawatiran pula, Mr.
Lamek memilih Zulfikar sekolah di Indonesia, lebih tepatnya di Banda Aceh.
Mr.Lamek berharap, Zulfikar menjadi pemuda Indonesia seutuhnya, tidak seperti
Audia yang sudah terlanjur terbentuk menjadi gadis Eropa.
Keluarga
Mr. Lamek nampak sangat demokratis, dan mampu menghargai orang lain dengan
baik. Audia dan Zulfikar ikut memasukkan aneka bekal kedalam bagasi mobil,
kakak adik itu terus bercanda sambil melepas rindu. Kami sering tersenyum geli
mendengar lidah Audia yang berat berbahasa Indonesia. Beberapa kali dia
memperbaiki kalimatnya, Zulfikar tertawa-tawa menggoda. Audia cemberut,
Zulfikar semakin tertawa lebar. Mr.Lamek dan tante Diana tersenyum sambil
geleng-geleng kepala.
Kaukenhoff
di Lisse kami tempuh selama satu setengah jam dari Rotterdam. Setelah
masing-masing menyerahkan tiket masuk, aku dihadang dengan pemandangan
menakjubkan. Benar, hamparan tulip berwarna-warni, ditata dengan sedemikian
rupa. Luar biasa, mengapa Tulip banyak sekali warnanya? Mulai merah, kuning,
ungu, pink, putih, hijau. Semua ditata berdasarkan kelompok warnanya, mataku
tak mau berkedip. Di Kaukenhoof juga ada sakura dan jenis bunga lainnya. Kami
sibuk berfoto-foto. Siang, kami makan dibawah kincir angin, menikmati sambal
teri kiriman Emak. Bekal kami ada nasi, roti dan cemilan lainnya. Nanti, aku
akan menulis surat untuk Emak dan melampirkan fotoku di Keukenhof dan di salju. Betapa bangganya Emak, anaknya
bekerja di benua Eropa dan saban bulan menerima euro. Emak tidak tahu, aku adalah
pelayan, melayani bule makan.
Menjelang sore, kami masih sempat menikmati
parade bunga di Corso Boulevard. Flower Parade berlangsung meriah, jalanan sangat ramai. Kami menyeruak keramaian agar dapat mencapai pinggir jalan. Kami
saling berpegangan tangan, Mr.Lamek dan tante
Diana agaknya menyerah dan pasrah dalam kerumunan
orang. Lenny dan Evan juga teman
yang lain entah kemana. Aku,
Hafeed, Zeiny, Tarjo, Fikar dan Audia saling berpegangan. Hafeed menyeruak jalan,
aku di belakangnya. Audya memegang tanganku kuat-kuat,
takut terlepas. Kami
sampai di pinggir jalan melihat Flower
Parade dengan leluasa. Audya melompat-lompat girang, aku dipeluknya kuat-kuat,
tangannya tak lepas dari tanganku. Aku berdebar-debar, seumur hidup, baru kali ini aku dipeluk perempuan selain ibuku. Oleh seorang perempuan,
berpakaian terbuka pula,
beeeuuuhhh….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar