PEREMPUAN DENGAN PIPI MERAH MUDA (6)
Perempuan
itu bernama Zahwa. Secara fisik, dia cukup menggetarkan jiwa lelaki normal.
Walau Zahwa berpakaian tertutup, auranya tetap terpancar berjarak ratusan
meter. Aku bisa menggambarkan Zahwa sebagai perempuan yang nyaris sempurna.
Berpostur tinggi, kulit telapak tangan yang putih mulus didampingi kuku putih
bersih yang cantik. Wajahnya bujur sirih, dihiasi hidung mancung dan mata teduh
yang di bingkai alis tebal yang rapi.
Ada beberapa noda benjolan di pipinya berwarna merah muda, tidak banyak dan
terkadang hilang sesaat. Menurut cerita
Emak, perempuan seperti itu biasanya kedatangan benjolan yang disebut jerawat
muncul saat menjelang menstruasi karena perubahan hormon. Aku mulai nakal dan
mengamati ketika bertemu Zahwa, apakah bintik merah muda itu ada?
Terus
terang, aku menyukai pipi dengan bintik merah muda itu. Warna yang kontras,
paduan putih dan merah muda yang elegan. Terkadang aku beristighfar dalam hati, menepis pikiran yang merajai. Ibarat setan
yang berdansa di kepala, ada-ada saja yang muncul dalam pikiran dan tak layak
disampaikan. Awalnya, aku sama sekali tak tertarik dengan perempuan ini. Bukan
apa-apa, aku menyadari kami ada dalam satu komunitas dengan kasta berbeda. Dia,
ibarat bulan dan aku ibarat pungguk. Jika digabungkan maka muncullah kata-kata
mutiara “ Ibarat pungguk merindukan bulan”. Itu adalah sesuatu yang tak mungkin
dan tak pernah kesampaian, aku adalah lelaki bersemangat baja tapi hati masih
dihinggapi apatis, resah menghadapi masa depan.
Ternyata
Zahwa bukanlah tipe perempuan yang memilih teman berdasarkan ukuran dompet dan
kendaraan. Dia memperlakukan aku sama dengan teman yang ada dalam komunitas
kami, penulis kampus. Terkadang, aku juga diperlakukan spesial. Zahwa bersedia
mengajakku pulang bersama dan mengantarkanku sampai depan rumah. Aku berpikir,
itu hanya rasa simpati Zahwa padaku yang tidak punya kendaraan pribadi. Kemana
aku pergi, aku berserah diri pada supir angkot yang liar minta ampun, memaki,
mengumpat dan sering menjadi manusia
pesong yang hilang kontrol.
Terkadang, Zahwa mengajakku makan siang ke tempat yang tak pernah aku datangi.
Tentu saja, dia juga prihatin padaku yang tak pernah makan di restoran mahal.
Yang aku tahu hanya warung nasi Padang delapan
ribu, prinsip makanku yang penting
kenyang. Betapa banyak orang kaya menghabiskan uang untuk memanjakan
lidah sebatas tenggorokan. Kemudian seonggok nasi dengan lauk pauk mahal itu
ditinggalkan. Aku merepet kesal dalam hati yang tak berdaya, andai uangnya di
sumbangkan kepada orang miskin yang lapar, tentu jauh lebih manfaat. Aku
berdamai dalam hati, mereka bersikap begitu tentu saja karena mereka tak pernah
merasakan lapar.
“
Wa... kok makanannya di tinggalin? “ aku setengah berbisik kepada Zahwa,
setelah menyaksikan seorang pria tambun di meja sebelah kami yang hanya
menyeruput sedikit minuman dan berlalu, membayar ke kasir, dan meninggalkan
meja dengan hidangan utuh!
“ Mungkin dia ada bisnis Tir..”
Zahwa menjawab ringan
“ Mubazir tuh! masak di bayar enggak di makan, sakit jiwa!”
“ Husss!! “ Zahwa melotot, wajahnya
tampak lucu
“ Yang penting, kita enggak
ikut-ikut mubazir. Udah.. makan yok, nanti dingin enggak enak lagi” Zahwa
mencuci tangan dan mulai mencomot bebek presto yang kami pesan. Aku ikut makan,
tapi dengan diselimuti pikiran pedih. Mengapa manusia berduit punya sikap
seperti itu?
“ Tir... makan jangan melamun, nanti
tangannya masuk kehidung” Zahwa seakan tau pikiranku.
“ Tu...kan, nasi nyangkut di pipi,
hehehe” Zahwa tertawa kecil, menyaksikan butiran putih di pipiku yang salah
arah. Kini, aku yang tersipu malu di depan perempuan ini, tertawa memamerkan
sederet gigi putihnya yang rapi menawan.
Perempuan berpipi putih dihiasi
bintik merah muda itu bernama lengkap Sabina Ghalia Zahwa, nama yang indah. Perempuan pertama yang pernah masuk ke dalam rumahku. Perempuan yang
tidak jengah menginjakkan kakinya ke
lantai rumahku yang berlantai semen batu. Perempuan yang sanggup mengajak Emak
bicara layaknya Ibu dan anak. Perempuan yang sanggup menebar mimpi Emak menjulang
ke awan dan pecah melesap ke udara. Perempuan yang selalu dibicarakan Emak di
rumah, di puja puji layaknya dewi yang baru turun ke bumi. Betapa aku
memperhatikan Emak yang bersemangat. Sementara aku bukanlah pemimpi layaknya
Emak, aku lebih suka pada realita. Aku dan Zahwa adalah dua sahabat yang tak
mungkin mengarah kepada ikatan. Aku Petir adalah seekor pungguk, Zahwa adalah
ibarat bulan.
Hampir setiap aku berangkat kuliah,
pulang dari pasar menemani Emak berdagang. Emak selalu menitip salam, berangkai-rangkai
salam untuk Zahwa idolanya. Padahal belum tentu hari itu aku akan bertemu
dengan perempuan berpipi putih dihiasi bintik merah muda itu. Aku dan Zahwa
beda Fakultas, hanya kegiatan komunitas mempertemukan kami. Belakangan, kami
sering bertemu di luar dugaan, dan Zahwa selalu hangat menyapa. Perempuan ini
sangat menyenangkan, sebagai lelaki aku tak pernah merasa rendah walau ia mengantar pulang atau mengajak makan
siang. Agaknya, Zahwa sangat tau memposisikan diri.
Satu-satunya teman yang rajin
berkomentar hanya Zeiny. Hasutannya seperti bisikan syetan, terngiang-ngiang di
seluruh rongga kepala, kepalaku berdenyut, berdengung mengisi semua rongga
tubuh, membuncah tapi tak bisa keluar, terperangkap.
“ Udah lah Tir, kau tangkap aja si
Zahwa itu. Cantik, pintar, kaya lagi. Kau dapat dia, cerah masa depanmu. Tak
usah lagi Emak mu jualan sayur, bangun pagi-pagi, kasian dia...” bukan main
bersemangatnya si Zein, sampai air liurnya muncrat ke mukaku. Aku coba
menghindar, tapi itu sudah terlanjur terjadi.
“ Kau pikir dia bola? Main tangkap
aja....” kujawab sekenanya saja.
“ Maksudku.. kau tembak aja dia,
biar jadi pacar kau..” wah... muncrat lagi. Sahabatku ini memang punya mulut
yang selalu basah oleh air liur, maka ketika ia bicara aku sering menjadi
korban. Air liurnya overload. Aku
mengusap muka pasrah, dia adalah sahabat baikku.
“ Mati dia kalau ku tembak...”
” Alaaahh... payah kali cakap sama
kau, nanti di ambil orang baru merana kau, patah hati, bunuh diri...ckk,” Zein meletakkan telunjuknya di
leher, sebuah isyarat penyembelihan. Zein benar-benar mendramatisir keadaan. Pemuda
Aceh ini masih memiliki logat daerah yang kental dan ganjil, aku sering geli
mendengar bahasanya. Setahuku Zein sudah lama di Medan, tapi lidahnya masih
saja keriting. Aku tersenyum, di lingkari manusia sekitar yang penuh mimpi. Aku
masih kukuh dan keras hati, itu tak mungkin. Dan, mengapa pula Zein membawa
nama Emak dalam hal ini? Apakah ada persekongkolan diantara keduanya? Zein
cukup tahu keadaanku, luar dalam. Dia tipe manusia yang setia kawan, walau
sedikit egois dan tak pernah mau kalah. Kabarnya, itu adalah karakter khas
kaumnya yang keturunan Sultan dan tanah airnya yang tak pernah diinjak
penjajah. Jadilah mereka kaum yang pongah, sombong walau berpakaian kumal dan
bodoh. Itu hal yang pernah aku baca di Novel Lampuki karya Arafat Nur salah
seorang penulis favoritku yang berasal dari Daerah yang sama dengan sahabatku
Zein. Begitupun, aku sangat mengasihi sahabatku ini, dan aku pernah menginjak
tanah airnya yang indah dan makmur.
Hujan lagi, cuaca benar-benar tak
bisa di duga. Situasi sekarang memang tak enak, pagi terang benderang dan
sesaat bisa saja mendung kelabu menggayuti langit dan hujan tumpah ruah ke
bumi. Aku adalah orang yang selalu sial jika hujan, susah sekali untuk bisa
keluar rumah dan lagi, kasihan melihat diriku dan Emak yang di semprot hujan di
kedinginan dini hari. Kami akan meringkuk di bawah payung sewaan di pasar,
berharap sayur cepat habis agar tak membusuk. Ku perhatikan wajah Emak yang
pucat kedinginan namun tetap bersemangat. Hujan memang sangat sombong, tapi aku
tak mampu melawannya. Yang kulakukan hanyalah mencoba menikmatinya, merasakan
aromanya, atau bahkan membiarkan wajahku di tamparnya hingga perih. Kunikmati
semua akibat yang ditimbulkannya, dingin yang menusuk tulang, air parit busuk
meluap, sampah di pasar mengeluarkan aroma tak sedap, dan telapak tangan dan
kakiku mengkerut seakan usiaku sudah tujuh puluh tahun.
Ketika hujan pula, si perempuan
berpipi merah muda itu rajin menghampiriku, mengajak bersama duduk dalam
mobilnya menikmati tawanya yang renyah. Terkadang aku sangat jengah disini,
duduk di samping perempuan yang harum dan ramah. Perempuan yang sopan tapi
lincah, yang punya pipi merah muda, terkadang bintil merah muda itu juga lenyap
seketika. Terkadang aku justru heran dengan diri sendiri. Mengapa aku harus
jengah dan linglung jika aku menganggapnya sebatas sahabat? Apakah aku seorang
laki-laki yang mencoba berkhianat pada diri sendiri yang teramat sangat malang karena keadaan
yang papa? Apakah aku lelaki malang yang berjuang melawan keinginan dan
kehampaan seakan aku tak menginginkan perempuan ini? Bukan main resahnya hatiku
menghadapi hari-hari, mencoba lari menjauh, tapi justru semakin dekat dan tak
berdaya. Aku terperangkap dalam alam pikiranku sendiri, mencoba menarik tapi
malah tertarik, mencoba keluar dari lingkaran tetapi malah semakin jauh
terperangkap dalam lingkaran itu, ahhh.
“ Apa pandanganmu tentang hidup
Tir?” tanya Zahwa suatu kali, saat kami akan pulang seusai pertemuan mingguan
kelompok penulis kampus. Kali ini, pipinya bersih, tak ada bintil merah muda
itu. Ah, aku suka sekali nakal memikirkan itu.
“ Apa itu penting Wa? “
“ Yaaa.... aku pengen tau aja, apa
pandangan hidupmu “
“ Aku enggak tau, pandangan hidup
yang gimana? “ aku balik bertanya, bibir Zahwa mengkerut, merajuk.
“ Maksudku, pandangan tentang apa?
Sisi hidup itu banyak Wa, misalnya cita-cita, orangtua, perempuan atau...
apalah “ aku mencoba berdiplomasi.
“ Oke, kita mulai dari cita-cita
dulu “ Zahwa semakin bersemangat, seakan ingin membongkar tiap sisi diriku. Aku
menyesal telah memilah-milah pandangan hidup itu, diplomasi yang salah. Kutarik
nafas panjang, cita-citaku jelas. Tapi haruskah kubeberkan pada perempuan ini? yang tau cita-citaku
hanya Emak, aku ingin menyimpannya dari orang lain.
“ Cita-citaku adalah.... aku ingin
sukses lahir batin, bekerja dan punya penghasilan “
“ Itu standart Tir..... yang spesifik gitu “
“ Enggak ada, aku membiarkan hidupku
mengalir seperti air. Kalo kamu. Gimana? “ aku kembali bertanya pada Zahwa,
memiringkan tubuh menghadapnya.
“ Aku ingin nanti ketika gelar
dokter sudah dapat, aku ambil spesialis obgin supaya perempuan yang ingin
melahirkan atau hamil enggak perlu ditangani dokter laki-laki. Dokter Obgin
perempuan di sini kan masih dikit. Aku ingin buka klinik sendiri, punya suami
dan anak-anak yang lahir dari rahimku sendiri. Bahagia selamanya...” Zahwa
tersenyum menguraikan cita-citanya yang sudah dibentuknya dengan jelas, seperti
pahatan patung lilin yang sempurna.
“ Pandanganmu tentang sosok suami? “
ohh... mengapa aku lancang bertanya? Mengapa bibirku melepas ucapan itu?.
“ Aku ingin punya suami sholeh, imam
dan penuntun jalan hidupku. Aku ingin punya suami petarung, pejuang dan tak
boleh manja berleha-leha “ Zahwa menatap kedepan, sangat jauh.
“ Apakah dia seorang dokter?“ uupps... kelancangan menguasai mulutku.
Zahwa tertawa menunjukkan barisan giginya yang tersusun sempurna. Barisan gigi
yang seakan disusun sang pencipta dengan sangat hati-hati, tak boleh kurang
atau lebih ukuran senti dan inci.
“ Ya.... bolehlah, kalau dokter
boleh, siapa aja boleh. Yang penting sholeh.....” Zahwa masih tersenyum,
pipinya bersemu merah muda. Entah mengapa, aku tersenyum lega.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar