Langit biru, tak berawan. Matahari
tepat di puncak kepala, tak menyisakan angin untuk sekadar menepis peluh yang
bercucuran. Versus memperhatikan kapal dengan pandangan hampa, warnanya masih
sama- biru cerah mengkilap. Jendela-jendela bulat di lambung kapal berbingkai
cat putih bersih. Kapal itu masih sama setelah menyisakan tragedi seminggu
sebelumnya. Tragedi yang membuat hati Versus dan seisi kapal tak dapat
melupakannya seumur hidup. Pada waktu itu, menjelang petang. Penumpang kapal
banyak yang duduk di dek kapal, menikmati langit yang bergerak berwarna jingga.
Laut tenang, sesekali lumba-lumba melompat memamerkan atraksinya di ekor kapal.
Anak-anak menjerit gembira, orangtuanya memegang tangan anak mereka dengan erat
dan ikut gembira pula. Sementara di kamar kendali, Kapten Prees tiba-tiba muntah, matanya
melotot. Awak kapal panik, termasuk Versus yang sedang mengantarkan segelas
kopi. Kapten Prees tentu saja bukan mabuk laut- itu tak pernah terjadi, pasti
ada sesuatu yang tidak beres. Versus cepat mengambil tindakan, tapi tubuh
tambun Kapten Prees ambruk sebelum dia sempat meraihnya, Kapten Prees rebah di
pangkuan Versus. Kapten Prees
kejang-kejang dan berhenti bernapas. Dokter Benhur sebagai tenaga medis kapal
berusaha melakukan pertolongan. Hanya berselang lima menit, Dokter Benhur
menggeleng-gelengkan kepalanya. Kapten Prees telah tiada karena serangan
jantung. Versus menyesal, mungkin karena ia selalu menyediakan makanan enak
untuk Kapten Prees hingga sang kapten bertubuh sangat subur. Lemak-lemak
menimbun di tubuhnya, mengganggu aliran darah ke jantung. Versus sedih dan
kehilangan sosok bapak yang dicintainya. Perjalanan sampai ke daratan masih dua
hari lagi. Dengan sedih, Dokter Benhur menyuntikkan formalin ke jasad Kapten
Prees. Kapal Dohaya berduka, bendera setengah tiang dinaikkan. Semua begitu
cepat, padahal matahari belum sepenuhnya tenggelam.
***
Inilah pelayaran berikutnya setelah
kematian Kapten Prees. Yang membuat Versus gamang adalah, siapakah yang menjadi
Kaptennya kini? Apakah ia se”bapak” Kapten Press? Yang cahaya matanya
menyejukkan, yang selalu berterimakasih akan setiap hasil racikan masakannya.
Yang selalu minta dibuatkan kopi setiap pagi dan sore dengan diselingi
perkataan yang membuat Versus melayang “Kopi yang kamu racik membuat hidup saya
lebih bersemangat” ah…
Saat ini, semua awak kapal berkumpul
di kabin utama. Semua sama, hanya ada seorang yang dirasakan berbeda diantara
mereka, sang Kapten baru. Tubuhnya kekar dan berisi, sorot matanya tajam, alis
matanya tebal dan tak rapi, kulitnya coklat madu eksotis, garis bibirnya kaku.
Versus menarik napas panjang dan perasaan tak enak ditepisnya jauh-jauh.
“Hallo, selamat siang….” Sang kapten
mulai menyapa, disambut awak kapal dengan semangat, kecuali Versus. Suara itu
menyisakan aura tak sedap- perasaan Versus.
“Saya Kapten Melka, Kapten baru yang
menggantikan Kapten Prees yang sudah lebih sepuluh tahun mengabdi di kapal ini.
Kalian jangan meragukan kemampuan saya, saya sudah lama berlayar dengan kapal
lain selama…bla bla bla”. Ups! Panjang sekali pidato Kapten Melka, beberapa
orang sudah duduk melorot. Dugaannya benar, Kapten ini sangat sombong dan
tinggi hati, jauh dari kesan sebagai pendengar, apalagi pembimbing. Bagaimana
Versus bisa nyaman menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan sang Kapten? Yang
setiap waktu harus disiapkannya makanan? Ah…Versus akan melihatnya pada
pelayaran pertama ini, membawa penumpang berlayar menuju kota Polka, selama
delapan hari.
Hari pertama sampai hari ketiga.
Kapten Melka tak pernah menatap matanya, menyuruh-nyuruh dengan ujung jarinya.
Versus merasa posisinya benar-benar hanya sebagai juru masak yang harus
melayani tuannya makan, tak lebih- kenyataan yang tak pernah dirasakannya
ketika sepuluh tahun bersama Kapten Prees. Tak ada tanggapan, tak ada kata
apalagi pujian. Hari keempat, Versus merasakan sesuatu yang tak beres di kapal.
Sesuatu yang pernah dirasakannya dulu bersama Kapten Prees. Suara ombak yang
menghempas dinding kabin ruang masak dirasanya sangat “lain”. Merasa nanti tak
akan dilayani, Versus memilih membicarakannya pada Onix, asisten Kapten.
“Aku merasa ada sesuatu terjadi pada
kapal,” Versus memulai percakapan, Onix menanggapinya dengan sorot mata yang
tajam.
“Sus, aku juga merasakan hal yang sama,”
“Aku akan melaporkannya pada Kapten
Melka, segera.”
“Menurutmu, apakah dia akan
mendengarkan kita? Aku rasa tidak, dia sangat sombong dan tinggi hati. Apalah
arti pandangan seorang juru masak tentang sebuah kapal besar? Aku bukan
siapa-siapa,”
“Versus, kau bukan juru masak
biasa,”
“Itu adalah perasaanku ketika kita
masih bersama Kapten Prees. Tapi kini tidak lagi, Onix,” mata Versus begitu
kelam.
“Aku sekarang bukan sesiapa lagi,”
“Baiklah, aku akan mengatakannya
langsung pada Kapten Melka, percayalah aku akan meyakinkannya. Ini demi
keselamatan kita semua, lima ratus lebih nyawa ada disini,” Onix menepuk-nepuk
bahu Versus dengan hangat.
Masih empat hari lagi mencapai
daratan, Kota Polka. Versus mengantar segelas cappuccino ke kabin Kapten Melka. Perasaan Versus tak enak, di
kabin itu ada banyak awak kapal, semua berwajah tegang.
“Duduk…” perintah Kapten Melka
dengan angkuh, Versus menunduk, duduk pada kursi yang ditunjuk Kapten Melka
dengan ekor matanya.
“Apa yang kau sampaikan kepada Onix?
Mengapa kau merasa seperti seorang kapten yang cukup tahu seluk beluk kapal?
Bukankah kau hanya juru masak yang hanya berselimut bumbu dapur?” cukup!
Akhirnya penghinaan itu merayapi setiap rongga kepalanya, kekhawatiran itu
terjadi. Versus coba mendongak, Nampak Onix menundukkan kepala, tak berdaya
“Aku merasa dinding lumbung kapal
dibeberapa tempat menipis, Kep,”
“Haaa? Bagaimana kau bisa merasa?
Tanpa fakta?” Kapten Melka mencibir, sudut bibirnya naik ke atas, sejenak ia
merapikan topinya, melirik rolex berlapis emas yang melingkari pergelangan
tangannya.
“Dengar, juru masak. Aku kapten di
kapal ini. Aku tahu apa yang seharusnya kulakukan. Kau masak saja sana, jangan
sok tahu.” Selesai, begitu saja. Semua menatap Versus dengan geli, kecuali
Onix. Versus keluar kabin dengan menunduk, Onix menyusulnya.
“Bersabarlah, Versus…” Onix coba
menghibur.
“Nix, pelayaran masih empat hari
lagi. Bagaimana aku harus menyelamatkan kapal ini? Dengan lebih lima ratus
nyawa di dalamnya, ooohh…” Versus mengusap wajahnya.
“Lakukan sebisamu, aku akan
membantu,”
“Ini masalah besar, Onix. Kita tidak
bisa hanya berdua..”
“Sudah kukatakan, sebisamu saja.
Tapi jangan membuat panik, semua akan terasa semakin sulit,” Onix menepuk
bahunya dan berlalu menuju kabin kendali. Tinggallah Versus yang gemetar,
mimpi-mimpi itu semakin nyata.
Apa yang harus dilakukan Versus?
Membekukan keringatnya untuk menyisip kapal? Semua pastilah tak percaya, kapal
Dohaya begitu besar dan mewah. Semua fasilitas ada di dalamnya, semua penumpang
bersenang-senang di bar, di ruang olah raga, duduk makan di resto atau sekadar berdiri di dek menikmati langit
berbintang. Siapa yang percaya ada bagian lumbung kapal yang dindingnya
menipis? Ahh….
Versus menyapa ibu-ibu yang memiliki anak kecil,
mencoba berbagi tips penyelamatan. Menunjukkan sekoci di sisi kiri kanan kapal,
atau mengingatkan rompi penyelamat yang ada di kabin mereka. Versus
menyampaikannya dengan bercanda sehingga tak ada wajah-wajah panik. Versus
begitu lelah dan Onix tak berperan apa-apa, sepertinya dia sama dengan yang
lain, tak menganggap penting ungkapan kecemasan Versus. Dua hari menjelang
daratan, itu terjadi. Sesuatu yang disesali seumur hidup oleh Kapten Melka.
***
Langit begitu pekat, tak ada
bintang. Gerimis mulai turun dan angin bertiup cukup kencang. Perairan yang
dilalui kapal saat ini memang dikenal dengan gelombang laut yang besar. Secara
normal saja cukup mengocok isi perut, apa lagi situasi seperti ini, semua akan
bertambah parah. Kotoran muntah akan berhamburan dimana-mana, penumpang akan
luluh lunglai, mabuk laut cukup menyiksa. Versus sudah mempersiapkan diri
dengan segala kemungkinan, dia merasa waktu itu semakin dekat. Versus
memejamkan mata, menghitung waktu. Hatinya penuh diselimuti do’a. dia mengingat
wajah ibunya yang tua, dirinya yang juga belum berkeluarga. Paling tidak, jika
dia mati hanya ibu yang menangis, tak ada anak dan istri. Itu artinya, jika dia
mati tak banyak orang yang berduka.
Kapal mulai berderak-derak,
terombang ambing ke kiri ke kanan. Air laut yang asin menghempas di dek kapal
dengan kuat. Suara “ueeekkk…ueekkk” terdengar bersahut-sahutan oleh penumpang
yang muntah karena mabuk. Tak lama, terdengar suara dentuman keras di lumbung
kapal disusul suara jeritan penumpang yang panik. Kapal bergoyang semakin
parah, penumpang berhamburan menuju dek. Suara derap langkah dan jeritan
diselingi badai mengoyak malam.
“Kapal pecaaahh…kapal pecaahh..”
terdengar suara teriakan dari kabin utama. Suara sirene darurat mengaung-ngaung
pilu. Tindakan penyelamatan segera di
lakukan, kapal mulai miring ke kiri. Perempuan dan anak-anak menjerit-jerit
ketakutan. Semua berebut menyelamatkan diri, benar-benar tak terkendali.
Beberapa orang anak dan ibu-ibu Nampak sudah mengenakan rompi pelampung. Perahu
sekoci belum sempat diturunkan, kapal semakin miring. Versus harus rela
menyaksikan satu persatu penumpang melorot turun ke dalam samudera yang dingin.
Anak-anak, orangtua, remaja. Kini dia bukan hanya pernah menyaksikan di film
Titanic. Tapi, kini layar nyata itu ada di depan matanya. Pilu sekali
menyaksikan tangan kecil yang menggapai-gapai kemudian hilang. Versus masih
berusaha sebisa mungkin bertahan tidak menyentuh air- Jika pun nanti ia tak
mampu bertahan mencecah di dek yang licin sambil memeluk tiang kapal. Waktunya
mengapung di air tidak terlalu lama dan berharap pertolongan segera datang.
Dalam badai Versus bisa melihat cahaya lampu kapal di kejauhan, apakah itu
kapal bala bantuan? Mengapa bisa begitu cepat datang?
“Syukurlah mereka bisa cepat datang,”
Versus menoleh ke arah suara yang sangat dikenalnya, oooh…Onix.
“Jangan bertanya apapun padaku,
Versus. Sepertinya aku tak bisa bertahan disini, tubuhku sangat berat. Aku
ingin kau sampaikan salamku pada Mariline dan dua anakku. Katakan bahwa aku
sangat menyintai mereka. Jika Mariline tak mampu membesarkan anak sendirian,
aku titipkan mereka padamu. Karena aku yakin engkau adalah lelaki yang baik dan
bertang….” Belum selesai perkataannya, Onix melorot turun, terjun ke air.
Versus menjerit tapi suaranya tenggelam dengan suara-suara yang lain. Oh
Tuhan…kematian itu sangat dekat.
Dua menit setelah Onix jatuh ke
laut. Versus tak mampu bertahan dan menyusulnya sambil terus berdo’a dengan
segenap kesadaran. Agar Tuhan mengizinkannya untuk tetap hidup, menjaga
Meriline dan dua anak Onix. Menjaga Ibu yang semakin keriput dan tua. Dia akan
berhenti menyintai laut, hidup normal di daratan. Membuka restoran sendiri dan
menjadi kokinya. Hati Versus terus
berdialog untuk menyemangati hidupnya. Dialog hati yang mampu menepis kebekuan
dinginnya air laut dalam badai dan tubuh-tubuh kecil yang mengapung tak
bernyawa.
***
***
Versus membuka matanya yang diterpa
hangatnya matahari, apakah ia sudah berada di syurga atau neraka? Semua terasa
asing.
“Syukurlah ia sudah sadar,”
terdengar suara lelaki yang ada di sampingnya, Versus menoleh dan sama sekali
tak mengenal lelaki itu.
“Saya ada dimana?”
“Di desa Netis, Tuan. Bersyukurlah
anda selamat. Hanya beberapa orang yang kami temukan dalam keadaan bernyawa,
salah satunya adalah anda,” hanya beberapa orang? Versus mencoba bangkit,
tubuhnya terasa remuk redam. Di depannya banyak kantong-kantong mayat, relawan
penolong dan petugas medis lalu lalang.
“Versus…” suara yang sangat
dikenalnya, Versus menoleh tak percaya.
“Ohhh..Onix!” Onix tertawa-tawa
sambil memeluknya, seakan tak ada duka yang menyelimuti mereka.
“Dengar, keriting. Wasiatku aku
tarik kembali. Aku tak mau menitipkan Mariline dan anak-anakku padamu. Kau cari
saja istri dan anakmu sendiri,” Onix tergelak-gelak. Memang, terkadang dunia
ini sudah gila. Sama seperti Kapten Melka yang histeris berteriak-teriak
mengucapkan kalimat yang sama berulang-ulang “lumbung kapal menipis…lampung
kapal menipis”. Dia memang menjadi gila!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar