Kamis, 17 November 2016

KISAH DALAM RINAI HUJAN (lanjutan)

KISAH 4

                Pukul 9  pagi. Berkali-kali Jenar melongok ke kubikel di depannya, kosong. Wajah yang begitu akrab selama ini entah kemana, Jenar gelisah. Computer sudah menyala dua puluh  menit, tapi dia sama sekali belum menyentuh tutsnya untuk menyusun laporan audit. Jenar harus memastikan semua, biar gelisah tak berkepanjangan.  Jenar melangkah menuju meja Bosma, Admin umum di kantor.
                “Bosma… Alfian masuk enggak,”
                “Enggak, pagi tadi dia udah telepon aku. Katanya demam tinggi. Kenapa? Rindu kau sama Alfian?” Bosma tertawa garing. Jenar merengut manja. Dasar… lelaki Medan  memang suka tembak langsung. Sekali tembak langsung kena sasaran, Jenar salah tingkah. Bergegas kembali ke kubikelnya.
                “Kata mamaknya semalam sore dia pulang basah kuyub kehujanan. Tengah malam dia menggigil demam tinggi. Pagi ini masih demam!” Suara Bosma yang tinggi beberapa oktaf memecah ruangan. Empat orang dalam satu ruangan yang dibatasi kubikel-kubikel saling berdiri melongok dan tersenyum.  Pipi Jenar merah padam.
                “Kau tengok nanti pulang kantor… bawa jeruk ya!” sambung Bosma terkekeh, seiring mendarat di kepalanya sebuah pulpen besar. Jenar melotot, mengirim sinyal marah.. atau lebih tepatnya malu. Tawa Bosma tambah meledak menggema.
                Susah payah Jenar menyelesaikan tugasnya hari ini. Resah, gelisah dan entah perasaan apalagi. Dia ingin sekali menelepon Alfian seperti saran Marissa, tapi selalu urung.  Jika menelepon apa yang harus dikatakannya? Menanyakan kabarnya? Mohon maaf karena ia sudah mengantarnya dalam hujan? Mohon maaf karena dia memakai mantelnya sehingga Alfian harus basah kuyub? Bukankah Alfian yang menawarkan diri? Bukankah ia sudah minta berteduh? Mengapa pula Alfian begitu ringkih? Hujan saja sudah demam? Ahhh…      Jenar menarik-narik ujung jilbabnya. Marissa, satu satunya teman perempuan yang ada dalam satu ruangan memperhatikan tingkahnya sejak pagi.
                “Nar! Ke rumah Fian, yok!” Marissa menyampaikan ide, serius. Dia tak ada niat menggoda, takut Jenar malu atau salah tingkah.    Jenar mendongak, menatap lurus mata sahabatnya yang sudah dikaruniai dua anak, namun masih tetap cantik.
                “Ayolaaah… boleh dong, lihat teman sakit,”
                “Masih sehari. Ntar deeh… kalo besok nggak masuk juga baru kita lihat.” Jenar menjawab ragu.
                “Lho? Masa mau lihat teman sakit nunggu seminggu? Yang bener lo!” Marissa tersenyum, menaik turunkan alisnya.
                “Udahlaaaah… rumahku dan Alfian itu searah. Aku juga gak perlu jemput Wafi hari ini karena papanya udah jemput. Jadi aku bisa sekalian pulang. Kamu kan nanti bisa pulang naik gojek. Gimana?”
                “Pergilah… biar cepat sehat kawan tu kalo ko tengok!” Bosma berteriak sengit. Jenar melotot, Marissa terkikik. Sisanya… dua lelaki lagi, Akbar dan Alif cuek beibeh. Jenar melempar kotak tissue, Bosma menangkap dengan cekatan,
                “Awas ko ya! Barang yang udah ko lempar tak balek lagi ke mejamu. Besok ko lamper aku pake atm mu ya!” Bosma tertawa-tawa tanpa rasa bersalah. Jenar melotot galak. Atau pura-pura galak?

***
KISAH 5
               
                “Alfian itu lelaki yang baik,”  Marissa menatap lurus ke depan dari balik kemudi. Gelap merayap naik, awan hitam di sebelah barat sudah cukup menjadi sinyal sore ini akan ada hujan, lagi. Jenar diam, menunggu cerita yang akan keluar dari mulut Marissa, tentang Alfian.
                “Kami sudah bekerja di kantor yang sama hampir tujuh tahun, tidak pernah mutasi. Jadi aku tau banyak tentang dia,” Marissa menarik nafas panjang, menginjak rem di lampu merah, memeriksa chat di smart phone  sesaat.
                “Termasuk urusan cinta,” Marissa menatap lurus, Jenar berdebar.
                “Dia sudah dua kali gagal menikah,” Marissa menggantung ucapannya.
                “Kenapa?” Jenar memberondong tak sabar. Marissa tersenyum, ini awal yang baik pikirnya.
                “Kalau aku bilang sih sepele. Tapi menurutnya itu sangat urgent,”
                “Apa tu?” Jenar membalikkan badannya, menatap wajah Marissa.
                “Dia belum menemukan wanita yang tepat untuk ibunya. Baginya, ibu itu segala-galanya. Jika ia menikahi seorang wanita maka wanita itu harus siap menerima ibunya, apa adanya.”  Hujan mulai turun, gerimis. Jalanan semakin padat, semua serba terburu-buru. Hati Jenar menggelinding. Semulia itukah Alfian? Menempatkan ibunya di atas segala kepentingannya? Bukankah itu pemuda berlian? Jarang ditemukan di zaman sekarang? Bukankah seorang lelaki yang memuliakan ibunya kelak ia akan memuliakan istrinya? Mengapa pula wanita-wanita itu tak bisa menyadarinya? Hati Jenar melompat-lompat, dadanya bergemuruh hebat, mengiringi gemuruh hujan yang mulai tumpah lebat.
                Mobil berhenti di depan sebuah rumah sederhana bercat hijau, berpagar tanaman yang rapi.
                “Ini rumahnya, kita sudah sampai.” Marissa memutar kunci, mematikan mesin mobil, membalikkan badan mengambil payung di jok belakang. Mereka berlari kecil beriringan di bawah payung. Mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
                “Siapa?” terdengar suara agak jauh, samar.
                “Marissa  Mak. Mau lihat Fian..” Seorang wanita membuka pintu, pandangannya tanpa ekspresi, lurus saja. Dada Jenar semakin bergemuruh hebat, melebihi gemuruh hujan. Matanya tak berkedip. Apakaaaaahhh….
                “Mari masuk Sa, Fian masih istirahat di kamar. Anak-anak mana?” tangan wanita itu melayang di udara hampa.
                “Gak ikut Mak. Ini Marissa sama teman kantor, Jenar.” Sejenak kening wanita itu berkerut seperti ingat sesuatu. Sesaat kemudian tersenyum, mengulurkan tangannya.
                “Akhirnya… kamu kesini ya..,” wajah itu tersenyum hangat dan ramah, pandangannya  masih lurus kedepan dan kosong.
                “Oya… silakan duduk, biar mak panggil Fian,”
                “Gak usah Mak, boleh kami ke kamarnya aja? Biar gak mengganggu?” usul Marissa. Jenar masih diam, hatinya entah kemana.
                “Oya… enggak apa-apa, mungkin dia tidur.”
                Tubuh itu terbujur lurus, ditutup selimut. Sebuah handuk kecil menempel di keningnya. Wajahnya memerah, karena suhu tubuh yang tinggi.
                “Saya minta maaf Mak. Kemarin Fian antar saya hujan-hujan. Jadi demam deh…” Jenar menunduk, Emak malah tertawa.
                “Enggak apa-apa, dia ada cerita ke Emak tentang itu,” emak menarik nafas panjang.
                “Emak gak bisa lihat kamu, tapi boleh emak raba wajahmu Nak?”  Jenar melirik Marissa yang mengangguk meyakinkannya. Dalam hitungan detik, telapak tangan wanita itu sudah menjalari wajahnya. Seluruh lekuk ditelusuri dengan telapak tangannya yang hangat, pelan sekali dengan seluruh perasaan. Jenar ingin menangis… mengingat almarhum ibu yang sudah sepuluh tahun meninggalkannya. Rindu tangan yang sudah mengasuhkan selama tiga belas tahun, ibu pergi ketika ia masih belia dan perlu bimbingan. Air mata Jenar jatuh, tak bisa dibendung.
                “Kamu kenapa Nak?” tangan itu berhenti ketika merasakan ada titik air yang jatuh.
                “Saya ingat Mama… saya kangen Mama..” tangis Jenar pecah. Mereka berpelukan, emak dan Jenar saling mendekap kuat. Emak bisa merasakan harum tubuh Jenar, dan Jenar bisa merasakan aroma minyak gosok Emak. Alfian tersenyum dalam tidurnya… dia dengar semua, dia tau semua. Hanya mata saja yang terpejam, karena ia berpikir inilah cara aman untuk tidak salah tingkah dikunjungi wanita yang diam-diam diperhatikannya. Kena   lu….. #3

***
KISAH 6
               
                Empat bulan setelah itu.  Membina hubungan dengan pola yang rumit. Impian, harapan, masa depan, rencana-rencana semua sudah dipintal rapi. Nyaris membentuk kubus sempurna. Tapi selalu terbentur pada urusan jika menikah nanti Jenar harus tinggal di rumah, menemani Emak yang buta. Berkali kali pula Jenar beralih bahwa emak adalah wanita mandiri dengan segala keterbatasannya. Emak bisa masak atau malah membersihkan rumah dan tanaman. Tak ada orang yang tau jika rumah itu dirawat seorang wanita yang buta. Alfian tetap dengan prinsipnya di timur, dan Jenar tetap dengan prinsipnya di barat. Dua sisi yang bertolak belakang. Jenar sering berpikir inilah yang menjadi konflik sebab musabab Alfian dua kali gagal menikah. Tapi… Jenar sudah mencintainya, Jenar juga sudah dengan tulus menyayangi emak seperti ibunya. Tapi di sisi lain Jenar juga sangat menikmati pekerjaannya, rutinitasnya. Menggunakan penghasilan sendiri tanpa intervensi. Di rumah? Mau jadi apa dia? Berkutat dengan dapur? Aaah… repotnya, mengupas bawang saja dia tidak bisa.
                Suatu sore… permasalahan itu memuncak, pecah. Jenar menghindari berdebat dengan topik yang sama dari hari kehari. Tapi Alfian terus mendesaknya, Jenar kesal dan berlalu pulang sendiri. Lagi-lagi langit gelap, siap menumpahkan air dan berdendang gemuruh.
                “Ayo… aku antar,” Alfian menghentikan sepeda motornya di depan Jenar yang sedang menunggu angkutan umum.
                “Enggak! Aku bisa pulang sendiri!” Jenar mendengus, kesal.
                “Ayolaaaah… semua bisa kita bicarakan, jangan ngambek aahh…,” Alfian mencoba lunak, nyaris merayu. Jenar tak bergeming, kesalnya sudah sampai ubun-ubun. Setiap mendengar ucapan Alfian ia menggeser beberapa langkah, Alfian mengikutinya dengan sedikit memutar gas motornya. Langit sudah mulai menumpahkan air. Jenar kering di halte, Alfian basah di atas sepeda motornya. Hujan, semua kendaraan serba terburu-buru. Alfian lengah, sebuah bis melaju kencang mengabaikan halte yang seharusnya bis  berhenti. Stang sepeda motor Alfian  terbentur dengan dahsyat, mencampakkannya hingga beberapa puluh meter, membentur trotoar, tiang besi  dan tanpa helm. Sore yang basah pecah, aroma amis darah bercampur air meyeruak. Suara teriakan Jenar tak lagi berarti apa-apa, semua kalut. Sangat kalut.
***
KISAH 7
                Ambulans meraung-raung membelah jalan, Alfian terbujur dengan nafas satu-satu bermandi darah. Jenar menangis nyaris meraung-raung dengan gamang serasa tak lagi berada di bumi. Penyesalan bukanlah lagi jawaban. Bukankah semua takdir Tuhan? Allah azza wajalla? Apakah segala impian yang sudah dirajut sempurna bisa jadi nyata? Atau malah egois memisahkannya? Yang jelas.. Jenar harus ikhlas, ketika Alfian koma. Menunggu saja dalam do’a, berharap Allah masih mau mengembalikannya. Mengembalikan Alfian dalam kehidupan nyatanya. Jenar rela jika harus tinggal di rumah, mengurus emak atau bahkan menjadi baby sitternya. Jenar rela!                             
                Apa yang lebih indah dan pedih selain daripada hujan? Air yang beraroma cinta, sejuk, basah dan jiwa yang mengambang? Hujan yang selalu mengirimkan pesan ada cinta untuknya? Hujan yang selalu menggelantung harapan tanpa batas, atau lebih tepatnya menggantung mimpi. Jenar masih menatap benang air yang jatuh di halaman rumah, duduk mendekap kaki dari bingkai jendela krem  pucat. Mata bulat kenarinya jarang berkedip, seakan ia tak ingin melewatkan setiap helai air. Helai demi helai yang seakan membingkai huruf dan kisah. Kisah hujan, yang terpatri dalam jiwa sampai ia mati nanti. Ya… sampai mati!
                Telepon berbunyi, Jenar menghapus sudut matanya yang basah. Meraih hand phone dengan malas, namun ketika melihat nama yang tampil di layar. Dadanya berdebar hemat, persendiannya serasa lepas, tangannya bergetar.
                “Assalamu’alaikum, Mak….” Airmata Jenar jatuh, perlahan.
                “Wa’alaikumsalam… Nar! Cepat ke rumah sakit… cepat! Fian sudah sadar, dia tanya kamu terus. Cepat nak… cepat!” Jenar tak lagi menjawab. Dia berlari meraih apa yang bisa dikenakannya untuk menutup aurat, tak lagi berpikir warna atau mode, meraih tas entah berisi dompet atau tidak. Berdoa komat kamit tak jelas. Jenar berlari keluar rumah nyaris panik. Mencari kendaraan apa saja yang bisa membawanya ke rumah sakit.
                Alfian sudah keluar kamar ICU, menghuni kamar rawat  putih bersih rumah sakit. Beberapa selang yang selama ini melekat ditubuhnya sudah dilepas. Hanya cairan infuse dan persiapan tabung oksigen masih siaga di sisi tempat tidur. Emak duduk disampingnya, menggenggam tangan putra kesayangannya sambil berkali-kali menghapus sudut matanya yang basah. Jenar, duduk disebelah emak, dengan tampang kacau. Memakai gamis lusuh, dengan celana piama yang mengintip dari celah gamisnya. Jilbab dengan warna tak senada, sandal jepit, dan wajah sembab. Benar-benar tak biasa untuk seorang Jenar.
                “Aku minta ma’af…. Hiks,” Jenar tersedak, hidungnya terasa penuh. Alfian masih diam, nafasnya tenang, matanya masih redup.
                “Aku ikhlas mengurus emak, berhenti kerja asal kita bisa tetap bersama,” bibir itu bergetar, air mata mengalir hebat. Begitu lelahnya Jenar seminggu ini, seminggu yang menakutkan, takut kehilangan orang yang dicintainya. Seminggu Alfian tidur dalam koma.
                “Tak usah… tetaplah bekerja. Emak katanya bisa mandiri, selama ini emak juga aku tinggal sendiri.” Pelan Alfian menarik nafas panjang.
                “Hanya aku yang terkadang khawatir berlebihan,”
                “Nggak apa.. aku ikhlas kok, rela…” Jenar menunduk dalam. Dia sudah ikhlas.
                “Sudah… begini saja,” Emak ambil alih pembicaraan, menarik nafas dan melanjutkan dengan senyum yang terbingkai manis.
                “Jenar tetap saja bekerja, tapi nanti setelah kalian punya anak barulah Jenar berhenti, karena emak tak bisa mengurus bayi, bagaimana?” emak tersenyum genit. Alfian tertawa pelan dan jenar tertunduk malu. Ahaaaayyyy…. Bukankah semua bisa dibicarakan baik-baik? Mari lepas ego kita, agar semua berjalan indah dan bahagia, ya!


*Kita sering menghargai sesuatu bila ia berada diambang hilang J