GADIS YANG MENJAUH (8)
Angin berdesing melewati telinga,
awan pekat menggumpal seakan mau tumpah. Aku berjalan pulang di sisi Emak,
setelah merapikan sisa dagangan. Tak ada rencana untuk hari ini, aku
benar-benar galau menata hati dan pikiran. Setelah apa yang dikatakan Zahwa
malam itu. Bahkan, aku belum menyampaikan sesuatupun pada Emak perihal itu. Aku
tak mampu berpikir, ungkapan tak masuk akal yang dilingkupi emosi sesaat.
Bukankah Zahwa sedang limbung? Dia butuh tempat bersandar lalu ingin di nikahi?
Tapi, mengapa harus aku? Lelaki malang yang miskin dan belum jelas masa
depannya? Dunia sudah berubah, jika biasanya lelaki mengajak menikah, kini
malah perempuan yang berinisiatif. Ku usap-usap wajah yang tak basah, galau.
“Kenapa Tir? Sakit?” Emak tampak mencemaskanku,
mungkin suasana hati merubah warna wajahku.
“Enggak, Mak. Enggak apa-apa”
“Mukamu pucat, besok kau enggak usah
ikut Emak jualan ya?”
“Aku enggak apa-apa Mak, Emak enggak
usah cemas ya? Aku sehat kok, sehat walafiat tanpa kurang suatu apapun” Aku
coba bercanda walau tak lucu, Emak berjinjit meraba jidatku, sejenak kecemasan
itu hilang dari raut wajahnya. Memang, sesungguhnya aku tak sakit.
Menikahi Zahwa? Itu hal paling gila!
Aku tak sanggup! Walau jika ditanya dalam hati kecilku, aku menyukai perempuan
itu. Lebih tepat lagi, akhir-akhir ini aku banyak memikirkannya, dia banyak
mengisi ruang hati dan pikiranku. Ucapan Emak, Zeiny dan hatiku pun tak bisa
berdusta, jika Zahwa menaruh hati padaku. Dan akupun akhirnya tak lagi dapat
mengingkari kenyataan bahwa aku juga menyukainya, mencintainya. Tapi aku tak
pernah berpikir untuk menjadi pacarnya atau malah menikahinya.
Aku limbung, kawan. Apa yang aku
andalkan di hadapan orangtuanya? Aku bukanlah orang yang membanggakan dan jauh
dibawah kondisi normal. Itu hanya keinginan Zahwa saja, bukan atas persetujuan
keluarga besarnya. Di depan keluarganya aku pasti tak berani mengangkat
muka. Berhadapan dengan bapaknya yang
professor dan Ibunya yang seorang dokter terkenal? Belum sampai aku di pintu
rumahnya aku sudah di tendang keluar! Mana harga diriku sebagai seorang lelaki?
Aku tak ingin Emak menderita malu seumur hidup, atau aku di bawah kaki mereka seumur hidup.
Jika
kawan seperti aku, lelaki sehat dan normal lahir batin. Pasti berpikir untuk menerima
ajakan menikah itu. Aku sangat ingin perempuan itu menemani aku dalam
mengarungi hidup, tapi tunggu dulu, hingga aku bisa mengangkat muka di hadapan
orangtuanya. Bukan masuk rumah mereka dengan kepala tertunduk, tak berdaya atau
mungkin aku di tuding-tuding, tapi aku ingin masuk dengan kepala tegak! Apa
yang harus kukatakan pada Zahwa?, duhai cinta… kini aku tak berdaya.
“Bagaimana
menurut Emak jika aku menikah dengan Zahwa?” tanyaku malam itu, selepas sholat
Isa berjama’ah dengan Emak. Emak tersenyum, matanya berbinar.
“Ya…
Emak suka Zahwa. Dia Nampak sangat mencintaimu dan Emak juga tau kau
menyukainya”
“Dia
meminta aku menikahinya Mak.”
“Haaa?
Kau apakan dia? Petir..!” Emak kaget luar biasa, nafasnya bergemuruh,
diremasnya sajadah yang masih di dudukinya. Aku cepat-cepat menenangkan Emak.
“Enggak
ada apa-apa Mak, aku tak pernah menyentuhnya, percayalah Mak”
“Jadi?
Kenapa pula dia minta kau nikahi ha?” Emak masih tak percaya, nafasnya naik
turun dengan cepat, aku menjadi takut.
Malam
itu, aku menceritakan semua pada Emak, perempuan pertama dalam hidupku. Nafas
Emak perlahan normal dan dia nampak tenang karena sudah bisa memahami ceritaku,
hal yang di khawatirkannya ternyata tidak benar.
“Gimana
menurut pendapat Emak?” aku ingin tahu jalan pikiran Emak, dia sangat
menyayangi Zahwa.
“Emak
rasa, suruh Zahwa tunggu dulu sampai kau
siap. Tak ada harga dirimu sekarang Tir, kau selesaikan kuliah dulu,
kerja, baru kau menghadap orangtuanya.”
“Sepertinya
Zahwa marah pada papanya dan ingin segera ku bawa pergi”
“Perkawinan
itu menyatukan seluruh keluarga, bukan hanya kau dan Zahwa saja. Cukup yang
kita rasakan sekarang Nak…. Emak tak punya siapa-siapa. Saudara Ayahmu saja
Emak tak punya karena habis mati, begitu juga abang Emak yang Cuma satu. Emak
ingin kita besar, ramai….”
“Zahwa
juga anak satu-satunya Mak….”
“Nanti
kau suruh dia beranak banyak” Emak mulai lagi, aku tersenyum kecut.
“Tapi
dia sudah punya adik dari Ibunya yang lain..”
“Berarti
dia bisa beranak banyak..” ah! Emaaaak.
Malam
pekat, angin berdesis masuk kamar melalui celah jendela, udara dingin walau tak
ada hujan. Aku masih terlentang di tempat tidurku yang berkasur tipis, menatap
langit-langit kamar yang kekuningan akibat asap obat nyamuk bakar. Zahwa
menari-nari dalam bayangan. Kawan, aku mencintai perempuan itu. Tapi untuk
menikahinya sekarang sama saja aku harus masuk kedalam lingkaran tak bertepi yang justru aku terhisap didalamnya.
Andaikan aku orang berpunya, aku akan segera menangkapnya, memagutnya dalam
pelukan karena dia sudah halal bagiku.
Atau,
jika aku sudah bekerja walau tak kaya raya, aku berani melamar Zahwa. Karena
untuk selanjutnya kami akan berjuang bersama, tertatih melayari hidup. Jika
kini, untuk diri sendiri saja aku belum bisa berdiri tegak. Aku masih bertopang
pada Emakku yang seorang janda, mengais rezeki demi anaknya di pagi buta.
Jikapun aku menulis, itu bukanlah dapat dijadikan sandaran hidup untuk berdua.
Malam semakin dingin, hatiku menggigil. Mataku tak jua mau terpejam, aku
tersiksa dalam malam.
Duhai kelam
Peluklah aku dalam pekatmu
Hingga aku hilang melayang
Dalam lelap yang sangat
Agar esok
Ku dapat tegak
Menyerahkan bahuku
Sebagai sandaran Emak
***
Pagi
buta sudah ku telepon Zahwa, suaranya yang mendayu membuatku semakin perih.
Akankah nanti aku bisa memiliki gadis ini? memenuhi harapan Emak dan juga
keinginan hatiku sendiri? entahlah, waktu akan menjawab semua. Aku berjanji
akan menjumpainya siang ini, menjelaskan semua tentang keadaanku, keinginanku,
cita-citaku, harapanku, semuanya…ya semuanya. Tak ada lagi yang harus aku
sembunyikan, apapun kenyataan yang harus aku terima, aku siap.
Zahwa
memakai gaun biru muda, jilbab dan sepatunya senada. Wajahnya tak begitu
bersemangat, masih buram.
“Assalamu’alaikum
Wa…”
“Walaikum
salam”
“Aku
ingin membicarakan hal yang kemarin” Ku tegaskan suaraku, Zahwa tunduk,
tersipu.
“Ma’af
Tir..aku juga sebenarnya malu, aku juga maklum jika memang kamu tidak mau juga
enggak apa-apa, lupakan saja ya?” wajah putih itu masih tertunduk, pipinya
merah muda.
“Enggak
apa-apa, tapi ada hal penting yang harus aku sampaikan ke kamu, bisa kita
bicara?” Zahwa mengangguk.
“Kita
enggak usah kemana-mana, di taman kampus aja ya?” ku usulkan suatu tempat yang
biasanya siang begini agak sepi, taman utara kampus banyak pohon besar yang
rindang. Zahwa kembali mengangguk, ah… dia mengangguk terus. Semakin anggun
saja perempuan ini, kata hatiku.
“Apa
yang kamu pikirkan tentang aku hingga kamu mengajakku menikah Wa?” itu hal
pertama yang aku tanyakan. Zahwa menarik nafas panjang, aku bisa merasakan
gemuruh dadanya yang sama dengan gemuruh dadaku.
“Sulit
aku menjelaskannya Tir, kamu lelaki yang..yang lain daripada yang lain. Cara
kamu menghormati dan menyayangi Emak menunjukkan kau sangat menyayangi dan
menghormati perempuan. Kita sering bersama, kau tetap sopan, kau lelaki yang
soleh. Kau juga pejuang Tir, aku kagum dengan perjuanganmu. Semua yang kau
dapatkan penuh dengan kerja keras, bagiku kau sosok lelaki yang bisa diandalkan
untuk menjadi imamku” sampai disitu, Zahwa menyeka matanya.
“Ma’af
jika aku menjadi perempuan yang agresif. Aku tak ingin mendapati lelaki seperti
sosok papaku sendiri yang tega menduakan mama. Aku ingin cepat keluar dari
situasi ini, tak ada tempat aku berkeluh kesah. Tak ada bahu untuk bersandar,
tak ada orang lain yang mencintai aku. Aku merasa sepi sendiri, kosong…”
“Tapi
aku men…mencintaimu Wa..” ya Tuhan…kalimat itu keluar begitu saja, aku tak bisa
mengontrol diriku sendiri. Zahwa mengangkat kepalanya, terdongak.
“Tapi…
tetap kau tidak halal bagiku, sebelum kau menikahiku.” Tegas suara itu, aku
terpacak kaku, menyerapahi diri sendiri. Ku kuatkan jiwa raga, giliranku
berpendapat.
“Bagiku,
kau perempuan yang nyaris sempurna, Wa. Emak menyayangimu dan kau juga tak
pernah memandang status ekonomiku. Padahal, kita seperti langit dan bumi. Kau
juga perempuan yang soleh, aku ingin kelak anak-anakku di didik oleh perempuan
sepertimu. Tapi, aku belum bisa sekarang menghadap orangtuamu. Jika berkenan,
tunggulah dulu aku selesai dan bekerja supaya aku tak terlalu senjang untukmu…”
aku selesai untuk membuat alasan dari alam pikiranku sendiri, dadaku semakin
panas berdegup.
Zahwa
masih bisu, kini mata itu semakin basah. Aku benar-benar sakit dengan
perasaanku sendiri, Zahwa juga.
“Bukankah
semua bisa kita hadapi bersama? Aku tak pernah memandang kamu rendah. Harta
bukanlah segalanya bagiku.”
“Aku
tau Wa…sangat tau. Sikapmu padaku juga sudah membuktikan bahwa kamu bukanlah
tipe seperti itu. Tapi dunia bukan milik kita berdua, masih banyak orang lain
yang harus kita perhatikan pendapatnya. Orangtuamu yang paling utama. Jika kita
menikah sekarang, kuliahmu belum selesai, jika orangtuamu marah dan
menghentikan dana pendidikanmu yang tidak sedikit, bagaimana kau akan
melanjutkannya? Apakah kau mengandalkan aku yang jalan sendiri aja
terseok-seok? Pikiran kita harus jernih, Wa..”
Siang
semakin terik, kami membisu. Daun akasia berguguran, bunganya yang kuning cerah
hinggap di jilbab Zahwa, cantik sekali. Kami duduk berada dalam kesakitan
perasaan, Zahwa mulai mengerti situasiku. Aku berharap, dia masih mau menunggu
hingga semua sesuai rencana yang kurancang. Terkadang, jiwaku begitu apatis
menghadapi jurang ini. Tapi, aku harus mampu menghadapi situasi dan
memperjuangkannya. Masa depanku, masa depan Emakku, dan masa depan kami berdua
tentunya. Tak kusadari nantinya, jika gadis ini semakin menjauh…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar