PEREMPUAN
KEDUA (5)
Trotoar kampus masih basah ketika
aku melangkahkan kaki menembus gerimis tipis. Jalanan hitam penuh pasrah
menerima tumpahan bunga kuning akasia yang gugur, pemandangan jalanan yang
indah, paduan warna yang harmonis. Kutarik nafas panjang, aroma khas bunga
akasia menyergab hidung, aku suka dan menikmatinya. Hujan di kampus sangat
berbeda, aku suka dan menikmatinya. Udara sejuk, air yang jatuh dari langit,
daun yang basah adalah lukisan ajaib bagiku. Kecuali di Pasar, hujan membawa penderitaan.
“ Teeeetttt...” hups...! aku terhenyak dari lamunan, kuperhatikan
mobil yang berhenti tepat disisi kananku.
“ Bareng yok Tir! hujan nih....”
sebingkai wajah muncul dari kaca jendela mobil, wajah yang cantik dan sangat
kukenal.
“ Serius nih...”, jawabku basa basi
“ Iyalah... ayok!..” wajah cantik
itu tersenyum lucu, dia pasti tahu jika aku berbasa-basi, aku tak lagi
berkomentar dan masuk kedalam mobil, agaknya gerimis tambah merapat.
“ Langsung pulang?” perempuan
cantik yang duduk di belakang stir itu
memulai percakapan.
“ Iya.. aku turun di perempatan
aja”
“ Enggak usah... langsung kuantar
aja, kita kan satu arah “ tawarannya begitu serius dan manis, aku jadi tak enak
hati.
“ Enggak usah, aku jadi enggak enak
nih..” aku juga serius, tanpa basa basi. Kikuk juga rasanya berlama-lama dekat
perempuan ini, mobilnya sejuk dan wangi. Pipinya putih bak pualam, matanya
cerah benderang, fisiknya sudah menjelaskan kalau dia seseorang yang hidup
dalam kesenangan tanpa beban. Sementara aku? aku adalah laki-laki yang
bergelimang perjuangan. Kasih sayang, pendidikan dan motivasi Emak lah yang membuat aku menjadi kuat, tanpa
itu? Jiwaku telah lama mati.
Perempuan cantik itu tak menjawab, pandangannya serius memandang jalan yang
dipadati kendaraan lain. Hujan membuat pengendara sepeda motor panik dan ingin
cepat sampai tujuan, ini kondisi yang berbahaya untuk pengendara mobil jika
tidak hati-hati. Aku diam, mendekap tangan di dada, memandang kedepan dengan
hujan yang semakin merapat. Kami tenggelam dalam diam.
Mobil berbelok memasuki gang menuju
rumahku, sebagai lelaki aku merasa tak enak hati diantar seorang perempuan.
Tapi aku juga tak mampu menolak niat baik perempuan ini, tulus sekali,
ketulusan yang terpancar dari dalam jiwa yang bisa kubaca dari sorot matanya.
“ Singgah yok….” tawaranku ketika mobil
berhenti di depan rumah. Perempuan itu mengangguk tersenyum, alamaaak… aku Cuma
basa basi, tapi dia tanggapi, wah..
Emak menyongsong
didepan pintu rumah, tersenyum seperti anak yang dibawakan oleh-oleh permen, aku
Cuma cengar cengir kuda melihat mata emak yang mendadak genit.
“ Wa… emak ada buat ubi rebus, mau?” aha.. Emakku terlalu pede fren…
“ Wah…Awa suka tuh mak.., mama juga
sekali-sekali masih buat ubi rebus, dikasi gula merah sama kelapa”.
“ Suka ubi rebus Wa?” kupastikan jawaban perempuan itu, Zahwa.
“ Ya iyalah… itu makanan sehat Tir, di
keluarga kami kalo bikin cemilan tuh ya.. ubi goreng, pisang goreng, bakwan,
buat cake juga jarang.” aku tertegun antara percaya dan tidak, apakah Zahwa hanya
ingin menjaga perasaanku sebagai seorang lelaki miskin?
Aku
tak ingin membahasnya, aku sibuk dengan kegiatanku yang baru, memperhatikan
Zahwa yang makan ubi rebus dengan asap yang masih mengepul ditemani Emak sambil
tertawa-tawa. Sesekali kulongok mobil yang diparkir Zahwa didepan rumah, takut
ada kendaraan lain yang tak bisa lewat karena gang rumahku yang sangat sempit.
Zahwa pamit setelah dua puluh menit duduk menikmati ubi rebus sambil bercerita
dengan Emak. Heran.. aku tak dilibatkan mereka dalam pembicaraan, hanya Emak
sesekali mengerling kearahku, dasar perempuan.
Sahabat…
sulit kujelaskan dengan kata-kata tentang perempuan itu, Zahwa namanya. Dia
seorang perempuan yang hidup makmur, gemah ripah loh jinawi. Aku yakin sekali
jika perempuan itu tak pernah dihinggapi penderitaan. Ayahnya seorang Profesor
dan ibunya seorang dokter spesialis ortopedi. Aku juga heran mengapa bisa dekat
dengan perempuan yang beda fakultas ini, dia di kedokteran sementara aku di Fakultas
Hukum. Yang menyatukan kami hanya Organisasi kampus di kelompok Jurnalis
Kampus, itu saja. Aneh, selalu ada kesempatan bertemu dan dia selalu punya
tawaran baik mengantarku pulang, bicara dengan Emak dengan sangat akrab seakan
seorang anak yang bicara dan curhat dengan Ibunya. Dan.. Emak yang terlalu pede seakan-akan Zahwa adalah calon
menantunya. Walah..aku tak pernah mimpi bisa memiliki perempuan ini, tak
pernah! Siapa yang terlalu bodoh memilih aku sebagai pacar atau bahkan pasangan
hidup?
Aku
Petir, pemuda yang dari kecil sudah yatim, berjuang hidup bersama Emak
tercintanya, yang miskin tak punya harta, kendaraan jelek pun tak punya.
Semangat hidup, lampu dalam gelap itu hanyalah Emak, dan..sang pencipta
tentunya.
“ Heh.. melamun..” Emak muncul
disampingku,menepuk lembut bahuku.
“ Mikirin si Zahwa ya?” Emak menatapku menggoda.
“ Mak.. si Zahwa itu anak orang kaya, anak
dokter. Kita orang miskin mak, mana mau dia sama aku, dia Cuma kasian lihat aku
yang kemana-mana naik angkot, makanya
dia mau antar, itu aja. Udah ah.. Emak terlalu pede, nanti aku cari aja perempuan lain untuk jadi menantu Emak,
yang selevel….”Aku bangkit, Emak menarik tanganku.
“ Duduk Nak...”, Emak menatapku tajam, aku
tak berani membalasnya, aku kembali duduk.
“ Emak tidak pernah mimpi nak, status bukanlah
segalanya. Emak suka Zahwa bukan karena dia seperti yang kau bilang anak orang
kaya, dia perempuan yang membuat Emak senang serasa menemukan anak perempuan.
Dia bukan perempuan biasa. Besok kalau kau jumpa dia, kau perhatikan betul
cahaya matanya, tak bisa dibohongi kalau dia suka sama kau nak, cinta dia sama
kau..”. Aku tertegun, benarkah Emak terlalu pede?
“ Oke , kalau aku pacaran sama dia, pake apa
aku pergi ngapel? naik sepeda? ah Mak.. udahlah.. jauh kali cita-cita Emak,
nanti Emak sakit hati.” Aha… bukannya aku yang sakit hati? aku bangkit lagi ingin melakukan sesuatu yang
tadi tertunda.
“ Lha.. mau kemana? Emak belum selesai cakap
Tir…”
“ Mau mandi Emakku sayang… trus sholat Emakku
tercinta.. habis itu aku mau menghabiskan ubi rebus Emak yang enak, oke?”
kutepuk-tepuk bahu Emak yang tersenyum-senyum lucu, diapun mengangguk takzim.
Aku
mandi, bayangan Zahwa menari-nari didalam ember. Di kamar, bayangan Zahwa
menari-nari di cermin. Aku sholat bayangan Zahwa menari-nari di atas sajadah, walah….kenapa
jadi gini? Emaaaaaakkkkkkk………..Zahwa menari dimana-mana, seperti udara dan
angin, menguap keatas, menggumpal menjadi awan dan turun menjadi hujan. Ku
lahap ubi rebus cepat-cepat, Emak perempuan pertama dalam hidupku melihatku
dengan pandangan aneh. Zahwa perempuan kedua dalam hatiku tersenyum dalam
bayangan, menari-nari dalam pikiran.
Nafasku
tersengal-sengal menahan pikiran yang buncah dengan mulut penuh singkong panas.
“
Tir….. kenapa? “ Emak menepuk-nepuk bahuku bingung. Aku menggeleng-geleng,
sebagai isyarat aku baik-baik saja.
“
Minum….” Emak menyodorkan segelas teh manis yang sudah mulai dingin, ku teguk
perlahan dan menarik nafas panjang.
“
Makan jangan buru-buru, kecekik kan? “ Emak mulai tenang, menyandarkan bahunya
ke belakang kursi. Aku tak menjawab, padahal aku ingin sekali mengatakan “ Mak…. Benarkah menurut Emak perempuan cantik
itu berhasrat padaku? “
Kuhabiskan
malam dengan gelisah, kantuk merayap naik ke ubun-ubun, namun mata tak mau
terpejam. Perempuan itu seakan menyusup masuk dalam aliran darahku, panas.
- Ahaaa.. tunggu kelanjutannya yaa J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar