MATA YANG KELAM (7)
Hujan masih belum reda juga, parit di gang sempit di depan rumah mulai
muntah. Anak-anak sekolah yang punya semangat tinggi berangkat diantar ibunya
dengan payung, si Ucok yang pemalas masih terlelap tidur. Ketika Ibunya
merepet-repet dia hanya mengatakan “ Tenanglah mak… guruku pun masih tidur”.
Ahahaaayyyy…. Andai gurunya mendengar pasti si Ucok dituntut, karena tak tau
membalas budi, sudah diajarkan menulis membaca yang tak didapat dari Ayah
Ibunya.
Aku teringat guruku Pak Zainal.
Beliau adalah guru pertamaku, yang mengajarkan aku menulis dan membaca. Walau
Emak sudah mengajariku, tetap saja aku merasa beliau adalah guruku yang paling
hebat. Aku tak pernah merasakan bangku TK, tapi Emak sangat sabar mengajariku.
Beliau selalu menggunakan Koran-koran bekas untuk mengenalkan huruf dan angka.
Aku suka melihat Koran atau buku yang bergambar. Tak heran, ketika aku duduk di
SD aku tak pernah kalah dari teman-teman yang merasakan bangku TK. Pak Zainal
sering menghadiahi aku permen karena dapat melakukan tugas-tugas yang di
perintahkannya dengan cara halus. Mungkin saja, aku suka beliau karena
permen-permen itu.
Ku
longok jendela, hujan sangat rapat. Emak sudah dua hari tidak jualan ke pasar,
badan Emakpun panas tinggi, Emak demam. Malam tadi aku tidur disampingnya,
mengompres keningnya dan mengingatkannya untuk banyak minum air putih agar
panas tubuhnya cepat turun, kasihan Emak tidurnya tidak nyenyak seperti biasa.
Sebenarnya, aku berencana subuh ini untuk berjualan menggantikan Emak, tapi
Emak melarang aku jualan sendirian dan hujan sangat rapat. Aku juga benci
sekali suasana pasar yang diakibatkan hujan, bau busuk merayap-rayap naik ke
kepala. Kepalaku sering berdenyut-denyut, hidungku tak pernah ramah terhadap
aroma ini. Meskipun aku sudah bertahun-tahun berada dalam lingkaran pasar, dari
bayi malah.
Handphone
ku bernyanyi nyaring, sms masuk. Isinya sangat singkat “ jpi aq d prkr FH j
10,PTG,TLG”, kukernyitkan alis penuh tanda tanya, itu sms dari Zahwa, ada apa?
“ Siapa
Tir ?” suara lemah Emak bertanya heran . Ingin kusembunyikan pada emak, tapi
aku tak pandai berbohong menghadapi Emakku ini, aku juga tak pandai jika HP ku
hanya getar, untuk urusan ini aku punya koneksi lambat. Togar teman kuliahku
selalu mengeluh, katanya aku orang kampung karena suara HP ku norak,
walaaahhh……siapa peduli?
“ Zahwa mak… katanya ada yang penting”
kujawab pertanyaan Emak perlahan, takut ditanya lagi.
“ Ada apa?” nah kan… ditanya lagi.
“ Katanya
ada yang penting…”
“ Jadi…??
“ tuh kan.. Emak bertanya lagi.
“ Dia
minta aku jumpai jam 10 di parkir kampus..”
“ Pergilah..
jumpai dia, perasaan Emak juga enggak enak” Emak menjawab sedikit serius, aku
merinding. Tapi mencemaskan Emakku ini.
“ Emak enggak apa-apa, panas Emak sudah
turun. Cuma masih lemas aja, pergilah!”
Tak
kujawab lagi suara Emak, aku berfikir bagaimana caranya menjumpai Zahwa,
karena jam 9 aku juga harus menjumpai
Pak Ritonga pembimbing skripsiku. Menjumpai beliau agak rumit, karena seperti
mendulang emas. Ketemu syukur, tak bertemu buat janji lagi. Tapi aku bisa
memaklumi karena beliau cukup sibuk, pasti banyak yang lebih penting daripada
aku. Yang penting, ketika nanti aku menjadi penting, aku juga akan memandang
semua manusia penting. Wah.. pusing aku memikirkan yang penting-penting!
Ketika hujan mulai reda, kutelusuri
gang sempit rumahku. Melambai kearah mobil kuning yang selalu siap mengantarku
pergi tanpa pernah mengeluh. Mobil yang selalu menjadi sahabat keseharianku
menuntut ilmu, suka menyalip dan berhenti suka-suka. Sopir yang saling memaki
dan tak peduli pada suasana, yang terkadang duduk miring karena sakit pinggang.
But I love them! jika mereka mogok
aku juga tak bisa kemana-nama, merana!
Alhamdulillah..
Pak Ritonga duduk manis dalam ruangannya seakan menunggu aku, prediksi memang
tak selalu benar. Skripsiku lancar, dia mengangguk takjub seakan skripsiku
memang perfect, hanya ada beberapa
bagian yang harus dikoreksi berhubungan dengan data.
Aku tersenyum bahagia, bukankah
selama ini menulis adalah pekerjaan yang menghasilkan uang bagiku? Sudah berapa
banyak skripsi yang beredar adalah hasil jerih payahku demi membantu Emak?
Urusan dengan Pak Ritonga hanya menghabiskan waktu 30 menit, aku menuju
lapangan parkir untuk menunggu Zahwa.
Gadis
itu sudah ada di lapangan parkir, berdiri disamping mobilnya seakan sedang
menunggu aku. Bukankah janji itu jam 10? ini masih 9.45.
“
Assalamualaikum Wa….”, kusapa Zahwa.
“ Alaikumsalam….
Yok!”, Zahwa menjawab sambil membuka pintu mobil.
“ Kemana
nih?” kujawab dengan heran.
“ Kemana
aja Zul, jangan disini…..” mata Zahwa Nampak kelam, ada sesuatu yang tak beres
tampaknya. Aku ikut masuk kedalam mobil tanpa berkata apa-apa, aku sudah
merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
“ Ada
apa Wa?” tak sabar aku bertanya. Zahwa
menggeleng, nampak matanya mulai basah, ada air yang jatuh. Belum jauh
dari kampus, Zahwa menghentikan mobil di pinggir jalan, tangisnya pecah! Aku bertambah
tak mengerti. Betapa pedihnya tangis gadis ini, apa yang harus kulakukan? Aku
tak berani menyentuhnya.
“ Papa Tir…..”, suara Zahwa terasa sangat
berat, masih dalam isaknya.
“ Kenapa?”
“ Kami
enggak ada yang tau, ternyata papa punya istri lagi… sudah tiga tahun, dia
juga punya dua anak lagi, papa
jahaaaaaattttt…..!” Zahwa berteriak sambil memukul stiur mobil melepaskan
kepedihannya. Ya Allah… aku terhenyak! mengapa Zahwa harus mengalami ini?
ternyata gadis ini tak sepenuhnya bahagia.
Mengapa
Zahwa harus mengatakan ini padaku? Apa yang harus kulakukan untuk menghiburnya?
Aku tak bisa memeluknya untuk meredakan tangis itu, aku bukan suaminya. Aku
sangat menghormati perempuan, aku lahir dari rahim Emakku yang juga perempuan.
Kutarik nafas panjang, mencoba tenang.
“ Dengar
Wa… semua masalah bisa diatasi dan enggak selamanya hidup itu indah. Allah
selalu memberi cobaan sebatas mampu kita aja. Allah penyayang Wa, percayalah …
ada hikmah dibalik semua ini. Kita juga tak sepenuhnya boleh menyalahkan
papamu, dia juga punya alasan Wa..”
“ Karena
kamu laki-laki kan?” potong Zahwa ketus.
“ Bukan
Wa, kita enggak sepenuhnya tau urusan rumah tangga orangtua kita. Kamu mungkin
lebih tau suasana dirumah bagaimana. Mungkin mamamu yang sangat sibuk hingga
papa kesepian dan dia butuh teman…”,
“ Ah…
tetap aja papa jahat! aku selalu temani papa kok. Itu Cuma legalitas laki laki!”
“ Tapi
enggak semua bisa dia dapat dari anaknya kan?” aku memotong kalimatnya dengan
hati - hati. Zahwa diam, menunduk.
“ Aku
mau makan!” Zahwa kembali menyetir dengan bersemangat, aku takut.
“ Hati-
hati Wa..” aku mengingatkannya.
“ Kalau
mau mati aku enggak ngajak kamu Tir, mati ndiri aja….” aku diam menatap gadis
yang matanya masih merah dan basah ini. Air itu terus jatuh menganak sungai di
pipinya yang bersih, aku diam seribu bahasa.
Zahwa makan seperti kuli, aku
terkagum-kagum.Ternyata dia tipe makan ketika stress, tapi kok enggak gemuk ya?
Menu Zahwa double sirloin steak dua
porsi, aku mual melihatnya. Tapi biarlah… mungkin dengan begini pikirannya agak
tenang. Aku juga agak tenang karena ketika kutelepon, kondisi Emak sudah
membaik. Hari ini, aku seperti pengawal gadis yang mengikuti kemana dia mau
pergi. Belanja, nonton, mutar mutar tanpa tujuan, melihat Zahwa yang tertawa
dan menangis.
Setiap ucapanku ku coba untuk selalu
memotivasi membangkitkan semangatnya
yang nampak hampir ambruk. Aku juga tahu Zahwa yang sangat menjaga sholatnya,
apapun yang dilakukan dia masih ingat waktu sholat, khusyu’ dan tak diburu
waktu. Dalam hati aku bertanya-tanya,mengapa harus aku yang menemaninya? apakah
Zahwa tak punya teman lain?
Pukul Sembilan aku pulang diantar
Zahwa. Kalimat akhir sebelum aku turun dari mobil membuatku hampir pingsan.
“ Aku
mau pergi dari rumah ” aku urung membuka pintu mobil, memiringkan tubuh menatap
wajahnya dengan serius.
“ Jangan
ngaco ah…. Jangan cemen Wa, masak masalah gini aja mau ninggalin rumah” kucoba
membujuknya. Mata yang kelam itu menatapku, gelap.. tapi ada sesuatu disana.
Cahaya dalam gelap itu berbinar, menusuk jantungku dengan tajam.
“ Nikahi
aku……” lirih suara itu, bergetar… air bening dari mata yang kelam itu jatuh
lagi. Aku tercekat, halilintar menyambar-nyambar. Aku terpaku bagai seonggok
batu, aku tak bisa beranjak menghampiri Emak yang sudah menungguku di dalam
rumah. Fren… nanti aku akan bercerita
lagi, aku tercekat!
* Ikuti terus lanjutannya yaaa... :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar