Rabu, 28 Maret 2018

MENJEMPUT IMPIAN DI KEUKENHOF (7)

MATA YANG KELAM    (7)

            Hujan masih belum reda juga,  parit di gang sempit di depan rumah mulai muntah. Anak-anak sekolah yang punya semangat tinggi berangkat diantar ibunya dengan payung, si Ucok yang pemalas masih terlelap tidur. Ketika Ibunya merepet-repet dia hanya mengatakan “ Tenanglah mak… guruku pun masih tidur”. Ahahaaayyyy…. Andai gurunya mendengar  pasti si Ucok dituntut, karena tak tau membalas budi, sudah diajarkan menulis membaca yang tak didapat dari Ayah Ibunya.
            Aku teringat guruku Pak Zainal. Beliau adalah guru pertamaku, yang mengajarkan aku menulis dan membaca. Walau Emak sudah mengajariku, tetap saja aku merasa beliau adalah guruku yang paling hebat. Aku tak pernah merasakan bangku TK, tapi Emak sangat sabar mengajariku. Beliau selalu menggunakan Koran-koran bekas untuk mengenalkan huruf dan angka. Aku suka melihat Koran atau buku yang bergambar. Tak heran, ketika aku duduk di SD aku tak pernah kalah dari teman-teman yang merasakan bangku TK. Pak Zainal sering menghadiahi aku permen karena dapat melakukan tugas-tugas yang di perintahkannya dengan cara halus. Mungkin saja, aku suka beliau karena permen-permen itu.
Ku longok jendela, hujan sangat rapat. Emak sudah dua hari tidak jualan ke pasar, badan Emakpun panas tinggi, Emak demam. Malam tadi aku tidur disampingnya, mengompres keningnya dan mengingatkannya untuk banyak minum air putih agar panas tubuhnya cepat turun, kasihan Emak tidurnya tidak nyenyak seperti biasa. Sebenarnya, aku berencana subuh ini untuk berjualan menggantikan Emak, tapi Emak melarang aku jualan sendirian dan hujan sangat rapat. Aku juga benci sekali suasana pasar yang diakibatkan hujan, bau busuk merayap-rayap naik ke kepala. Kepalaku sering berdenyut-denyut, hidungku tak pernah ramah terhadap aroma ini. Meskipun aku sudah bertahun-tahun berada dalam lingkaran pasar, dari bayi malah.
Handphone ku bernyanyi nyaring, sms masuk. Isinya sangat singkat “ jpi aq d prkr FH j 10,PTG,TLG”, kukernyitkan alis penuh tanda tanya, itu sms dari Zahwa, ada apa?
  Siapa Tir ?” suara lemah Emak bertanya heran . Ingin kusembunyikan pada emak, tapi aku tak pandai berbohong menghadapi Emakku ini, aku juga tak pandai jika HP ku hanya getar, untuk urusan ini aku punya koneksi lambat. Togar teman kuliahku selalu mengeluh, katanya aku orang kampung karena suara HP ku norak, walaaahhh……siapa peduli?
  “ Zahwa mak… katanya ada yang penting” kujawab pertanyaan Emak perlahan, takut ditanya lagi.
  “ Ada apa?” nah kan… ditanya lagi.
  Katanya ada yang penting…”
  Jadi…?? “ tuh kan.. Emak bertanya lagi.
  Dia minta aku jumpai jam 10 di parkir kampus..”
  Pergilah.. jumpai dia, perasaan Emak juga enggak enak” Emak menjawab sedikit serius, aku merinding. Tapi mencemaskan Emakku ini.
  “ Emak enggak apa-apa, panas Emak sudah turun. Cuma masih lemas aja, pergilah!”
Tak kujawab lagi suara Emak, aku berfikir bagaimana caranya menjumpai Zahwa, karena  jam 9 aku juga harus menjumpai Pak Ritonga pembimbing skripsiku. Menjumpai beliau agak rumit, karena seperti mendulang emas. Ketemu syukur, tak bertemu buat janji lagi. Tapi aku bisa memaklumi karena beliau cukup sibuk, pasti banyak yang lebih penting daripada aku. Yang penting, ketika nanti aku menjadi penting, aku juga akan memandang semua manusia penting. Wah.. pusing aku memikirkan yang penting-penting!
            Ketika hujan mulai reda, kutelusuri gang sempit rumahku. Melambai kearah mobil kuning yang selalu siap mengantarku pergi tanpa pernah mengeluh. Mobil yang selalu menjadi sahabat keseharianku menuntut ilmu, suka menyalip dan berhenti suka-suka. Sopir yang saling memaki dan tak peduli pada suasana, yang terkadang duduk miring karena sakit pinggang. But I love them! jika mereka mogok aku juga tak bisa kemana-nama, merana!
            Alhamdulillah.. Pak Ritonga duduk manis dalam ruangannya seakan menunggu aku, prediksi memang tak selalu benar. Skripsiku lancar, dia mengangguk takjub seakan skripsiku memang perfect, hanya ada beberapa bagian yang harus dikoreksi berhubungan dengan data.
            Aku tersenyum bahagia, bukankah selama ini menulis adalah pekerjaan yang menghasilkan uang bagiku? Sudah berapa banyak skripsi yang beredar adalah hasil jerih payahku demi membantu Emak? Urusan dengan Pak Ritonga hanya menghabiskan waktu 30 menit, aku menuju lapangan parkir untuk menunggu Zahwa.
Gadis itu sudah ada di lapangan parkir, berdiri disamping mobilnya seakan sedang menunggu aku. Bukankah janji itu jam 10? ini masih 9.45.
  Assalamualaikum Wa….”, kusapa Zahwa.
             Alaikumsalam…. Yok!”, Zahwa menjawab sambil membuka pintu mobil.
  Kemana nih?” kujawab dengan heran.
  Kemana aja Zul, jangan disini…..” mata Zahwa Nampak kelam, ada sesuatu yang tak beres tampaknya. Aku ikut masuk kedalam mobil tanpa berkata apa-apa, aku sudah merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
  Ada apa Wa?” tak sabar aku bertanya. Zahwa  menggeleng, nampak matanya mulai basah, ada air yang jatuh. Belum jauh dari kampus, Zahwa menghentikan mobil di pinggir jalan, tangisnya pecah! Aku bertambah tak mengerti. Betapa pedihnya tangis gadis ini, apa yang harus kulakukan? Aku tak berani menyentuhnya.
  “ Papa Tir…..”, suara Zahwa terasa sangat berat, masih dalam isaknya.
             Kenapa?”
             Kami enggak ada yang tau, ternyata papa punya istri lagi… sudah tiga tahun, dia juga  punya dua anak lagi, papa jahaaaaaattttt…..!” Zahwa berteriak sambil memukul stiur mobil melepaskan kepedihannya. Ya Allah… aku terhenyak! mengapa Zahwa harus mengalami ini? ternyata gadis ini tak sepenuhnya bahagia.
Mengapa Zahwa harus mengatakan ini padaku? Apa yang harus kulakukan untuk menghiburnya? Aku tak bisa memeluknya untuk meredakan tangis itu, aku bukan suaminya. Aku sangat menghormati perempuan, aku lahir dari rahim Emakku yang juga perempuan. Kutarik nafas panjang, mencoba tenang.
  Dengar Wa… semua masalah bisa diatasi dan enggak selamanya hidup itu indah. Allah selalu memberi cobaan sebatas mampu kita aja. Allah penyayang Wa, percayalah … ada hikmah dibalik semua ini. Kita juga tak sepenuhnya boleh menyalahkan papamu, dia juga punya alasan Wa..”
  Karena kamu laki-laki kan?” potong Zahwa ketus.
  Bukan Wa, kita enggak sepenuhnya tau urusan rumah tangga orangtua kita. Kamu mungkin lebih tau suasana dirumah bagaimana. Mungkin mamamu yang sangat sibuk hingga papa kesepian dan dia butuh teman…”,
  Ah… tetap aja papa jahat! aku selalu temani papa kok. Itu Cuma legalitas laki laki!”
  Tapi enggak semua bisa dia dapat dari anaknya kan?” aku memotong kalimatnya dengan hati - hati. Zahwa diam, menunduk.
  Aku mau makan!” Zahwa kembali menyetir dengan bersemangat, aku takut.
  Hati- hati Wa..” aku mengingatkannya.
             Kalau mau mati aku enggak ngajak kamu Tir, mati ndiri aja….” aku diam menatap gadis yang matanya masih merah dan basah ini. Air itu terus jatuh menganak sungai di pipinya yang bersih, aku diam seribu bahasa.
            Zahwa makan seperti kuli, aku terkagum-kagum.Ternyata dia tipe makan ketika stress, tapi kok enggak gemuk ya? Menu Zahwa double sirloin steak dua porsi, aku mual melihatnya. Tapi biarlah… mungkin dengan begini pikirannya agak tenang. Aku juga agak tenang karena ketika kutelepon, kondisi Emak sudah membaik. Hari ini, aku seperti pengawal gadis yang mengikuti kemana dia mau pergi. Belanja, nonton, mutar mutar tanpa tujuan, melihat Zahwa yang tertawa dan menangis.
            Setiap ucapanku ku coba untuk selalu memotivasi  membangkitkan semangatnya yang nampak hampir ambruk. Aku juga tahu Zahwa yang sangat menjaga sholatnya, apapun yang dilakukan dia masih ingat waktu sholat, khusyu’ dan tak diburu waktu. Dalam hati aku bertanya-tanya,mengapa harus aku yang menemaninya? apakah Zahwa tak punya teman lain?
            Pukul Sembilan aku pulang diantar Zahwa. Kalimat akhir sebelum aku turun dari mobil membuatku hampir pingsan.
  Aku mau pergi dari rumah ” aku urung membuka pintu mobil, memiringkan tubuh menatap wajahnya dengan serius.
  Jangan ngaco ah…. Jangan cemen Wa, masak masalah gini aja mau ninggalin rumah” kucoba membujuknya. Mata yang kelam itu menatapku, gelap.. tapi ada sesuatu disana. Cahaya dalam gelap itu berbinar, menusuk jantungku dengan tajam.
  Nikahi aku……” lirih suara itu, bergetar… air bening dari mata yang kelam itu jatuh lagi. Aku tercekat, halilintar menyambar-nyambar. Aku terpaku bagai seonggok batu, aku tak bisa beranjak menghampiri Emak yang sudah menungguku di dalam rumah. Fren… nanti aku akan bercerita lagi, aku tercekat!                      


 * Ikuti terus lanjutannya yaaa... :)


           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar