Rabu, 19 Februari 2014

MA’AF, DULU DIA ADALAH ANAK PENGEMIS…(KISAH INSPIRATIF)




            Situasi Mami mempertemukanku kembali dengannya. Dengan lelaki bertubuh kecil, mata cerah dan kumis melintang tegas. Suaranya masih seperti dulu, hangat, ramah dan amat sangat rendah hati. Melihatnya kini, siapa sangka dengan perjalanan hidup lelaki yang tunggang langgang, lintang pukang dibelit masalah dan kemiskinan? Siapa sangka mata hangat membara itu dulu pernah basah dan banjir dihempas kesulitan yang membuatnya tercekik, nyaris mati? Dulu, aku adalah saksi, saksi yang masih hidup tentang perjalanan hidupnya. Walau, aku memandang dari sudut diriku, yang kala itu masih duduk di bangku SMP.
            Baiklah, sebelum membicarakan topic utama. Aku akan menceritakan terlebih dahulu tentang sakit Mami (aku dan adik-adik biasa memanggil ibu dengan Mamak, tapi karena anak-anak kami memanggil neneknya Mami, maka kami juga sudah latah memanggil begitu, Mami). Akhir Desember 2013, Mami jatuh di depan kamar mandi ketika selesai berwudhuk. Jatuh yang mengesalkan karena sebab kasut tipis yang tapaknya licin bila tersiram air. Jatuh yang fatal, Mami terduduk dan terhempas, Mami menjerit di subuh buta, Paknek (bapak) membatalkan sholatnya di raka’at kedua. Dua orangtua yang malang, karena kami semua sudah tinggal dengan keluarga masing-masing, kecuali adik bungsu yang belum berumah tangga, laki-laki.
            Aku mendapat telepon tentang keadaan Mami menjelang siang, tak terbayangkan kondisi orang yang amat kucintai itu. Hatiku berdebar tak menentu, semoga saja tensi Mami tidak dalam keadaan tinggi, semoga stroke tidak menghampiri, semoga…ah! Syukurlah, jarak rumahku dan rumah adik tidak jauh, kami cepat berkumpul di rumah kami dulu, rumah mami dan paknek. Dan, pada saat itu sedang libur semester ganjil. Adikku,  Fitriah Ramli yang juga seorang guru sedang bebas tugas alias ikut libur. Sementara aku meski siswa libur tetap harus ngantor, tapi dengan waktu yang longgar tentu saja.
            Mami tergeletak di tempat tidur, tapi kondisinya cukup sehat, syukurlah bukan karena tensi yang tinggi.  Kami membawanya dengan ambulan untuk menjalani ronsen, mami benar-benar tidak bisa bangun, menjerit-jerit ketika merasa pinggangnya tersentuh. Benar saja, hasil ronsen menunjukkan tulang belakang mami retak dan nyungsep. Kami cepat mengambil keputusan memanggil ahli ke rumah, biaya? Bukan masalah, adikku Irwan Ramli yang tinggal di Air Molek, Riau sudah mentransfer dana yang cukup. Untuk orangtua, siapa yang berhitung? Berapa dana, tenaga, waktu yang mereka korbankan untuk kami sehingga jadi orang? Kami bergotong royong, selalu begitu, Alhamdulillah.
            Dengan ahli yang tepat, mami banyak mengalami kemajuan. Perlahan mami bisa balik tubuh sendiri, mulai belajar duduk. Sudah sebulan, aku dan adikku merawat mami bergantian, mengganti diapersnya, melap tubuhnya, menemaninya ngobrol. Setiap pulang kerja, kami langsung menuju rumah mami (syukurlah, suami kami sangat pengertian), pulang ke rumah masing-masing pukul sepuluh malam. Si bungsu Mukhlis bisa keluar sebentar melepas penat merawat mami jika kami datang, si bungsu 29 tahun yang masih melajang.
            Rutin ke rumah mami untuk merawatnya itulah yang mempertemukan aku kembali dengan lelaki itu, lelaki yang biasa aku panggil Bang Su. Ternyata, Bang Su sering bersilaturrahmi ke rumah mami jika dia pulang kampung. Malam itu pula segala tentangnya berputar kembali seperti sebuah kaset film. Betapa bahagia menyaksikan dia sekarang menjadi sukses, menjadi pejabat daerah. Dia kini punya dua mobil bagus, punya rumah bagus yang berdiri diatas tanah 1500 meter persegi. Punya empat anak yang sukses, berprestasi dan istri yang tetap cantik dan berkarier bagus pula. Dulu, Bang Su menyelesaikan kuliahnya dengan amat sangat prihatin. Kerja serabutan, dan menemani ibunya mengemis! Karena ibunya buta dan ia seorang yatim. Ah, benar-benar dia sudah menyimpan malu, membenamnya dalam-dalam demi sebuah cita-cita. Berjuang, jumpalitan, makan ala kadar, pinjam buku sana-sini, baju itu-itu saja. Dan, ia berhasil meraih gelas Insinyur.
Dulu, ia juga ditolak keluarga kekasihnya karena malu, dianggap tidak pantas mendampingi anak mereka yang bermartabat. Dan kini, harkat dan martabat keluarganya telah  terangkat. Harkat dan martabat yang dulu sangat diagungkan orangtua kekasihnya. Tapi Allah telah menggantinya dengan perempuan yang kini menjadi istrinya. Perempuan yang menerima dirinya apa adanya, tak mempersoalkan harkat dan martabat. Karena dalam pandangan perempuan itu ia adalah sosok lelaki pejuang yang saleh. Yang mampu menaklukkan kemiskinan, merubah takdirnya sendiri. Dia memang telah membuktikannya. Lantas apakah dia berubah? Sepertinya tidak. Malam itu aku masih melihat Bang Su yang dulu. Sederhana, rendah hati, hangat dan…kocak. Aku yakin, banyak lelaki di belahan lain sama kokohnya dengan Bang Su. Pejuang kehidupan, pantang menyerah! Semangat!
*Ma’af ya? Tentang perjalanan hidup Bang Su tidak  begitu saya ekspos. Sekadar dia adalah pejuang hidup yang sukses. Makasiiiiih…