Senin, 19 Maret 2018

MENJEMPUT IMPIAN DI KEUKENHOF (6)


PEREMPUAN DENGAN PIPI MERAH MUDA (6)
Perempuan itu bernama Zahwa. Secara fisik, dia cukup menggetarkan jiwa lelaki normal. Walau Zahwa berpakaian tertutup, auranya tetap terpancar berjarak ratusan meter. Aku bisa menggambarkan Zahwa sebagai perempuan yang nyaris sempurna. Berpostur tinggi, kulit telapak tangan yang putih mulus didampingi kuku putih bersih yang cantik. Wajahnya bujur sirih, dihiasi hidung mancung dan mata teduh yang di bingkai alis tebal yang rapi. Ada beberapa noda benjolan di pipinya berwarna merah muda, tidak banyak dan terkadang  hilang sesaat. Menurut cerita Emak, perempuan seperti itu biasanya kedatangan benjolan yang disebut jerawat muncul saat menjelang menstruasi karena perubahan hormon. Aku mulai nakal dan mengamati ketika bertemu Zahwa, apakah bintik merah muda itu ada?
Terus terang, aku menyukai pipi dengan bintik merah muda itu. Warna yang kontras, paduan putih dan merah muda yang elegan. Terkadang aku beristighfar dalam hati, menepis pikiran yang merajai. Ibarat setan yang berdansa di kepala, ada-ada saja yang muncul dalam pikiran dan tak layak disampaikan. Awalnya, aku sama sekali tak tertarik dengan perempuan ini. Bukan apa-apa, aku menyadari kami ada dalam satu komunitas dengan kasta berbeda. Dia, ibarat bulan dan aku ibarat pungguk. Jika digabungkan maka muncullah kata-kata mutiara “ Ibarat pungguk merindukan bulan”. Itu adalah sesuatu yang tak mungkin dan tak pernah kesampaian, aku adalah lelaki bersemangat baja tapi hati masih dihinggapi apatis, resah menghadapi masa depan.
Ternyata Zahwa bukanlah tipe perempuan yang memilih teman berdasarkan ukuran dompet dan kendaraan. Dia memperlakukan aku sama dengan teman yang ada dalam komunitas kami, penulis kampus. Terkadang, aku juga diperlakukan spesial. Zahwa bersedia mengajakku pulang bersama dan mengantarkanku sampai depan rumah. Aku berpikir, itu hanya rasa simpati Zahwa padaku yang tidak punya kendaraan pribadi. Kemana aku pergi, aku berserah diri pada supir angkot yang liar minta ampun, memaki, mengumpat dan sering menjadi manusia pesong yang hilang kontrol. Terkadang, Zahwa mengajakku makan siang ke tempat yang tak pernah aku datangi. Tentu saja, dia juga prihatin padaku yang tak pernah makan di restoran mahal. Yang aku tahu hanya warung nasi Padang delapan ribu, prinsip makanku yang penting  kenyang. Betapa banyak orang kaya menghabiskan uang untuk memanjakan lidah sebatas tenggorokan. Kemudian seonggok nasi dengan lauk pauk mahal itu ditinggalkan. Aku merepet kesal dalam hati yang tak berdaya, andai uangnya di sumbangkan kepada orang miskin yang lapar, tentu jauh lebih manfaat. Aku berdamai dalam hati, mereka bersikap begitu tentu saja karena mereka tak pernah merasakan lapar.
“ Wa... kok makanannya di tinggalin? “ aku setengah berbisik kepada Zahwa, setelah menyaksikan seorang pria tambun di meja sebelah kami yang hanya menyeruput sedikit minuman dan berlalu, membayar ke kasir, dan meninggalkan meja dengan hidangan utuh!
            “ Mungkin dia ada bisnis Tir..” Zahwa menjawab ringan
            “ Mubazir tuh!  masak di bayar enggak di makan, sakit jiwa!”
            “ Husss!! “ Zahwa melotot, wajahnya tampak lucu
            “ Yang penting, kita enggak ikut-ikut mubazir. Udah.. makan yok, nanti dingin enggak enak lagi” Zahwa mencuci tangan dan mulai mencomot bebek presto yang kami pesan. Aku ikut makan, tapi dengan diselimuti pikiran pedih. Mengapa manusia berduit punya sikap seperti itu?
            “ Tir... makan jangan melamun, nanti tangannya masuk kehidung” Zahwa seakan tau pikiranku.
            “ Tu...kan, nasi nyangkut di pipi, hehehe” Zahwa tertawa kecil, menyaksikan butiran putih di pipiku yang salah arah. Kini, aku yang tersipu malu di depan perempuan ini, tertawa memamerkan sederet gigi putihnya yang rapi menawan.
            Perempuan berpipi putih dihiasi bintik merah muda itu bernama lengkap Sabina Ghalia Zahwa, nama yang indah.  Perempuan pertama yang  pernah masuk ke dalam rumahku. Perempuan yang tidak  jengah menginjakkan kakinya ke lantai rumahku yang berlantai semen batu. Perempuan yang sanggup mengajak Emak bicara layaknya Ibu dan anak. Perempuan yang sanggup menebar mimpi Emak menjulang ke awan dan pecah melesap ke udara. Perempuan yang selalu dibicarakan Emak di rumah, di puja puji layaknya dewi yang baru turun ke bumi. Betapa aku memperhatikan Emak yang bersemangat. Sementara aku bukanlah pemimpi layaknya Emak, aku lebih suka pada realita. Aku dan Zahwa adalah dua sahabat yang tak mungkin mengarah kepada ikatan. Aku Petir adalah seekor pungguk, Zahwa adalah ibarat  bulan.
            Hampir setiap aku berangkat kuliah, pulang dari pasar menemani Emak berdagang. Emak selalu menitip salam, berangkai-rangkai salam untuk Zahwa idolanya. Padahal belum tentu hari itu aku akan bertemu dengan perempuan berpipi putih dihiasi bintik merah muda itu. Aku dan Zahwa beda Fakultas, hanya kegiatan komunitas mempertemukan kami. Belakangan, kami sering bertemu di luar dugaan, dan Zahwa selalu hangat menyapa. Perempuan ini sangat menyenangkan, sebagai lelaki aku tak pernah merasa rendah walau  ia mengantar pulang atau mengajak makan siang. Agaknya, Zahwa sangat tau memposisikan diri.
            Satu-satunya teman yang rajin berkomentar hanya Zeiny. Hasutannya seperti bisikan syetan, terngiang-ngiang di seluruh rongga kepala, kepalaku berdenyut, berdengung mengisi semua rongga tubuh, membuncah tapi tak bisa keluar, terperangkap.
            “ Udah lah Tir, kau tangkap aja si Zahwa itu. Cantik, pintar, kaya lagi. Kau dapat dia, cerah masa depanmu. Tak usah lagi Emak mu jualan sayur, bangun pagi-pagi, kasian dia...” bukan main bersemangatnya si Zein, sampai air liurnya muncrat ke mukaku. Aku coba menghindar, tapi itu sudah terlanjur terjadi.
            “ Kau pikir dia bola? Main tangkap aja....” kujawab sekenanya saja.
            “ Maksudku.. kau tembak aja dia, biar jadi pacar kau..” wah... muncrat lagi. Sahabatku ini memang punya mulut yang selalu basah oleh air liur, maka ketika ia bicara aku sering menjadi korban. Air liurnya overload. Aku mengusap muka pasrah, dia adalah sahabat baikku.
            “ Mati dia kalau ku tembak...”
            ” Alaaahh... payah kali cakap sama kau, nanti di ambil orang baru merana kau, patah hati, bunuh diri...ckk,” Zein meletakkan telunjuknya di leher, sebuah isyarat penyembelihan. Zein benar-benar mendramatisir keadaan. Pemuda Aceh ini masih memiliki logat daerah yang kental dan ganjil, aku sering geli mendengar bahasanya. Setahuku Zein sudah lama di Medan, tapi lidahnya masih saja keriting. Aku tersenyum, di lingkari manusia sekitar yang penuh mimpi. Aku masih kukuh dan keras hati, itu tak mungkin. Dan, mengapa pula Zein membawa nama Emak dalam hal ini? Apakah ada persekongkolan diantara keduanya? Zein cukup tahu keadaanku, luar dalam. Dia tipe manusia yang setia kawan, walau sedikit egois dan tak pernah mau kalah. Kabarnya, itu adalah karakter khas kaumnya yang keturunan Sultan dan tanah airnya yang tak pernah diinjak penjajah. Jadilah mereka kaum yang pongah, sombong walau berpakaian kumal dan bodoh. Itu hal yang pernah aku baca di Novel Lampuki karya Arafat Nur salah seorang penulis favoritku yang berasal dari Daerah yang sama dengan sahabatku Zein. Begitupun, aku sangat mengasihi sahabatku ini, dan aku pernah menginjak tanah airnya yang indah dan makmur.
            Hujan lagi, cuaca benar-benar tak bisa di duga. Situasi sekarang memang tak enak, pagi terang benderang dan sesaat bisa saja mendung kelabu menggayuti langit dan hujan tumpah ruah ke bumi. Aku adalah orang yang selalu sial jika hujan, susah sekali untuk bisa keluar rumah dan lagi, kasihan melihat diriku dan Emak yang di semprot hujan di kedinginan dini hari. Kami akan meringkuk di bawah payung sewaan di pasar, berharap sayur cepat habis agar tak membusuk. Ku perhatikan wajah Emak yang pucat kedinginan namun tetap bersemangat. Hujan memang sangat sombong, tapi aku tak mampu melawannya. Yang kulakukan hanyalah mencoba menikmatinya, merasakan aromanya, atau bahkan membiarkan wajahku di tamparnya hingga perih. Kunikmati semua akibat yang ditimbulkannya, dingin yang menusuk tulang, air parit busuk meluap, sampah di pasar mengeluarkan aroma tak sedap, dan telapak tangan dan kakiku mengkerut seakan usiaku sudah tujuh puluh tahun.
            Ketika hujan pula, si perempuan berpipi merah muda itu rajin menghampiriku, mengajak bersama duduk dalam mobilnya menikmati tawanya yang renyah. Terkadang aku sangat jengah disini, duduk di samping perempuan yang harum dan ramah. Perempuan yang sopan tapi lincah, yang punya pipi merah muda, terkadang bintil merah muda itu juga lenyap seketika. Terkadang aku justru heran dengan diri sendiri. Mengapa aku harus jengah dan linglung jika aku menganggapnya sebatas sahabat? Apakah aku seorang laki-laki yang mencoba berkhianat pada diri sendiri  yang teramat sangat malang karena keadaan yang papa? Apakah aku lelaki malang yang berjuang melawan keinginan dan kehampaan seakan aku tak menginginkan perempuan ini? Bukan main resahnya hatiku menghadapi hari-hari, mencoba lari menjauh, tapi justru semakin dekat dan tak berdaya. Aku terperangkap dalam alam pikiranku sendiri, mencoba menarik tapi malah tertarik, mencoba keluar dari lingkaran tetapi malah semakin jauh terperangkap dalam lingkaran itu, ahhh.
            “ Apa pandanganmu tentang hidup Tir?” tanya Zahwa suatu kali, saat kami akan pulang seusai pertemuan mingguan kelompok penulis kampus. Kali ini, pipinya bersih, tak ada bintil merah muda itu. Ah, aku suka sekali nakal memikirkan itu.
            “ Apa itu penting Wa? “
            “ Yaaa.... aku pengen tau aja, apa pandangan hidupmu “
            “ Aku enggak tau, pandangan hidup yang gimana? “ aku balik bertanya, bibir Zahwa mengkerut, merajuk.
            “ Maksudku, pandangan tentang apa? Sisi hidup itu banyak Wa, misalnya cita-cita, orangtua, perempuan atau... apalah “ aku mencoba berdiplomasi.
            “ Oke, kita mulai dari cita-cita dulu “ Zahwa semakin bersemangat, seakan ingin membongkar tiap sisi diriku. Aku menyesal telah memilah-milah pandangan hidup itu, diplomasi yang salah. Kutarik nafas panjang, cita-citaku jelas. Tapi haruskah kubeberkan pada perempuan ini? yang tau cita-citaku hanya Emak, aku ingin menyimpannya dari orang lain.
            “ Cita-citaku adalah.... aku ingin sukses lahir batin, bekerja dan punya penghasilan “
            “ Itu standart Tir..... yang spesifik gitu “
            “ Enggak ada, aku membiarkan hidupku mengalir seperti air. Kalo kamu. Gimana? “ aku kembali bertanya pada Zahwa, memiringkan tubuh menghadapnya.
            “ Aku ingin nanti ketika gelar dokter sudah dapat, aku ambil spesialis obgin supaya perempuan yang ingin melahirkan atau hamil enggak perlu ditangani dokter laki-laki. Dokter Obgin perempuan di sini kan masih dikit. Aku ingin buka klinik sendiri, punya suami dan anak-anak yang lahir dari rahimku sendiri. Bahagia selamanya...” Zahwa tersenyum menguraikan cita-citanya yang sudah dibentuknya dengan jelas, seperti pahatan patung lilin yang sempurna.
            “ Pandanganmu tentang sosok suami? “ ohh... mengapa aku lancang bertanya? Mengapa bibirku melepas ucapan itu?.
            “ Aku ingin punya suami sholeh, imam dan penuntun jalan hidupku. Aku ingin punya suami petarung, pejuang dan tak boleh manja berleha-leha “ Zahwa menatap kedepan, sangat jauh.
            “ Apakah dia seorang dokter?“ uupps... kelancangan menguasai mulutku. Zahwa tertawa menunjukkan barisan giginya yang tersusun sempurna. Barisan gigi yang seakan disusun sang pencipta dengan sangat hati-hati, tak boleh kurang atau lebih ukuran senti dan inci.
            “ Ya.... bolehlah, kalau dokter boleh, siapa aja boleh. Yang penting sholeh.....” Zahwa masih tersenyum, pipinya bersemu merah muda. Entah mengapa, aku tersenyum lega.


           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar